BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang feminisme tentunya selalu berhubungan dengan perjuangan kaum perempuan untuk setara dengan kaum laki-laki di mana para perempuan ingin mendapatkan persamaan baik di ruang privat atau publik. Sebelum abad ke-19, kaum perempuan lebih diposisikan sebagai objek bagi kaum laki-laki dan memiliki keterbatasan dalam segala hal. Ketidakadilan yang terjadi antara kaum perempuan dan laki-laki ini bisa tercermin ke dalam berbagai bentuk seperti terbatasnya hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan (contohnya dalam hal pendidikan, sosial, bahkan politik), terkucilkan, dan berada di dalam dominasi laki-laki. Selain itu, perempuan sering kali mendapatkan penilaian atau pandangan yang keliru sehingga terjadi tindakan diskriminatif terhadap perempuan. “Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.” (Fakih, 1996: 12-13) Dengan kata lain, kaum laki-laki selalu lebih superior dibandingkan dengan kaum perempuan. Pada awal abad ke-19, mulai muncul tokoh-tokoh perempuan yang berani menunjukkan ekspresi dalam menuntut kebebasan dan persamaan. Ekspresi tersebut rata-rata telah tertuang dalam karya-karya sastra.
1
“Dalam konteks kajian feminisme, rata-rata ekspresi perempuan untuk berjuang menuntut persamaan kesempatan baik di ruang privat maupun di publik muncul dari tulisan-tulisan sastra.” (Udasmoro, 2012: 2) Gelombang pertama feminisme terjadi pada sekitar tahun 1880-an, seiring dengan terjadinya revolusi Prancis dan industrialisasi. Di masa tersebut, kaum perempuan mulai merintis perjuangan mencapai kesetaraan di bidang sosial, politik, pendidikan, dan ekonomi hingga pada akhirnya muncul gelombang kedua feminisme pada sekitar tahun 1960-an (Gamble, 2004: 19-35). Sehubungan dengan karya sastra, gerakan feminisme tersebut berdampak sangat besar terhadap studi-studi kesusastraan. Pada tahun 1980-an, bidang kesusastraan Inggris terlalu didominasi oleh karya-karya yang dituliskan oleh laki-laki bahkan digunakan sebagai buku ajar di berbagai instansi pendidikan. Karya-karya tersebut cenderung mengandung banyak ketidakadilan dalam merepresentasikan perempuan (Gamble, 2004: 165). Sebagai contohnya yang tergambarkan dalam dongeng anak-anak. Selain tokoh protagonis, perempuan kerap kali direpresentasikan sebagai tokoh antagonis seperti menjadi peri tua yang mengutuk putri raja dalam cerita La belle au bois dormant atau The Sleeping Beauty (Charles Perrault, 1697); menjadi seorang ibu tiri yang kejam dan saudari-saudari tiri yang licik dalam cerita Cendrillon atau Cinderella (Charles Perrault, 1697); menjadi nenek sihir yang memberikan apel beracun kepada sang putri dalam cerita Blanche-Neige atau Snow white (Jacob dan Wilhem Grimm, 1812). Tokoh-tokoh yang bersifat seperti
2
“monster1” tersebut digenderkan sebagai perempuan, dan hal tersebut seakan menjadi tradisi bagi kaum laki-laki dalam penulisan karya-karyanya. Hal tersebut menjadikan kaum perempuan lebih tergerak untuk melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut dilakukan dengan cara memberikan perhatian terhadap karya-karya sastra atau teks dengan menerapkan pendekatan-pendekatan yang berorientasi feminis yang sebagaimana adalah bentuk dari gelombang kedua feminisme. Kaum perempuan lebih memfokuskan kritis feminis-feminis tersebut pada representasi perempuan dalam karya sastra yang dituliskan oleh kaum lakilaki. “Pendekatan-pendekatan tradisional terhadap genre, situasi, atau tokoh, sering dilakukan dari sudut pandang laki-laki, yang biasanya berbeda dari perspektif perempuan dan perspektif lakilaki ini pada umumnya diterapkan dalam tulisan-tulisan laki-laki.” (Djajanegara, 2000: 49-50). Menurut banyak kritikus feminis, karya sastra yang ditulis oleh kaum lakilaki sering kali merepresentasikan kaum perempuan secara negatif.Representasi tersebut sering kali menimbulkan kesan buruk terhadap citra seorang perempuan. Hal ini juga diungkapkan oleh Simone de Beauvoir dalam bukunya The second sex, yang menaruh perhatian pada studi tentang penindasan perempuan dan konstruksi feminitas oleh para laki-laki (Sugihastuti & Suharto, 2002 : 12). Seiring dengan berjalannya waktu dan perjuangan kaum perempuan yang terus bergulir hingga saat ini, usaha para kritikus feminis telah membawa hasil
1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, monster adalah binatang, orang, atau tumbuhan yang berbentuk atau rupanya sangat menyimpang dari yang biasa; makhluk yang berukuran luar biasa (sangat besar); makhluk yang menakutkan hanya terdapat dalam dongeng.
