BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Penelitian Negara berkembang, terutama negara yang memiliki jumlah penduduk
banyak, harus memiliki informasi yang memadai dari berbagai sektor untuk menentukan keputusan yang harus diambil selanjutnya. Salah satunya adalah informasi mengenai penggunaan lahan. Walaupun memiliki porsi kecil sebagai bahan pertimbangan, tetapi informasi penggunaan lahan tidak dapat diabaikan, terutama jika pemerintah benar-benar berniat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat ledakan jumlah penduduk, seperti keruwetan tata ruang, degradasi kualitas lingkungan, hingga menghilangnya sebagian besar flora dan fauna. Data tentang penggunaan lahan sangat penting untuk analisis berkelanjutan mengenai permasalahan lingkungan dan penanggulangannya, agar taraf hidup yang layak atau lebih tinggi dapat tercapai. Salah satu syarat utama untuk pemanfaatan lahan yang lebih baik adalah melalui kajian informasi terkait pola perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu (Anderson, 1976). Secara logis untuk memenuhi kebutuhan manusia setiap tahun, seiring dengan ledakan jumlah penduduk, sejumlah hektar lahan harus berubah fungsi. Sebagian berubah untuk kepentingan publik dan sebagian berubah untuk kepentingan pribadi. Informasi terbaru hasil monitoring mengenai distribusi dan penggunaan lahan seperti pada lahan pertanian, permukiman, industri, atau tempat rekreasi, dan sejarah perubahannya, tentu
1
dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan. Malingreaau (1978) mengemukakan bahwa penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen atau siklus terhadap suatu kumpulan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (lahan) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya baik kebendaan maupun spiritual ataupun keduanya. Minimnya pemerintah akan informasi mengenai penggunaan lahan ini dapat berakibat pada tidak terkendalinya tata guna lahan karena tidak ada kontrol terhadap manusia yang melakukan campur tangan terhadap kumpulan sumberdaya. Dampak lebih lanjut yang dapat dipastikan adalah menurunnya potensi lahan atau degradasi lahan. Semenjak Konferensi Internasional PBB mengenai Desertifikasi pada tahun 1996 (UNCCD, 2004), kebutuhan akan data mengenai degradasi lahan meningkat pesat. Data yang menjadi indikasi dari degradasi lahan juga kemudian ikut menjadi penting. Beberapa indikator dari penurunan kualitas lahan antara lain kerusakan tanah seperti menurunnya tingkat kesuburan tanah akibat ekspoitasi berlebihan, berkurangnya sumber daya air seperti semakin kecilnya debit air sungai tiap tahun, dan terakhir menurunnya populasi flora dan fauna (Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2004). Ketiga indikator tersebut mengacu pada sebuah kalimat kunci, yaitu perubahan temperatur permukaan akibat perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan mempengaruhi temperatur
2
permukaan dan kemudian mempengaruhi kualitas lahan mulai dari kualitas tanah, air, hingga habitat yang ada didalamnya. Ekstraksi informasi penggunaan lahan dapat diperoleh melalui integrasi teknologi penginderaan jauh dengan Sistem Informasi Geografi (SIG). Wilkinson (1996) menyimpulkan 3 kemungkinan terbaik yang mungkin muncul dari kombinasi pemakaian penginderaan jauh dan SIG; (1) penginderaan jauh digunakan sebagai alat pengumpul data yang akan digunakan untuk SIG, (2) data SIG digunakan sebagai informasi pendukung untuk melengkapi hasil dari penginderaan jauh, dan (3) penginderaan jauh dan SIG dapat digunakan bersama untuk modeling dan analisis. Dalam prakteknya, kedua data yang dihasilkan tidak hanya saling melengkapi tetapi juga cepat dalam perolehannya. Kecepatan perolehan data seperti inilah yang dapat dimanfaatkan untuk menyadap informasi penggunaan lahan secara efisien, mengingat perubahan lahan bersifat dinamis dan relatif untuk setiap daerah. Identifikasi penggunaan lahan dapat diturunkan dari informasi penutup lahan. Misal sebuah area pada citra penginderaan jauh teridentifikasi sebagai area dengan penutup lahan vegetasi. Hal ini berarti bahwa secara umum area tersebut memang tampak sebagai area yang banyak terdapat vegetasi. Tetapi jika dilihat dengan seksama, maka setiap penutup lahan vegetasi belum tentu memiliki fungsi yang sama ketika dikaitkan dengan aktifitas manusia. Bisa jadi sebuah kelompok tutupan vegetasi memiliki dua bagian yang berfungsi sebagai perkebunan dan persawahan. Sehingga jelas bahwa informasi penutup lahan
