BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia
banyak
melakukan
pelanggaran,
salah
satunya
adalah
penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). 1 Pada era sembilan puluhan, pemakai narkoba sudah masuk segala lapisan baik kalangan atas, kalangan menengah, maupun kalangan bawah sekalipun. 2 Ditinjau dari sudut usia, narkoba sudah tidak dinikmati golongan remaja, tetapi juga golongan setengah baya maupun golongan usia tua. 3 Penyebaran narkoba sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa. 4 Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disingkat dalam tesis ini UUN. Menurut Paul Scholten hukum pidana ada dua yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana umum yang berlaku secara umum dan hukum pidana khusus ialah perundang-undangan bukanlah yang bersanksi pidana yang disebut juga hukum pemerintah. 5 Pada umumnya pidana pemerintahan itu sanksinya ringan hanya berupa denda saja karena termasuk pelanggaran, tetapi
1
. http://www.bnpjabar.or.id diakses tanggal 28 Nopember 2011 . Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal 3 3 . Ibid 4 . Ibid 5 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineke Cipta, 1994), hal 12 2
Universitas Sumatera Utara
dewasa ini di Indonesia perkembangannya menjadi agak lain karena telah banyak undang-undang demikian, terutama perundang-undangan administrasi seperti Undang-Undang Narkotika dan Atom yang ancaman pidana adalah pidana mati. 6 Pidana khusus ialah semua perundang-undangan diluar KUHP beserta perundangundangan pelengkapnya baik perundang-undangan pidana maupun yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana. 7 Pasal 284 menyebutkan “perundang-undangan pidana khusus yang mempunyai acara tersendiri”, disini KUHAP menambah “yang mempunyai acara tersendiri “ karena maksudnya mempunyai wewenang secara khusus kepada jaksa untuk menyidik sesuai acara khusus tersebut. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN telah memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi Dan Rehabilitasi bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkoba sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana. Penyalahguna narkotika yang telah terbukti bersalah dan diputuskan oleh hakim untuk menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, dalam undang-undang narkotika bahwa terhadap narapidana narkotika dilakukan perawatan
6 7
Ibid Ibid hal 13
Universitas Sumatera Utara
maka di Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan hal tersebut sebagai bagian dari pembinaan. Mewujudkan rehabilitasi sebagai bagian dari pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika bahwa sistem kepenjaraan telah beralih ke sistem pemasyarakatan maka pelaksanaannya berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disingkat dalam tesis ini dengan UUP yang terdiri dari 8 bab dan 54 pasal. Menurut Pasal 1 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP bahwa sistem Pemasyarakatan adalah : Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina , yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar dan menjadi warga Negara yang baik dan bertanggung jawab. Rumusan Pasal 1 ayat (2) tersebut terlihat bahwa unsur-unsur sistem pemasyarakatan adalah Pembina (personil/staf Lembaga Pemasyarakatan), yang dibina (narapidana) dan masyarakat. 8 Berdasarkan analisa diatas bahwa sistim pemasyarakatan hanya menghubungkan aspek sabjektif padahal ada unsur-unsur objektif yang menjadi perhatian
antara lain : Cara pembinaan, meningkatkan
kualitas, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana,
8
Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung : Refika Aditama, 2011), hal 125.