3
yang baik ke dalam ilmu sastra. Tidak jarang penulis-penulis perempuan masa kini yang karyanya telah diakui dan diberi kedudukan yang setara dengan penulis laki-laki. Para pengkritik feminis telah berhasil mengungkapkan ketidakadilanketidakadilan yang ditemukan dalam karya sastra. Namun, meskipun telah banyak perempuan yang menulis dengan narasi-narasi memperjuangkan nasib mereka, para pengarang laki-laki masih tetap mereproduksikan perempuan sebagai objek. Salah satu contohnya adalah sebuah novel yang berjudul La grande vie yang notabene adalah objek material dari penelitian ini. Pada tahun 1995, telah terbit sebuah novel yang berjudul La grande vie karya Olivier Charneux. Olivier Charneux adalah seorang penulis naskah drama dan novel Prancis yang lahir di Charleville – Mézières pada tahun 1963. Selama masa studinya, Charneux telah menekuni banyak hal tentang kesenian dan sastra. La grande vie adalah novel pertama dari enam karyanya (La grande vie, Les dernières volontés, L’enfant de la pluit, Être un homme, Nous vivons des vies héroïques dan Tant que je serai en vie). Setelah beberapa tahun menjadi seorang aktor dan mengabdikan dirinya menjadi seorang penulis, Charneux menulis beberapa berita artikel (Le Revenant dalam L’express,La Marched dan La Logique des Grands dalam Le Castor Astral) dan naskah drama (La Course au Soleil dan In Aimer sa mère).2 Dalam bukunya ini, Charneux menceritakan tentang kisah perjalanan seorang janda berumur 40 tahun yang bernama Éléonore Verdère dan putrinya
2
Diakses darihttp://www.m-e-l.fr/olivier-charneux,ec,60, pada tanggal 13 Juni 2014 pukul 10.30 WIB
4
yang berumur 12 tahun bernama Lucie. Dalam perjalanannya, Éléonore melakukan liburan dengan tujuan ingin mencari pasangan hidup yang baru. Dia memiliki empat orang anak dan dalam kisah ini Éléonore pergi hanya mengajak putri bungsunya dan meninggalkan tiga anak lainnya di sebuah apartemen tempat mereka tinggal. Éléonore diceritakan sebagai perempuan yang memiliki tubuh seksi dan cantik.Meskipun umur sudah tidak termasuk dalam kategori muda, namun banyak pria yang tertarik dan mengidolakan Éléonore karena kemolekannya tersebut. Dalam perjalanan bersama ibunya, Lucie sering kali mendapatkan perlakuan kasar dari ibunya. Dari sudut pandang Lucie terlihat sangat jelas bahwa sikap yang dilakukan oleh Éléonore sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang ibu. Sikap ibu yang kurang memberikan perhatian kepada Lucie tersebut ternyata berdampak sangat buruk. Lucie bukan lagi seorang gadis yang lugu tetapi gadis yang liar. Lucie kecil berselingkuh dengan suami orang lain yang lebih tua dan melakukan banyak hal yang tidak pantas. Berdasarkan cerita tersebut yang menarik adalah ketika Charneux menceritakan tentang tokoh perempuan seperti “monster” baik penceritaan dari segi fisik, karakter, dan peran. Karakter tokoh perempuan benar-benar dikonstruksikan sebagai sosok yang negatif, nakal, nafsu, dan kasar meskipun pada awal cerita hanya terlihat pada Éléonore. Kata monster memang lebih merujuk kepada sesuatu atau sebuah makhluk yang memiliki keanehan dan penyimpangan, terlebih jika dilihat dari segi fisik. Sehubungan dengan hal
5
