BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Suku Minang atau Minangkabau adalah suku yang berasal dari Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau pada umunya memeluk agama Islam. Hanya sebagian kecil dari masyarakat Minangkabau yang tidak memeluk agama Islam. Sulit menentukan secara pasti kapan sebenarnya Islam masuk ke Minangkabau. Namun dari beberapa literatur, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Minangkabau pada awal abad ke-16. Ada tiga cara masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu melalui jalan dagang, saat pesisir Barat Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh dan penyiaran agama Islam melalui pesisir Timur. 1 Dari tiga cara masuknya Islam masuk atau datang ke Minangkabau, cara ketigalah yang paling lancar dibandingkan cara yang lainnya. Penyiaran agama Islam melalui pesisir Timur terjadi karena adanya hubungan antara alam Minangkabau dengan Negeri Sembilan. 2 Adanya hubungan saling mengunjungi antara Minangkabau dengan Negeri Sembilan. Hal ini dikarenakan pada abad ke-14 masehi, Islam sudah merata berkembang di Negeri Sembilan. Seorang yang berasal dari Siak (Minangkabau Timur) bernama Syekh Labai Panjang Janggut,
1
. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minagkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal.133-135. 2 . Ibid, hal.135.
Universitas Sumatera Utara
telah mempunyai pengatahuan yang cukup tentang agama di Negeri Sembilan yaitu agama Islam. Kemudian pulang ke Siak ( Minangkabau Timur ) dan bersama muridnya datang mengajarkan agama Islam hingga masuk pada wilayah bagian Minangkabau yang dalam. 3 Masuknya Islam dalam masyarakat adat Minangkabau juga dengan ditandai dengan perpindahan agama raja Angawarman Mahadewa yang sebelumnya beragama Budha, lalu memeluk agama Islam dengan mengganti namanya dengan Sultan Alif. 4 Maka secara resmi Islam telah masuk ke dalam lingkungan masyarakat Istana Pagaruyung. Dan setelah Sulthan Alif masuk Islam perombakan juga dilakukan dalam sturuktur pemerintahan sesuai dengan ajaran Islam. Mulai dari lingkungan paling atas yaitu raja Ibadat hingga lingkungan pemerintahan paling bawah yaitu nagari dan suku. Pembicaraan mengenai Islam dan Minangkabau memang terkadang tidak habis-habisnya dibahas. Beberapa pertanyaan sering menggelitik dalam pikiran orang ketika mengkaitkan antara Islam dan Minangkabau. Diantaranya mungkin adalah mengenai kenapa masyarakat Minangkabau yang terkenal teguh memegang ajaran Islam terkadang untuk beberapa hal yang tidak prinsipal memiliki kecenderungan yang berbeda dengan kecenderungan yang dianjurkan oleh Islam.
3 4
. Ibid . Ibid, hal.136
Universitas Sumatera Utara
Salah satu kecenderungan yang berbeda antara hukum Islam dengan hukum adat Minangkabau adalah dalam hal hukum perkawinan. Dimana ciri matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau sangat berpengaruh dalam hal perkawinan. Perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan terdapat dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan disebutkan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 5 Tujuan suatu perkawinan adalah membentuk
suatu keluarga. Keluarga
mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kesatuan masyarakat yang kecil. Selain itu perkawinan juga harus didasarkan pada hukum agama masingmasing pihak yang hendak menikah. Hal ini dinyatakan dalam pasal 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dari urain ini dapat kita ketahui perkawinan tidak hanya hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita saja, tetapi juga hubungan dengan tuhan atau agama.