Universitas Sumatera Utara
diterima kembali di lingkungan masyarakat, berperan aktif dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar, menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 9 Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP disebutkan yang dimaksud dengan “ Agar menjadi manusia seutuhnya adalah upaya untuk memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya”. Dasar pemikiran lainnya ialah adanya paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan yang dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor-faktor kehidupan kemasyarakatan. Perbuatan kejahatan sebenarnya jiwa seseorang yang abnormal oleh karena itu sipelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, Karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental, maka
9
Pasal 2 Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP
Universitas Sumatera Utara
bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. 10 Kenyataan empiris di bidang pemidanaan pelaku pengedar gelap narkotika secara umum masih menganut memperbaiki terpidana di Lembaga Pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali kedalam lingkungan kehidupan sosial. Membuat jera narapidana pengedar narkoba dan aparat yang terlibat membantu beredarnya barang haram itu di penjara, pemerintah perlu mengimplementasikan sanksi pemiskinan bagi mereka. Kriminolog dari Universitas Indonesia Andrianus Meliala mengungkapkan harus ada sanksi terobosan yang dapat menjadi efek jera bagi narapidana narkotika. Andrianus memaparkan Indonesia memiliki Undang-Undang Narkotika dan UndangUndang Pemasyarakatan yang sebetulnya representatif untuk dapat menciptakan sistem hukum ideal. 11 Menyusul perubahan undang-undang narkotika yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN yang mengharuskan agar para terpidana pengguna narkotika dan korban penyalahguna dipulihkan di pusat rehabilitasi. “Sekarang mereka yang telah terbukti penyalahguna narkotika, sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi dengan demikian pengguna narkotika masuk ketempat rehabilitasi. Waktu yang lalu hakim-hakim masih banyak memutuskan menetapkan mereka ke lapas, sekarang mereka bisa minta untuk
10
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Yogyakarta : Genta Publishing 2010), hal 18-19 11 . http://megapolitan.kompas.com. 14 Maret 2011 diakses 17 April 2011
Universitas Sumatera Utara
merubah dari ketetapan itu, dari lapas untuk dipindahkan ke pusat rehabilitasi,” Ungkap Kepala Badan Narkotika Nasional Gories Mere, di Gedung BNN ,Jakarta Selatan. 12 Pelaksanaan SEMA RI No. 07 tahun 2009 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi hakim tetap memperhatikan komposisi pemakaian sehingga pengguna dapat diputuskan untuk melaksanakan perawatan di tempat rehabilitasi. Seiring dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mendukung pada saat ini karena dampak negatif keterpengaruhan prilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat, keadaan ini diperlakukan dengan perbedaan di Lembaga Pemasyarkaan Narkotika karena yang menjadi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika secara khusus merupakan narapidana narkotika sehingga pola pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika adalah pembinaan yang konfrehensif antara pemulihan dengan pemidanaan. Pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar selalu mengacu kepada berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP. Hal ini disebabkan belum ada petunjuk khusus untuk pelaksanaan tugas dan fungsi di Lapas Narkotika, sehingga di lapangan dalam pelaksanaan tugas Lapas Narkotika petugas tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
12
http/www/kompas.com , Polri dan BNN kerja sama ciptakan Zona Bebas Narkoba diakses tgl 14 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dibangun sejak tahun 2008 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.04.PR.07.03 Tahun 2003 tentang Pembentukan Lapas Narkotika Pematangsiantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Martapura, Bangli, Maros dan Jaya Pura,. Lembaga pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar berada di Pematang Raya kabupaten Simalungun dengan luas tanah 3 ha. Penguni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar adalah narapidana khusus penyalahguna narkotika baik itu pengedar, pengguna dan bahkan ada korban penyalahguna. Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangiantar adalah kapasitas 600 (enam ratus) orang dan penguni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar berjumlah 30 (tiga puluh) orang yang semuanya merupakan pemindahan dari Lembaga Pemasyarakatan umum lain. Jumlah warga binaan ini masih minim sekali dilihat dari kapasitas bangunan yang dapat menampung sampai 600 (enam ratus) orang penyalahguna narkotika. Minimnya jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika disebabkan beberapa penghambat operasional antara lain : SDM belum mencukupi baik dari segi kuantitas maupun kualitas pegawai, Sarana dan Prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas belum lengkap seperti sejajaran Lapas yang lain, kondis bangunan yang masih rawan, disamping itu juga karena masih tahap pemula untuk menjadi Lapas Khusus Narkotika (Lapas Sustik) Sumatera Utara. Cara pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar belum terlaksana
sesuai dengan kategori tindak pidana yang
dilakukan oleh narapidana. Keadaan ini diakibatkan oleh kurangnya sarana dan
Universitas Sumatera Utara
prasarana di Lapas baik dari SDM, Peraturan pendukung dan bahkan sarana fisik yang belum memadai untuk melaksanakan pemisahan kamar penghuni sesuai dengan tindak pidananya. Arti penting penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah pengobatan, perawatan pecandu dan ketergantungan narkoba akan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, disamping dapat mengurangi peredaran gelap narkotika, untuk itu kerangka yuridis yang telah ada di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN Pasal 54 adalah sebagai dasar bagi hakim untuk dapat memutuskan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun hal ini tetap memperhatikan dari kuantitas penggunaan narkotika oleh penyalahguna. Penjelasan Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN disebutkan bahwa “korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika. Selanjutnya tempat pelaksanaan rehabilitasi dalam Pasal 56 Undang –Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang UUN menyatakan bahwa : 1. Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri 2. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Pasal 56 dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang UUN disebutkan : 1.
Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. 2. Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah misalnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah Daerah.” Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang UUN menyebutkan
selain pengobatan dan/atau rehabilitasi medis penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Dengan ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN memberi suatu pengertian bahwa pengguna narkotika sudah menjadi suatu penyakit bukan lagi menjadi suatu kriminal biasa sehingga untuk penanganannya
perlu
pengobatan
untuk
pemulihan
maka
di
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika sebagaimana pada Pasal 56 Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang UUN tersebut adalah sebagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial sebagai bagian dari pembinaan dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang UUP. Menyangkut Undang-Undang Narkotika dalam pelaksanaan rehabilitasi untuk pembinaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN, hal ini juga memberi maksud yang sama pada Pasal 9 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP yang menyebutkan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
Penyelenggaraan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang UUP. Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Menyangkut rehabilitasi adalah bagian dari sistem pembinaan yang digunakan untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan merubah prilakunya menjadi lebih baik. Dalam tahap rehabilitasi pemakai narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar menekankan pada rehabilitasi phisik dan mental. Rehabilitasi phisik ditujukan agar narapidana pemakai narkoba normal dalam arti bisa berdiri sendiri, mempertahankan kemampuan atau keahlian yang dimilikinya. 13 Kesibukan-kesibukan tersebut terhadap pemakai narkoba akan melupakan ketegantungan pada narkoba. 14 Berbagai kesibukan-kesibukan yang dilakukan seperti kegiatan olah raga dan ketrampilan-ketrampilan serta rehabilitasi mental dilakukan dengan penyuluhan, bimbingan dan ceramah. Kegiatan ini dimaksud agar Warga Binaan Pemasyarakatan sadar bahwa dirinya masih memiliki masa depan. Kegiatan konsultasi hukum merupakan sarana pembinaan bagi narapidana atau tahanan narkotika dilaksanakan dalam lapas atau rutan dengan tujuan agar
13 14
Hari Sasangka, Narkotika da Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Op Cit, hal 28 Ibid
Universitas Sumatera Utara
narapidana atau tahanan narkotika dapat memahami dan menghayati hak dan kewajiban sehingga manusia yang taat dan patuh kepada hukum, mandiri dan berguna bagi masyarakat dan negara. 15 Menurut Sahardjo ketika dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang tanggal 27 April 1964 melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Landasan sistem pemasyarakatan “ Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Pelaku tindak pidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu kemasyarakat lagi, mempunyai kewajiban orang terpidana itu dan masyarakat “. Titik tolak pemikiran Sahardjo, bahwa bukan saja masyarakat yang diayomi dengan adanya tindak pidana, tetapi juga sipelaku perlu diayomi dan diberi bimbingan
sebagai
bekal
hidupnya
kelak
setelah
keluar
dari
Lembaga
Pemasyarakatan, agar berguna bagi dan di dalam masyarakat. Pandangan yang menarik adalah bahwa tobat tidak dilakukan dengan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan. Sebab seorang narapidana telah kehilangan kemerdekaan bergerak , jadi
15
Pusat Pencegahan Lakhar, BNN RI, 2009 , Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas/Rutan, hal 72
Universitas Sumatera Utara
