BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Setiap orang tua menginginkan anak yang dilahirkannya sempurna dan sehat baik secara fisik maupun mental. Tapi tidak sedikit pula yang dilahirkan dengan kekurangan, salah satunya adalah keterbelakangan mental. Sindroma Down ditemukan oleh Dr. John Langdon Down, seorang dokter Inggris yang bekerja di Surrey. Sindroma Down diartikan sebagai kondisi abnormal semenjak lahir dengan dahi lebar dan rata, garis mata yang khas, mempunyai kelainan mental dan kelainan organ yang disebabkan oleh kelainan kromosom (Webster’s Unabridged Dictionary of the English Language). Diartikan juga sebagai suatu kerusakan atau cacat fisik bawaan yang disertai keterbelakangan mental, lidahnya tebal dan retak-retak atau terbelah wajahnya datar ceper dan matanya miring (Kamus Lengkap Psikologi, 1989) Sindroma Down merupakan cacat mental yang disebabkan karena kelainan kromosom
yang
mengakibatkan
kelainan
metabolik
yang
selanjutnya
mempengaruhi pertumbuhan otak secara negatif dan mengakibatkan retardasi mental (Supratiknya, 1995: 79). Sindroma Down sering disebut sebagai mongolisme dan sering terjadi pada anak-anak (Lefrancois, 1973: 80-81) Menurut angka kelahiran di dunia penderita sindrom Down dapat terjadi pada setiap 1 dari 700 kelahiran (Encarta, 2001). Penderita sindroma Down sendiri memiliki retardasi mental sangat berat. Penderita sindroma Down biasanya memiliki IQ 20-50 (Berk, 1994: 83) mereka
1
sering disebut dengan “life support retarded”, golongan lemah mental yang perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup (Supratiknya, 1995: 78) tetapi pada kenyataannya dengan penangannan yang tepat IQ mereka dapat bertambah. Penderita sindroma Down rata-rata memiliki angka kehidupan yang pendek. Hal ini disebabkan karena seringkali penderita sindroma Down mengalami kelainan jantung bawaan, ketulian, kejang-kejang, mutisme, selain itu mereka memiliki kekebalan tubuh yang rentan terhadap penyakit (Supratiknya,1995: 78). Penderita sindroma Down yang hidup hingga umur 1 tahun berjumlah 14%, 21% hingga umur 10 tahun sedangkan sisanya dapat hidup hingga dewasa (Berk,1994: 83). Tetapi hanya 33% penderita sindroma Down yang dapat bertahan hidup hingga 50 tahun ( Hall,1985). Angka kelahiran penderita sindroma Down juga dipengaruhi oleh usia kehamilan ibu, semakin tua usia ibu saat mengandung semakin besar kemungkinan kelahiran penderita sindroma Down. Di dunia ada 8 juta penduduk dunia yang menderita sindroma Down dan 300.000 jiwa diantaranya berada di Indonesia. Jumlah penderita sindroma Down di Yogyakarta yang didapat adalah: RS. Dr. Sarjito (±20% dari Pusat pelayanan Sindroma Panti asuhan
Cacat mental
seluruh penderita yang ada) Down Bunga Melati
Panti Asih
di Yogyakarta
Tahun Rawat inap
Rawat jalan Kelas reguler
1999
-
-
-
-
-
6407
2000
-
-
-
-
-
6392
2001
14
5
-
-
-
11184
2002
20
9
-
-
3
-
2003
31
4
4
-
3
-
2004
15
27
7
2
5
-
2005
-
-
10
5
8
-
Terapi
Tabel 1.1.a. Data Jumlah Penderita Sindroma Down di Yogyakarta Sumber: Instalasi Catatan Medik RS. Dr. Sarjito, Dinas Pendidikan D.I Yogyakarta
2
Data menunjukan bahwa jumlah penderita sindroma Down yang ada di Yogyakarta, semakin meningkat. Orang tua yang memiliki anak sindroma Down ataupun salah satu keluarganya merupakan penderita sindroma Down terkadang malu untuk membawa penderita untuk bersosialisasi. Selain dianggap memalukan juga biasanya orang tua ataupun keluarga tidak mau repot, terutama yang memiliki anak atau keluarga yang hiperaktif. Sehingga penderita dikurung di rumah saja. Yogyakarta sendiri merupakan kota pendidikan yang menjadi tujuan utama untuk pendidikan. Data yang ada menunjukan SLB terbanyak berada di Yogyakarta tetapi penerapan khusus bagi penanganan penderita sindroma Down sendiri hanya satu dan itupun belum tercatat pada Dinas pendidikan Yogyakarta. Adapun data sekolah di Yogyakarta: Jenjang
Jumlah Fasilitas
Jumlah Jenjang Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan
Fasilitas Pendidikan
TK
1971
SMK
147
SD
2063
SLB
51
SLTP
417
MADRASAH
266
SMTP
30
PERGURUAN TINGGI
127
SMU
187 Tabel 1.1.b. Jumlah Sekolah di Yogyakarta Sumber : Dinas Pendidikan D.I Yogyakarta
Jumlah sekolah luar biasa yang ada diYogyakarta: SLB Kulon Progo
Gunung Kidul
Swasta
-
2
Negri
7
12
Sleman
Yogyakarta -
22
Tabel 1.1.c. Jumlah SLB di Yogyakarta Sumber: Biro Pusat Statistik
3
DIY
3
5
5
46
