BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Penyandang disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang menyandang keterbelakangan mental atau memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan atau sering disebut tunagrahita selama ini dalam masyarakat luas masih dianggap sampah yang akan menjadi beban keluarga dan masyarakat. Penyandang disabilitas intelektual (PDI) dipandang sebagai anak yang tidak berguna seperti anak-anak normal pada umumnya. Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan ini menjadi masalah yang cukup penting, perlu adanya perubahan pola pikir masyarakat dan keluarga penyandang disabilitas intelektual dalam membina para penyandang disabilitas intelektual. Penyandang disabilitas intelektual dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok penyandang disabilitas intelektual ringan, sedang, dan berat. Pada penelitian ini, penulis memilih objek penelitian adalah Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan (PDI), karena kelompok tersebut tampil tidak berbeda jauh dengan anak pada umunya (Nuraeni, 1997: 106). Hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian upaya pemberdayaan keluarga dalam pengembangan kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan. Alasan yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul upaya pemberdayaan rumah tangga dalam pengembangan kemandirian
1
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan di Temanggung adalah bahwa Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung merupakan balai besar rehabilitasi tunagrahita atau Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan di bawah Kementerian Sosial RI yang bertempat di Kabupaten Temanggung. Banyak Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dari berbagai wilayah Indonesia menjalani rehabilitasi di BBRSBG Kartini. Untuk di Kabupaten Temanggung sendiri hanya beberapa Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan yang menjalani rehabilitasi di BBRSBG Kartini. Tentunya hal tersebut sangat disayangkan sekali mengingat lokasi rehabilitasi berada di wilayah Kabupaten Temanggung. Hal tersebut dapat terlihat dalam tabel berikut ini: Tabel 1.1 Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kabupaten Temanggung Tahun 2008-2011 Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan Tahun Anak Dewasa 2008
376
499
2009
332
209
2010
332
609
2011
337
607
Sumber: Buku Rekapitulasi Data PMKS dan PSKS Kabupaten Temanggung Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jumlah Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan yang cukup banyak, sementara daya tampung BBRSBG Kartini tidak mencukupi. Untuk penjangkauan rehabilitasi penyandaPenyandang Disabilitas Intelektual Ringan maka BBRSBG memberikan program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga atau disingkat PRSBK. Pelayanan
2
rehabilitasi
sosial
berbasis
keluarga
(PRSBK)
ini
diupayakan
untuk
memberdayakan keluarga, Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan, serta masyarakat
dalam
pengembangan
kemampuan
Penyandang
Disabilitas
Intelektual Ringan. Adapun jumlah peserta program PRSBK di Kabupaten Temanggung dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 1.2 Jumlah Peserta Program PRSBK Kabupaten Temanggung Tahun 2008-2011 Tahun Jumlah 2008
4
2009
6
2010
30
2011
40
Sumber: Data Program PRSBK Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung Permasalahan mengenai Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan merupakan permasalahan yang cukup aktual. Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan identik dengan tinggal di panti-panti rehabilitasi sehingga terkesan adanya diskriminasi terhadap mereka. Keberadaan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan cukup memprihatinkan dengan adanya anggapan mereka menjadi beban keluarga dan masyarakat. Dalam majalah Jemari edisi 113/Tahun XI/Juni 2010 halaman 48-49 yang dibaca oleh peneliti, Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) Prof Dr Haryono Suyono mengatakan bahwa dengan hidup di panti-panti berarti yang mendapat penanganan hanya terbatas pada Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dan
3
keluarga saja berbeda bila mereka hidup di masyarakat. Selain itu Ketua Umum DNIKS juga mengungkapkan bahwa akan mencoba membuat panti-panti tanpa dinding yaitu dengan mengajak pengelola panti untuk turun ke pedesaan melalui Pos-Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya), Posdaya inilah yang akan menjadi tempat untuk menangani anak-anak Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan memperoleh keterampilan untuk menjadi bekal ketika terjun ke masyarakat. Dari model pemberdayaan yang dikemukakan oleh Ketua Umum DNIKS tersebut, penulis memfokuskan pada program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga yang ada di Kabupaten Temanggung. Dalam rangka memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan untuk memperoleh pelayanan sosial, salah satu strategi Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung adalah memperluas jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dalam masyarakat. Strategi ini diimplementasikan melalui penyelenggaraan program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga. Berdasarkan observasi penulis di wilayah Kabupaten Temanggung dapat diketahui bahwa Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan mendapatkan program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK). Orang tua dan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan tersebut diberikan program pelayanan untuk meningkatkan kemampuan anak dan orang tuanya baik dari segi ekonomi ataupun dari sosialnya. Dalam pelaksanaan program tersebut maka anak dan orang tua diberikan pelayanan program secara rutin dan akan terus dipantau perkembangannya oleh fasilitator program. Perkembangan anak dan orang tua
4
akan dicatat dan dilaporkan hasilnya untuk mengetahui perkembangan dan evaluasi terhadap program tersebut. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Upaya Pemberdayaan Rumah Tangga dalam Pengembangan Kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan (Studi pada Rumah Tangga Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan Program PRSBK Binaan BBRSBG Kabupaten Temanggung)” dikarenakan program tersebut sangat menarik sekali untuk diteliti dimana program tersebut sangat bermanfaat bagi pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan yang tidak mendapatkan fasilitas untuk dibina di panti rehabilitasi sosial dikarenakan beberapa faktor. Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan tersebut diasuh oleh orang tuanya sendiri disebabkan kemungkinan kekhawatiran orang tua apabila anak diasuh oleh pihak lain, orang tua ingin lebih dekat dengan anaknya, faktor lokasi rehabilitasi yang jauh dari lokasi sehingga akan mempersulit pertemuan orang tua dengan anak. Oleh karena itu program pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan berbasis rumah tangga tersebut penting untuk diteliti untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan program tersebut dijalankan dan faktor pendukung dan penghambat apa saja yang ada selama program tersebut dilaksanakan. 2. Orisinalitas Terkait dengan orisinalitas, sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan mengenai Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan, namun berdasarkan penelusuran yang telah penulis lakukan, tidak ditemui adanya penelitian dengan judul “Upaya Pemberdayaan Rumah Tangga dalam Pengembangan Kemandirian