3
vegetasi pada contoh dapat diturunkan menjadi dua macam informasi penggunaan lahan yaitu perkebunan dan persawahan. Malingreau dan Christiani (1981) mengklasifikasikan penutup lahan menjadi 4 macam, yaitu vegetasi, non vegetasi, permukiman dan lahan non pertanian, serta tubuh air. Keempat kelas tersebut memiliki reaksi yang berbeda terhadap radiasi sinar matahari terutama dalam hal menyerap atau memantulkan panas. Pantulan radiasi matahari terkuat adalah pada tutupan lahan non vegetasi dan tutupan lahan permukiman/lahan terbangun. Sedangkan pantulan terendah adalah pada tutupan lahan vegetasi. Sehingga dominasi penutup lahan non vegetasi terhadap vegetasi adalah hal yang buruk. Penutup lahan vegetasi yang tidak memadai akan memaksa permukaan tanah untuk menerima keseluruhan panas sepanjang hari dan mengakibatkan overheating. Lapisan beton, aspal, conblock, dan material sejenis pada permukaan tanah yang cenderung memantulkan panas semakin memperparah overheating tersebut dan akhirnya ikut berkontribusi dalam menaikkan suhu permukaan. Pemantauan panas dan identifikasi penutup lahan dapat dilakukan dengan menggunakan citra penginderaan jauh. Salah satunya adalah Citra ASTER. ASTER adalah nama sensor penginderaan jauh yang dipasang pada satelit Terra dan diluncurkan pertama kali pada tahun 1999. Sensor ASTER memiliki daerah rekam dengan cakupan yang luas. Terdiri atas 14 saluran, mulai dari saluran tampak yang dapat digunakan untuk identifikasi penutup lahan hingga saluran infra merah untuk merekam kenampakan thermal yang ada di permukaan bumi.
4
Citra ASTER memiliki resolusi spektral yang baik. Selain itu, karena data ASTER yang diperbarui setiap hari, citra ASTER juga memiliki resolusi temporal. Resolusi temporal adalah resolusi yang muncul akibat ada perbedaan waktu perekaman pada daerah yang sama sehingga memungkinkan peneliti untuk menganalisa laju perubahan dan perkembangan yang terjadi pada suatu wilayah. Subsistem ASTER yang merekam kenampakan termal adalah subsistem TIR (Thermal Infra Red). TIR mengukur radiasi yang terdapat diatas permukaan atmosfer (Top of Atmosphere) dan diturunkan menjadi kecerahan temperatur (Brightness Temperatures, BT) dengan mengunakan hukum Plank (Dash dkk, 2002). Nilai dari BT adalah dasar dari perhitungan temperatur permukaan (Land Surface Temperatures, LST). Kenampakan penutup lahan terekam dengan jelas oleh subsistem VNIR (Visible Near Infra Red). Subsistem VNIR menggunakan 3 buah saluran spektral pada panjang gelombang tampak dan inframerah. Citra yang dihasilakan memiliki resolusi 15m, dan dapat menunjukkan kenampakan penutup lahan yang baik dari segi interpretasi visual maupun melalui digital number. Kemampuan ASTER dalam penelitian yang berhubungan dengan penutup lahan serta temperatur telah dibuktikan oleh beberapa peneliti atara lain Qihao Weng dkk (Estimation of Land Surface Temperature – Vegetation Abundance Relationship for Urban Heat Island Studies), dan Hoang Viet Anh dkk (Remote-sensing Monitoring of Desertification using ASTER and ENVISAT
5
ASAR: Case Study at Semi-Arid Area of Vietnam). Informasi temperatur dan penutup lahan dari kedua penelitian tersebut diekstrak dari citra ASTER. 1.2.
Perumusan Masalah Meningkatnya
kebutuhan
manusia
menyebabkan
perubahan
penggunaan lahan dalam lingkup global semakin dinamis tiap tahun. Fakta telah menunjukkan bahwa laju perubahan penggunaan lahan yang terjadi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, kadang tidak terkendali. Desakan dari ledakan jumlah penduduk terhadap kebutuhan primer yaitu sandang, pangan, dan papan tidak akan pernah seimbang dengan ruang yang tersedia, karena muka bumi sebagai lahan konkrit untuk pemenuhan kebutuhan tidak turut bertambah luas. Perubahan penggunaan dan eksploitasi lahan yang tidak terkendali akan berakibat pada penurunan kualitas lingkungan hidup, mulai dari penurunan kualitas tanah, air, hingga kualitas udara. Perubahan temperatur permukaan juga tak terelakkan karena permasalahan tersebut. Oleh karena itu harus ada kontrol perubahan penggunaan lahan agar perubahan yang terjadi tidak semakin parah. Identifikasi perubahan penggunaan lahan bercermin pada perubahan penutup lahan. Penutup lahan yang semula vegetasi kemudian menjadi non vegetasi merupakan indikasi adanya perubahan penggunaan lahan.