tersebut, Braidotti3 mendefinisikan monster kembali sebagai bentuk dari penyimpangan secara luas yang bukan hanya dari segi fisik, melainkan faktorfaktor kehidupan seseorang seperti sifat/karakter, peran, dan sosialnya. Dalam penceritaannya tersebut, Charneux tidak menyalahkan kaum laki-laki yang juga terlibat dalam segala kehidupan Éléonore dan Lucie. Laki-laki seakan-akan tidak bersalah dalam hal perselingkuhan ataupun nafsu terhadap perempuan. Charneux menceritakan seakan-akan perempuanlah “monster” bagi para lelaki dan tidak peduli apakah perempuan itu anak-anak, remaja, ataupun dewasa. Dari situlah muncul sebuah problematika bahwa pada era tersebut semestinya adalah masa-masa di mana karya sastra baik yang ditulis oleh kaum laki-laki atau perempuan, tidak lagi menjadikan perempuan sebagai objek yang direpresentasikan secara negatif seperti halnya dongeng-dongeng zaman dulu. Perempuan sering kali direpresentasikan menjadi dua hal, yaitu; perempuan yang lemah dan patut untuk diselamatkan oleh kaum laki-laki atau perempuan yang jahat dan licik seperti nenek sihir. Sifat “monster” lebih kepada tradisi dalam dongeng dan di era kontemporer, pemonsteran terhadap wanita seperti itu sudah sangat tidak lazim karena adanya gerakan-gerakan feminis yang sudah lama muncul yang memperjuangkan bentuk ketidakadilan terhadap diri mereka. Cara atau tradisi penulisan seperti itu terkesan kuno dan bisa semakin merusak citra perempuan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan difokuskan terhadap 3
Rosi Braidotti adalah seorang filsuf kontemporer dan ahli teori feminis. Beliau adalah pendiri sekaligus profesor dari program studi wanita di Utrecht. Selain itu, beliau juga banyak menulis buku tentang isu-isu feminis yang diantaranya berjudul Nomadic Subject: Embodiment and Sexual Difference in Contemporary Feminist Theory dan Nomadic Theory: The Portable Rosi Braidotti. Diakses dari http://cup.columbia.edu/book/nomadic-theory/9780231151900, pada tanggal 15 desember 2014 pukul 20.56 WIB.
6
problematika tersebut dengan menggunakan nomadic theory dan konsep mothers, monsters and machines serta metode-metode penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. 1.2 Rumusan Masalah La grande vie adalah sebuah karya pertama dari Olivier Charneux pada tahun 1995, di mana masa tersebut banyak kritikus feminis yang telah memperjuangkan dan mengungkapkan ketidakadilan gender dalam karya-karya sastra sehingga fenomena tersebut memberikan dampak yang positif bagi citra perempuan. Dalam novelnya, Charneux memunculkan tokoh seorang janda yang liar, kasar, tidak mencerminkan sikap seorang ibu terhadap anaknya, dan seorang anak gadis yang lugu lalu menjadi lebih brutal dan liar akibat dari pengaruh buruk ibunya. Berdasarkan hal tersebut, telah ditemukan pertanyaan besar mengenai dua fenomena di atas sebagai rumusan masalahnya bahwa mengapa di ujung abad ke20 karakter tokoh perempuan (ibu dan anak) dalam novel La grande vie masih diceritakan seperti layaknya “monster”. Dari perumusan tersebut, terdapat dua pertanyaan penelitian yang berkenaan dengan problematika. 1. Bagaimana konstruksi terhadap pemonsteran perempuan dalam novel La grande vie? 2. Apakah pesan sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca dalam novel La grande vie terhadap konstruksi pemonsteran itu?