5
.R.Subekti, R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,2004, hal.537-538.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 6 Tujuan perkawinan menurut undang-undang dan kompilasi hukum Islam adalah untuk mentaati perintah Allah serta memperoleh keturunan di dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.7 Hukum adat menurut pendapat Mr. Van den Berg yang terkenal dengan teorinya “reception in complexu” adalah menganggap hukum kebiasaan atau hukum adat adalah hukum agama. 8 Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mr. Van den Berg, maka hukum adat yang berlaku pada masyarakat Minangkabau adalah hukum Islam. Sehingga perkawinanpun harus berdasarkan hukum Islam, namun pada kenyataanya tidak demikian. Hak ini terlihat pada sistem kekerabatan Minangkabau yang terkenal dengan sistem matrilineal. Sistem matrilineal, dimana mereka hidup dalam suatu ketertiban masyarakat yang didalamnya kekerabatan dihitung menurut garis ibu semata-mata. 9 Artinya setiap orang laki-laki dan perempuan, menarik garis keturunannya ke atas hanya 6
.Kompilasi Hukum Islam. .Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, PT Hidakarya Agung, Jakarta,1959,hal.1 8 .H. Saidus Syahar, Asas-Asas Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1994, hal.136. 9 .Haizairin, Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1983,hal.51. 7
Universitas Sumatera Utara
melalui
penghubung-penghubung
yang
perempuan
saja.
Maka
masyarakat
Minangkabau yang bercorak matrilineal, seorang laki-laki tidak mempunyai keturunan yang menjadi anggota keluarganya. Ada enam ciri sistem matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau, yaitu : 1. Keturuan dihitung menurut garis ibu 2. Suku terbentuk dari garis ibu 3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya ( eksogami ) 4. Perkawinan bersifat semendo bertandang yaitu suami mengunjungi rumah isterinya. 5. Hak-hak dan pusaka di wariskan oleh mamak kepada keponakannya yaitu dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan. 10 Dari lima ciri sistem matrilineal yang dikemukakan di atas terlihat bahwa tiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya ( eksogami ). dikatakan bahwa sistem eksogami, seseorang hanya boleh menikah dengan orang diluar sukunya. Artinya seseorang tidak diperbolehkan menikah dengan orang dalam satu klan atau satu sukunya. Setelah suatu perkawinan didaerah ini terjadi maka si suami turut berdiam di rumah si isteri atau keluarganya. 11 Artinya si suami tidak ikut kelurga si isteri, tetapi anak-anak keturunanya dianggap kepunyaan ibunya saja, bukan kepunyaan ayahnya.
10
. Muhammad Radjab, Sistem Kekerabatan di Minagkabau, Center for MinangkabauStudies, 1969, hal.17. 11 . Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Vorkink-Van Hoeve, Bandung, 1959, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
Dan si ayah pada hakekatnya tidak mempunyai kuasa terhadap anak-anaknya. Hal ini bertentangan dengan hukum Islam. Ciri matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Mr Van der Berg seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Dimana menurut Mr Van der Berg hukum adat atau hukum kebiasaan adalah hukum agama 12 , maka masyarakat Minangkabau yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, maka hukum adatnya adalah hukum Islam. Namun ciri matrilineal ini bertentangan dengan hukum Islam. Teori Van den Berg ini mendapat kritikan dari sarjana-sarjana lain, seperti Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjhehers, Van Ossenbruggen dalam bukunya Oorsprong en eerte ontwikkeling van het testeer en voog dijrect, I.A. Nederburgh dalam bukunya Wet en Adat. Van Vollenhoven dalam bukunya Het adatrecht van Ned.Indie. Piepers dalam bukunya Tijdschift Von Ned.Indie. Serta seorang sarjana Ameriaka Clve day yang mengkritik teori Van den Berg dalam bukunya The dutch in Java. 13 Maka muncullah teori resepsi akibat penolakan dari teori yang dikemukakan oleh Van der Bergh. Teori ini dimunculkan pertama kali oleh Christian Snouck Hurgronje ( 1857-1936 ), yang disampaikannya secara panjang lebar dalam bukunya De Atjehers. Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Cornelis van Vollenhoven ( 18741933), seorang sarjana dan ahli di bidang hukum adat, yang memperkenalkan hukum 12
. Saidus Syahar, Op.cit, hal.136. . Soerojo Wignjodipoero, Op.cit. hal.29. Lihat Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985,hal 54. 13
Universitas Sumatera Utara