6
Sistem penginderaan jauh dapat diaplikasikan untuk memonitor penutup
lahan
dan
temperatur
aktual.
Sistem
penginderaan
jauh
memungkinkan penutup lahan dan temperatur pada wilayah yang luas dapat diteliti dengan lebih cepat jika dibandingkan dengan cara terestrial. Akan tetapi menggabungkan hasil monitoring penutup lahan dan temperatur permukaan memiliki permasalahan tersendiri yang cukup menantang. Resolusi dari citra temperatur dan citra penutup lahan yang digunakan dalam penelitian tidak sama, 90 meter untuk citra ASTER TIR dan 15 meter untuk citra ASTER VNIR. Sehingga nantinya kemungkinan pengukuran yang terjadi harus mengikuti skala dari citra temperatur. Dari permasalahan - permasalahan tersebut pertanyaan yang muncul adalah: 1.
Apakah citra ASTER TIR dapat digunakan untuk memetakan penutup lahan dan temperatur permukaan di kota Yogyakarta dengan ketelitian yang tinggi?
2.
Bagaimana distribusi spasial temperatur permukaan dikaitkan dengan penutup lahan yang ada?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah: 1. Memetakan penutup lahan dan mengukur temperatur permukaan pada tahun 2006.
7
2. Menguji ketelitian pemetaan penutup lahan dan temperatur permukaan dari hasil analisis citra ASTER (VNIR dan TIR). 3. Mengetahui distribusi spasial hubungan temperatur permukaan dengan penutup lahan. 1.4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian adalah: 1. Memberikan gambaran mengenai kemampuan citra ASTER dalam mendukung monitoring perubahan penutup lahan 2. Memberikan informasi mengenai luas penutup lahan daerah kajian
1.5.
Tinjauan Pustaka
1.5.1. Lahan, Penutup Lahan, Penggunaan Lahan, dan Tipe Pemanfaatan Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu.
8
Penutup lahan adalah tutupan (bio)fisik suatu lahan yang teramati di permukaan bumi (FAO, 2000). Penutup lahan bisa berupa hal-hal general seperti bangunan, vegetasi, tubuh air, dan lain-lain. Penggunaan lahan merupakan tahapan kompleks dari pengaturan, aktivitas, hingga input yang diberikan kepada penutup lahan untuk diolah atau dijadikan tempat produksi secara kontinu (FAO, 2000). Sehingga jika suatu lahan memiliki penutup lahan vegetasi, bisa jadi lahan tersebut termasuk penggunaan lahan perkebunan. Melalui definisi ini penutup lahan dan penggunaan lahan memiliki hubungan yang erat. Penggunaan lahan yang optimal memerlukan keterkaitan dengan karakteristik dan kualitas lahannya. Hal tersebut disebabkan adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya, bila dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan berkesinambungan. Pada peta tanah atau peta sumber daya lahan, hal tersebut dinyatakan dalam satuan peta yang dibedakan berdasarkan perbedaan sifatsifatnya terdiri atas: iklim, landform (termasuk litologi, topografi/relief), tanah dan/atau hidrologi. Pemisahan satuan lahan/tanah sangat penting untuk keperluan analisis dan interpretasi potensi atau kesesuaian lahan bagi suatu tipe pemanfaatan lahan (Land Utilization Types = LUTs). 1.5.1.1. Konversi Lahan Konversi lahan adalah peralihan fungsi lahan yang berdampak pada pengolahan suatu lahan. Alasan yang mendasari terjadinya alih fungsi ini
9
biasanya adalah meningkatnya jumlah penduduk yang berakibat pada meningkatnya permintaan lahan agrikultur dan meningkatnya permintaan bahan bakar hutan. Selain itu permintaan pasar akan sumber daya alam untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi juga turut mempengaruhi (Bonell & Bruijnzeel, 2005). Contoh dari konversi penggunaan lahan adalah alih fungsi hutan menjadi sawah untuk memenuhi kebutuhan pangan, atau alih fungsi sawah menjadi perumahanuntuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. 1.5.1.2. Degradasi Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah satu kesatuan komunitas yang terdiri dari tanah, air, udara, flora dan sumber daya alam lainnya beserta makhluk hidup yang ada di dalamnya (Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2004). Degradasi lingkungan hidup berarti menurunnya kualitas lingkungan hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya degradasi lingkungan, salah satunya adalah perubahan penggunaan dan eksploitasi lahan yang tidak terkendali. Tahun 2000, FAO mengungkapkan bahwa dinamika penduduk dalam mempengaruhi deforestasi sangat tergantung kepada pola kehidupan regional dari suatu negara. Negara maju cenderung melakukan deforestasi untuk memberikan solusi lahan bagi kemajuan sektor industri, sedangkan negara berkembang melakukan deforestasi untuk memecahkan masalah lahan agar dapat menampung ledakan populasi. Sehingga alasan utama terjadinya
