BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Wilayah Indonesia terdiri dari 17.000 pulau yang di dalamnya didiami oleh lebih dari 300 suku bangsa, heterogenitas suku bangsa tersebut berkaitan dengan persoalan kesehatan (Sciortino, xvi : 1999) . Hal ini bisa terlihat pada persepsi dan kebiasaan serta kepercayaan yang khas atas penyakit dan masalah-masalah kesehatan dalam masyarakat. Kebutuhan akan penyembuhan penyakit, menyebabkan timbulnya usaha-usaha orang untuk mencoba mengatasinya dengan mencari cara pengobatan beserta obat-obatannya. Dengan sendirinya, cara pengobatan yang dianut akan didasarkan pada konsep yang dipunyai oleh masyarakat setempat tentang penyakit (Sumirat, 1994 : 1). Definisi tentang sehat, sakit dan penyebab sakit atau penyakit pada setiap suku bangsa tidak sama, bagi suku bangsa yang hidupnya masih terpencil, mereka juga mendefenisikan penyakit secara lokal yang disesuaikan dengan pengalaman dan pemahaman mereka terhadap penyakit. Komunitas yang masih hidup terpencil pada umumnya menghadapi masalah terhadap akses pelayanan kesehatan modern. Hal ini disebabkan oleh hambatan geografis, sosial budaya dan ekonomi. Akibatnya mereka terkendala untuk mengakses pelayanan kesehatan modern.Walaupun sejauh ini pemerintah telah berupaya membangun fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
1
Puskesmas dan poliklinik desa, serta menempatkan tenaga-tenaga medis seperti dokter, mantri dan bidan, namun masih juga belum menjangkau daerah-daerah terpencil. Pada umumnya program pelayanan kesehatan pemerintah baru sampai di daerah kecamatan. Di Kecamatan Wasile Timur Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku utara, pusat pelayanan kesehatan baru terdapat di ibu kota kecamatan. Dari Dusun Totodoku yang dihuni oleh komunitas orang Tugutil, untuk menjangkau fasilitas kesehatan berupa Puskesmas, mereka harus menempuh perjalanan dengan jaraknya sekitar 17 Km dengan cara jalan kaki. Orang Tugutilyang hidup terpencil di hutan pedalaman pulau Halmahera1, secara kuantitas tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan suku bangsa lainnya yang juga berada di Pulau Halmahera. Persebaran orang Tugutil di pedalaman Halmahera terdapat di wilayah Halmahera bagian utara dan tengah, yang diperkirakan tidak lebih dari 1250 sampai 1500 orang, di Halmahera Utara terdapat di Kecamatan Galela, Tobelo dan Kao. Daerah Halmahera bagian tengah orang Tugutil terdapat di Kecamatan Wasile, Maba dan Patani (Martodirjo, 1994 : 116). Berdasarkan data peta persebaran komunitas adat terpencil Kementrian Republik Indonesia, orang Tugutil tersebar dalam kelompok-kelompok kecil hampir di seluruh pedalaman Halmahera (Kemensos, 2009 : 264-267). Penyebutan orang Tugutil dipakai oleh masyarakat pada umumnya, para ahli bahasa, pemerintah daerah, antropolog dan para peneliti lainnya (Miete, 1936; Huliselan, 1978; Martodirjo, 1993;
1
. Pulau Halmahera merupakan pulau terbesar dari 605 pulau di Maluku Utara, luas Pulau Halmahera sekitar 18.534 km (Sahib, 1978)
2
Topatimasang, 2004; FSB Unkhair,2008; Ulaen, 2010). Warga desa yang hidup di sekitar komunitas Tugutil, menyebut orang Tugutil dengan sebutan Orang Suku atau Orang Asli(Dinas Sosial Maluku Utara, 2007). Sementara itu penamaan orang Tugutil dengan berbagai sebutan tersebut tidak diketahui atau dipahami oleh orang Tugutil sendiri. Orang Tugutil sendiri lebih senang dan akrab bila disebut dengan (o hongana manyawa atau o honganoka) yang padanannya dalam bahasa Indonesia berarti “orang rimba”. Orang yang hidup dan mendiami hutan, sebagai kebalikan dari istilah (o berera manyawa) orang yang hidup di kampung atau orang pesisir. Agar bisa membedakan antara kelompok-kelompok orang Tugutil yang tersebar di pulau Halmahera, biasanya masyarakat menggunakan sebutan nama etnis (Tugutil) disertai dengan nama lokasi atau wilayah yang ditempatinya. Seperti Tugutil Dodaga adalah orang Tugutil yang mendiami wilayah Desa Dodaga (Tugutil Loleba, Tugutil Foli, Tugutil Lina, Tugutil Kusuri dan yang lainnya). Penelitian ini, dilakukan pada orang Tugutil Totodoku. Lokasi Totodoku berada di wilayah Desa Dodaga Kecamatan Wasile Timur, Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara. Orang Tugutil yang mendiami lokasi Totodoku2
tercatat sebagai suku
terasing dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Terasing di Indonesia (Kemensos
2
. Dalam pemberdayaan suku terasing oleh Departemen Sosial, komunitas-komunitas kecil tersebut masih diistilahkan dengan sebutan “Lokasi” karena belum dikategorikan sebagai dusun atau anak desa. Hal ini disebabkan belum terdapat hirarki atau struktur pemerintahan desa dengan perwakilannya berupa kepala dusun di lokasi tersebut.
3
RI, 2009 : 265). Pemberdayaan suku terasing oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia, sekarang lebih dikenal dengan istilah Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PEKAT). Komunitas Tugutil lokasi Totodoku, semula mendiami hutan Dodaga pada enam lokasi persebaran yakni Lokasi Totodoku, Lokasi Yangerino, Lokasi Kowehino, Lokasi Titipa, Lokasi Ngowai dan Lokasi Ricaino. Ke enam lokasi ini ditempati oleh 23 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 77, (Dinas Sosial Maluku Utara, 2008). Orang Tugutil Totodoku masih sangat kuat kepercayaan animismenya. Menurut mereka satu penyakit yang diidap seseorang tidak terlepas dari peran mahluk halus yang berada di sekitar tempat tinggal mereka, dan dipercayai memiliki kekuatan untuk melindungi dan juga mencelakai. Gomanga merupakan roh para leluhur yang sangat diyakini bisa menjaga dan melindungi mereka sebagai anak cucunya. Oleh karena itu mereka harus terus menjaga keharmonisan hubungan terhadap roh-roh leluhur mereka. Ritual pengobatan gomatere pada orang Tugutil sampai sekarang masih dilaksanakan, sebagai salah satu cara pengobatan penyakit yang tidak kunjung sembuh. Ritual gomatere juga sering dilaksanakan bukan hanya pada fungsi pengobatan atau penyembuhan, melainkan juga untuk mendiagnosis faktor-faktor yang menyebabkan seseorang jatuh sakit. Dari aspek kesehatan, angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) pada orang Tugutil tergolong cukup tinggi, diakibatkan oleh rendahnya kualitas kesehatan. Kualitas kesehatan mereka erat kaitannya dengan lingkungan tempat tinggal dan pola hidup. Perubahan kondisi lingkungan orang Tugutil, salah satunya
4
disebabkan oleh pemukiman kembali (resettlement)3 dan menyempitnya lahan hutan tempat mereka beraktivitas karena masuknya perusahaan-perusahaan pertambangan, pengolahan
kayu
dan
program
transmigrasi.