adat Indonesia ( Indisch Adatrecht ). Teori resepsi ini dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie. 14 Secara etimologis, kata resepsi berasal dari bahasa latin reception yang berarti “ penerimaan”. Secara terminologis, teori resepsi berarti “penerimaan hukum asing sebagai salah satu unsur hukum asli”. 15 Hukum asing di sini adalah hukum agama, sedangkan hukum asli adalah hukum adat. Oleh karena itu, teori resepsi adalah penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, atau dengan kata lain pengaruh hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah diterima oleh hukum adat dan diperlakukan sebagai hukum adat, bukan sebagai hukum Islam. Snouck Hurgronje dengan teori resepsi membantah teori receptio in complexu dengan mengatakan bahwa tidak semua hukum agama diterima dalam hukum adat. Hanya beberapa bagian dari hukum agama yang dapat mempengaruhi hukum adat, yakni berkaitan dengan kepercayaan dan hidup batin, seperti hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris. 16 Sementara menurut Van Vollenhoven, teori receptio in complexu itu bergaya seperti hukum Belanda yang dimasukkan ke dalam cetakan hukum Romawi ( codex Justinianus ). Dengan cara seperti hukum adat dimasukkan ke dalam hukum Islam, misalnya. Jadi susunan hukum adat menurut Van den Berg berbeda dengan hukum
14
. Abdul Azias Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar baru van Hoeve, Jakarta, 1977,
hal.1493.
15 16
. Ibid. . Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Pengatar Liberty, Yogyakarta, 1991, hal.3.
Universitas Sumatera Utara
adat yang ada. Hukum adat yang ada bukan berasal dari hukum Islam, melainkan berasal dari hukum “Melayu-Polynesia” ditambah dengan unsur-unsur agama. Hukum agama itu baru dapat berlaku dalam masyarakat apabila telah diresapi ( diterima ) oleh hukum adat dan jadilah ia sebagai hukum adat Indonesia. 17 Hazairin, seorang ahli hukum adat dan hukum Islam di Indonesia, sangat menentang teori resepi yang di sampaikan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, kalimat sila pertama dalam Piagam Jakarta telah ditegaskan lagi oleh TAP No.II MPRS/1960 yang mengatur syariat Islam itu dengan undang-undang. Oleh karena itu, teori resepsi tidak berlaku lagi bagi Hazairin mengemukakan teori dengan nama “teori resepsi exit” , yang berarti bahwa teori resepsi itu harus keluar dari bumi Indonesia dan ini merupakan “teori iblis” yang merusak iman orang Islam dan menetang Al-Qur’an. 18 Sajuti Thalib, seorang murid Hazairin, mengemukakan teori yang senada dengan teori resepsi exit, yaitu teori receptio a contrario ( penerimaan yang sebaliknya ). Menurut teori ini hukum Islamlah yang berlaku bagi umat Islam dan hukum adat baru bisa berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. 19 Teori ini muncul karena Sajuti Thalib tidak setuju dengan teori Van Den Berg yang menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agama sendiri, seakan-akan hukum adat itu asli itu tidak ada sama sekali. Menurut Sajuti Thalib,
17
. Abdul Aziz Dahlan, Op.cit, hal.1494-1495 . Ibid, hal.1496. 19 . Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, Hubungan Hukum adat dengan Hukum Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.62. 18
Universitas Sumatera Utara
hukum adat tetap ada karena berasal dari budaya serta tradisi suatu bangsa dan berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan ia lebih setuju lagi dengan teori yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang merendahkan kedudukan hukum Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta mengangkat derajat hukum adat. 20 Teori resepsi yang tercantum dalam Pasal 134 (2) IS dianggap tidak berlaku lagi setelah Indonesia merdeka dengan disahkannya Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi RI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka dengan sendirinya Menghapus I.S yang secara keseluruhan adalah sebagai konstitusi yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda untuk Hindia Belanda. Dalam hukum Islam anak adalah keturunan dari ayahnya, maka ayah mempunyai kuasa terhadap anaknya. Hal ini berbeda dengan hukum adat Minangkabau dimana ayah atau suami dalam suatu keluarga tidak mempunyai kuasa terhadap anaknya. Dikarenakan anak adalah keturunan dari ibunya atau klan ibunya. Dalam hal syarat perkawinan dalam hukum Islam ada ketentuan yang mengatur rukun dan syarat perkawinan, apakah hal ini juga terdapat pada masyarakat Minangkabau dan bagaimana akibat dari suatu perkawinan terhadap kedudukan suami dan isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta benda dalam perkawinan Dalam hal keturunan, garis keturunan ditarik melalui garis ayah menurut hukum Islam. maka ayah mempunyai kuasa terhadap anaknya. Maka anak adalah keturunan dari ayahnya. Hal ini berbeda dengan hukum adat Minangkabau di mana 20
. Abdul Azis Dahlan, Op.cit, hal. 1496.