5
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan (Studi pada Rumah Tangga Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan Program PRSBK Binaan BBRSBG “Kartini” Temanggung)”. Dalam hal ini penulis hanya menemukan beberapa penelitian yang memiliki beberapa aspek yang sama dengan penelitian penulis tetapi juga sekaligus memiliki beberapa perbedaan. Salah satunya adalah penelitian tesis Universitas Indonesia yang dilakukan oleh Moch. Zaenal Hakim dengan
judul
Pemberdayaan
Penyandang
Cacat
melalui
Rehabilitasi
Bersumberdaya Masyarakat: Studi Kasus Pelaksanaan Pemberdayaan terhadap Lima Orang Penyandang Cacat Melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat di Kelurahan Dago Kecamatan Coblong Kota Bandung. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan adalah pada kajiannya yang membahas tentang proses pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan. Hanya saja pada penelitian tersebut kajian pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan
yang dilakukan adalah berbasis sumberdaya
masyarakat serta berlaku untuk seluruh Penyandang Disabilitas apapun, sedangkan yang penulis lakukan lebih fokus pada pemberdayaan berbasis keluarga dan hanya pada Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan. Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Melli Manuhuruk dan Tuti Atika yang berjudul Metode Pelayanan Sosial terhadap Anak Tuna Grahita di Sekolah Tuna Grahita (SLB-C) Santa Lusia Medan. Penelitian tersebut dan penelitian yang akan penulis lakukan sama-sama mengangkat tema tentang pemberdayaan anak Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan. Hanya saja pada penelitian tersebut lebih difokuskan pada upaya pemberdayaan melalui
6
pelayanan sosial secara formal yaitu di sekolah, sedangkan yang akan penulis lakukan adalah pemberdayaan berbasis keluarga sehingga tidak mencakup aspek pelayanan sosial di sekolah. Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Rina Juwitasari dengan judul Relasi Relawan Sosial dan Penyandang Disabilitas dalam proses Pemberdayaan Berbasis Exchange Theory (Studi Kasus Pada Orsos Kasih Sayang Desa Krebet Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo). Penelitian tersebut dan penelitian yang akan penulis lakukan sama-sama mengangkat tema tentang pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan. Hanya saja pada penelitian tersebut lebih difokuskan pada upaya pemberdayaan berbasis Exchange Theory, sedangkan yang penulis lakukan adalah pemberdayaan berbasis keluarga sehingga tidak mencakup aspek organisasi sosial. Berdasarkan uraian beberapa penelitian terdahulu tersebut, dapat dilihat adanya keaslian dari penelitian yang akan penulis lakukan. 3. Relevansi dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Keterkaitan dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah bahwa ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan merupakan ilmu yang memperlajari tentang masyarakat dan pembangunan masyarakat. Pembangunan masyarakat merupakan suatu upaya untuk menciptakan hubungan yang seimbang antara sumberdaya, antara kebutuhan hidup manusia (needs) dengan sumbersumber pemenuhan kebutuhan (resources) yang terdapat di suatu daerah sehingga tercapainya kesejahteraan penuh baik kesejahteraan fisik, kesejahteraan mental, maupun kesejahteraan sosial masyarakat. Ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan memiliki tiga kajian keilmuan
7
di antaranya Social Policy, Community Development, dan Coorporate Social Responcibility. Seperti yang dikatakan Suharto bahwa dalam pembangunan kesejahteraan sosial terdapat tiga fokus yakni pelayanan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006: 19). Pembangunan kesejahteraan sosial memiliki beberapa misi diantaranya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang meiliki kemampuan dalam menjangkau dan memenuhi kebutuhan dasar sesuai harkat martabat kemanusiaan, memperkuat kepedulian masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial sejalan dengan prinsip masyarakat peduli (caring society) dan kesetiakawanan sosial, memantapkan dan mengembangkan keberdayaan dan ketahanan sosial masyarakat melalui sistem perlindungan sosial yang inklusif, partisipatif dan berkeadilan sosial (Suharto, 2006: 21). Penelitian
mengenai
upaya
pembedayaan
rumah
tangga
dalam
pengembangan kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan/PDI memiliki relevansi dengan ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan terutama Community Development. Dalam pembangunan kesejahteraan sosial terdapat beberapa arahan kebijakan dan salah satunya adalah menyelenggarakan pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial yang merata dan berkualitas, khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung (disadavantaged groups) dan berkebutuhan khusus, seperti orang miskin, orang terlantar, dan orang dengan kecacatan. Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan masuk di dalam kelompok orang dengan kecacatan yang membutuhkan pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial. Dalam pencapaian kesejahteraan tersebut ada upaya pemberdayaan sosial
8
melalui penguatan kapasitas (capacity building) para penerima pelayanan sosial sehingga nantinya mereka memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, menjangkau pelayanan sosial, serta berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara mandiri (Suharto, 2006: 22). Dari dimensi pemberdayaan, program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga (PRSBK) memiliki makna strategis, karena pertama melalui PRSBK memungkinkan keluarga dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam pelayanan yang bukan saja sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai pengupaya sekaligus sebagai penilai capaian-capaian dan keberlanjutannya. Kedua adalah meningkatkan kemampuan rumah tangga dan masyarakat untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dengan menggunakan sumber-sumber yang ada. Ketiga mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas
dalam
kehidupan
ketetanggaan.