Faktor-faktor
tersebut
dapat
mempengaruhi pola hidup orang Tugutil, khususnya pada kualitas kesehatan mereka (WALHI Maluku Utara, 2010 : 20). Banyak persoalan yang muncul sehubungan dengan terjadinya perubahan lingkungan pada orang Tugutil, yang pada akhirnya menimbulkan dampak sosial dan ekonomi cukup berat buat mereka. Hewan buruan dan tanaman hutan yang dulu mudah diperoleh, kini semakin sulit untuk didapatkan. Sebagai komunitas yang selama ini menggantungkan hidup sepenuhnya pada kemurahan alam, orang Tugutil membutuhkan strategi agar bisa bertahan hidup (Survive) dalam lingkungan yang telah banyak berubah tersebut. Sebagai sebuah komunitas yang memiliki pengetahuan lokal (local knowledge), orang Tugutil juga
mengenal dan mengembangkan perangkat
kepercayaan, kognisi dan presepsi yang konsisten dengan lingkungan atau konteks budaya mereka. Dalam hal ini khususnya pada cara-cara untuk mengatasi masalahmasalah kesehatan dalam komunitas.
3
. Akibat dari pola hidup yang menetap, orang Tugutil secara perlahan mulai melepaskan beberapa kebiasaan yang berhubungan dengan kebiasaan mencari nafkah dan merubah pola makan dan jenis makanan mereka. Keadaan tersebut diduga menurunkan tingkat kesehatan orang-orang Tugutil yang dimukimkan. (Huliselan 1978 : 177).
5
B. Rumusan Masalah Berkaitan dengan apa yang telah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya, bahwa orang Tugutil di Pulau Halmahera sebagian besar hidup di pedalaman dan sangat rentan terhadap persoalan kesehatan (penyakit), hal ini dapat terlihat pada data angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi (Dinas Sosial Maluku Utara, 2007, 2008, 2009, 2010). Dua hasil penelitian sebelumnya
juga
menunjukkan bahwa persoalan kesehatan pada orang Tugutil sangat dipengaruhi oleh pola hidup dan perubahan lingkungan yang terus terjadi (Huliselan, 1979; Martodirjo, 1994). Dalam rangka penelitian ini dianjukan pertanyaan penelitian, bagaimana pengetahuan lokal, sikap dan prilaku orang Tugutil dalam upaya-upaya pengobatan atau penyembuhan penyakit ?. Pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ? 2. Bagaimana tindakan yang dilakukan dalam menangani penyakit karena sebab personalistik dan naturalistik ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan sebuah studi etnomedisin dengan
pemahaman analitis-deskriptif mengenai
pengetahuan lokal orang Tugutil di pedalaman Pulau Halmahera tentang penyebab, pencegahan dan penyembuhan penyakit.
6
D. Manfaat penelitian Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pengetahuan antropologis mengenai kelompok masyarakat Tugutil di Pulau Halmahera dalam perspektif kesehatan mereka.
Penelitian tentang suku bangsa Tugutil di Pulau
Halmahera oleh beberapa peneliti terdahulu telah dilakukan, namun penelitian yang lebih spesifik pada sistem medis tradisionalnya, sejauh ini belum pernah dilakukan. Kajian ini merupakan sebuah langkah awal dalam rangka memahami komunitas suku bangsa Tugutil dari sisi kesehatannya. Secara praktis, hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai data atau informasi bagi perencana dan penentu kebijakan dalam merumuskan dan melaksanakan
program-program
pembangunan
nasional,
khususnya
yang
berhubungan dengan program perencanaan kesehatan dan pengadaan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat tradisional dan terpencil.
E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dalam proposal penelitian ini akan membicarakan beberapa literatur dengan kategorisasi yang dianggap membantu dalam memahami sistem medis tradisional. Di dalam studi-studi antropologi kesehatan khususnya pada kajian sistem kesehatan tradisional (etnomedisin) menurut George M. Foster dan Barbara G. Anderson terdapat dua kategori besar, yakni sistem medis personalistik dan sistem medis naturalistik. Menurut Hughes (1968) etnomedisin merupakan subbagian dari antropologi kesehatan, yang khusus melakukan studi-studi tradisional mengenai
7
pengobatan non-barat, atau mengenai praktik-praktik medis tradisional yang tidak berasal dari konsep medis modern (1986 : 63-64). Setiap suku bangsa memiliki sistem pengobatan tradisional yang berkembang dari kebudayaan sendiri. Sistem pengobatan tradisional bersifat personalistik dan naturalistik. Sistem personalistik adalah suatu sistem di mana penyakit disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk bukan manusia ( seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Sedangkan dalam sistem naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi. Dalam sistem naturalistik, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap atau seimbang dalam tubuh, apabila keseimbangan terganggu maka hasilnya adalah timbulnya penyakit. (Foster dan Anderson,1986 : 63). Penelitian Naniek Kasniyah (2002) tentang Symptoms (gejala-gejala) Diagnosis dan Terapi Pada Penyembuhan Sakit Karena Santet, menggungkapkan berbagai gejala penyakit dalam masyarakat yang dianggap kehadirannya tidak wajar, atau tidak seperti penyakit-penyakit lain yang masih bisa terdeteksi. Penyakit yang muncul karena santet tidak bisa diobati dengan cara-cara biasa, melainkan harus diobati oleh orang yang memiliki keahlian khusus (dukun dan shaman). Sistem penyembuhan penyakit karena santet juga menggunakan sistim diagnosis yang dilakukan oleh shaman, menggunakan cara berkonsultasi dengan dunia halus dan dilakukan dalam keadaan trance. Pada keadaan trance penyembuh dapat mendiagnosis gejala sakit yang disebabkan oleh sebab-sebab supranatural,
8
dalam diagnosis tersebut penyembuh akan mencari tahu “siapa” dan “mengapa” yang secara logika dapat diterima oleh pasien dan keluarganya. Hasil penelitian ini menguraikan dengan sangat jelas proses munculnya penyakit dengan etiologi personalistik serta cara-cara penyembuhannya. Peran seorang shaman pernah ditulis oleh P.H. Koagow (1980) dengan judul Shamanisme pada Orang Modole di Daerah Halmahera Utara, mengungkapkan tentang kepercayaan terhadap roh-roh orang yang telah meninggal (wongemi atau gomanga) yang dianggap sebagai roh nenek moyangnya.