Universitas Sumatera Utara
seorang ayah tidak memiliki kuasa terhadap anaknya. Karena ayah atau suami hanyalah tamu di rumah atau klan istrinya. Atas dasar latar belakang inilah yang menyebabkan penulis tertarik menelitinya, yaitu mengenai syarat-syarat sahnya dan prosedur perkawinan menurut hukum adat dan agama? Bagaimana akibat dari suatu perkawinan terhadap hak dan kewajiban suami isteri. Oleh karenya penulis akan menuangkan dalam bentuk tesis yang berjudul “ PERSINTUHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU DENGAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahpermasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan yang ada di Indonesia?
2.
Bagaiman persintuhan hukum adat Minangkabau dengan hukum Islam mengenai hak dan kewajiban suami dan isteri dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini dalah : 1.
Untuk mengetahui bagaimana sahynya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau, hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.
Untuk mengetahui persintuhan tentang hak dan kewajiban suami dan isteri pada hukum adat Minangkabau dengan hukum Islam dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis. a. Secara Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan hukum perkawinan, khususnya hukum perkawinan adat terutama yang berhubungan dengan pengaruh hukum Islam pada perkawinan pada masyarakat Minangkabau b. Secara Praktis. Diharapkan penelitian ini kelak dapat dipergunakan manfaatnya untuk dapat di terapkan
dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan perkawinan,
khususnya pada masyarakat adat Minangkabau.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara, yang melakukan penelitian yang berhubungan dengan adat Minangkabau memang telah ada, yaitu : 1. Judul : “ KEDUDUKAN ANAK DI BAWAH UMUR ATAS HARTA PENINGGALAN
ORANGTUANYA
PADA
MASYARAKAT
MINANGKABAU” (Kajian di Nagari Panampuan Kecamatan IV Angkat Candung Kabupaten Agam), di susun oleh : Rahmi Yuniar Nim : 02111037. 2. Judul : “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESRAN HUKUM PEWARISAN HARTA PENCAHARIAN DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU”. di susun oleh : Rina Mulyasari Tetapi yang melakukan penelitian mengenai perkawinan hukum adat Minangkabau belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang perkawinan hukum adat Minangkabau tersebut, oleh sebab itulah saya melakukan Penelitian dengan
judul
“PERSINTUHAN
HUKUM
PERKAWINAN
ADAT
MINANGKABAU DENGAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DIKAITKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG
NOMOR
1
TAHUN
1974
TENTANG
PERKAWINAN”. Dengan demikian bahwa penelitian ini adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang
dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukan kebenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensrukturisasikan penemuanpenemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikkannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus berkesesuaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang berisfat empiris agar dapat diuji kebenarannya.
Universitas Sumatera Utara
a. Pengertian Hukum Perkawinan Perkawinan adalah suatu kehidupan bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang dalam peraturan tersebut.21 Yang dimaksud dengan peraturan-peraturan tersebut adalah peraturan-peraturan yang ada di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan. . Dengan ini teranglah pengertian perkawinan adalah lepas dari hidup bersama dipandang dari sudut ilmu hajat ( biologis ). Pengertian perkawinan ditentukan oleh hukum yang ditiap-tiap Negara berlaku mengenai peraturan-peraturan yang mengatur tentang hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita. Seperti kita ketahui bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda atau sistem kekerabatan yang berbeda-beda, selain perbedaan suku bangsa juga adanya perbedaan dari segi agama, dari inilah keadaan perkawinan masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada bentuk perkawinan pada suatu masyarakat tersebut. R.Subekti beranggapan seperti halnya dalam hukum pewarisan, begitu pula hukum perkawinan di Indonesia beraneka ragam. 22 Disamping hukum perkawinan menurut adat, berlaku hukum perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 21
. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Vcr Kink-Van Hoe ‘E, Jakarta, 1959, hal.1-2. 22 . R. Subekti, Kaitan Undang-Undang Perkawina Dengan Penyusunan Hukum waris, dikutip dari Surini Ahlan, Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, Kencana, Jakarta, 2005, hal.2.