Sebagai
konsekuensi
dari
penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga adalah keterlibatan secara aktif keluarga, masyarakat, swasta dan instansi terkait.
B. Latar Belakang Masalah Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dapat dikatakan merupakan bagian dari kondisi manusia. Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan termasuk yang memiliki gangguan jangka panjang secara fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif seseorang di dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya (ILO, 2013: 12). Disabilitas adalah definisi yang diberikan
9
oleh International Classification of Functioning for Disability and Health, yang kemudian disepakati oleh World Health Assembly dan digunakan di WHO. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri mendorong ratifikasi UU Penyandang Cacat menjadi UU Konversi Penyandang Disabilitas pada 18 Oktober 2011. Disabilitas sering salah dimaknai dan dianggap sebagai pemalu atau memiliki kepercayaan diri yang kurang. Hal demikian terjadi karena kesalahpahaman mendasar terhadap disabilitas yang tidak jarang dinilai mengalami hambatan dari lingkungan seperti kesulitan dalam mengakses fasilitas umum transportasi atau bangunan (ILO, 2013: 12). Disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat pada umumnya sebab memiliki hambatan tersendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Disabilitas seringkali tidak memiliki akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Kurangnya akses dalam transportasi, bangunan, pendidikan, dan pekerjaan merupakan beberapa contoh yang menjadi penghambat dalam kehidupan sehari-hari para disabilitas (ILO, 2013: 3). Kebanyakan keluarga besar memiliki anggota keluarga dengan disabilitas, dan banyak orang non-disabilitas mengambil tanggung jawab untuk mendukung dan memperhatikan kerabat dan teman mereka yang merupakan disabilitas (ILO, 2013: 12) Disabilitas intelektual diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedimikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan dan layanan secara khusus termasuk
10
dalam kebutuhan pendidikan dan bimbingan (Mohammad Effendi, 2005). Selain itu Johston (dalam Hendrarno dan Supriyo, 1991) menyatakan bahwa Disabilitas intelektual (tunagrahita) bukan merupakan penyakit dan tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat ditingkatkan kemampuannya dengan pendidikan, pelatihan dan perlakuan khusus, di antaranya melalui rehabilitasi sosial. Banyak sekali permasalahan yang membelit disabilitas intelektual seperti diskriminasi, pelanggaran hak, aksesibilitas, pendidikan, perlindungan sosial dan kurangnya kesempatan kerja yang menjadikan banyaknya permasalahan kesejahteraan penyandang cacat termasuk disabilitas intelektual. Dalam konvensi PBB tentang hak-hak disabilitas intelektual (United Nation Convention on The Right of Person with Disabilities) bahwa mengubah cara pandang pemerintah dan masyarakat terhadap hak asasi disabilitas yang harus dilindungi dengan penegasan penerapan konsep-konsep pokok hak asasi manusia seperti martabat (dignity), kesetaraan (equality), dan kebebasan menentukan pilihan sesuai keadaan mereka (freedom to make one’s choices to the situation of people with disability,) serta mengharuskan pemerintah untuk mengambil tindakan proaktif guna menyingkirkan kendala sikap dan lingkungan fisik serta mengembangkan komunikasi yang menghargai disabilitas dalam berpartisipasi dalam masyarakat Pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) pada November 2011. Diskriminasi terhadap disabilitas dilarang oleh banyak undang-undang. Terdapat dua perundang-undangan pokok mengenai disabilitas di Indonesia, yaitu UndangUndang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas beserta pengaturan
11
implementasinya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas (ILO, 2013: 3). Upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi disabilitas intelektual adalah melalui pengaturannya dalam regulasi, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya diwujudkan dengan memprioritaskan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi disabilitas intelektual agar dapat meningkatkan kualitas hidup, kelangsungan hidup, serta memulihkan fungsi-fungsi sosial dalam mencapai kemandirian seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009. Selain itu, dalam hal ini pemerintah juga menyelenggarakan program rehabilitasi kesejahteraan sosial untuk meningkatkan pelayanan dasar disabilitas intelektual sebagai salah satu program prioritas nasional. Terkait dengan program tersebut, Departemen Sosial melalui Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dalam hal ini memiliki peran penting untuk pelaksanaannya. Khususnya yaitu melalui Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita (BBRSBG) yang menangani rehabilitasi disabilitas intelektual, salah satunya yaitu BBRSBG Kartini Kabupaten Temanggung. Jumlah disabilitas intelektual, untuk Provinsi Jawa Tengah bisa dikatakan cukup besar. Pada tahun 2006 jumlah disabilitas intelektual Provinsi Jawa Tengah mencapai jumlah 23.216 (data dari BBRSBG Kabupaten Temanggung). Dilihat dari populasi disabilitas intelektual tentunya tak sebanding dengan kemampuan lembaga pelayanan sosial baik pemerintah maupun swasta sehingga masih banyak disabilitas intelektual yang tidak tersentuh oleh pelayanan sosial. Sementara di
12
Kabupaten Temanggung sendiri berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Pusadatin Departemen Sosial bekerjasama dengan PT Surveyor Indonesia pada tahun 2007 menyatakan bahwa jumlah disabilitas intelektual sebanyak 1.040 orang dan berdasarkan data dari Dinas Sosial Kabupaten Temanggung jumlah yang telah tertangani baru mencapai 6,27 persen (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 1). Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya untuk memperluas pelayanan bagi disabilitas intelektual. Hal demikian dikarenakan selama ini pelayanan bagi disabilitas intelektual hanya dilakukan sebatas perkenalan pada dunia sekolah, baik melalui panti rehabilitasi maupun Sekolah Luar Biasa yang kemudian membangun adanya sekat pembatas antara disabilitas intelektual dengan masyarakat luas. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk lebih membuat disabilitas intelektual dapat lebih membaur dengan masyarakat. Salah satunya yaitu melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga dalam pemberdayaan disabilitas intelektual. Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita (BBRSBG) “Kartini” Kabupaten Temanggung memprakarsai program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga (PRSBK) untuk penyandang disabilitas intelektual ringan dengan dimensi pemberdayaan masyarakat. Program tersebut memiliki makna yang strategis, pertama, memungkinkan keluarga dan masyarakat berpartisipasi aktif, bukan hanya sebagai penerima manfaat tetapi juga sebagai pengupaya sekaligus sebagai penilai capaian-capaian dan keberlanjutannya. Kedua, meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk memecahkan