10
deforestasi adalah kombinasi dari ledakan populasi dengan kondisi ekonomi, sosial, serta teknologi yang stagnan. Deforestasi tanpa diimbangi dengan reforestasi akan berakibat pada timpangnya ekosistem. Habitat yang menghilang karena pembukaan lahan akan menyebabkan banyak organisme kehilangan tempat hidupnya dan terancam musnah. Selain itu suhu yang meninggi karena pembukaan lahan dapat menghambat laju penyerapan air dan jumlah air yang diserap oleh tanah, mengakibatkan simpanan air tanah akan berkurang drastis. 1.5.2. Sistem Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah suatu ilmu untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisa data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Di dalam penginderaan jauh terdapat dua macam proses yaitu pengumpulan data dan pengolahan data atau analisa data. Unsur - unsur dalam perolehan data meliputi sumber energi, perjalanan energi melalui atsmosfer,
interaksi
energi
dengan
kenampakan
permukaan
bumi,
pentransmisian kembali energi ke atmosfer, sensor dengan wahana pesawat terbang atau satelit, dan hasil bentukan data yang berupa cetak kertas atau data digital (Lillesand et. al., 2004).
11
Gambar. 1.1. Penginderaan jauh elektromagnetik untuk sumber daya bumi (Lillesand et. al., 2004)
1.5.2.1. Tenaga dan Spektrum Penginderaan Jauh Sutanto
(1986)
menjelaskan
bahwa
pengumpulan
data
dalam
penginderaan jauh dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan sensor buatan. Karena penginderaannya dilakukan dari jarak jauh, diperlukan tenaga penghubung yang membawa data tentang obyek ke sensor. Data tersebut dapat dikumpulkan dan direkam dengan tiga cara, yakni dengan mendasarkan atas variasi: (1) distribusi daya (force), (2) distribusi gelombang bunyi, dan (3) distribusi tenaga elektromagnetik. Obyek, daerah, atau gejala di permukaan bumi dapat dikenali pada hasil rekamannya karena masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri dalam interaksinya terhadap daya, gelombang bunyi, atau tenaga elektromagnetik. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam penginderaan jauh mencakup tiga cara pengumpulan dan perekaman datanya.
12
Lebih lanjut, Sutanto (1986) menjelaskan bahwa penginderaan jauh dengan menggunakan tenaga elektromagnetik merupakan cara yang paling banyak digunakan. Tenaga elektromagnetik ialah paket elektrisitas dan magnetisme yang bergerak dengan kecepatan sinar pada frekuensi dan panjang gelombang tertentu, dengan sejumlah tenaga tertentu. (Chanlett, 1979 dalam Sutanto 1986). Selanjutnya, Sutanto (1986) menjelaskan bahwa dalam penginderaan jauh yang menggunakan tenaga elektromagnetik, sumber utama tenaganya adalah matahari. Disamping matahari juga ada sumber tenaga lain, baik sumber tenaga alamiah maupun sumber tenaga buatan. Sumber tenaga alamiah digunakan dalam penginderaan jauh sistem pasif, sedangkan sumber tenaga buatan digunakan dalam penginderaan jauh sistem aktif. Tenaga elektromagnetik terdiri dari berkas atau spektrum yang sangat luas, yakni meliputi spektra kosmik, Gamma, X, ultraviolet, tampak, inframerah, gelombang mikro (microwave), dan radio. Jumlah total seluruh spektrum
ini
disebut
spektrum
elektromagnetik.
Meskipun
spektrum
elektromagnetik merupakan spektrum yang sangat luas, hanya sebagian kecil saja yang dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Sinar kosmik, sinar Gamma, dan sinar X sulit mencapai bumi karena sulit menembus atmosfer. Begitu juga dengan sebagian spektrum inframerah. Bagian-bagian spektrum elektromagnetik yang dapat melalui atmosfer dan mencapai permukaan bumi disebut sebagai jendela atmosfer.