Universitas Sumatera Utara
b Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Manusia adalah mahkluk sosial sehingga dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam kenyataannya, manusia hidupnya berdampingan yang satu dengan yang lainnya dan saling membutuhkan. Dalam masyarakat maka agar hubungan antara manusia yang satu dan yang lainnya dapat berjalan dengan tertib maka diperlukan hukum yang mengatur hubungan tersebut. Peraturan hukum yang berlaku di dalam suatu kelompok sosial, ketentuannya tidak tersebar bebas dan terpisah-pisah, melainkan ada dalam satu kesatuan keseluruhan yang masing-masing keseluruhan itu berlaku sendiri-sendiri. Peraturan tersebut salah satunya adalah hukum adat. Hukum adat adalah serangkain aturan yang tidak tertulis tapi mempunyai sanksi kuat bagi masyarakat 23 . Artinya walaupun tidak tertulis namun mempunyai upaya memaksa bagi masyarakat. Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam lingkungannya. 24 Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai suatu akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri yang menimbulkan suatu ikatan yang berisi 23
. Soerojo Wignjodipoero, Loc.Cit,hal.14. . H. Idrus Hamkimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2004, hal.13. 24
Universitas Sumatera Utara
hak dan kewajiban antara lain mengenai tempat tinggal, saling setia satu dengan yang lain, membiayai belanja rumah tangga dan hak waris. Ikatan perkawinan bukan saja menyangkut bagi yang melakukan perkawinan tetapi menimbulkan hubungan hukum dalam hukum keluarga baik kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Perkawinan dalam hukum adat bukan saja antara pengantin pria dan wanita melainkan pula beserta seluruh keluarga dari kedua belah pihak untuk bersatu menjadi garis kekerabatan secara semenda yang terjadi karena perkawinan. Perkawinan dalam hukum adat merupakan salah satu unsur dari hukum keluarga yang hubungan hukum dan akibat hukumnya berdasarkan suatu perkawinan tidak sama diseluruh Indonesia karena perbedan sistem kekeluargaan dan suku bangsa yang beragam. Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat Suatu hukum perkawinan akan sangat sulit dipahami tanpa terlebih dahulu mempelajari sifat kekeluargaan. Di Indonesia terdapat tiga macam sistem kekerabatan, yaitu sebagai berikut : 25 1. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal corak dari perkawinan dalam kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Yang dimaksud dengan jujur di sini adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini yaitu sebagai lambang putusnya hubungan kekeluargaan si isteri dengan kerabatnya dan persekutuannya. Maka isteri masuk dalam kekerabatan 25
.Ibid, hal.127-130.
Universitas Sumatera Utara
suami beserta anak-anaknya. Sifat kekeluargaan ini dapat kita lihat pada masyarakat lampung, tanah Gayo, Pasemah, Maluku dan Bali. 2. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal. Dalam susunan kekerabatan ini suami tetap masuk pada keluarganya sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan isterinya sebagai ‘ urang sumando’ . Suami tidak masuk dalam susunan kerabat isterinya, akan tetapi anak-anaknya atau keturunannya masuk ke dalam klan atau susunan kekerabatan isterinya dan suami pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan pada anak-anaknya. Susunan kekerabatan ini dapat kita temukan pada masyarakat Minangkabau. 3. Dalam sifat susunan kekerabatan kekeluargaan parental dalam susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami menjadi anggota keluarga isteri begitupun sebaliknya. Artinya susunan kekerabatan ini sangat berbeda dengan susunan kekerabatan sebelumnya yaitu patrilineal dan parental, yang hanya masuk ke dalam satu klan saja. Tapi dalam susunan kekerabatan parental adanya hubungan timbal balik dalam susunan kekerabatan. Dimana suami dan isteri dapat masuk kedalam susunan kekerabatan atau klan masingmasing pasangannya. Susunan kekerabatan ini dapat kita lihat pada masyarakat Sulawesi selatan, suku Dayak, dan Minahasa. Selain sistem kekerabatan yang sangat berpengaruh dalam bentuk perkawinan, kita juga mengenal tiga macam sistem perkawinan, yaitu : 26 1. Sistem endogamy 26
. Ibid, hal.132.