13
masalah dan memenuhi kebutuhan tunagrahita dengan menggunakan sumbersumber yang ada. Ketiga, mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas dalam kehidupan ketetanggaan. Melalui program ini memungkinkan keluarga untuk lebih memiliki kesempatan dalam berperan aktif mengembangkan kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilannya guna mencapai kemandirian sesuai kondisi dan potensi yang dimiliki (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: ii). Bentuk pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga sebagai berikut: bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, pelatihan orang tua (parrents training), konseling keluarga, pendampingan dan supervisi, bantuan stimulan usaha ekonomi produktif, dan pelayanan aksesibilitas. Dari beberapa bentuk program pemberdayaan melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga maka muncul pertanyaan bagaimana implementasi program tersebut bagi keberdayaan para disabilitas intelektual ringan dan rumah tangga disabilitas intelektual ringan.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
pelaksanaan
upaya
pemberdayaan
rumah
tangga
dalam
pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual ringan di Kabupaten Temanggung? 2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam upaya pemberdayaan rumah tangga dalam pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual
14
ringan di Kabupaten Temanggung?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disusun, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis pelaksanaan pemberdayaan rumah tangga dalam pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual ringan di Kabupaten Temanggung. 2. Untuk menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pemberdayaan
rumah
tangga
dalam
pengembangan
kemandirian
penyandang disabilitas intelektual ringan di Kabupaten Temanggung. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapakan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut: 1. Menambah kajian keilmuan mengenai upaya pemberdayaan penyandang disabilitas intelektual ringan, khususnya terkait pemberdayaan berbasis keluarga. 2. Dapat digunakan sebagai masukan untuk Balai Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Kabupaten Temanggung mengenai pelaksanaan programprogram yang telah dijalankan serta solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pada pelaksanaannya. 3. Dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pemerintah, swasta, LSM, maupun
15
masyarakat umum mengenai upaya pemberdayaan penyandang disabilitas, khususnya bagi penyandang disabilitas intelektual ringan.
E. Tinjauan Pustaka 1. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga Pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK) dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas pengembangan kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilan bagi tunagrahita dalam lingkungan keluarga yang dilakukan melalui peran aktif keluarga dan lingkungan sosialnya sebagai pengupaya, penilai dan pemelihara yang berkelanjutan (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 4). Pada dasarnya PRSBK tersebut merupakan upaya untuk memberdayakan orang tua atau keluarga penyandang disabilitas intelektual ringan agar mampu mengatasi masalah atau memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas intelektual ringan sesuai dengan sumber daya yang tersedia dalam lingkungan masyarakat (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 6). Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pada pokoknya program PRSBK merupakan program yang tidak hanya dilakukan untuk mengembangkan mental para penyandang disabilitas intelektual ringan, tetapi lebih luas juga mencakup upaya pengembangan kemampuan fisik, sosial, serta keterampilannya. Tujuan umum dari pelaksanaan program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK) dalam hal ini adalah untuk mencapai kemandirian bagi para penyandang disabilitas intelektual ringan dalam melakukan aktivitas
16
dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan potensi yang dimiliki (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 4). Sementara itu, selain tujuan utama tersebut pelaksanaan PRSBK juga memiliki beberapa tujuan khusus sebagai berikut (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 4): a. Meningkatkan kemampuan orang tua, keluarga, dan lingkungan sosial dalam memberikan pelayanan dan bimbingan serta menciptakan situasi yang kondusif untuk menumbuhkembangkan kemampuan penyandang disabilitas intelektual ringan. b. Meningkatkan kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilan atau usaha kerja penyandang disabilitas intelektual ringan. c. Terwujudnya aksesibilitas dalam memanfaatkan sumber daya bagi pemeliharaan dan pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual ringan. Apabila dilihat dari kerangka pemberdayaan masyarakat dalam hal ini PRSBK memiliki nilai strategis tersendiri. Hal demikian dikarenakan PRSBK memiliki
beberapa
keunggulan
sebagai
berikut
(BBRSBG
Kartini
Temanggung, 2009: 2): a. Melalui
PRSBK
memungkinkan
keluarga
dan
masyarakat
untuk
berpartisipasi aktif sebagai pengupaya dan penilai capaian-capaian maupun keberlanjutan dari proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan. b. PRSBK dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas intelektual ringan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki.