7
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengkonstruksian perempuan sebagai “monster” dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang laki-laki
dan
menangkap
pesan
atau
maksud
dari
pengarang
yang
mereproduksikan perempuan sebagai objek. Pada akhirnya akan diketahui alasan mengapa pengarang laki-laki kerap kali merepresentasikan perempuan secara negatif yang menimbulkan citra buruk bagi perempuan meskipun sudah berada di masa kontemporer. 1.4 Tinjauan Pustaka Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka akan dianalisis tentang konstruksi perempuan sebagai “monster” dengan objek material berupa novel yang berjudul La grande vie karya Olivier Charneux. Dalam penelitian tersebut, digunakan nomadic theory dan konsep mothers, monsters, and machines oleh Rosi Braidotti. Penelitian mengenai konstruksi perempuan pernah dilakukan dengan menggunakan objek material yang berbeda dan dengan berbagai cara penyajian. Beberapa tinjauan pustaka yang bertemakan hal tersebut, diantaranya : Sri Kusumo Habsari, Fitria Akhmerti Primasita, dan M. Taufiq Al Makmum (2014) membuat sebuah artikel yang berjudul “Representasi Dominasi Perempuan dalam Rumah Tangga: Feminisme atau Patriarki? (Sebuah Analisis Tekstual terhadap Situasi Komedi (SitKom) “Suami-Suami Takut Istri”)”. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa dalam SitKom Suami-Suami Takut Istri,
8
dominasi perempuan dalam rumah tangga telah direpresentasikan. Dalam artian apakah hal tersebut mendukung feminisme atau mendukung patriarki dan konsekuensi sosialnya terhadap citra kaum perempuan maupun laki-laki. Dengan pesatnya perkembangan gerakan feminis, keadilan gender mendapat sambutan yang positif dari masyarakat dan kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa media yang menyajikan sebuah acara hiburan yang ingin menunjukkan suatu pembaharuan dengan ditampilkan perempuan-perempuan yang lebih dominan. Dengan menerapkan pendekatan tekstual dan kajian budaya, maka hasil yang didapat menunjukkan bahwa dominasi perempuan telah direpresentasikan dan dieksploitasi untuk secara tidak langsung lebih mematenkan ideologi patriarki dengan menyajikan secara negatif kekuasaan perempuan yang hanya sebagai dominasi semu, bukan sebagai
kekuasaan yang menghasilkan penghormatan
terhadap para perempuan yang berkuasa. Cara para perempuan tersebut menunjukkan kekuasaan juga dikonstruksi secara negatif, yaitu dengan melakukan bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Meike Lusye Karolus (2013) menulis sebuah jurnal ilmiah yang berjudul “Konstruksi Perempuan dalam Dongeng Putri Salju (Sebuah Analisis Wacana Feminisme)”.Jurnal tersebut menjelaskan tentang konstruksi posisi perempuan dan pesa-pesan yang terkandung dalam dongeng Putri Salju versi Grimm Bersaudara dan Disney. Dengan metode penelitian kualitatif yang menggunakan analisis wacana Sarah Mills maka akan didapat hasilnya bahwa konstruksi perempuan yang terdapat dalam dongeng tersebut meliputi konstruksi fisik, konstruksi karakter/sifat, dan konstruksi peran (gender).
9
Mustika (2014) menulis sebuah tesis yang berjudul “Eksistensi Pelacur dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan”. Tesis ini membahas tentang bagaimana eksistensi seorang perempuan muslimah taat yang pada akhirnya memilih menjadi seorang pelacur karena merasa mendapatkan banyak tekanan dalam ketaatannya. Mustika menemukan bahwa dalam novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!, muslimah diobjektifikasi oleh orang lain, tetapi akhirnya menjadi subjek dengan mengembalikan kesadaran pada dirinya sendiri. Dalam penelitian ini digunakan teori eksistensialisme Jean Paul Sartre yang menjabarkan tentang konsep kebebasan, tanggung jawab, absurditas, dan keinginan menjadi Tuhan. Pemi Merna Siagian (2014) menulis sebuah skripsi yang berjudul “Representasi Perempuan dalam Novel La Femme De Trente Ans Karya Honoré De Balzac”. Dalam penelitiannya, dijelaskan mengenai karakter atau sifat-sifat yang menggambarkan perempuan dan bagaimana para pria memandang figur perempuan secara umum serta alasan atau penyebab hadirnya representasi bagi perempuan. Hal itu dijelaskan secara runtut dengan menggunakan metode analisis isi dan juga teori representasi yang dipelopori oleh Stuart Hall. Nurul Hasfi (2010) menulis sebuah artikel yang berjudul “Representasi Perempuan Pelaku Kejahatan atau Woman Offender di Media Massa: Analisis Pemberitaan Malinda Dee”. Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana perempuan sering kali direpresentasikan berdasarkan stereotip sebagai dampak dari budaya yang mendominasi (ideologi patriarki). Dengan menggunakan teori representasi dari Hall dan menggunakan wacana artikel tentang pemberitaan 10