Hal ini menyebabkan
keberadaan seorang shaman (gomatere) begitu penting pada komunitas orang Modole dalam sistem penyembuhan penyakit, karena gomatere dapat menjadi medium antara orang yang hidup dan orang yang telah mati4 . Apabila seseorang terserang penyakit, terdapat kegagalan dalam bercocok tanam atau malapetaka lainnya, dianggap sebagai bukti kemurkaan dari roh-roh nenek moyang mereka. Untuk itu harus dilakukan upacara yang dipimpin oleh seorang gomatere untuk memberikan persembahan kepada wongemi atau gomanga. Apabila terdapat orang yang sakit, hal itu disebabkan oleh kemarahan roh nenek moyang yang memegang jiwa orang sakit tersebut, disini seorang gomatere berperan mengambil kembali jiwa atau roh orang yang masih hidup (gurumini) dari genggaman roh nenek moyang mereka.
4
. Gomaterea dalah sebutan untuk shaman pada orang Modole, Tobelo dan Tugutil. Seorang gomatere bekerja dengan cara membaringkan diri di tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan sehelai kain, kedua tangannya mengetuk-ngetuk tempat tidur dengan irama tertentu yang dapat mengundang kehadiran jin, lama-kelamaan tubuh gomatere mulai gemetar (trance) dilanjutkan dengan proses pengobatan. Gomatere tidak saja dijabat oleh laki-laki akan tetapi bisa juga oleh wanita.
9
Tulisan P. H. Koagow tentang shamanisme pada orang Modole di Halmahera Utara hampir seluruhnya menggunakan studi kepustakaan dan hanya sedikit sekali data lapangan, sehingga tidak terungkap penyakit-penyakit seperti apa yang diobati dengan ritual gomatere atau idu-idu. Apakah gomatere atau idu-idu hanya mengobati penyakit dengan etiologi personalistik ataukah juga penyakit dengan etiologi naturalistik, tidak dijelaskan. Karena penyakit dengan etiologi personalistik dan naturalistik memiliki hubungan dan tidak bisa dilihat terpisah pada sistem kesehatan satu masyarakat yang masih tradisional. Berkaitan dengan tulisan dari Koagow, Martodirjo (1993) dalam tulisannya tentang Masyarakat Tugutil di Halmahera juga sedikit menjelaskan tentang sistem pengobatan penyakit dengan etiologi personalistik. Menurut keyakinan orang Tugutil bahwa mahluk-mahluk halus yang berada di sekitar lingkungan mereka memiliki kekuatan sakti yang bersifat gaib. Oleh karena, itu praktek ilmu gaib menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Upacara penghormatan terhadap roh-roh leluhur dilaksanakan setiap saat sesuai dengan kebutuhan, biasanya upacara dilaksanakan bila ada anggota keluarga yang sembuh setelah menderita sakit berat, atau bila ada anggota keluarga yang sakit dan tidak kunjung sembuh. Upacara penghormatan terhadap roh-roh leluhur juga dilaksanakan jika terjadi wabah penyakit yang menimpa banyak keluarga. Selain itu, untuk kepentingan lain seperti menghadapi serangan musuh dan juga menyerang musuh. Seorang shaman pada orang Tugutil disebut o gomatere yang berperan sebagai perantara dengan dunia mahluk halus yang dianggap berkaitan dengan sumber penyakit. Dalam ritual, o
10
gomatere akan menari-nari sampai dirasuki oleh roh leluhur (o gomanga) yang dianggap sebagai pemilik obat (o houru ma dutu). Tubuh o gomatere sebagai medium dari roh leluhur akan memberikan keterangan dan petunjuk-petunjuk tentang penyakit yang diderita, faktor-faktor penyebabnya, jenis obat yang akan diberikan dan cara pengobatannya. Masih berkaitan dengan ritual pencegahan dan penyembuhan penyakit tersebut di atas, penelitian tesis La Ode Aris (2010) di Desa Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, juga mengkaji tentang Ritual Kaago-ago, sebagai sebuah ritual pencegahan penyakit pada orang Muna. Ritual ini dilakukan dua kali dalam satu tahun yang disesuaikan dengan pergantian musim, yaitu sebelum datangnya musim barat dan musim timur. Orang Muna masih meyakini bahwa pergantian musim dapat membawa penyakit atau menyebabkan penyakit, oleh karena itu harus dilaksanakan ritual Kaago-ago untuk pencegahan penyakit. Penyakit Nomaigo nekawea (berasal dari angin) oleh orang Muna diyakini, bahwasanya penyakit itu berasal dari angin yang disebabkan oleh agen tertentu berupa mahluk bukan manusia, dengan demikian ritual tersebut dapat menghindarkan mereka dari gangguan dalam bentuk menyebarkan penyakit kepada manusia. Pada penelitian tersebut sangat menonjolkan sistem medis tradisional pada orang Muna yang begitu personalistik, atas dasar pemaknaan ritual Kaago-ago yang melatar belakangi pemahaman bahwa setiap penyakit disebabkan oleh mahluk supranatural, sehingga pengobatannya juga harus menggunakan jasa para dukun atau shaman. Di dalam penelitian tersebut, belum diungkapkan penyakit-penyakit apa saja
11
yang ditimbulkan oleh pergantian musim bila tidak melaksanakan ritual Kaago-ago, serta belum mengkategorikan penyakit-penyakit yang muncul dan bagaimana cara pengobatannya. Sehubungan dengan pelaksanaan ritual-ritual untuk pengobatan penyakit tersebut, ternyata etiologi penyakit personalistik tidak saja disebabkan oleh agen-agen yang
supranatural,
nonsupranatural.