17
c. Mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas dalam kehidupan ketetanggaan dalam masyarakat. Beberapa keunggulan PRSBK sebagaimana telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga memiliki kekuatan tersendiri dalam memperluas jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial itu sendiri. Sementara itu, pelaksanaan PRSBK dalam hal ini memiliki beberapa sasaran sebagai berikut (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 4): a. Pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas intelektual ringan untuk tumbuh dan berkembang dalam aspek fisik, mental, sosial, keterampilan, serta kesempatan untuk mengembangkan kemandiriannya. b. Peningkatan kemampuan orang tua atau keluarga dalam menciptakan lingkungan yang promotif bagi tumbuh kembang penyandang disabilitas intelektual ringan. c. Peningkatan peran aktif masyarakat, instansi terkait, organisasi sosial, dan dunia usaha untuk mengupayakan serta memlihara capaian-capaian PRSBG yang telah berhasil diraih. Program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga yang dilakukan oleh BBRSBG Kartini Temanggung pada dasarnya dilakukan selama kurun waktu dua tahun. Setelah dua tahun, guna memelihara dan mengembangkan capaian program yang telah diraih maka dilakukan bimbingan lanjutan oleh pihak dinas sosial. 2. Tinjauan Tentang Pemberdayaan
18
Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan potensi
yang dimiliki
oleh masyarakat,
sehingga
masyarakat
dapat
mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri dibidang ekonomi, sosial, agama, dan budaya (Widjaja, 1995: 54). Menurut Prijono dan Pranaka pemberdayaan adalah suatu strategi untuk memperbaiki sumber daya manusia dengan pemberian tanggungjawab dan kewenangan terhadap pihak yang nantinya diharapkan dapat memungkinkan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi di era yang selalu berubah”(Prijono dan Pranaka, 1996: 121). Sementara itu, menurut Sedarmayanti, konsep pemberdayaan memuat dua kecenderungan yaitu sebagai berikut (Sedarmayanti, 2000:75): a. Pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat, organisasi, atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. b. Menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan hal yang menjadi pilihan hidupnya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan sekunder dari makna pemberdayaan. Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pemberdayaan merupakan
kecenderungan
proses
menuju
kekuasaan,
kekuatan
atau
kemampuan individu agar lebih berdaya dengan cara mendorong dan
19
memotivasi individu bersangkutan. Sementara itu, tujuan atau makna pemberdayaan ini meliputi (Makmur, 2007: 120-121): a. Menciptakan kemandirian dan kepercayaan diri. Kepercayaan diri dan kemandirian dalam menghadapi berbagai hambatan atau tantangan hidup dapat melahirkan kekuatan dan ketahanan diri untuk menggantungkan harapan kepada pihak lain. b. Memiliki kegesitan dan proaktif. Pemberdayaan manusia menciptakan kegesitan memiliki daya dorong untuk proakif mencari kegiatan yang dapat lebih menguntungkan. c. Memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan merupakan sumber keterampilan dalam melaksananakan suatu kegiatan yang hasilnya lebih menguntungkan. d. Kepatuhan dan kesadaran. Kehidupan manusia senantiasa diatur oleh suatu ketentuan hidup yang perlu ditaati dan sekedar untuk menciptakan keteraturan dan keharmonisan, baik dalam melakukan kegiatan maupun dalam pergaulan. Kepatuhan dan kesadaran terhadap norma-norma sebagai fundamental kehidupan bermasyarakat, berorganisasi dan sebagainya menjadi terapi yang sangat tepat serta mosaic dalam upaya meningkatkan pemberdayaan, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Pada sisi lain, hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek sehingga realisasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan realisasi antar subyek dengan subyek yang lain (Vidhyandika 1996: 135). Oleh sebab itu, dalam hal tersebut
20
istilah pemberdayaan pada intinya dinilai sebagai upaya pemanusiaan. Menurut Tjandraningsih (1996: 3), pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Hal demikianlah yang menjauhkan upaya pemberdayaan dari konotasi ketergantungan dan berbeda dengan upaya charity Upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari dua upaya untuk mewujudkan pemberdayaan itu sendiri. Menurut Kartasasmita (2003: 11), terdapat dua upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan pemberdayaan, yaitu: a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada individu yang sama sekali tanpa daya. Oleh sebab itu, pemberdayaan dilakukan sebagai upaya untuk membangun daya tersebut dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. b. Memperkuat
potensi
atau
daya
yang
dimiliki
oleh
masyarakat
(empowering). Dalam hal ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain menciptakan iklim dan suasana sebagaimana teah diuraikan. Upaya memperkuat potensi tersebut meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
21
Sementara itu, pendekatan pemberdayaan menurut Kartasasmita (2003: 13) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Upaya yang dilakukan harus terarah (targetted). Pemberdayaan ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. b. Upaya harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk membuat upaya pemberdayaan efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan sasaran. Selain itu sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering)
masyarakat
melaksanakan,
mengelola,
dengan dan
pengalaman
dalam
merancang,
mempertanggungjawabkan
upaya