Malinda Dee, jurnal ilmiah ini mencoba untuk mengeksplorasi bagaimana perempuan sebagai pelaku kejahatan direpresentasikan sebagai monster, seksi, liar, dan sebagainya. Ashadi Siregar (2004) menulis sebuah jurnal yang berjudul “Ketidakadilan Konstruksi Perempuan Di Film dan Televisi”.Jurnal ini membahas tentang bagaimana film dan televisi merepresentasikan perempuan secara “khusus” berdasarkan konstruksi sosial. Film dan televisi sering kali menempatkan perempuan hanya sebagai subjek pusat perhatian dan mengikuti paradigma patriarki yang lebih dominan. Demikian juga dengan Liliek Budiastuti Wiratmo dan Mochamad Gifari (2008) yang bersama-sama menuliskan sebuah jurnal berjudul ”Representasi Perempuan dalam Majalah Wanita” yang didalamnya membahas tentang bagaimana majalah-majalah wanita merepresentasikan perempuan di dalam sajian-sajiannya dan bagaimana timbal baliknya terhadap kepentingan kaum perempuan itu sendiri. Lubna Sungkar (2010) dalam sebuah papernya yang berjudul ”Citra Perempuan dalam Clochette dan Madame Baptiste Karya Guy De Maupassant”. Sungkar membahas tentang stereotip-stereotip mengenai citra perempuan dalam pandangan budaya laki-laki. Berkaitan dengan kedua judul cerpen tersebut telah diteliti tentang bagaimana perempuan dicitrakan berdasarkan kaca mata narator laki-laki. Dengan menggunakan perspektif feminisme, kajian ini memperlihatkan bahwa kedua cerpen tersebut mendukung ideologi patriarki yang sudah tertanam
11
pada pemahaman pengarang mengenai bagaimana mencitrakan seseorang khusunya kaum perempuan. Berdasakan tinjauan pustaka di atas dapat diketahui bahwa belum ada penelitian tentang konstruksi perempuan sebagai “monster” yang menggunakan objek material yang sama dan menggunakan nomadic theory serta konsep mothers, monsters, and machines. 1.5 Landasan Teori Charneux tidak menampilkan sesuatu yang berbeda pada novel pertamanya meskipun novel La grande vie muncul di masa para kritikus feminis hadir di tengah-tengah dunia sastra. Charneux tetap menceritakan karakter tokoh perempuan di dalam novelnya dengan pendekatan-pendekatan tradisional yang tidak cocok dengan keadaan yang sesungguhnya sehingga menimbulkan citra yang tidak baik bagi kaum perempuan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan besar, bukan hanya terhadap karya Charneux, tetapi juga karya dari pengarang lainnya khususnya pengarang laki-laki, apa yang membuat mereka cenderung merepresentasikan perempuan secara negatif. Rosi Braidotti, seorang pakar feminis melihat bahwa pengkonstruksian seseorang selalu didasari oleh siapa yang berkuasa pada saat itu. Mengacu pada kritik yang diungkapkan oleh Foucault, “kekuasaan” menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh dalam produksi sebuah kebenaran dan pengetahuan, menjadi sebuah pengontrol dan dominasi.
12
“In a double movement that I find most politically useful, Foucault highlights both the normative foundations of theoretical reason and also the rational model of power. “Power”thus becomes the name for a complex set of interconnections, between the spaces where truth and knowledge are produced and the systems of control and domination.” (Braidotti, 1994: 60) Dari pernyataan tersebut bisa diasumsikan bahwa representasi perempuan terutama dalam karya sastra bukanlah semata-mata karena pandangan atau paradigma laki-laki terhadapperempuan yang selama ini sebagai warga kelas dua dan tersubordinasi (the second sex). Terdapat alasan yang bisa mengubah subjektivitas seseorang karena keadaan dan situasi yang berubah secara terusmenerus. Hal ini diungkapkan oleh Braidotti dalam nomadic theory yang bertujuan untuk pencarian figurasi atau pengkonstruksian perempuan berdasarkan realitas, bukan hanya sekedar pandangan-pandangan dari kaum laki-laki dan akan diperjelas dengan konsepnya, mothers, monsters, and machines. 1.5.1