pidana kehilangan bergerak telah merupakan pidana tersendiri, yang tidak perlu ditambah lagi dengan penyiksaan atau bentuk lain, tetapi harus diberikan bimbingan agar kalau tiba waktunya untuk kembali ke masyarakat, akan berguna. Petugas Pemasyarakatan (penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan) dapat memandang hukuman itu adalah untuk tujuan penjeraan bagi yang melanggar. 16 Pelaksanaan tugas dan fungsi Pemasyarakatan harus dilandaskan kepada aturan hukum yang berlaku agar pemenuhan dan hak asasi manusia dapat direalisasikan. Berbagai sistem pembinaan dengan melaksananakan program terpadu rehabilitasi sosial dan terapi menjadi salah satu langkah yang serius dalam penanggulangan penyalahgunaan Napza (Narkotika,Psikotropika dan Zat adiktif). Untuk itulah lapas yang bertugas membina warga binaan juga berfungsi untuk rehabilitasi bagi penyalahguna Napza, sehingga melalui program ini diharapkan mereka dapat kembali berperan aktif dimasyarakat dalam keadaan sudah lepas dari ketergantungan (adiksi) Lapas menjadi pusat pelayanan terpadu (One Stop Center) bagi penyalahguna Napza yang bertujuan untuk menyelenggarakan terapi dan rehabilitasi sosial. 17 One Stop Center adalah upaya pelayanan terapi dan rehabilitasi terpadu bagi
16
Undang-Undang Pemasyarakatan No 12 tahun 1995 Pasal 8 ayat 1 : Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan, pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. 17 http/www/, Terapi dan Rehabilitasi Narapidana Narkotika Melalui Metode Criminon dan Kesenian , diakses tgl 17 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
penyalahguna narkoba secara menyeluruh yang meliputi pelayanan terapi medis, psikologis dan sosial serta spiritual di dalam sarana institusi residensial. 18 Perlu kita ingat kembali bahwa membina pecandu narkotika ini bukanlah hal yang mudah bahwa tidak ada kata sembuh dalam sifat adiksi (ketergantungan). Pecandu
sering
mengalami
kambuh
(replase)
meskipun
pernah
berhenti
menggunakan Napza. Kata yang tepat kepada pecandu dapat digunakan dengan kata pulih ( recovery). 19 Keadaan ini yang menjadi tantangan bagi petugas pemasyarakatan untuk membina menjadi narapidana yang sudah pulih dari penyakit sosial ini untuk tidak kembali lagi ke perbuatan yang salah. Sebab petugas pemasyarakatan mempunyai tugas pembinaan bukan hanya seorang narapidana itu sebagai penghuni tetapi secara umum pembinaan narapidana bertujuan agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana menjadi arah pembangunan nasional melalui jalur pendekatan 1. Memantapkan iman (ketahanan mental) mereka 2. Membina mereka agar mampu berintegrasi secara wajar di dalam kehidupan kelom pok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat) setelah menjalani pidana Secara khusus pembinaan narapidana ditujukan agar selama masa pembinaan dan sesudah selesai menjalankan masa pidananya. 20
18
Modul Petugas Rehabilitasi Sosial Dalam Pelaksanaan Program One Stop Center (OSC), BNN RI, 2006, Hal 21. 19 http://obatantinarkoba.blogspot.com diakses 28 Nopember 2011 20 Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.02.PK.04.10 Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990
Universitas Sumatera Utara