13
1.5.3. Penginderaan Jauh Sistem Satelit Sistem satelit merupakan salah satu sistem penginderaan jauh yang akhir - akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari kemampuan sistem satelit yang semakin baik dalam merekam informasi spasial dari permukaan bumi berdasarkan ukuran resolusi spasial, spektral, radiometrik, dan temporalnya. Sistem penginderaan jauh satelit menggunakan tenaga elektromagnetik spektrum tampak, inframerah dekat, inframerah tengah, inframerah termal, dan gelombang mikro.
Gambar 1.2. Spektrum elektromagnetik (Lillesand et. al., 2004).
1.5.3.1. Karakteristik Citra Satelit Menurut Simonett (1983), citra adalah gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dibuahkan dengan cara optik, elektro-optik, optik mekanik, atau elektronik. Selanjutnya data non-citra dapat berupa grafik, diagram, dan numerik. Citra digital merupakan objek raster dengan susunan yang terdiri dari elemen gambar atau piksel dengan ukuran tertentu. Piksel didefinisikan sebagai sebuah elemen gambar dua dimensi
14
dengan nilai digital tertentu yang merupakan ukuran terkecil yang tidak dapat dipisahkan lagi dari sebuah citra digital. Tiap piksel, mempunyai posisi tertentu dalam bentuk baris dan kolom, dan menyajikan suatu sampling kontinu dari permukaan bumi. Nilai dari setiap piksel bervariasi dan biasa disebut dengan derajat keabuan (grey level). Nilai piksel pada berbagai lokasi piksel sangat bervariasi dengan julat nilai 0 sampai 255 (pada sistem 8 bit = 28). Nilai ini menunjukkan gradasi tingkat keabuan tiap piksel dengan pembagian tingkat dari nilai 0 (hitam) berturut-turut hingga 255 (putih paling cerah) (Jensen, 1986). Nilai yang terkandung di dalam piksel menunjukkan besarnya nilai pantulan objek di permukaan bumi. Satu lembar citra tersusun dari pikselpiksel yang banyaknya tergantung dari besar kecilnya ukuran citra tersebut. Nilai piksel di dalam citra ditunjukkan dengan tiga nilai, yaitu nilai x dan y untuk menunjukkan posisi tiap piksel dan z untuk menunjukkan nilai spektral pantulan objek di permukaan bumi. 1.5.3.2. Sensor ASTER Sensor ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah 1 diantara 5 sensor penginderaan jauh yang dimuat ke dalam satelit Terra buatan NASA pada tahun 1999 untuk mengorbit bumi. Sensor ASTER dibuat di Jepang oleh ERSDAC (Earth Remote Sensing Data Analysis Center) dan untuk peluncurannya bekerjasama dengan program
15
NASA yang bernama EOS (Earth Observing System). Sensor ASTER memulai proses perekaman data pada bulan Februari tahun 2000 untuk masa 6 tahun. Sensor ASTER merekam data permukaan bumi pada julat spektrum tampak hingga inframerah thermal. Resolusi spasial yang digunakan dalam perekaman memiliki variasi antara 15 hingga 90 meter, tergantung oleh spektrum yang digunakan (Tabel 1.1). Berbeda dengan sensor Landsat yang setiap saat akan merekam data secara berkesinambungan, sensor ASTER hanya akan merekam daerah target sesuai dengan perintah dari kontrol pusat (Abrams, 2000). Artinya resolusi spasial dan temporal dari citra ASTER tidaklah berkesinambungan. Tabel 1.1. Macam Saluran dan Panjang Gelombang Sensor ASTER Saluran
Nama Saluran
Panjang Gelombang (µm)
Resolusi (m)
1
VNIR Band 1
0,520 – 0,600
15
2
VNIR Band 2
0,630 – 0,690
15
3
VNIR Band 3N
0,760 – 0,860
15
1,600 – 1,700 2,145 – 2,185 2,185 – 2,225 2,235 – 2,285 2,295 – 2,365 2,360 – 2,430 8,125 – 8,475 8,475 – 8,825 8,925 – 9,275 10,250 – 10,950 10,950 – 11,650
30 30 30 30 30 30 90 90 90 90 90
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
SWIR Band 4 SWIR Band 5 SWIR Band 6 SWIR Band 7 SWIR Band 8 SWIR Band 9 TIR Band 10 TIR Band 11 TIR Band 12 TIR Band 13 TIR Band 14
Deskripsi Pankromatik Hijau/Kuning Pankromatik Merah Inframerah Dekat
Inframerah Tengah
Inframerah Thermal
(Abrams, 2000)
16