Nomadic Theory Dalam bukunya yang berjudul Nomadic Theory: The Portable Rosi
Braidotti, Braidotti dipengaruhi oleh seorang filsuf bernama Deleuze yang mengungkapkan tentang konsep rhizomatic. Menurut Deleuze, rhizomatic menyambungkan dua hal yang sama sekali memiliki perbedaan menjadi satu kesatuan. “Unlike trees or their roots, the rhizome connects any point to any other point, and its traits are not necessarily linked to traits of the same nature; it brings into play very different regimes of signs, and even nonsigns states. The rhizome is reducible to neither the one or the multiple. It is not the one that becomes two or even directly three, four, five, (….) Unlike a structure, which is defined by a set
13
of points and positions, the rhizome is made only of lines; (…)” (Deleuze & Guattari, 1987: 21) Braidotti menggunakan konsep rhizomatic untuk menghubungkan antara pikiran dan tubuh. Hal tersebut merepresentasikan bahwa seseorang bukan hanya di dalam otak, tetapi juga harus terkait dengan pengalaman-pengalaman atau terjadi hubungan kuat antara pikiran dan kehidupan nyata. Pengkonstruksian bukan hanya apa yang ada di dalam otak atau pikiran, tetapi juga apa yang ada dalam realitas. Hal tersebut artinya harus terjadi hubungan antara pikiran dan kehidupan nyata. Hal tersebut berkaitan dengan teori yang diungkapkannya bahwa Nomadic theory menguraikan tentang suatu subjektivitas yang berkelanjutan (atau bahkan berubah total) walaupun telah mengalami perubahan secara terus-menerus. Kesimpulannya pengkonstruksian seseorang terutama perempuan juga harus menyesuaikan keadaan yang terus berubah atau nomad (tidak tetap). Sebagai contohnya, zaman dulu perempuan memang lebih terbatas dalam beraktivitas. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang hanya memiliki kewajiban untuk mengurus rumah, mengurus anak, melayani suami, tidak bisa bebas bekerja diluar, bahkan harus berpakaian yang tertutup, dan berbagai bentuk batasan-batasan lainnya yang harus dialami oleh kaum perempuan. Sampai sekarang perempuan memang masih direpresentasikan seperti itu walaupun zaman sudah memasuki era modernitas. Hal ini disebabkan oleh adanya alasan-alasan dari segi biologis dan sosial bahwa perempuan memang dikodratkan untuk memiliki sifat maternal. Tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam kehidupan nyata perempuan memang tidak bisa terlepas dari hal tersebut, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah representasi tetap harus melihat ke realitas. Selain mengurus 14
kerumahtanggaan dan berada di dalam ranah domestik, perempuan masa kini sudah lebih bebas dalam berbagai hal sebagai dampak dari perjuangan-perjuangan keadilan yang selama ini telah dilakukan. Contohnya perempuan bisa bekerja di kantor dan tidak lagi hanya menjadi bawahan, memiliki karier, mampu meraih pendidikan tinggi, dan lain sebagainya. Dengan adanya teori ini, konstruksi perempuan dalam penulisan novel La grande vie oleh Charneux akan diteliti bahwa bagaimana subjektivitas dan konstruksi kaum perempuan dalam karya sastra direpresentasikan secara negatif seperti halnya karya-karya sastra pada zaman dahulu meskipun secara langsung arus modernitas telah mempengaruhi sehingga banyak mengalami perubahan seperti dalam hal sosial, politik, dan budaya. 1.5.2. Mothers, Monsters, and Machines Braidotti memiliki sebuah konsep tentang bagaimana masyarakat selama ini berpikir tentang keberadaan manusia secara umum terlebih tentang keberadaan sosok perempuan. Terdapat tiga konsep yang kerap kali ditemukan terhadap pengkonstruksian kaum perempuan. Konsep mothers dinyatakan bahwa perempuan selalu berhubungan dengan fungsinya sebagai ibu (keibuan). Hal tersebut berarti bukan hanya karena perempuan memiliki sifat biokultural yang didapat sejak lahir, dampak dari kostruksi peranan dalam sosial, politik, dan realitas bahwa perempuan dikonstruksikan sebagai ibu, tetapi hal tersebut disebabkan adanya dari teori feminis.