1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya 2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal ketrampilan untuk bekal mampu untuk mandiri dan berprestasi dalam kegiatan pembangunan nasional. 3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang terjermin pada sikap dan prilakunya yang tertib disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial. 4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara. Pencegahan pemberantasan dan peredaran gelap Narkoba di Lapas/Rutan dimulai dari petugas Lapas/Rutan mempunyai peran yang sangat sentral. Pemahaman mengenai masalah Narkoba bagi Petugas Lapas/Rutan diawali dari pengenalan baik secara hukum maupun secara fisik tentang Narkoba sehingga diharapkan dapat memahami bahaya yang ditimbulkan dari penyalahguna narkoba. Perlu diketahui juga bahwa keberhasilan penghentian penyalahguna narkoba tergantung kepada jenis narkoba yang disalahgunakan, lama penggunaan/ketergantungan, dosis narkoba yang digunakan, keinginan sembuh dari penderita, sikap keluarga dan hubungan antar penyalahguna dan pengedar. 21 Sistem pemasyarakatan yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP tersebut dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana didasarkan pada beberapa hal, sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP menyatakan bahwa: “Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas” : 1. Pengayoman
21
Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas/Rutan, 2009, OpCit,
hal 69-70
Universitas Sumatera Utara
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan 3. Pendidikan 4. Pembimbingan 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia 6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan 7.Terjaminya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu Praktek pelaksanaan tugas-tugas pemasyarakatan baik yang berada di Lapas, Rutan maupun Bapas secara fungsional dapat dibagi menjadi empat kelompok petugas yaitu : 22 1. Kelompok petugas Pengamanan 2. Kelompok Petugas Administrasi ( Tata Usaha ), selaku unsur pendukung non tehnis 3. Kelompok Petugas Pembinaan dan Pembimbingan 4. Kelompok Petugas Ahli selaku Pendukung Tehnis Pembinaan . Kelompok pengamanan kecuali di Bapas mempunyai tugas menciptakan keamanan dan ketertiban di dalam Lapas/ Rutan. Kelompok ini mempunyai tugas yang penuh resiko. 23 Kelompok petugas administrasi ialah kelompok petugas yang mempunyai tugas dan fungsi pendukung fasilitatif dalam pelaksanaan tugas pokok yakni penyelenggaraan pemasyarakatan warga binaan pemasyarakatan. 24
22
Didin Sudirman, Revosisi dan Revitalisasi Pemasyarakata Dalam Sistim Peradilan Pidana Di Indonesia, (Jakarta : Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Hukum, 2007). 23 Ibid 24 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Kelompok Petugas pembinaan pemasyarakatan ialah kelompok pegawai yang didik khusus untuk menyelenggarakan fungsi utama untuk pekerjaan pemasyarakatan dalam rangka memajukan dan melindungi hak-hak orang yang sedang bermasalah dalam hukum. 25 Kelompok Petugas Ahli ialah kelompok petugas yang menjadi kelompok pendukung bagi keberhasilan tugas-tugas kelompok pembinaan. 26 Semua unsur kelompok dalam tugas pemasyarakatan harus di dukung oleh sumber daya manusia yang handal dan mampu
untuk melaksanakan tugas fungsi pemasyarakatan.
Pengembangan sumber daya manusia disebut sebagai pengembangan pribadi ( self development) karena pada dasarnya yang mampu mengembangkan sumber daya manusia adalah diri sendiri bukan orang lain yang mengembangkan diri kita tetapi kita sendiri . 27 Kondisi sumber daya manusia bagi petugas pemasyarakatan akan menimbulkan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tidak ada suatu masyarakat pun yang bebas dari penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya karena tidak ada satupun sistem pengendalian sosial yang dapat berfungsi secara sempurna. 28 Sering kita dengar melalui media massa bahwa di Lembaga Pemasyarakatan ada tawuran antara sesama penghuni, peredaran narkoba, pemerasan, pelarian,
25
Ibid Ibid 27 Harsono,C.I,Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hal 26
279.