Universitas Sumatera Utara
dalam sistem ini orang hanya boleh kawin dengan orang seorang dari suku keluraganya sendiri. Sistem ini terdapat pada satu daerah saja yaitu Toraja. 2. sistem eksogami dalam sistem ini seorang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya keluarganya. Sistem ini terdapat pada daerah Gayo,Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan dan Seram. 3. sistem eleutherogami sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistem endogamy dan eksogami. Dari tiga sistem kekerabatan yang diuraikan pada paragraf sebelumnya, dikatakan bahwa sistem eksogami, seorang hanya boleh menikah dengan orang diluar sukunya. Artinya seseorang tidak diperbolehkan menikah dengan orang dalam satu klan atau satu sukunya. Dimana pada masyarakat minangkabau adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogami matrilinia”. Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu 27. :
27
. Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (buku I), Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003, hal 23
Universitas Sumatera Utara
1. Garis keturunan menurut garis ibu 2. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal. 3. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengaman kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. Tujuan utama sistem matrilineal adalah untuk menunjang tinggi martabat manusia dengan memberikan emansipasi seimbang (persamaan hak) kepada lelaki dan perempuan. Seorang perempuan berhak melarang atau menolak kesepakatankesepakatan yang diambil di luar sepengetahuannya. Ia juga berhak mengajukan usulusul dan saran-saran dalam rapat keluarga, kaum dan nagari. Bahkan dewasa ini kedudukannya telah bertambah kokoh di tengah-tengah masyarakat, mereka juga mendapat tempat dalam organisasi KAN (Kerapatan Adat Nagari). 28 Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minangkabau juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matrilocal” atau lazim disebut dengan sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri, atau didalam lingkungan kekerabatan isteri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan isterinya.
28
. B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, pustaka Indonesia, Bukittinggi,
1995
Universitas Sumatera Utara
Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Suami tidak masuk kedalam klan isterinya walaupun suami tinggal di rumah isterinya, tetapi suami tetap masuk ke dalam klannya sendiri yaitu keluarga asalnya. Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minangkabau berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Hal ini ditandai dengan prosesi turun janjang. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut; Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak Datang dek bajapuik pai jo baanta Ayam putieh siang basuluah matoari Bagalanggang mato rang banyak
Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minangkabau “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga isterinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.” Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah
Universitas Sumatera Utara
isterinya. Sedangkan isteri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya tamu di rumah isterinya atau klan isterinya.
2. Kerangka Konsepsi Agar tidak terjadi kesalah fahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut : Persintuhan berasal dari kata sintuh yang berarti singgung, kena raba. Menyintuh berarti meraba dengan tangan atau mengenai bahagian badan. Persintuhan artinya mengenai sesuatu dengan badan atau sesuatu yang lain. Persintuhan artinya persinggungan atau perabaan. Arti persintuhan dalam judul dari buku ini bukan berarti persinggungan dalam istilah “ hatinya tersinggung “, yaitu suatu arti yang kurang baik, melainkan sekedar pertemuan antara dua aturan yang tidak sama dan juga tidak serupa. Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak, undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, ketentuan, kaedah, patokan keputusan hakim. 29
29
. Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Mitra Pelajar, Surabaya, hal.188.