15
“For the sake of clarity, let me define them: “mothers” refers to the maternal function of women. By WOMEN I mean not only the biocultural entities thus represented, as the empirical subjects of sociopolitical realities, but also a discursive field: feminist theory.” (Braidotti, 1994: 61) Sebagai contohnya adalah ketika seorang bayi perempuan lahir, meskipun dalam keadaan masih kecil, masih belum memiliki kemampuan untuk beraktivitas, tetapi bayi tersebut sudah menyandang fungsi sebagai ibu, yang tentunya fungsi ibu tersebut akan terealisasi ketika bayi tersebut sudah dewasa. Sehubungan dengan konsep mothers bahwa secara biologis yang notabene adalah hal yang paling mendasar dari manusia, bayi tersebut sudah memiliki fungsifungsi biologisnya sebagai ibu. Dari segi sosial, politik, atau teori-teori feminis lainnya juga telah diyatakan bahwa perempuan tidak terlepas dari fungsi ibu. Konsep mothers tidak memandang status, jenjang sosial, atau keadaan fisik dan psikis yang dialami oleh kaum perempuan. Contohnya ketika seorang perempuan memilih menjadi seorang pelacur, berstatus seorang janda, belum menikah bahkan sampai tua, perempuan yang menyandang cacat fisik ataupun psikis, dan dalam situasi dan kondisi apapun yang dialami seorang perempuan, perempuan tetap hidup dengan menyandang fungsi ibu dan hal tersebut tidak bisa dipungkiri. Perempuan sebagai seorang pelacur, bukan berarti perempuan itu tidak memiliki sifat keibuan atau fungsi keibuan. Perempuan yang cacat fisik maka bukan berarti perempuan itu tidak bisa hamil, atau tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai ibu. Jadi inti dalam konsep ini, sebenarnya Braidotti ingin membela feminis yang memfokuskan pada keberadaan dan pengalaman-
16
pengalaman hidup perempuan terutama sebagai ibu, yang tidak hanya sekedar dari paradigma laki-laki. “The kind of feminism I want to defent rests on the presence and the experience of real-life women whose political consciousness is bent on changing the institution of power in our society” (Braidotti, 1994: 61) Konsep Braidotti yang kedua adalah konsep monsters. Harafiahnya monster lebih cenderung berbicara tentang sesuatu yang berhubungan dengan fisik atau bentuk. Hal tersebut dikatakan sebagai monster karena mahkluk yang dilahirkan memiliki cacat bawaan pada organ tubuh mereka sehingga bisa dikatakan sebagai orang yang abnormal. Pemahaman tersebut kembali direpresentasikan bahwa monster bukanlah hanya sekedar sesuatu yang berhubungan dengan fisik yang abnormal, tetapi dari segi sikap atau perilaku bahwa seseorang yang memiliki sikap mengerikan ternyata masih menjadi sesuatu yang indah.Sebagai objek penyimpangan, namun juga menjadi pujian. “Monsters are human beings who are born with congenital malformations of their bodily organism. They also represent the in between, the mixed, the ambivalent as implied in the ancient Greek root of the word “monsters,” teras, which means both horrible and wonderful, object of aberration and adoration.” (Braidotti, 1994: 61-62) Sebagai contoh dari segi fisiknya adalah seorang gadis yang sedang mengalami pertumbuhan pada tubuhnya. Tentunya banyak sekali organ-organ tubuh yang berkembang dan berfungsi seperti halnya perempuan pada umumnya. Faktor gen atau hormon menjadi salah satu organ tubuh gadis tersebut yang tumbuh dengan sangat pesat. Gadis tersebut memiliki payudara yang besar dan melebihi ukuran gadis normal pada umumnya. Dengan keadaan gadis tersebut,
17
beberapa orang memanfaatkan kondisi tersebut untuk menjadikan perempuan sebagai objek penyimpangan yang pada akhirnya berujung pada pemonsteran. Dengan bentuk payudara yang demikian, gadis tersebut cenderung dikonstuksikan sebagai gadis yang nakal dan liar. Contoh lain yang berhubungan dengan fisik misalnya seorang perempuan memiliki rambut yang sangat panjang melebihi panjang rambut kaum perempuan pada umumnya. Perempuan berambut panjang di beberapa tempat seperti di India dan Bangladesh memang dianggap sebagai sesuatu yang mewah dan merupakan mahkota bagi kaum perempuan.4 Rambut panjang perempuan direpresentasikan sebagai sesuatu yang erotis dan liar terutama jika dalam hal seksualitas bahkan bisa direpresentasikan sebagai penyihir yang menyimpan kekuatan sihir pada rambutnya. Kelebihan atau kekurangan perempuan tersebut terkadang masih disalahgunakan bagi sebagian masyarakat untuk merepresentasikan perempuan secara negatif. Contoh lain dari segi sikap atau perilaku yang langsung diambil dari novel La grande vie adalah karakter ibu yang diceritakan oleh Charneux sebagai seorang janda. Dalam kasus ini, sebenarnya Charneux masih memberikan sisi positif dalam mengkonstruksi tokoh ibu sebagai seorang yang independen dan mandiri, meskipun tujuan utama ibu tersebut melakukan perjalanan adalah untuk mencari laki-laki lagi sebagai pasangan hidupnya yang baru. Charneux juga menceritakan sang ibu sebagai perempuan yang cantik parasnya dan perempuan yang memiliki tubuh seksi walaupun sudah berumur 40 tahun. Namun, di tengah perjalanannya sang ibu diceritakan menjadi perempuan yang liar dan kasar. Charneux membuat 4