Saat ini hanya terdapat satu buah Pusat Pelayanan dan Informasi Down Syndrome Bunga Melati yang terletak di Jl. Jendral Sudirman 69. Selain itu, pada Yayasan panti asuhan Panti Asih Penderita sindroma Down diperlakukan sama dengan penderita lainnya hal ini menyebabakan keterlambatan perkembangan dan kretivitas penderita sindroma Down. Penderita menjadi pasif, anti sosial dan menyukai ruang sudut. Lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan penderita sindroma Down, semakin lingkungan yang ada disekitarnya mampu menerima penderita sindrom Down semakin mudah mereka berkembang. Fasilitas yang lengkap dan aktivitas tersebut dapat memacu penderita sindroma Down berkreasi, maka mereka semakin mudah ditangani dan lebih mudah berinteraksi terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya. Pola asuh di rumah juga sangat memepengaruhi perkembangan penderita. Mereka sebaiknya tidak ditempatkan pada kondisi tertekan. Hal ini dikarenakan penderita akan cenderung meredam emosi dan akhirnya ketika emosi tidak dapat ditahan mereka akan marah dan memukul. Oleh sebab itu diperlukan parents class untuk melatih orang tua dan memeberi pengetahuan bagi orang tua. kelas ini dikhususkan bagi orang tua ataupun keluarga yang ingin melatih anaknya di rumah. Hal ini diperlukan karena selain di pusat pelayanan penderita sindroma Down mereka belajar, tetapi apa yang sudah dipelajari harus terus diterapkan di rumah, selain itu mencegah cara penanganan yang salah. Parents class dapat memberikan informasi dan pelatihan bagi orang tua dan keluarga ataupun masyarakat umum agar dapat membantu menstimulus penderita sindroma Down dilingkungan keluarga maupun dalam masyarakat. Ada pula asrama bagi penderita sindroma Down yang mengikuti kelas
4
privat. Hal ini dilihat dari pengunjung Pusat Pelayanan dan Informasi Down Syndrome Bunga Melati yang tidak hanya berasal dari derah Yogyakarta. Selain itu juga disediakan perpustakaan ataupun keperluan informasi lainnya bagi masyarakat umum yang ingin mengetahui ataupun berkonsultasi tentang sindroma Down. Hal ini diperlukan karena sulitnya informasi dan pemahaman masyarakat tentang sindroma Down. Ruang terapi yang ada juga dapat memenuhi semua kebutuhan penderita, selain itu ruangan terapi dapat pula digunakan oleh umum yang ingin menggunakan kelas terapi salain penderita. Setiap ruangan dibuat sesuai dengan perkembangan pola perilaku penderita sindroma Down. Ini diperuntukan agar dapat membantu menstimulus penderita sindroma Down baik dari segi penghawaan, sirkulasi antar ruangan, baik yang menuju bangunan maupun dalam ruangan itu sendiri, pencahayaan, bentuk ruang, suasana yang diciptakan, warna, perabotan yang digunakan dan material bangunan baik interior maupun eksetrior, hal ini diharapkan memepermudah gerak dan aktivitas penderita sindrom Down itu sendiri. . Ruangan tidak memiliki banyak bukaan, memperhatikan arah bukaan. Ada bukaan atau jalan khusus apabila dalam keadaan darurat, dapat berupa lorong diatas plafond, ataupun boven menggunakan ukuran manusia.. Ruang yang dibutuhkan penderita sindroma Down adalah ruang yang memenuhi kebutuhan terapi, menstimulus penderita agar dapat hidup lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan perilaku penderita itu sendiri (Ibu Muhadi , Kepala sekolah Pusat terapi gangguan perkembangan Cinta Ananda) Ruangan yang dibutuhkan adalah (Ibu Emilia, pengasuh Yayasan Bunga Melati dan hasil survei):
5
a. Penanganan penderita •
Τerapi dasar
•
Terapi lanjutan, terapi kognitif
•
Terapi edukasi
•
Terapi tambahan
b. Ruang pendukung pelayanan c. Ruang pelayanan umum d. Parents class Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan sikap, tidak saja badan ataupun ucapan (Tim Penyususn Kamus PPPB, 1988:635) Pada dasarnya ada dua perilaku penderita sindroma Down. Yang pertama adalah bahwa mereka merupakan individu-individu yang tenang dan mudah diatur. Yang lain adalah bahwa mereka merupakan orang-orang yang keras kepala dan sulit dikontrol. (Selikowitz, 1990). Kendala utama dari penderita sindroma Down adalah keterbatasan dalam gerak dan otot, penderita tidak dapat berjalan terlalu lama terutama pada penderita yang baru belajar berjalan. Batas maksimal yang dapat ditempuh penderita rata-rata adalah 500m. Karena itu diperlukan pararel bar untuk membatu pergerakan, adapula dengan menggunakan triport sebagai alat bantu. Ruang kelas ataupun ruang terapi dapat digunakan sepanjang hari, dengan membagi waktu penggunaan. Pada pagi hari digunakan untuk penderita anakanak, siang hari digunakan untuk penderita remaja dan dewasa untuk terapi ADL dan pada malam hari digunakan untuk parents class. Penderita privat dapat mengatur jadwalnya sendiri.
