BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini yang lebih menekankan pada faktor pendidikan, karena beliau berharap apabila perempuan Indonesia mempunyai pendidikan, akan terbuka peluang bagi mereka untuk menjadi lebih bermartabat dan sejahtera. Setelah Indonesia merdeka, kaum perempuan tidak pernah berhenti berjuang bersama kaum laki-laki dalam mengisi kemerdekaan. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah atau swasta maupun masyarakat, sangat tergantung dari peran lakilaki dan perempuan. Menurut Dzuhayatin (1997) dalam Nauly (2002), pada kenyataannya, perempuan di Indonesia telah diberi peluang yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, namun persepsi masyarakat terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang berarti. Lebih lanjut Dzuhayatin (1997) dalam Nauly (2002) menjelaskan, masih kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada perempuan tujuannya adalah agar ia lebih mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan tetap saja dianggap sebagai the second sex. Perempuan direndahkan ketika ia hanya di rumah dan dieksploitasi ketika mereka berada di tempat kerja. Persepsi demikian tidak hanya dianut oleh kalangan awam, tetapi juga oleh para cendekiawan. Hal yang lebih memprihatinkan lagi yaitu pemerintah juga membenarkan persepsi tersebut dalam
1
kebijakan pembangunan yang diungkapkan dalam panca tugas perempuan: sebagai istri dan pendamping suami, sebagai pendidik dan pembina generasi muda, sebagai pekerja yang menambah penghasilan negara dan sebagai anggota organisasi masyarakat, khususnya organisasi perempuan dan organisasi sosial (Dzuhayatin 1997 dalam Nauly 2002). Transformasi dan partisipasi perempuan dituntut lebih aktif sejak kebijakan pemerintah yang dikeluarkan melalu Instruksi Presiden No.9/2000 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG). Dengan terbitnya Inpres ini, pemerintah diharuskan mereformulasi kebijakan yang bias gender menjadi responsif gender dan ini tercermin dalam program/proyek/kegiatan di berbagai bidang pembangunan. Berdasarkan Inpres No.9/2000 disebutkan bahwa gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Sedangkan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan juga keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dengan definisi tersebut maka perempuan, selain juga laki-laki, diharapkan dapat ikut serta secara aktif berkiprah dalam pembangunan sesuai dengan kemampuannya, jadi bukan berarti memberikan pengecualian ataupun kuota, khususnya pada perempuan. Strategi yang harus ditempuh agar kebijakan pembangunan nasional responsif gender adalah melalui pengarusutamaan gender. Oleh karena itu, melalui Inpres No. 9 tahun 2000, ditegaskan bahwa strategi pengarusutamaan gender adalah sebagai salah satu strategi pembangunan nasional.
2
Van Gliken (2004) dalam Effendi (2005) menyatakan bahwa pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni menciptakan, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (van Glinken 2004 dalam Effendi 2005). Maka bisa dipahami jika dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, pendidikan dalam arti proses maupun kelembagaannya dicatat sebagai motor penggerak sekaligus sumber inspirasi dari pergerakannya. Dalam hal ini tokoh-tokoh pergerakan nasional berkeyakinan, bahwa untuk menuju Indonesia merdeka dan mewujudkan cita-cita kemerdekaannya sebagaimana yang diabadikan dalam Pembukaan UUD. 1945, haruslah didukung oleh warga negaranya yang berpendidikan. Bahkan sejarah pergerakan nasional pun telah mencatat bahwa gerakan kebangkitan nasional bukanlah digerakkan oleh gegap gempitanya massa, melainkan oleh sekelompok pemuda, pelajar dan mahasiswa (Fajar 2008). Menurut Karsidi (2000), perguruan tinggi memiliki peranan makro, yaitu: 1. Perguruan tinggi memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi perubahan-perubahan suatu masyarakat. Peran dan fungsi perguruan tinggi dapat diwujudkan dalam bentuk membangun gerakan pembelajaran masyarakat untuk mendorong segera terciptanya transformasi sosial. 2. Kini, masih saja terjadi jarak yang lebar antara perguruan tinggi dengan basisbasis perubahan masyarakat yang ada. Tidaklah berlebihan sekiranya perguruan tinggi diharapkan dapat berperan lebih progresif dalam mempengaruhi perubahan masyarakat secara lebih sistematis dan berdampak luas di masa-masa mendatang. Untuk itu, kedekatan perguruan tinggi dan masyarakat harus diusahakan melalui program kemitraan kelompok-kelompok masyarakat dengan perguruan tinggi.