melainkan
ada
sebab-sebab
penyakit
yang
bersifat
Penelitian tesis Yosefina Griapon (2005) tentang Pengetahuan
Lokal, Sikap dan Prilaku Masyarakat Ganyem Terhadap Penyakit di Desa Gemebs Distrik
Nimboran
Jayapura,
mengkaji
tentang
penyakit
dan
proses
penyembuhannya dari pemahaman (perspektif) lokal masyarakat. Pemahaman lokal terhadap penyakit berhubungan dengan konsep “salah” atau melanggar aturan dalam melakukan aktivitas keseharian. Munculnya penyakit selalu dikaitkan dengan konsep salah makan, salah tempat, salah waktu dan salah jalan. Di dalam penelitian ini lebih banyak difokuskan pada etiologi penyakit secara personalistik dibandingkan dengan sebab-sebab yang lebih naturalistik. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat Ganyem, bahwasanya penyakit yang diderita oleh warga pada umumnya lebih bersifat personalistik. Namun demikian ada juga penyakit dalam masyarakat Ganyem yang penyebabnya bersifat naturalistik, namun tidak dijelaskan lebih detail. Penyakit
dengan
etiologi
personalistik
dan
naturalistik
proses
penyembuhannya dalam pandangan masyarakat tidak saling terpisah, keduanya memiliki hubungan yang saling melengkapi. Hal ini bisa terlihat pada penelitian yang dilakukan Suhadi H.P. dkk (1991) tentang sistem pengobatan tradisional pada orang
12
Sumbawa. Penyebab penyakit bermacam-macam, ada yang dari Tuhan dan ada yang dari syetan. Oleh karena itu para dukun dalam pengobatannya selalu memohon kepada Tuhan dengan membaca mantra pada ramuan obat, kalau penyakit yang diobati tidak kunjung sembuh berarti penyakit tersebut berasal dari syetan. Dengan demikian penyembuhannya harus menggunakan cara mengusir syetan terlebih dahulu dengan keahlian khusus. Penyakit yang dapat segera disembuhkan diyakini barasal dari Tuhan. Noer Muhammad, dkk (1992) melakukan penelitian tentang pengobatan tradisional pada masyarakat Pangean
di daerah Riau. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa masyarakat Pangean masih sangat percaya terhadap peran pengobat tradisional dalam mengobati semua jenis penyakit. Hal ini disebabkan oleh mantra dan ramuan akan disesuaikan dengan jenis penyakit serta penyebab penyakitnya. Syahrudin Lubis dkk, (1996) melakukan penelitian tentang Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Pedesaan daerah Sumatera Utara, tepatnya di Desa Sibinail Kecamatan Muarasipongi Kabupaten Tapanuli Selatan. Masyarakat Desa Sibinail melihat persoalan sehat dan sakit dikaitkan dengan aktivitas hidup seharihari. Mereka memandang bahwa sakit dan sehat bukan didasarkan pada penekanan yang abstrak, akan tetapi orang yang sehat dan sakit adalah orang yang merasakan ada dan tidak adanya gangguan dalam tubuh ketika melaksanakan aktivitasnya. Konsepsi masyarakat tentang sakit adalah, jika seseorang mengalami gangguan dalam tubuhnya tetapi kalau masih mampu untuk bekerja maka tidaklah dianggap sakit. Masyarakat Desa Sibinail mengenal istilah maido yang padanannya
13
dalam bahasa indonesia adalah “kurang enak badan” konsep maido berbeda dengan konsep sakit, karena diartikan sebagai keadaan dalam diri seseorang yang sifatnya kurang enak atau kurang bergairah dalam melakukan pekerjaan. Menurut masyarakat setempat maido dapat dikategorikan sebagai kondisi pra-sakit. Pandangan masyarakat Sibinail tentang penyakit dapat dikategorikan atas dua bagian, pertama adalah konsep keseimbangan (equilibrium) bahwa tubuh manusia terdiri dari empat unsur, yakni unsur tanah (daging), unsur air (cairan tubuh), panas (api) dan angin (nafas). Kalau seseorang sakit maka ada unsur yang tidak seimbang. Berdasarkan konsep tersebut, seseorang yang sakit harus diobati dengan berbagai ramuan yang dalam bahasa setempat disebut pulungan yang bertujuan untuk menyeimbangkan kembali unsur-unsur yang tidak seimbang. Pandangan yang kedua berkaitan dengan etiologi penyakit, etiologi penyakit itu sendiri dibagi menjadi dua bagian, yakni secara fisik dan nonfisik. Faktor fisik oleh masyarakat diartikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh gejala-gejala alam (seperti angin, panas, dingin, lembab dan basah). Sedangkan faktor non fisik adalah penyakit yang oleh pandangan masyarakat disebabkan oleh mahluk halus (seperti roh, setan atau kekuatan gaib lainnya). Untuk pengobatannya harus menggunakan jampi atau mantra agar bisa mengusir penyakit. Pengobatan tetap menggunakan pulungan, tetapi menurut mereka ramuan pulungan tidak sebagai penyembuh utama, melainkan hanya sebagai pembawa (motor) jampi atau mantra ke dalam tubuh. Berdasarkan pandangan yang kedua ini, umumnya pengobatan berbagai jenis penyakit selalu
14
menggunakan jampi, biasanya seorang dukun (dotu) memiliki berbagai jenis jampi yang sesuai dengan jenis penyakit dan penyebabnya. Pengobatan tradisional dengan menggunakan metode jampi dan ramuan ternyata tetap masih dipertahankan, walaupun dalam komunitas tersebut telah diperkenalkan sistem medis modern. Bahkan pada situasi-situasi tertentu bisa terjadi penolakan terhadap sistem medis modern dengan berbagai alasan. Erson Sirait (2009) dalam disertasinya yang mengkaji tentang Sando dan Dokter (Kontestasi Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Modern di Sulawesi Tengah, membicarakan masalah prilaku masyarakat Kaili Da’a dalam mencari pelayanan kesehatan, yang berawal dari masalah adanya kelompok masyarakat yang terkendala mengakses pelayanan kesehatan modern, sehingga mereka mengobati sendiri penyakitnya dengan cara-cara tradisional berdasarkan pengetahuan yang diwariskan secara-turun temurun. Dari hasil kajiannya terungkap bahwa, masyarakat Kaili Da‟a lebih cenderung memilih melakukan penyembuhan penyakitnya dengan berobat sendiri secara tradisional dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki uang untuk membayar obat, jam pelayanan Puskesmas yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dan juga masih adanya pemahaman dari masyarakat bahwasanya berobat di Puskesmas merupakan salah satu alternatif karena masih lebih mengutamakan pengobatan dengan cara tradisional. Mengadopsi perawatan kesehatan modern masih terdapat hambatan-hambatan kebudayaan, sosial dan psikologis. Seperti yang dikemukakan oleh Foster , persoalan biaya-biaya ekonomis dan sosial (economic and social values) merupakan faktorfaktor yang lebih menonjol dan menentukan penerimaan atau penolakan perawatan
15
medis modern. Utamanya pada masyarakat tradisional yang sudah relatif lama telah mengenal dan merasakan faedah dari perawatan medis modern. Pada masyarakat tradisional (tipe of
tribal community) yang belum lama mengenal perawatan
kesehatan modern tetap akan terjadi konflik kepercayaan. (Kalangi, 1994 : 153). Terkait dengan sistem perawatan kesehatan tradisional dan modern pada sebuah komunitas, dapat dilihat pada penelitian Myrnawati (1993) yang melakukan penelitian terhadap prilaku sehat masyarakat terasing pada suku Anak Dalam. Hasil penelitian tersebut banyak mengemukakan hal-hal yang menyangkut prilaku masyarakat suku Anak Dalam yang berkaitan dengan persoalan kesehatannya. Persoalan kesehatan yang dihadapi tidak lepas dari pandangan atau persepsi mereka tentang kesehatan yang diwujudkan dalam bentuk prilaku (prilaku kesehatan). Dalam pandangan mereka, apabila seseorang menderita sakit, maka dianggap mendapat sial, diganggu oleh Dewo. Untuk itu mereka selalu melakukan upacara basale5 pada setiap ada warga yang sakit keras, agar bisa mendeteksi apakah masih bisa ditolong atau dibiarkan saja. Menurut kepercayaan mereka seseorang yang akan mati tidak bisa ditahan oleh siapapun juga. Sakit karena didera oleh penyakit apapun dianggap sebagai pangkal kesialan, sehingga harus dijauhi. Tradisi melangun pada suku Anak Dalam merupakan salah satu cara untuk menghindari berjangkitnya penyakit yang diderita oleh seseorang dan
5
. Upacara pengobatan yang dipandu oleh dukun (Tumenggung) untuk memutuskan seseorang yang sakit masih bisa diobati atau tidak. Apabila sudah tidak bisa diobati maka orang yang sakit tersebut akan dipindahkan kedalam pondok kecil yang terpisah dari pemukiman induk sampai saatnya meninggal.