. 28
. Horton & Hunt, Sosiologi, 1987,191, dikutip dari.Didin Sudirman, Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, Op Cit, hal 205
Revosisi dan
Universitas Sumatera Utara
pemberontakan, penganiayaan oleh penghuni dan lain sebagainya. Gejala seperti ini menjadi sesuatu yang tersembunyi (latent) di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang menjadi potensi terhambatnya pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di Lapas / Rutan bukan saja berasal dari Petugas akan tetapi dari pihak narapidana itu sendiri seperti dari keluarga, teman dan siapa saja yang mempunyai peluang untuk melakukanya. Penyalahguna narkotika di dalam Lapas/Rutan bukan tidak mempunyai kesempatan mencari barang haram itu, mereka akan selalu berusaha untuk mendapatkanya. Dengan situasi seperti ini Petugas Pemasyarakatan akan selalu selektif terhadap setiap pengunjung. Sebagai petugas pemasyarakatan juga harus paham bagaimana tabiat dari penyalahguna narkotika. Permasalahan yang tidak perlu ditutup-tutupi bahwa banyak narapidana narkotika yang sudah bebas kembali lagi ke Lembaga Pemasyarakatan dalam kasus yang sama bahkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi orang yang lebih berkapasitas untuk memasukkan narkoba. Narapidana yang menjadi kategori seperti ini akan lebih berkualitas melakukan penyimpangan dengan usaha menyeludupkan narkoba ke dalam Lapas/Rutan. Lapas telah membuat sebagai peraturan mengenai barang-barang yang boleh dan tidak boleh dimasukkan ke dalam Lapas. Biasanya penyeludupan itu adalah Uang, Narkoba, Senjata tajam, Hand phone dan lain-lain. 29
29
Ibid hlm 222
Universitas Sumatera Utara
B.Perumusan Masalah Sesuai dengan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan
Rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai bagian sistem pembinaan terhadap narapidana narkotika? 2. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi
terhadap pengguna narkotika
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ? 3. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dalam pelaksanaan rehabilitasi narapidana narkotika ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai bagian sistem pembinaan terhadap narapidana narkotika 2. Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dalam pelaksanaan rehabilitasi narapidana narkotika.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian memiliki manfaat teoretis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah 1. Secara Teoretis Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum pidana menyangkut pembinaan narapidana penyalahguna narkotika dan peran petugas pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana penyalahguna narkotika . Penelitian ini juga diharapkan dapat menyempurnakan peraturan hukum yeng menyangkut bidang pembinaan di lembaga pemasyarakatan. 2. Secara Praktis. Diharapkan penelitian ini memberi masukan kepada aparat petugas pemasyarakatan dalam menerapkan sistem pembinaan terhadap narapidana penyalahguna narkotika di lembaga pemasyarakatan sehingga dapat menjalankan tugas sesuai dengan fungsi pemasyarakatan. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan dan pemantauan yang dilakukan, bahwa belum ada bidang dan ruang lingkup yang melakukan penelitian dalam hal
serupa
“ Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika Sebagai
Bagian Sistem Pembinaan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika’. Ada beberapa tesis yang membahas tentang narkotika namun permasalahan, metode dan lokasi penelitian yang berbeda serta pembahasan terhadap Undang-Undang yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda. Pada tesis ini Undang-Undang Narkotika yang dibahas adalah UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN Beberapa tesis yang membahas tentang yang berhubungan dengan narkotika adalah sebagai berikut ; 1. Nama : Mhd Tavip, Nim 077005017, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, Judul tesis “Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan”. Permalasalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. 2. Nama : Ardiansah, Nim 057005027, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, judul tesis “Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika dan Psikotropika”. Permasalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. 3. Nama : Mala Puspita Sari Br Ginting, Nim 087005058, judul tesis “Analisis Yuridis Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika Dalam Pesrspektif Pembaruan Hukum Pidana Nasional”. Permasalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. 4. Nama : Pahatar Simarmata, Nim 002105042, judul tesis “Pidana Yang Dijatuhkan Dalam Perkara Narkotika Sebagai Upaya Pembinaan Terpidana”. Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya 5. Nama : Rita Pristiwa, Nim 077005022, judul tesis “ Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan”. Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya.