3
3. Perguruan tinggi dituntut untuk menentukan dan memilih kebijakan yang benarbenar strategis bagi perubahan-perubahan masyarakat yang lebih baik dan bagi penyelesaian masalah-masalah mendasar bangsa saat ini, baik di tingkat nasional maupun lokal. Namun demikian, kemajuan yang telah dicapai masih menyisakan permasalahan yang memprihatinkan, yaitu peranserta kaum perempuan belum dioptimalkan. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab, serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta dampak dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan. Salah satu penyebabnya adalah telah berakarnya pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan dari sisi adat, norma ataupun struktur masyarakatnya. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi masyarakat yang belum sadar gender mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sehingga terjadi diskriminasi terhadap laki-laki dan perempuan (BPS, 2006). Peran mahasiswa sangat penting dan strategis pada semua fungsi pendidikan. Dalam rangka mempersiapkan diri menuju kehidupan yang demokratis, yang di dalamnya antara lain ditandai oleh nilai-nilai kehidupan yang egalitarian, peran mahasiswa sangat penting sebagai agen sosialisasi gender. Mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperolehnya dari perkuliahan di Perguruan Tinggi.
4
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat merupakan salah satu departemen yang mengadakan Mata Kuliah Gender dan Pembangunan yang diharapkan berperan serta dalam membentuk mahasiswa yang dapat menjelaskan konsep dan perspektif gender, menemukan isu gender dalam pembangunan, serta memilih metode yang efektif untuk penelitian berorientasi gender. Sejauh ini masih belum banyak diketahui bagaimana persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender dan faktor-faktor apa saja yang dapat membentuk atau mempengaruhi persepsi mahasiswa tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti tingkat persepsi mahasiswa peserta Mata Kuliah Gender dan Pembangunan terhadap kesadaran gender.
1.2 Perumusan Masalah Sejauh ini persoalan gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari perspektif laki-laki sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang
diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber
dari kaum lelaki. Apabila kita ingin melihat persoalan gender secara lebih berimbang, tentu saja, kita perlu mengkaji apa sesungguhnya yang ada di "kepala" laki-laki dan perempuan tentang soal yang klasik ini. Dengan perkataan lain semestinya diperlukan perhatian yang lebih serius tentang isu-isu gender pada laki-laki, bukan melulu mendekati dari sisi perempuan.
5
Terkait
permasalahan gender di Indonesia, sampai sekarang hegemoni
pandangan mengenai perempuan sebagai ibu rumah tangga masih teramat kuat, sehingga baik pemerintah maupun media massa terus-menerus berbicara tentang peran ganda. Menurut Budiman (1985) dalam Nauly (2002) jika perempuan masih harus membagi hidupnya menjadi dua, satu di sektor domestik dan satu lagi di sektor publik, maka laki-laki yang mencurahkan perhatian sepenuhnya pada sektor publik akan selalu memenangkan persaingan di pasaran tenaga kerja. Tampaknya mustahil untuk mengatasi permasalahan gender ini hanya dari sudut pandang perempuan, atau dengan perkataan lain hanya dengan berusaha merubah perempuan sebagai individu, dan juga masalah tidak akan selesai hanya dengan menyalahkan laki-laki. Namun, penting untuk memahami laki-laki secara empatik, apa permasalahannya, bagaimana kaitannya dengan struktur patriarki masyarakat, yang tentunya terkait dengan budaya dari suatu masyarakatnya. Mahasiswa diharapkan dapat berubah dalam hal pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam peran gender, yaitu menjadi mahasiswa yang sadar gender. Berkaitan dengan kesadaran gender, mahasiswa sebagai praktisi akademis dirasa perlu untuk diukur persepsi terhadap kesadaran gendernya. Berkaitan dengan hal tersebut maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana persepsi mahasiswa peserta Mata Kuliah Gender dan Pembangunan terhadap kesadaran gender? 2. Bagaimana hubungan antara sosialisasi primer mahasiswa (jenis kelamin, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan tingkat penghasilan orang tua) dan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender?
6
3. Bagaimana hubungan antara sosialisasi sekunder mahasiswa (tempat tinggal, kegiatan organisasi, interaksi dengan media massa, hubungan dengan teman, nilai mutu gender, dan indeks prestasi kumulatif) dan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis: 1. Persepsi mahasiswa peserta Mata Kuliah Gender dan Pembangunan terhadap kesadaran gender. 2. Hubungan antara sosialisasi primer mahasiswa (jenis kelamin, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan tingkat penghasilan orang tua) dan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender. 3. Hubungan antara sosialisasi sekunder mahasiswa (tempat tinggal, kegiatan organisasi, interaksi dengan media massa, hubungan dengan teman, nilai mutu gender, dan indeks prestasi kumulatif) dan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender.
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang persepsi mahasiswa peserta Mata Kuliah Gender dan Pembangunan terhadap kesadaran gender mahasiswa, sehingga diharapkan dapat mendukung studi lain yang terkait dengan masalah gender.
7