Universitas Sumatera Utara
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama. Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat adalah : 1. Adanya tingkah laku seseorang 2. Dilakukan terus-menerus 3. Adanya dimensi waktu. 4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif, meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak dikitabkan oleh yang berwajib, dihormati dan didukung oleh rakyat berdasar atas keyakinan bahwasanya peraturanperaturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 30 Artinya hukum adat dibuat oleh penguasa yang walaupun tidak dalam bentuk tertulis namun dipatuhi oleh masyarakat, dimana hukum adat berfungsi sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhadap masyarakat. Hukum adat mengatur berbagai kehidupan di dalam masyarakat, salah satunya adalah pekawinan. Perkawinan menurut hukum adat adalah ikatan yang tidak hanya
30
. Soepomo, Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981,hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
antara seorang pria dengan seorang wanita saja, tetapi juga ikatan orang tua kedua belah pihak. 31 Sehingga perkawinan di dalam hukum adat tidak hanya mengatur hubungan antara suami dan isteri saja, tetapi perkawinan di dalam hukum adat ikut melibatkan klan suami dan isteri yaitu orang tua suami dan isteri tersebut. Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan. 32 Artinya unsur perjanjian dalam perkawinan adalah kesengajaan serta memperihatkannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan suku memperlihatkan dari segi keagamaannya. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan disebutkan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tanga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. 33 Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia, sehimpunan yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan-aturan tertentu, diamana aturanaturan tersebut berlaku bagi orang banyak atau khalayak ramai. 34
31 32
hal.47.
33 34
. Soerrojo Wigndjodipoero, Op.cit, hal.122 . Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 1974, . Op.cit. . Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Sumur Bandung, Surabaya, hal.188.
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian. Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis, 35 karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian akan menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam praktek yang pelaksanaan hukumnya berhubungan dengan perkawinan pada masyarakat adat Minangkabau. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis Normatif, yaitu memaparkan objek penelitan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau dengan hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai sahnya perkawinan dengan sejelas-jelasnya disertai dengan analisa kualitatif, demikian pula halnya dengan perkawinan menurut hukum adat Minangkabau analisa dilakukan sepanjang mengenai akibat dari perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dibandingkan dengan hukum Islam. Dengan menggunakan sumber-sumber hukum seperti Perundang-undangan serta buku-buku hukum. Dalam penelitian ini digunakan pula metode yuridis komparatif yaitu pengkajian dengan menggunakan perbandingan antara hukum adat Minangkabau dengan hukum Islam. 2. Teknik Pengumpulan Data 35
. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal 8, menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai penelitian hukum nomrmatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan ( library research ) untuk mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan peneliti terlebih terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. a. Penelitian kepustakaan ( Library Research ), melaui studi kepustakaan ini, data yang dikumpulkan adalah dat sekunder yang terdiri dari : 1). Bahan hukum primer, berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya. 2). Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa hasil penelitian para ahu, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini adalah merupakan bahan hukum sekunder. 3). Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, dan artikelartikel lainnya. b. Penelitian lapangan ( Field Research ) yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber yaitu pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain.
3. Alat Pengumpulan Data Alat yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Studi dokumen, yakni mempelajari serta menganalisa bahan pustaka. b. Wawancara, dilakukan secara langsung dengan informan dengan menggunakan pedoman wawancara ( Interview guide ).
4.
Analisis Data. Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam
rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti
36
Untuk kebutuhan
analisis data dalam penelitian ini semua data primer dan data skunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya kedua jenis data itu dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Sedangkan evaluasi data dilakukan secara kualitatif. Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistimatis dengan menggunakan metode induktif
37
. Dengan metode ini diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan perkawinan
pada masyarakat adat Minangkabau dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan adat yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat
36
. Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-pokok Penting Tentang Wawancara, dalam Burhan Bungin (Ed), Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 143, menyatakan wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang di wawancarai (interviewee). 37 . Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997 hal 10, menggunakan prosedur induktif yaitu proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum. Dalam prosedur induktif setiap proposisi itu hanya boleh dianggap benar kalau proposisi itu diperoleh dari hasil penarikan kesimpulan dari proposisi-proposisi yang berkebenaran empiris
Universitas Sumatera Utara
ditarik kesimpulan yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.
Universitas Sumatera Utara