16
akhirnya meninggal. Sistem pengobatan pada suku Anak Dalam juga menggunakan ramuan-ramuan yang diramu oleh seorang dukun, namun setiap penyakit yang diderita tetap dikaitkan dengan etiologi personalistik. Suku Anak Dalam di antaranya telah ada yang mengenal sistem pengobatan modern (paramedik) namun sering terjadi penolakan-penolakan karena terdapat berbagai hambatan sosial budaya dan ekonomi. Angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) pada suku bangsa yang masih hidup terpencil (suku terasing) tergolong tinggi, karena dipicu oleh derajat kesehatan mereka yang tergolong rendah. Hasil penelitian dari Mus Huliselan (1979) mengungkapkan bahwa, masalah kependudukan pada orang Tugutil yang mendiami wilayah hutan Dodaga dan Tutuling adalah adanya angka kematian warga yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan angka kelahiran (Natalitas)6. Diduga salah satu pemicu angka kematian yang cukup tinggi tersebut adalah menurunnya derajat
kesehatan,
karena
dilaksanakannya
program
pemukiman
kembali
(Resetlement). Akibat dari program pemukiman tersebut, mereka harus meninggalkan beberapa kebiasaan yang berhubungan dengan pola mencari nafkah yang berimbas pada terjadinya perubahan dalam pola dan jenis makanan yang dikonsumsi. Hal tesebut berdampak pada kesehatan mereka, karena mereka dengan mudah terserang beberapa penyakit, seperti penyakit kulit, TBC, malaria dan rematik. Anak-anak sering dihinggapi penyakit cacing dan kekurangan gizi. Dalam kondisi tersebut 6
. Hasil pencacahan jiwa tahun 1977 jumlah orang Tugutil di hutan Dodaga dan Tutuling adalah 295 jiwa, dalam satu tahun tercatat angka kematian sebanyak sepuluh orang dan terdapat lima orang yang lahir (Huliselan, 1979).
17
tingkat kematian bayi dan anak-anak di bawah usia lima tahun relatif tinggi yang disebabkan kurangnya perawatan, di samping itu rendahnya tingkat kesehatan dan gizi makanan, (Martodirjo, 1994). Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah ditunjukan sebelumnya, bahwasanya kajian tentang aspek kesehatan pada sebuah komunitas dari perspektif antropologi telah banyak dilakukan. Namun dalam penelitian ini saya mencoba untuk melihat masalah kesehatan pada orang Tugutil melalui sistem pengetahuan mereka. Berangkat dari pemikiran bahwa manusia beradaptasi dengan lingkungannya melalui mekanisme kebudayaan yang mereka miliki, oleh karena itu setiap bentuk adaptasi pada sebuah masyarakat memiliki keunikan. Upaya ini memungkinkan untuk mengungkap permasalahan dari sudut pandang masyarakat setempat sebagai pelaku budaya.
E. Kerangka Teori Kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, menjadi acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sistem kesehatan dalam kaitannya dengan sistem penyembuhan atau pengobatan terhadap penyakit pada sebuah komunitas. Dalam penelitian ini akan dlihat sistem pengetahuan sebuah komunitas, tentang bagaimana mengoperasionalisasikan sistem pengetahuan tersebut dalam menghadapi kendalakendala kesehatannya. Penelitian ini, akan mengkaji prilaku pengobatan penyakit karena sebabsebab personalistik dan naturalistik pada orang Tugutil di Pulau Halmahera. Selain itu
18
juga ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi prilaku-prilaku tersebut. Penelitian akan mengikuti tradisi antropologi kognitif (cognitive anthropology) atau etnosains (ethnoscience). Dalam etnosains akan memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan (Marzali, 1997 : via Spradley, 1997). Aliran etnosains adalah sebuah pendekatan dalam antropologi yang berusaha untuk mengetahui sistem pengetahuan yang mendasari tingkah laku individu dalam masyarakat (bdk. Ahimsa-Putra, 1985). Selanjutnya, Ahimsa Putra (1985 : 104 – 111) juga mengatakan bahwa penelitian yang menggunakan pendekatan etnosains lebih memfokuskan diri pada makna-makna yang diberikan oleh individu-individu terhadap tindakannya dan juga pada sistem klasifikasi suatu masyarakat. Pendekatan etnosains tidak mempersoalkan salah atau benar pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, menurut pandangan luar (outsider), tetapi mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-pandangan mereka (Ahimsa-Putra, 1985 : 104). Berangkat dari pemikiran di atas, dan terkait dengan fokus kajian, maka penelitian ini mencoba untuk memahami bagaimana sebuah komunitas yang
masih hidup terpencil
menghadapi tantangan lingkungan (lingkungan kesehatan) sesuai dengan persepsi dan pengalaman mereka sendiri, maka dibutuhkan pendekatan yang layak terhadap kajian ini. Untuk itu pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan etnomedisin.
19
1. Etnomedisin Penelitian kesehatan dalam bidang antropologi adalah penelitian yang menyoroti aspek kesehatan dari perspektif sosial budaya. Dalam antropologi kesehatan itu sendiri terdapat bagian khusus yang mempelajari sistem medis pribumi dikenal dengan istilah “etnomedisin”. Menurut Huges (1968), etnomedisin adalah kepercayaan dan praktik-praktik yang berkenaan dengan penyakit yang merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan ekplisit, tidak berasal dari kerangka konseptual kedokteran modern (dalam Foster dan Anderson,1986 : 6). Lieban (1977) etnomedisin adalah pengobatan rakyat, kalisifikasi penyakit yang berbeda serta terapi dan pencegahan secara tradisional (Heggenhougen dan Draper, 1990 : 2). Kajian ini penekanannya pada dua hal, yakni: pengetahuan dan prilaku masyarakat dalam strategi pencegahan dan penyembuhan penyakit. Menurut George M. Foster dan Barbara G. Anderson, penyakit merupakan bagian dari lingkungan manusia, pada satu tingkatan penyakit jelas bersifat biologis, namun pada kenyataannya faktor sosial, psikologi dan budaya juga memainkan peran dalam mencetuskan penyakit. Cara-cara perawatan (penyembuhan) adalah benar-benar merupakan kebudayaan. (1986 : 15). Menurut Pallegrino (1963) setiap kebudayaan memiliki dan mengembangkan suatu sistem medis. Sistem medis sangat penting dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu masyarakat. Oleh karena itu sistem medis dalam sebuah masyarakat selalu disesuaikan dengan pandangan dari masyarakat yang bersangkutan. Selanjutnya, bahwa tingkah laku medis dari individu-individu dan kelompok-
20
kelompok tidak akan bisa dimengerti jika dilihat secara terpisah dari sejarah kebudayaan masyarakat tersebut. Hal ini disebabkan karena sistem medis merupakan bagian integral dari kebudayaan. (dalam Foster dan Anderson, 1986 : 48-49).
2. Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit Usaha kesehatan yang dilakukan suatu masyarakat tidak lepas dari pemahaman masyarakat tersebut terhadap konsep sehat dan sakit. Pendukung kebudayaan yang berbeda akan menafsirkan dua konsep ini juga secara berbeda. Bahkan gejala-gejala sakit dan penyakit yang yang sama dapat ditanggapi dan ditafsirkan secara berbeda oleh kelompok masyarakat yang berbeda (Ahimsa-Putra, 1995 : 3). Di sisi lain, masalah sehat dan sakit merupakan proses kemampuan dan ketidakmampuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis dan sosial budaya. Dalam upaya untuk menjelaskan konsep sehat dan sakit serta cara penyembuhannya, kita tidak bisa melepaskan diri dari sistem pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang hal-hal yang menyebabkan sakit dan bagaimana munculnya suatu penyakit. Dalam sistem medis tradisional, terdapat perbedaan makna terhadap konsep sakit (illness) dan penyakit (disease). Terutama pada penelitian-penelitian yang mengkaji sistem medis tradisional, batasan konsep sakit dan penyakit menurut suatu masyarakat sangat penting, agar bisa mendapatkan konsep sehat yang berkembang dalam masyarakat. Pemahaman yang tepat dan jelas
21
mengenai konsep sehat, sakit dan penyakit, akan mengantarkan kita untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai sistem medis suatu masyarakat. Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit, sifatnya tidaklah selalu obyektif. Bahkan lebih banyak unsur subyektif dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat atau sakit sangat dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, di samping unsur sosial budaya. Secara ilmiah penyakit (disease) itu diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Jadi penyakit itu lebih bersifat obyektif. Sebaliknya, sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 2007 : 31). Konsep sakit dan penyakit, untuk setiap individu atau kelompok masyarakat yang berbeda akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Hal ini akan berdampak pada upaya penyembuhan dan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat. Konsep disease dan illness dalam masyarakat, menurut Nanik Kasniah (2009) dapat dibagi menjadi dua. Yakni “disease without illness and illness without disease”, seseorang yang secara klinis memang terdapat penyakit di tubuhnya namun tidak merasakan sakit, dan sebaliknya seseorang yang secara klinis tidak ditemukan penyakit namun dia merasa sakit sehingga tidak mampu beraktivitas. Dalam masyarakat yang masih hidup dengan sistem medis tradisional mengaitkan illness without disease sebagai penyakit yang diakibatkan oleh sebab-sebab supernatural atau personalistik.
22
3. Personalistik dan Naturalistik Dalam sistem medis non barat (non-western medicine system) terdapat dua sistem medis. Foster dan Anderson mengusulkan untuk pembagian tersebut dengan istilah personalistik dan naturalistik. Sistem medis personalistik melihat penyakit (disease) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (makhluk gaib atau dewa) mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur atau roh jahat) maupun mahuk manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Sistem medis naturalistik, penyakit dijelaskan dengan istilah yang lebih sistemik dan bukan pribadi. Sistem naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan (equilibrium), sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh. Unsur-unsur dalam tubuh seperti (panas, dingin, cairan tubuh, yin dan yang), berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka hasilnya adalah timbulnya penyakit (1986 : 63 - 64). Naturalistik menurut Seijas (1973) penjelasan seluruhnya didasarkan atas hubungan sebab akibat yang dapat diobservasi, lepas dari persoalan apakah hubungan yang terbentuk itu keliru atau tidak, disebabkan oleh observasi yang tidak lengkap atau keliru (1986 : 63 - 64) Menurut Foster dan Anderson, bahwa sistem-sistem personalistik adalah lebih kompleks, dalam arti bahwa dua tingkatan kausalitas atau lebih dapat dibedakan, dan dalam usaha penyembuhan tingkatan ini harus diperhitungkan. Paling sedikit dapat dibedakan antara agen personal (dukun sihir, hantu atau dewa), dan tekhnik yang digunakan oleh agen tersebut (pemasukan objek penyakit, racun, pencurian jiwa,
23
kesurupan atau ilmu sihir). Selanjutnya, sistem etiologi personalistik dan naturalistik dapat dibedakan berdasarkan teknik-teknik diagnosis. Dalam personalistik diinginkan shaman atau dukun sihir memiliki kekuatan besar, untuk dapat mengidentifikasi agen penyebab, sedangkan diagnosis itu sendiri merupakan hal yang kurang penting dalam sistem-naturalistik (1986 : 82 - 83). Pada sebuah komunitas yang belum tersentuh dengan sarana dan fasilitas kesehatan modern, akan tetap mengandalkan sistem pengobatan tradisonalnya yang lebih cenderung pada sistem medis personalistik. Penelitian Paul C.Y. Chen di wilayah komunitas pedeasaan Melayu di Malaysia tentang pemahaman masyarakat pribumi terhadap penyakit pada anak-anak, masih ditemukan keyakinan-keyakinan tradisional yang sangat kuat, walaupun dalam masyarakat tersebut telah tersentuh sistem medis modern. Bagi orang Melayu, penyakit dengan sebab-sebab personalistik atau supernatural, dianggap sebagai tindakan sadar dan disengaja, di mana kebaikan dan kejahatan
dengan inisiatif sendiri digerakkan oleh manusia. Sebab-sebab
supernatural termasuk aktivitas berbagai macam roh, penggunaan sihir, dan kemurkaan Tuhan. Sedangkan sebab-sebab fisik (naturalistic) diyakini merupakan tindakan yang tidak disadari atau tidak diketahui, apalagi penyebabnya seperti cacing atau kuman (1970 : 33-37).
4. Pencegahan dan Penyembuhan Di dalam masyarakat masalah kesehatan tidak hanya dipahami sebagai masalah fisik, karena pada kenyataannya kesehatan tubuh sedikit banyaknya terkait
24
dengan hal-hal yang non fisik. Tidak mengherankan bilamana kesehatan fisik yang terkait dengan kesehatan psikis, banyak dikaitkan dengan kondisi sosial budaya dalam suatu masyarakat. Upaya penyembuhan penyakit dalam setiap masyarakat merupakan sebuah gejala yang berbeda. Penyembuhan itu sendiri merupakan sebuah proses, cara atau perbuatan menjadikan orang yang sakit atau terganggu kesehatannya menjadi sehat kembali. Menurut Ahimsa-Putra, upaya penyembuhan penyakit itu sangat bervariasi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Pemahaman semacam inilah yang menjadi salah satu pemicu utama munculnya kajian-kajian kesehatan dengan perspektif sosial budaya (2005 : 13-14) Masyarakat di negara-negara maju, sistem kesehatan formalnya dibagi menjadi sub-sub sistem. Sedangkan dalam masyarakat yang teknologinya lebih sederhana sistem kesehatannya juga masih sederhana. Walaupun demikian, sistem kesehatan pada suatu masyarakat yang kompleks maupun masih sederhana menurut Foster dan Anderson dapat dipecah ke dalam dua kategori besar, yakni sistem teori penyakit dan sistem perawatan kesehatan. kepercayaan-kepercayaan
mengenai
Suatu sistem teori penyakit meliputi
ciri-ciri
sehat,
sebab-sebab
sakit,
serta
pengobatan dan teknik-teknik penyembuhannya. Sistem teori penyakit berkenan dengan kausalitas, penjelasan yang diberikan oleh penduduk mengenai hilangnya kesehatan dan mengenai gangguan keseimbangan antara unsur panas dingin dalam tubuh.