Diakses dari http://www.elephantjournal.com/2012/01/seduction-witches-and-long-hair/, pada tanggal 20 Desember 2014 pukul 11.30 WIB
18
sang ibu memanfaatkan keadaan fisiknya untuk mendapatkan keuntungan untuk menggoda beberapa pria. Selain itu, sang ibu diceritakan memiliki sifat yang jahat, terutama terhadap anaknya. Sang ibu memperlakukan anaknya begitu sangat kejam dan tidak mencerminkan sikap keibuan. Sang ibu telah menjadi “monster”. Konsep ketiga dari Braidotti adalah machine. Ibarat sebuah mesin, Braidotti melihat bahwa yang paling penting adalah hasil akhirnya daripada proses mesin itu sendiri. Konsep ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini yang paling penting adalah kenyataan atau realitanya. Segala sesuatunya bukan hanya dinilai dari pandangan, paradigma, atau pemikiranpemikiran seseorang terhadap sesuatu tersebut. Semua pemikiran harus dihubungkan dengan realitas kehidupan dan mengikuti arus perubahan yang telah terjadi. “The Frankfurt School refers to it as “instrumental reason”: one that places the end of its endeavors well above the means and suspends all judgement on its inner logic.” (Braidotti, 1994: 61) Berkaitan dengan hal teori, konsep dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka fenomena konstruksi perempuan dalam novel La grande vie akan diteliti dengan menggunakan nomadic theory dan konsep mothers, monsters, and machines tersebut. Teori dan konsep tersebut akan menjadi teori dasar dalam menjawab permasalahan yang muncul. 1.6 Metode Penelitian Dalam penulisan ini, tahap pertama yang dilakukan adalah dengan membaca secara keseluruhan novel La grande vie. Setelah itu, dibuat résumé atau
19
ringkasan cerita agar lebih mudah melakukan metode selanjutnya. Setelah meringkas, mulai dilakukan identifikasi-identifikasi atau mengumpulkan data-data dengan melakukan pencatatan berupa tabel tentang tokoh, tindakan-tindakan tokoh, kutipan beserta terjemahannya yang berhubungan dengan konstruksi perempuan sebagai monster. Oleh karena itu, metode yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Menurut Sugiono, metode deskriptif berarti metode untuk menggambarkan objek yang diteliti melalui data tetapi tidak dilakukan analisis yang lebih dalam. “Metode deskriptif adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum” (Sugiono 2009 : 29) Namun, metode deskriptif bisa digabungkan dengan metode analitik dengan mengungkapkan masalah yang ada di dalam objek material, mengolah data, menganalisis, meneliti dan menginterpretasikan serta membuat kesimpulan dan memberi saran yang kemudian disusun pembahasannya secara sistematis sehingga masalah yang ada dapat dipahami. Dengan melakukan pengelompokkan data yang terkait dengan pengkonstruksian perempuan sebagai “monster”, maka akan dibahas rumusan masalah yang dihubungkan dengan nomadic theory dan konsep mothers, monsters, and machines. Unit analisis yang akan dipakai dalam penelitian ini berupa kata, kalimat, atau paragraf yang berhubungan dengan konstruksi perempuan sebagai “monster”.
20
1.7 Sistematika Penyajian Pembahasan tulisan ilmiah ini akan disajikan melalui tiga bab. Bab pertama membahas tentang latar belakang permasalahan sehingga ditemukan rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Selain itu, uraian tentang teori dan metode penelitian yang akan digunakan pada bab selanjutnya. Pada bab kedua, pembahasan rumusan masalah mulai dijabarkan dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada dan dengan metode deskriptif analitik agar membantu untuk menemukan jawabanjawaban rumusan masalah dan pertanyaan penelitian. Bab ini lebih menjelaskan pada bentuk-bentuk konstruksi perempuan secara garis besar, kemudian terfokus pada pengkonstruksian perempuan sebagai “monster”. Pada bab ketiga dijelaskan mengenai beberapa alasan yang menyebabkan paradigma laki-laki tidak berubah terhadap wanita. Selanjutnya, kesimpulan tentang pengkonstruksian perempuan sebagai “monster” akan dibahas pada bab keempat.
21