Universitas Sumatera Utara
6. Nama : Roma Ulinan Pasaribu, Nim 077005022, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, “ Analisis Hukum Pola Pembinaan Narapidana Wanita Pengedar Narkoba Dalam Perspektif Pemasyarakatan (Penelitian Pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan). Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya 7. Nama : Jan Prins Duarmen Saragih, Nim 037005018, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, Judul tesis “ Pembinaan Terhadap Anak Dalam Kasus Penyalahgunaan Narkoba Dan Psikotropika
( Studi kasus di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan). Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. Oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, sebab penyusunan tesis ini menghormati etika penelitian sebagaimana dalam asasasas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk saran-saran dari pihak pembaca yang akan menambah ilmu penulis dan penyempurnaan penelitian di masa yang akan datang. E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Sistem pemidanaan terhadap penyalahgunaan narkotika tidak dapat dilepaskan dari sistem pemidanaan yang dianut dalam hukum Indonesia. Tujuan sistem pemidanaan pada operasionalnya adalah tujuan penegakan hukum yang dijalankan oleh sistem peradilan berdasarkan perangkat-perangkat hukum yang mengatur kriminalisasi penyalahguna narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN. Menentukan tujuan pemidanaan pada sistem peradilan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah
Universitas Sumatera Utara
pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. M. Cherif Bassiouni pernah menegaskan bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment) apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. 30 Tujuan pemidanaan dari tujuan klasik retributif, ditterent sampai terjadi ke perubahan tujuan positif dengan pemidanaan Treatment sampai ke Restorative Justice belum juga berhasil sehingga tetap mengalami perubahan-perubahan
sistem
pemidanaan, siklus-siklus pemidanaan ini semakin terjawab dengan munculnya undang-undang baru pada setiap kriminal dan hakekat tujuan pemidanaannya juga terkontribusi di dalam undang-undang itu sendiri. Teori klasik Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat .oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepas dari tujuan apapun sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Tokoh teori retributive adalah Immanuel Kant ( 1724-1804) dan Hegel ( 1770-1831).
30
Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Bandung :Citra Aditya Bakti, 1996), hal 62
Universitas Sumatera Utara
Immanuel Kant menyatakan bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral. 31 Teori deterrence berakar dari teori klasik tentang pemidanaan. Beccaria dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1748) akhir dari hukuman adalah tidak lain tidak bukan untuk mencegah penjahat mencederai lebih lanjut masyarakat dan mencegah orang lain dari perbuatan-perbuatan yang serupa. 32 Sedangkan teori Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksud di sini adalah memberikan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen pada positif ini adalah bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang
sakit
sehingga
membutuhkan
perawatan
(treatment)
dan
perbaikan
(rehabilitation). Sudarto pernah mengemukakan bahwa apabila hukum pidana digunakan hendaknya dilihat keseluruhan hubungan politik kriminal atau social defence planning yang inipun harus merupakan bagian dari rencana pembangunan nasional. 33Politik kriminal ialah pengaturan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. 34
31
Priyatno Dwija, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hal 23 32 Cesare Beccaria. Perihal Kejahatan dan Hukuman . diterjemahkan oleh Wahmuji, (Yogyakarta : Genta Publising cetakan Pertama 2011), hal 38. 33 Muladi, Arief Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998), hal 157 34 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. 35 Berdasarkan kupasan dari konsep teori diatas maka kerangka teori sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori Restorative justice. Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony.F.Marshall dalam tulisannya bahwa defenisi restorative justice adalah : “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal eith the aftermath of the offence and its implications for the future” ( restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersamasama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan) 36 Retroaktive justice merupakan upaya penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme informal. Pilihan antara penyelesaian melalui pengadilan (litigasi) dengan menggunakan restitutive justice (criminal justice) atau penyelesaian non pengadilan melalui cara rekonsiliasi dengan menggunakan restorative justice sebagai salah satu implementasi transitional justice (keadilan transisional) senantiasa menjadi wacana seru. 37