Suatu sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata sosial yang
melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan penyembuh. Fungsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk
25
memobilisasi sumber-sumber daya pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya untuk menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut.(1986 : 45-46). Sistem perawatan kesehatan mengintegrasikan unsur-unsur yang berhubungan dengan kesehatan yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan tentang kausalitas ketidaksehatan, aturan dan alasan pemilihan dan penilaian perawatan, kedudukan dan peranan, kekuasaan, latar interaksi, pranata-pranata, dan jenis-jenis sumber serta praktisi perawat yang tersedia. Sistem perawatan kesehatan memberikan pemahaman bagaimana pelaku-pelaku dalam masyarakat tertentu memikirkan mengenai perawatan kesehatan dan cara-cara bertindak dalam kenyataan komponen-komponen yang dimaksud, untuk memecahkan masalah utama yaitu penyembuhan (Kalangie, 1994 : 25)
5. Kerangka Pemikiran Mengacu
pada
uraian-uraian
sebelumnya,
untuk
menganalisis
dan
menjelaskan sebab-sebab sakit dalam perspektif lokal, dan strategi penyembuhan penyakit dengan etiologi personalistik dan naturalistik menurut konsep lokal yang dijadikan topik dalam penelitian ini. Untuk itu dapat digambarkan dalam kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
26
Faktor-Faktor Penyebab Sakit :
Gejala Awal Sakit (symptoms) 1. Tidak bisa bekerja 2. Tidak bergairah 3. Kurang nafsu makan 4. Perbuatan menyimpang
Sebab Personalistik 1. Tuhan/jou madutu 2. Roh-roh leluhur/gomanga 3. Manusia/nyawa madorou 4. Roh-roh jahat/dilikene 5. Iblis/ hetana
Sebab Naturalistik 1. Makanan Tertentu 2. Panas dan dingin 3. Angin 4. Kuman 5. Matahari dan hujan
S a k i t Sumber : Paul C.Y. Chen (1970:36).
1. Gejala awal sakit atau Pra-sakit (symptoms) adalah sebagai kondisi atau gejala-gejala awal dari seseorang (fisik dam psikis) yang memperlihatkan keadaan tidak seperti biasanya, misalnya : (a). Kehilangan semangat atau tidak bergairah; (b). Tidak bisa beraktivitas seperti biasanya; (c). Terdapat prilaku-prilaku menyimpang (incorrect behaviour); (d). Kurang nafsu makan, dan lain-lain.
27
2. Sebab personalistik (supernatural causes), adalah gejala-gejala penyakit yang dianggap berasal dari roh-roh halus dengan sifat jahat yang berada di sekitar tempat tinggal mereka, atau juga berasal dari perbuatan jahat manusia dengan cara mengirimkan penyakit atau racun melalui media berupa angin, asap, baubauan atau benda-benda keras lainnya. 3. Sebab naturalistik (naturalistic causes) adalah gejala-gejala penyakit yang mereka pahami secara lebih rasional, atau bisa dijelaskan hubungan sebab akibatnya (kausalitas). Penyakit yang muncul karena mengkonsumsi makanan tertentu, unsur panas dan dingin dalam tubuh, hujan dan sinar matahari, angin, dan trauma fisik (seperti kecelakaan, digigit binatang, terbakar, luka terkena benda tajam, dan cedera fisik yang lainnya). 4. Sakit (illness) adalah tidak adanya keselarasan antara lingkungan dengan individu, yang membuat keadaan seseorang menjadi tidak menyenangkan sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas jasmani, rohani dan sosial ( Parkins, 1935 : via Maryani dan Mulyani, 2010 : 24)
F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dasar (basic research). Dalam peta paradigma penelitian sosial budaya, penelitian ini termasuk pada jenis penelitian etnosains. Secara epistemologis, penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam penelitian fenomenologis. Dalam penelitian fenomenologis, fokus kajian mencakup dua hal, yakni : penelitian tentang prilaku dan kebudayaan (Ahimsa-Putra, 2007 : 41-
28
44). Mengacu pada dua hal tersebut, maka dalam penelitian ini akan mencoba untuk mengkaji sistem pengetahuan dan paraktik atau prilaku pencegahan dan pengobatan penyakit pada komunitas orang Tugutil di Pulau Halmahera. Penelitian dengan pendekatan fenomenologis lebih menekankan pada pandangan warga setempat (emic view). Peneliti harus berusaha masuk pada subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga bisa dimengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam hidup sehari-hari. Karena subyek yang diteliti dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan pengalamannya melalui proses interaksi (Endraswara, 2006 : 44). Di bawah ini akan disajikan tentang metode yang akan ditempuh dalam proses penelitian ini. 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada komunitas Tugutil penghuni kesatuan hutan Dodaga Dusun Totodoku Desa Dodaga Kecamatan Wasile Timur Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara. Alasan yang mendasari atas pemilihan lokasi pada komunitas Tugutil Totodoku, karena komunitas Tugutil Totodoku secara turun temurun masih kuat mempertahankan adat istiadat warisan leluhurnya yang dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life). Di samping itu, komunitas Tugutil di Dusun Totodoku walaupun sudah mulai tersentuh dengan sistem medis modern, namun dalam persoalan sistem kesehatannya, mereka masih cenderung melakukan pencegahan dan pengobatan sendiri penyakitnya dengan cara-cara tradisional.
29
2. Pemilihan Informan Informan adalah orang-orang yang dianggap mengetahui dengan baik dan benar permasalahan yang ada dalam masyarakat serta bersedia memberikan informasi kepada peneliti. Pada prinsipnya seorang informan yang baik harus paham terhadap budayanya,dengan begitu baik tanpa harus memikirkannya. Mereka melakukan berbagai hal secara otomatis dari tahun ke tahun (Spradley (1997 : 62-63). Menurut Koentjaraningrat, informan kunci atau informan pangkal adalah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai sektor dalam masyarakat, dan memiliki kemampuan untuk mengintroduksikan peneliti kepada informan lain yang merupakan ahli tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin kita ketahui (1991: 130) Berdasarkan pendapat tersebut, informan kunci yang dipilih dalam penelitian ini adalah para tetua adat atau yang dituakan (dimono) dukun (ohouru manyawa atau hou-houru) dan shaman (ogomatere) yang lebih banyak mengetahui tentang pencegahan dan penyembuhan penyakit dalam komunitas. Selain itu juga para tokoh masyarakat di dusun maupun di desa induk, seperti pendeta atau guru agama, kepala dusun dan kepala desa, camat dan dokter Puskesmas. Informan kunci adalah orang yang dapat berceritera secara mudah, paham terhadap informasi yang kita butuhkan dan dengan senang hati memberikan informasi kepada peneliti (Endraswara, 2006: 56). Komunitas Tugutil
di Dusun Totodoku
yang menjadi lokasi penelitian
seluruhnya berjumlah 32 kepala keluarga, dengan demikian memungkinkan dalam
30
proses pengambilan data seluruhnya bisa dilibatkan dengan menyesuaikan kebutuhan data. Kalau sampai tidak memungkinkan, informan yang diambil pada setiap keluarga akan dilakukan melalui proses seleksi. Informan yang dijadikan sebagai unit analisis dalam penelitian ini adalah tiap kepala keluarga, baik itu terhadap para suami maupun istri. Karena mereka adalah pengambil keputusan dalam keluarga. keputusan yang dimaksud adalah keputusan
berkaitan dengan penyembuhan atau pengobatan
penyakit dalam keluarga. Pengumpulan data di lapangan yang pada rencana semula akan melibatkan seluruh kepala keluarga di Dusun Totodoku, ternyata tidak bisa dilakukan karena disebabkan oleh warga yang masuk hutan dan meninggalkan lokasi pemukiman dalam jangka waktu yang lama, dan tidak ada informasi yang pasti kapan mereka kembali ke pemukiman. Jumlah kepala keluarga yang bisa ditemui dan dijadikan informan adalah 21 kepala keluarga, di dalamnya sudah termasuk kepala keluarga yang tergolong sebagai dukun, shaman, dan guru jemaat (pendeta).