Data ASTER dapat digunakan untuk membuat peta tematik mengenai suhu permukaan, emisivitas, tingkat pantulan, dan ketinggian. 1.5.3.3. Level Data Citra ASTER ASTER terdiri dari tiga buah subsistem yang merekam 14 saluran spektral dengan resolusi 15 meter pada saluran 1-3 (subsistem VNIR), 30 meter pada saluran 4-9 (subsistem SWIR) dan 90 meter pada saluran 10-14 (subsistem TIR). Data hasil perekaman sensor ASTER mempunyai beberapa tingkatan atau level, yaitu (Abrams et. al, 2001) : 1. Level 0
Data level 0 merupakan data citra ASTER yang paling sederhana dari hasil perekaman sensor yang dikirim dari EOS Data Operations System (EDOS) yang masih berupa satu paket data mentah. 2. Level 0A
Data level 0A adalah data level 0 yang telah diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi empat data yaitu data dari VNIR band 1 dan 2, data dari VNIR band 3N dan 3B, data dari semua saluran SWIR dan data dari semua saluran TIR. Data ini selanjutnya disimpan dalam format Band Interleaved by Pixel (BIP). Kemudian data ini dilakukan proses pemisahan data spektral untuk tiap band ke dalam format Band Sequential (BSQ), sehingga pada level ini data tidak lagi teridentifikasi ke dalam empat kelompok, tetapi hanya tersusun menjadi tiga kelompok (VNIR, SWIR, dan TIR) yang berisi data citra, data pelengkap instrumen, dan data tambahan wahana satelit. 17
3. Level 0B
Data level 0B adalah data level 0A yang telah ditambahi data sistem koreksi geometrik dan data sistem koreksi radiometrik. Data level ini dapat digunakan untuk pencocokan citra (image matching) dan penghitungan tutupan awan. 4. Level IA
Data level IA adalah data dari level 0B yang sudah dilakukan proses pemotongan data citra setiap 60 km sepanjang garis penjejak. Data tersebut meliputi data citra, data koefisien radiometrik, data lokasi titik-titik di bumi (geo location) dan data-data tambahan. 5. Level IB
Data level IB adalah data pada level IA yang telah dilakukan proses kalibrasi radiometrik dan proses resampling geometrik. 1.5.4. Sistem Termal 1.5.4.1. Interaksi Radiasi Termal dengan Permukaan Bumi Sensor penginderaan jauh sensitif pada panjang gelombang inframerah termal dan dapat digunakan untuk mengukur pancaran temperatur dari obyekobyek di permukaan bumi. Pancaran temperatur tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengidentifikasi obyek satu terhadap obyek yang lain. Pancaran temperatur suatu obyek dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu emisivitas, temperatur kinetik, karakteristik termal, dan nilai pemanasan (Curran, 1985).
18
(1) Emisivitas adalah ukuran dari kemampuan suatu material untuk memancarkan dan menyerap energi. Material dengan emisivitas tinggi menyerap energi yang datang dan memancarkan energi kinetik yang besar (Sabins, 1987). (2) Temperatur kinetik (Tkin) adalah temperatur dari obyek yang dapat diukur menggunakan termometer atau pengindra termal yang lain. Tkin secara positif terkait dengan temperatur radian (Trad), karena obyek panas yang memiliki Tkin tinggi juga memiliki emisivitas yang kuat pada saluran inframerah termal spektrum elektromagnetik, sehingga memiliki Trad yang tinggi pula. Tkin dari suatu obyek tidak sama denganTrad yang terekam pada sensor penginderaan jauh, terkecuali benda hitam. Didalam analisa penginderaan jauh termal, efek dari emisivitas harus diperhitungkan untuk memperoleh nilai Tkin yang akurat (Curran, 1985). (3) Karakteristik termal dari obyek di permukaan bumi mempengaruhi bagaimana panas terdistribusi dan bagaimana temperatur dari obyek bervariasi dalam waktu dan kedalaman (Curran, 1985). (4)
Nilai
pemanasan
lebih
sering
diartikan
sebagai
tingkat
pemanasan,dan nilai pemanasan dari beberapa daerah pada permukaan sangat dipengaruhi oleh intensitas serta tingkat absorbsi dari insolasi matahari (Curran, 1985).