6
Yogyakarta merupakan daerah yang sejuk. Lokasi dipilih berdasarkan kebutuhan penderita sindroma Down. Menghindari kebisingan sehingga memeberikan ketenangan bagi penderita sindroma Down itu sendiri, dan masyarakat umum yang memerlukan informasi maupun pelatihan.
1.2. Rumusan Masalah Bagaimana merancang pusat penanganan khusus penderita sindroma Down di Yogyakarta yang dapat mewadahi semua aktivitas: melatih, memberi pendampingan, informasi bagi orang tua dan terapi bagi penderita sindrom Down, dengan memperhatikan pola perilaku penderita sindrom Down agar penderita dapat hidup mandiri.
1.3. Tujuan Merancang pusat penanganan khusus penderita sindroma Down
di
Yogyakarta dengan pendekatan pola perilaku sebagai acuan desain perencanaan agar dapat mewadahi semua aktivitas bagi penderita sindrom Down.
1.4. Sasaran 1. Melakukan studi tentang pendidikan, pelatihan, penanganan, terapi bagi penderita sindroma Down, tentang peralatan-peralatan yang digunkan. 2. Melakukan studi tentang perilaku penderita sindroma Down terutama tentang psikologis dan fisik penderita untuk mendesain bangunan. 3. Melakukan studi tentang Yogyakarta yang berkaitan dengan pemilihan site.
7
4. Melakukan studi tentang fasilitas yang diperlukan dalam pusat penanganan penderita sindroma Down.
1.5. Lingkup Pembahasan 1. Pelayanan bagi semua penderita sindroma Down dengan kategori umur: anak (3-12 tahun), remaja (13-18 tahun), dewasa (>18 tahun). 2. Perilaku yang diamati adalah perilaku penderita sindroma Down baik secara fisik maupun mental. 3. Fasilitas pelayanan diberikan berupa pelatihan terapi bagi informasi dan pelatihan bagi masyarakat umum dan keluarga penderita itu sendiri. 4. Berdasarkan pengamatan, studi literature dan wawancara penderita sindroma Down mengalami kesulitan baik secara fisik dan mental, sehingga fasilitas dengan memeperhatikan warna, bentuk ruang, masa, sirkulasi,
material,
orientasi
ruang,
furniture,
penghawaan,
pencahayaan. 5. Yogyakarta dibatasi dengan pemilihan site, dan pengaruh lingkungan bagi penderita sindroma Down. 6. Fasilitas-fasilitas pelayanan yang meliputi pusat pelayanan sindroma Down.
1.6. Metode 1. Wawancara Ditujukan pada orang tua, keluarga, dokter, terapis yang menangani penderita sindroam Down.
8
2. Studi pustaka dan literature Memepelakari buku-buku tentang penderita sindroma Down, penanganan penderita sindroma Down dan tempat terapi 3. Studi banding Melihat langsung bangunan yang sejenis yang ada di Yogyakarta dan tempat lainnya antara lain Panti Asuhan Panti Asih, Yayasan Bunga Melati, Sugih Asih, Cinta Ananda di Malang.
1.7. Menganalisa Data 1. Kuantitatif. a. Mengitung jumlah penderita sindroma Down yang ada di Yogyakarta. b. Menghitung kemungkinan kelahiran penderita sindroma Down. 2. Kualitatif. c. Jumlah penderita sindroma Down yang ada di Yogyakarta yang meningkat d. Kemungkinan kelahiran penderita sindroma Down 1 dari 700 kelahiran.
1.8. Metode Perancangan Menggunakan perinsip-perinsip bangunan pusat pelayanan bagi penderita sindromDown dengan pola perilaku penderita sebagi acuan desain.
9
1.9. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Mengunkapakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, sasaran,
lingkup, metode, dan sistematika panulisan. BAB II
TINJAUAN
BANGUNAN
PENANGANAN
PENDERITA
SINDROMA DOWN Mengungkapkan tinjaun penderita sindroma Down di Yogyakarta beserta fasilitas dan penanganan yang ada BAB III
TINJAUAN PERILAKU PENDERITA SINDROMA DOWN Mengungkapkan tentang perilaku penderita sindroma Down sebagi
acuan desain. BAB IV
ANALISA KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Menuju konsep perencanaan dan perancangan bangunan penanganan
penderita sindrom Down. Mengungkapkan proses untuk menemukan ide-ide konsep perencanaan dan perancangan melalui metode-metode tertentu yang diaplikasikan pada lokasi atau site tertentu. BAB V
KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT
PENANGANAN PENDERITA SINDROMA DOWN Mengungkapkan konsep-konsep yang akan ditransformasikan dalam rancangan fisik arsitektural.
10