3. Pengumpulan Data Data kualitatif yang dikumpulkan berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan dari suatu gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan yang lain. Sesuatu itu bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola prilaku, gagasan-gagasan, atau nilai-nilai, bisa pula peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat (Ahimsa-Putra, 2007 : 19).
31
Terdapat beberapa hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah: (a). Sistem pengetahuan masyarakat yang diteliti terhadap lingkungannya (lingkungan kesehatan). (b). Berbagai bentuk prilaku pemanfaatan sumber daya lingkungan alam dan sosial oleh masyarakat setempat, dalam rangka mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapi. (c). Cara-cara yang ditempuh oleh masyarakat setempat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit yang diderita. Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : (a). Observasi partisipasi, (b). Wawancara, dan (c). Dokumentasi. Ketiganya akan dijelaskan sebagai berikut :
(a). Observasi Partisipasi Metode observasi partisipasi (participant observation) merupakan salah satu metode utama dalam pengumpulan data yang digunakan. Pengamatan terlibat dilakukan agar bisa ikut merasakan, melihat dan terlibat dalam aktivitas mereka. Observasi partsipasi pada satu pihak merupakan “orang dalam” yang merasakan dan mengalami situasi secara pribadi. Di lain pihak pengamat juga sebagai “orang luar” yang dapat mengamati situasi dengan sikap yang lebih objektif (Nasution, 1988 : 60 61). Pengumpulan data dengan metode partisipasi observasi, diharapkan peneliti dapat memperoleh data-data empiris dan konkrit tentang aktivitas mereka yang berkaitan dengan proses pencegahan dan penyembuhan penyakit. Observasi partisipasi merupakan teknik penelitian yang dicirikan oleh adanya interaksi sosial yang intensif antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti. Peneliti (observer) menceburkan diri dalam kehidupan masyarakat, bergaul, menyatu dan
32
sama terlibat dalam pengalaman yang sama (Mantra, 2008 : 30). Data observasi meliputi berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari warga komunitas. Beberapa di antaranya adalah kondisi lingkungan alam, pola pemukiman, organisasi sosial, interaksi antar warga komunitas, serta praktik pencegahan dan penyembuhan penyakit dalam komunitas. Melalui teknik observasi partisipasi juga akan menemukan hal-hal yang sebelumnya belum atau tidak diungkapkan oleh mereka selama proses wawancara. (b). Wawancara Wawancara adalah satu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, peneliti mendapat keterangan atau pendirian secara lisan dari sasaran penelitian (responden atau informan). Wawancara sebagai pembantu utama dari metode observasi. Gejala-gejala sosial yang tidak dapat terlihat atau diperoleh melalui observasi dapat digali dari wawancara (Notoatmojdo, 2005 : 102). Observasi saja tidak memadai dalam melakukan penelitian. Karena mengamati kegiatan dan kelakuan orang saja tidak dapat mengungkapkan apa yang diamati atau dirasakan orang lain. Itu sebabnya observasi harus dilengkapi dengan wawancara. Dengan wawancara kita bisa memasuki dunia pikiran dan perasaan responden (Nasution, 1988 : 69). Data-data wawancara menyangkut topik-topik yang berkaitan dengan pandangan, persepsi, dan tanggapan-tanggapan dari warga komunitas tentang lingkungannya (lingkungan kesehatan) yang berkaitan dengan berbagai permasalahan
33
menyangkut pencegahan dan pengobatan penyakit. Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap informan-informan kunci (key informan). (c). Dokumentasi Dokumentasi di sini dimaksudkan untuk melengkapi data-data yang diperoleh dengan cara observasi dan wawancara. Dokumentasi lebih kepada perolehan data secara visual dengan peralatan bantu berupa kamera dan video. Peralatan kamera digunakan untuk mendokumentasikan perilaku atau berbagai praktik yang berhubungan dengan aktivitas pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta aktivitas lainnya yang berkaitan dengan fokus penelitian ini. Teknik dokumentasi juga meliputi kajian terhadap berbagai sumber tulisan: jurnal, buku, laporan hasil penelitian, dan laporan hasil survey. Selain itu juga digunakan data atau informasi berupa catatan resmi atau publikasi yang bersumber dari instansi pemerintah dan swasta: Profil desa, kecamatan, dianas atau instansi terkait (dinas kesehatan, lingkungan hidup, kehutanan, dan lain-lain). 4. Teknik Analisis Data Data dari hasil partisipasi observasi dan wawancara dilanjutkan dengan proses analisis. Analisis adalah proses menyusun data agar bisa ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola, tema atau kategori. Tafsiran dan interpretasi untuk memberikan makna pada analisis, menjelaskan pola atau kategori dan mencari hubungan antara berbagai konsep (Nasution, 1988 : 126). Menurut Huberman dan Miles (Denzin dan Lincoln, 2009) analisis data terdiri dari tiga sub proses yang saling terkait: reduksi data, penyajian data, dan pengambilan keputusan/verifikasi. Ketiga
34
macam analisis tersebut, saling berhubungan dan berlangsung terus selama penelitian dilakukan. Proses sejak tahap sebelum pengumpulan data, sewaktu proses pengumpulan data sementara dan analisis awal, serta tahap pengumpulan data akhir. Reduksi data dilakukan ketika peneliti menentukan kerangka kerja konseptual. Jika hasil catatan lapangan, wawancara, rekaman, dan data lain yang telah tersedia, tahap seleksi data berikutnya adalah perangkuman data (data summary), pengkodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan (clustering), dan penyajian secara tertulis. Tahap penyajian data (data display) adalah tahap di mana peneliti mengkaji proses reduksi data sebagai dasar pemaknaan, sebagai konstruk informasi padat terstruktur yang memungkinkan pengambilan kesimpulan. Tahap pengambilan kesimpulan dan verifikasi ini melibatkan peneliti dalam proses interpretasi, penetapan makna dari data yang tersaji. Cara yang digunakan adalah merumuskan pola dan tema, pengelompokan dengan metode triangulasi, menindaklanjuti temuan-temuan dan cek-silang hasilnya dengan informan.
35