19
1.5.4.2. Temperatur Permukaan Temperatur dalam kamus Webster diartikan sebagai suatu ukuran relatif tentang panas dan dinginnya suatu benda dalam suatu skala tertentu. Kata relatif merujuk pada kebutuhan akan skala yang diperlukan untuk menyatakan temperatur sedangkan kata panas dan dingin suatu benda mengandung konsep panas. Walaupun begitu, pada dasarnya temperatur berbeda dengan panas. Temeperatur merupakan ukuran intensitas panas dan bukan kuantitas. Sebagai contoh satu meter kubik air mungkin akan memiliki temperatur yang sama dengan satu kubik udara, tetapi volume air akan mengandung panas yang lebih banyak jika dibandingkan dengan volume udara (Wisnubroto, 1986). Temperatur permukaan – atau secara internasional dikenal sebagai land surface temperature – adalah seberapa panas “permukaan” bumi ketika disentuh. Melalui citra satelit “permukaan” mengacu pada sisi dari berbagai macam obyek di permukaan tanah yang nampak ketika dilihat dari atmosfer. Permukaan ini bisa saja berupa salju dan es, rumput di halaman, atap dari suatu bangunan, atau daun yang menjadi kanopi di hutan. Jadi temperatur permukaan tidak sama dengan temperatur udara yang sering digunakan untuk memperkirakan keadaan cuaca (NASA, 2000). Temperatur permukaan dapat diukur dengan menggunakan termometer inframerah genggam dan observasi melalui citra satelit. Data temperatur permukaan yang diturunkan dari data satelit telah digunakan untuk studi iklim urban (Streutker, 2003. Weng, 2001), studi vegetasi urban (Honjo dan Sawada,
20
2003), studi evapotranspirasi (Quattrochi dan Luvall, 1999), hingga monitoring desertifikasi (Anh dkk, 2006). 1.5.5. Pengolahan Citra Digital Citra digital adalah citra yang diperoleh, disimpan, dimanipulasi, dan ditampilkan dengan basis logika biner. Citra ini meliputi citra yang dihasilkan melalui bantuan pelarik atau skaner (scanner), dihasilkan dengan bantuan perangkat lunak CAD (Computer-aided Design), maupun citra yang diperoleh dari sistem perekaman melalui sensor yang dipasang pada pesawat terbang ataupun satelit. Citra ini biasanya disimpan pada media magnetik (disket, hard disk, compact disk, maupun CCT atau computer compatible tape), dan dapat ditampilkan menjadi gambar pada layar monitor (Danoedoro, 1996). Citra digital didalam bidang ilmu penginderaan jauh oleh Danoedoro (1996) dijelaskan sebagai citra yang menggambarkan kenampakan permukaan (atau dekat permukaan) bumi, dan diperoleh melalui proses perekaman pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik secara tidak serentak dengan sensor pelarik yang terpasang pada suatu wahana, baik itu pesawat udara maupun wahana ruang angkasa. Informasi citra penginderaan jauh diperoleh melalui suatu tahapan yang disebut sebagai pengolahan citra digital. Lillesand (2004) mendefinisikan pengolahan citra digital sebagai manipulasi dan interpretasi citra digital penginderaan jauh dengan menggunakan bantuan komputer. Pengolahan citra penginderaan jauh saat ini telah berkembang seiring dengan pesatnya 21
perkembangan teknologi komputer terutama dalam kemampuan memproses data dengan kecepatan tinggi dan daya simpan data yang sangat besar. Tahap awal dalam pengolahan citra untuk ekstraksi informasi adalah pemberian warna pada setiap julat (rentang, range) nilai piksel, dengan asumsi bahwa tiap julat nilai mewakili kenampakan obyek tertentu. Tahap berikutnya adalah transformasi nilai asli piksel, sehingga dihasilkan nilai baru yang secara konfiguratif membentuk citra yang lebih tajam, jelas, dan lebih mudah dianalisis untuk keperluan tertentu. Tahap yang lebih rumit lagi adalah klasifikasi obyek berdasarkan serangkaian informasi serentak sejumlah nilai piksel dari beberapa saluran (Danoedoro, 1996). 1.6.