peningkatan diri dan ekonominya. c. Pemberdayaan menggunakan pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. 3. Teori Kemandirian Kehidupan manusia saat ini semakin dihadapkan dengan permasalahan kompleks. Keadaan ini menuntut setiap individu untuk mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi tanpa harus tergantung dengan orang lain dan berani menentukan sikap yang tepat. Salah satu aspek yang diperlukan adalah kemandirian dalam bersikap dan bertindak. Kemandirian adalah kemampuan
22
untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan kepastiannya (Lie, 2004 : 24). Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara komulatif selama perkembangan, di mana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seorang dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang yang lebih mantap (Mu’tadin, 2002: 112). Kemandirian seperti halnya psikologis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini, latihan tersebut berupa pemberian tugas tanpa bantuan. Kemandirian akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala seseautu yang dapat diusahakan sejak sedini mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan semakin berkembang menuju kesempurnaan (Mu’tadin, 2002: 114). Kemandirian seorang anak diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara anak dengan teman sebaya. Hurlock (1991: 87) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, anak belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri. Dalam mencapai keinginan untuk mandiri sering kali anak mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh
23
masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain (Mu’tadin, 2002:114). Zakiyah (2002: 32) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mandiri apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Adanya tendensi untuk berperilaku bebas dan berinisiatif, mampu bersikap dan berpendapat. b. Adanya tendensi untuk percaya diri dan tidak tergantung pada orang lain. c. Adanya sikap oroginal (keaslian) yang bukan sekedar menerima orang lain. d. Tidak mengharapkan pengharahan dari orang lain. e. Adanya tendensi untuk mencoba segala sesuatunya sendiri. Steinberg (2002: 140) mengemukakan bahwa aspek-aspek kemandirian meliputi: a. Kemandirian Emosi (Emotional Autonomy) Aspek emosional mengarah pada kemampuan remaja untuk memulai melepaskan diri secara emosi dengan orang tua dan mengalihkannya pada hubungan dengan teman sebaya. Remaja yang mandiri secara emosional tidak membebankan pikiran orang tua meski dalam masalah. Remaja yang mandiri secara emosi dapat melihat serta berinteraksi dengan orang tua mereka sebagai orang-orang yang dapat mereka ajak untuk bertukar pikiran. b. Kemandirian Perilaku (Behavioral Autonomy) Aspek kemandirian perilaku merupakan kemampuan remaja untuk mandiri dalam membuat keputusannya sendiri dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Remaja mandiri tidak mudah dipengaruhi dan
24
mampu mempertimbangkan terlebih dahulu nasehat yang diterima. Mereka yang mandiri secara perlaku tidak akan menunjukkan perilaku yang buruk atau semena-mena yang dapat menjatuhkan harga diri mereka. 4. Tinjauan tentang Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan(PDI) Disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang menyandang terbelakang mental atau memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Retardasi mental juga dapat diartikan sebagai keadaan rendahnya fungsi intelektual, umum yang terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan kerusakan salah satu atau lebih diantara faktor, kemasakan, kemampuan belajar, dan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial (Azwar, 1996: 144). Istilah disabilitas intelektual berkaitan dengan istilah retardasi mental atau hambatan mental (mentally handicap). Sementara itu, anak disabilitas intelektual atau berkelainan mental yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendah atau di bawah rata-rata, sehingga untuk mengerjakan tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk kebutuhan program pendidikan dan bimbingan (Mohammad Efendi, 2006: 9). Disabilitas intelektual atau anak yang terbelakang mentalnya dapat dilihat dari beberapa ciri, seperti dari segi fisik kurang normal sebagaimana anak pada umumnya. Kepalanya kecil, matanya sipit seperti orang Mongolia, gendut, pendek, lidahnya menonjol keluar, tangan dan kakinya agak lain. Dari segi non fisik IQ-nya di bawah rata-rata berkisar antara 40-50 (Nuraeni, 1997:
25
106). Disabilitas intelektual dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok disabilitas intelektual ringan, sedang, dan berat. Kelompok disabilitas intelektual ringan tampil tidak berbeda jauh dengan anak pada umunya (Nuraeni, 1997: 106). Menurut Wantah (2007: 9), disabilitas intelektual ringan dengan istilah tunagrahita mampu didik memiliki kemampuan IQ 50-70. Sementara itu Mohammad Efendi (2006: 90) mengemukakan disabilitas intelektual ringan adalah tunagrahita yang tidak mampu mengikuti program pendidikan di sekolah regular, namun memiliki kemampuan yang masih dapat dikembangkan melului pendidikan meskipun hasilnya tidak maksimal. Adapun ciri-ciri disabilitas intelektual ringan terletak pada IQ yang dimilikinya yaitu antara 50-70, sebagaimana atas dasar pengukuran tes intelegensi binet, dengan demikian IQ yang dimiliki disabilitas intelektual sedikit demi sedikit mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan besar kemungkinan dapat berdiri sendiri sebagian atau sepenuhnya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975: 44). Derajat retardasi disabilitas intelektual ringan merupakan bagian populasi terbesar di antara penyandang disabilitas intelektual ringan yang lain. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun. Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilaian. Mereka ini edukabel atau dapat dididik. Artinya, bila kasus mereka diketahui sejak dini dan selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta mendapatkan program pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka
26
mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai keterampilan akademik dan keterampilan kerja sederhana, dan dapat menjadi warga masyarakat yang mandiri (Supratiknya, 1995: 77). Sementara itu, disabilitas intelektual sedang memiliki derajat retardasi kemampuan intelektual agak berat, sehingga masih bisa mencapai kematangan melalui tahapan belajar. Ciri-cirinya tampak pada segi fisiknya seperti fungsi organ tubuhnya tidak normal, kaki dan tangannya tidak luwes, lidahnya menonjol dan kelainan fisik yang lainnya (Nuraeni, 1997: 106). Kemampuan intelektual penyandang tunagrahita sedang tergolong pada taraf IQ anak embisil yang berkisar antara 20-25 dan 40 sampai 50. Pada taraf embisil ini daya tangkap dalam belajarnya lamban atau terbatas (Gunarsa, 2004: 110). Kelompok disabilitas intelektual berat kemampuan inteleknya lebih rendah dari kelompok disabilitas intelektual sedang. Kelompok disabilitas intelektual berat tidak dapat dilatih untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya sendiri dan tidak sanggup merawat dirinya. Oleh sebab itu, disabilitas intelektual berat cenderung tidak dapat menolong dirinya terhadap bahaya serta harus selalu dijaga karena mudah jatuh. Disabilitas intelektual berat sangat rendah kemampuan intelegensinya sehingga sangat sulit, bahkan tidak bisa dilatih dan diajar, baik ketrampilan maupun yang lainnya karena memiliki IQ sangat rendah, yaitu antara 20 sampai 25 (Azwar, 1996: 45). Keterbelakangan mental atau disabilitas intelektual dapat disebabkan atas beberapa faktor sebagai berikut (Nuraeni, 1997: 106):
27
a. Faktor Keturunan Disabilitas intelektual kategori ringan merupakan faktor pembawaan sejak kecil bahkan sejak anak dalam kandungan akibat kedua orang tua yang terbelakang mentalnya atau disabilitas intelektual sehingga secara langsung berpengaruh pada anaknya. Adanya kelainan dalam “chromosom” atau “gen” dari salah satu dari orang tuanya karena terdapat gen yang lemah pada salah satu orang tuanya dalam hal ini membuat ada kemungkinan anaknya mengalami lemah mental. b. Faktor Kurang Gizi Pola makan dan makanan yang cenderung diidentikan dengan gizi. Artinya, pemberian gizi pada anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kecerdasan seorang anak. Kekurangan asupan gizi tersebut salah satu akibatnya dapat membuat perkembangan dan kecerdasan anak terganggu atau kurang normal. c. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan terjadi akibat infeksi yang diderita sang ibu pada waktu hamil, seperti demam disertai lepuh (luka bakar pada kulit), sipilis, dan juga keracunan seperti rokok, alkohol, morpin, obat-obatan makanan berbahaya. Hal demikian kemudian dapat mempengaruhi tumbuh kembang janin yang dikandung sehingga perkembangan kecerdasannya tidak normal. Sementara itu, menurut Kartini Kartono (Kartono, 1991: 54) faktor penyebab disabilitas intelektual adalah sebagai berikut: 1) Orang tuanya sering mengkonsumsi minuman keras, karena kadar alkohol
28
atau minuman keras dalam darah melebihi kadar 0,5% dapat mempengaruhi bayi dalam kandungan ibu. 2) Adanya penyakit syphilis yang diderita oleh orang tuanya, hal ini dapat menular pada bayi dalam kandungan atau bayi sewaktu melahirkan. 3) Pengaruh radiasi atas ionisasi dari sinar X waktu bayi dalam kandungan. 4) Kelahiran bayi mengalami kesulitan, sehingga melahirkan ditolong dengan vacuum pump/tang. 5) Bayi lahir belum waktunya. 6) Karena jatuh, tertumbuk, dipukul keras kepalanya sehingga bayi mengalami geger otak. 7) Karena terganggu kelenjar gondoknya (kekurangan unsur yodium dalam tubuh) sehingga menderita cretinism (organ). 8) Karena penyakit yang diderita semasa kanak-kanak seperti ayan (epilepsi), atau cacar air (chicken pooch). Faktor penyebab lainnya dapat terjadi pada saat setelah bayi lahir yaitu adanya infeksi pada otak/selaput otak oleh penyakit-penyakit cerebral meningitis, gabag (maize Len, campak), diphtheria, radang kuping yang mengandung nanah, dan lain sebagainya (Kartono, 1989: 33). Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penyebab seorang anak menjadi disabilitas intelektual dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. 5. Tinjauan tentang Kesejahteraan Sosial Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global maupun nasional. Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, telah lama
29
mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat internasional (Suharto, 1997). PBB memberi batasan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Di Indonesia, konsep kesejahteraan sosial telah lama dikenal. Ia telah ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial, misalnya, merumuskan kesejahteraan sosial sebagai berikut: Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
Salah satu ciri ilmu kesejahteraan sosial adalah upaya pengembangan metodologi untuk menangani berbagai macam masalah sosial, baik tingkat individu, kelompok, keluarga maupun masyarakat (Adi, 1994: 3). Berikut ini akan dijelaskan pengertian kesejahteraan sosial menurut para ahli (dalam Sumarnonugroho, 1987: 28-35). a. Arthur Dunham Kesejahteraan sosial dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-
30
kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberi perhatian
utama
terhadap
individu-individu,
kelompok-kelompok,
komunitas-komunitas dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas, pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan. b. Harold L. Wilensky dan Charles N. Lebaux Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk membantu individuindividu dan kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan yang memuaskan.