PenelitianTerdahulu Myung Hee Joo (2000), menganalisa kaitan antara temperatur
permukaan kota dengan penutup lahan dan NDVI menggunakan citra Landsat TM multi temporal dan data observasi. Data temperatur perkotaan diperoleh dari analisa band 6 Landsat TM. Data penutuplahan diperoleh dari klasifikasi multispektral, sedangkan data NDVI diperoleh dari analisa band 3 dan 4 Landsat TM. Hasil dari analisis antara temperatur permukaan, NDVI, dan penutup lahan dipandang sebagai metodologi yang efektif untuk menujukkan pulau panas perkotaan di masa mendatang. Chrysoulakis (2001),dalam penelitiannya yang berjudul Energy In The Urban Environment: Use Of TERRA/ASTER Imagery As A Tool In Urban Planning menggunakan data VNIR dan TIR ASTER untuk menganalisa
22
temperatur permukaan kota. Pendekatan yang dilakukan untuk analisa temperatur permukaan kota adalah dengan mengaitkan hubungan antara liputan vegetasi dengan kenampakan topografi di daerah penelitian. Dias Eramudadi (2008), melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Data Thernal Infrared Radiometer (TIR) Citra ASTER untuk Estimasi Temperatur Permukaan Di Kota Tegal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan estimasi dari suhu permukaan dengan menggunakan data citra ASTER subsistem TIR. 1.7.
KerangkaPemikiran Ketika radiasi matahari mengenai obyek di permukaan bumi, maka ada
beberapa kemungkinan yang dapat terjadi dalam proses interaksi, yaitu : energi yang diterima olah obyek akan diserap, ditransmisikan, dipantulkan, dihamburkan, atau diemisikan. Besarnya energi hasil interaksi tersebut akan bervariasi berdasarkan jenis materi dan kondisi obyek, panjang gelombang dan frekuensi dari radiasi, serta sudut ketika radiasi mengenai permukaan obyek. Energi hasil interaksi dari obyek dapat direkam dengan menggunakan sensor penginderaan jauh sistem satelit, yang kemudian disimpan dalam bentuk citra.Sebuah citra disusun oleh ratusan bahkan ribuan piksel yang mengandung nilai digital, dan nilai digital pada sebuah citra akan mewakili besarnya energi dari obyek-obyek di permukaan bumi yang berhasil direkam oleh sensor. Variasi nilai dari energi yang dikandung oleh setiap obyek pasti berbeda, dan ini dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi sebuah obyek. 23
ASTER menyimpan nilai digital ke dalam 3 subsistem, yaitu VNIR, SWIR, dan TIR. Subsistem VNIR dan SWIR menggunakan panjang gelombang tampak dan inframerah dekat untuk merekam sinyal pantulan dari sebuah obyek, sehingga subsistem ini baik digunakan untuk merepresentasikan kondisi penutup lahan. Subsistem TIR merekam sinyal pada bagian spektrum inframerah termal yang diakibatkan oleh radiasi elektromagnetik yang diemisikan dari obyek di permukaan bumi, dan subsistem ini baik digunakan untuk merepresentasikan kondisi temperatur dari sebuah obyek. Secara temporal, mengacu pada kemampuan yang ditawarkan ketiga subsistem, citra ASTER dapat digunakan untuk memantau perubahan penggunaan lahan dan perubahan temperatur, dan lebih lanjut pengaruh dari perubahan penutup lahan terhadap temperatur dapat dianalisa.
24
Gambar 1.3. Skema Kerangka Pemikiran
25
1.8.
Batasan Operasional
Citra Digital adalah citra yang diperoleh, disimpan, dimanipulasi, dan ditampilkan dengan basis logika biner (Danoedoro, 1996). Nilai spektral adalah jumlah energi yang dipantulkan dan diemisikan dari permukaan bumi yang dicatat oleh sensor (Jensen, 1986). Penutup Lahan adalah tutupan (bio)fisik suatu lahan yang teramati di permukaan bumi (FAO, 2000). Penggunaan Lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen atau siklus terhadap suatu kumpulan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya baik kebendaan maupun spiritual ataupun keduanya (Malingreau, 1978). Tipe Penggunaan Lahan adalah macam penggunaan lahan yang telah dideskripsikan menjadi lebih detil sesuai dengan tujuan yang diperlukan (FAO, 1976) Pixel merupakan data yang punya aspek spasial (ukuran luas yang terwakili) dan sekaligus aspek spektral (besarnya nilai pantulan yang tercatat) (Danoedoro, 1996). Respon spektral adalah respon atau tanggapan dari material sebagai fungsi dari panjang gelombang yang terjadi pada energi elektromagnetik, khususnya energi yang diukur pada waktu dipantulkan dan dipancarkan oleh material (Swain & Davis, 1978)
26
Temperatur adalah suatu ukuran relatif tentang panas dan dinginnya suatu benda dalam skala tertentu (Kamus Webster). Temperatur permukaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah temperatur yang diukur diatas permukaan tanah atau penutup lahan. Termometer inframerah genggam sering dipasang pada menara atau stasiun cuaca otomatis
27