Maksudnya
agar
individu
dan
relasi-relasi
sosialnya
memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya serta meningkatkan atau menyempurnakan kesejahteraan sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat. c. Walter A. Friendlander Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari pelayananpelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bermaksud untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai standar-standar kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan perorangan dan sosial yang memungkinkan mereka memperkembangkan segenap kemampuan dan meningkatkan kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga maupun masyarakat.
31
d. Alfred J. Khan Kesejahteraan sosial terdiri dari program-program yang tersedia selain yang tercakup dalam kriteria pasar untuk menjamin suatu tindakan kebutuhan dasar
seperti
kesehatan,
pendidikan
kesejahteraan,
dengan
tujuan
meningkatkan derajat kahidupan komunal dan berfungsinya individual, agar dapat mudah menggunakan pelayanan-pelayanan maupun lembaga-lembaga yang ada pada umumnya serta membantu mereka yang mengalami kesulitan dan dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan demikian, kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama. Kesejahteraan sosial pada intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu: a. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhankebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. b. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial. c. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera. 6. Keterkaitan Antar Teori Disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang menyandang terbelakang mental atau memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Retardasi mental juga dapat diartikan sebagai keadaan rendahnya fungsi intelektual, umum yang
32
terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan kerusakan salah satu atau lebih diantara faktor, kemasakan, kemampuan belajar, dan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial (Azwar, 1996: 144). Sementara itu, anak disabilitas intelektual atau berkelainan mental yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendah atau di bawah rata-rata, sehingga untuk mengerjakan tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk kebutuhan program pendidikan dan bimbingan (Mohammad Efendi, 2006: 9). Hal demikian menjadikan anak-anak disabilitas tidak jarang memiliki tingkat kemandirian yang rendah karena sangat bergantung pada orang tua atau orang lain di sekitarnya. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat penting untuk mewujudkan kemandirian bagi anak-anak disabilitas intelektual. Kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan kepastiannya (Lie, 2004: 24). Kemandirian seperti halnya psikologis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini, latihan tersebut berupa pemberian tugas tanpa bantuan (Mu’tadin, 2002: 114). Kemandirian akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala seseautu yang dapat diusahakan sejak sedini mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala sesuatu yang
33
dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan semakin berkembang menuju kesempurnaan (Mu’tadin, 2002: 114). Guna membuat anak-anak disabilitas intelektual dapat mencapai kemandirian, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pemberdayaan. Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri di bidang ekonomi, sosial, agama, dan budaya (Widjaja, 1995: 54). Upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari dua upaya untuk mewujudkan pemberdayaan itu sendiri. Menurut Kartasasmita (2003: 11), terdapat dua upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan pemberdayaan, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), serta memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Terkait dengan pemberdayaan bagi pencapaian kemandirian disabilitas intelektual, sasaran yang perlu diberdayakan bukan hanya anak-anak disabilitas itu sendiri. Lebih dari itu, juga diperlukan upaya pemberdayaan bagi rumah tangga disabilitas intelektual, sehingga secara keseluruhan tercipta suasana kondusif bagi perkembangan anak disabilitas intelektual. Salah satu bentuk konkrit dari upaya pemberdayaan rumah tangga disabilitas intelektual adalah melalui program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga (PRSBK).
34
Pada dasarnya PRSBK tersebut merupakan upaya untuk memberdayakan orang tua atau keluarga disabilitas intelektual agar mampu mengatasi masalah atau memenuhi kebutuhan disabilitas intelektual sesuai dengan sumber daya yang tersedia dalam lingkungan masyarakat (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 6). Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pada pokoknya program PRSBK merupakan program yang tidak hanya dilakukan untuk mengembangkan mental para disabilitas, tetapi lebih luas juga mencakup upaya pengembangan kemampuan fisik, sosial, serta keterampilannya. Apabila dilihat dari kerangka pemberdayaan masyarakat dalam hal ini PRSBK memiliki nilai strategis tersendiri. Hal demikian dikarenakan PRSBK memiliki
beberapa
keunggulan
sebagai
berikut
(BBRSBG
Kartini
Temanggung, 2009: 2): a. Melalui
PRSBK
memungkinkan
keluarga
dan
masyarakat
untuk
berpartisipasi aktif sebagai pengupaya dan penilai capaian-capaian maupun keberlanjutan dari proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan. b. PRSBK dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan disabilitas dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki. c. Mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas dalam kehidupan ketetanggaan dalam masyarakat. Beberapa keunggulan PRSBK sebagaimana telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga memiliki kekuatan tersendiri dalam memperluas jangkauan pelayanan dan
35
rehabilitasi sosial itu sendiri. Tujuan akhir yang diharapkan dalam hal ini adalah tercapainya kesejahteraan sosial pada rumah tangga disabilitas intelektual. Kesejahteraan sosial yang dimaksud mencakup tiga konsepsi dasar sebagaimana diatur Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yaitu: a. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhankebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. b. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial. c. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa kesejahteraan sosial bagi rumah tangga disabilitas intelektual merupakan tujuan akhir dari upaya pemberdayaan
yang
dilakukan.
Selain
itu,
dalam
proses
mencapai
kesejahteraan tersebut anak-anak penyandang disabilitas intelektual juga diharapkan dapat menjadi lebih mandiri untuk selanjutnya juga mampu berpartisipasi dalam upaya pemberdayaan tersebut.
36