35
. Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum, Op Cit, hal 29 Dikutip dari Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, (Medan : USU Press, 2010), hal 28 37 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence), (Jakarta: Kencana , 2009), hal 247 36
Universitas Sumatera Utara
Konsep restorative justice dalam penyelesaian suatu kasus tindak pidana peran dan keterlibatan anggota masyarakat sangat penting dalam membantu, memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi disekitar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. 38 Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat penindasan/pemberantasan/penumpasan (repressive) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan
jalur
non
penal
lebih
menitik
beratkan
pada
sifat
pencegahan/penangkalan/pengendalian (preventive) sebelum kejahatan terjadi. 39 Menentukan
titik
temu
antara
jalur
penal
sebagai
tindakan
penindasan/pemberantasan/penumpasan (repressive)dan non penal sebagai tindakan pencegahan/penangkalan/pengendalian (Preventive) memerlukan formulasi baru dalam sistim atau tujuan pemidanaan. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 40 Mengingat penyebab penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) memerlukan interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersediannya zat (NAPZA). Penanggulangan akibat penyalahgunaan narkotika dan pencegahan peredaran narkotika dilihat dari sudut politik
kriminal
secara
makro
dan
global
upaya-upaya
non
penal
38
Marlina, Konsep Diversi Dan Restorative JusticeDalam Hukum Pidana, Op Cit, Hal 40 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op Cit, Hal 49 40 . Ibid 39
Universitas Sumatera Utara
(pencegahan/pengendalian/penangkalan)
menduduki
posisi
dan
strategi
dari
keseluruhan upaya politik kriminal. Berdasarkan aliran utilitari bahwa pemidanaan yang di jalankan di Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pembinaan membuat hukum memberi prinsip kemanfaatan bagi narapidana. Teori Utilitaris bukan sekedar menjadi pembalasan atau pengimbalan bagi pelaku tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu menjadi bermanfaat oleh karena itu teori ini sering disebut juga dengan teori tujuan (Utilitarian Theory). Pendapat Jeremi Bentham hukum dapatlah diakui sebagai hukum, jika ia memberi sebanyak-banyaknya kemanfaatan yang sebesar-sebesarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Prinsip itu di kemukakan oleh Bentham dalam karyanya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). 41 Tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat untuk itu perundang-undangan harus mencapai empat tujuan : 42 to provide subsistence ( untuk memberi nafkah hidup ) to provide abudance ( untuk memberi makanan yang berlimpah) to provide security (untuk memberikan perlindungan) to attain equality ( untuk mencapai persamaan) Dalam sistem pemasyarakatan adanya suatu upaya dengan penginterasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi tetapi
mata rantai pemulihan sosial narapidana
dengan masyarakat dalam pasca menjalani pidana setelah narapidana kembali
41 42
Ibid Hal 78 Ibid hal 272-273
Universitas Sumatera Utara
kemasyarakat. Pembinaan dengan sistem pemasyarakatan tidak ada pemisah antara mantan narapidana dengan masyarakat yang dapat menciptakan kepercayaan diri dan adanya tanggung jawab dari masyarakat. Terapi
dan Rehabilitasi merupakan
pengintegarisian dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Bertolak dari pandangan Saharjo tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan dengan tujuan pidana penjara. Konsep pemasyaraktan tersebut kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konfrensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan disamping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara membimbing dan membina. 43 Berdasarkan pemikiran tersebut maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan anak didik telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem kemasyarakatan begitu pula institusi yang semula rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964. 44 Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksaananya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan
43 44
Priyatno Dwija Op Cit hlm 97 Ibid
Universitas Sumatera Utara
sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan melaksanakan tugas pembinanaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-Undang di tetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum. 45 Sistem pemasyarakatan memandang
pemidanaan yang berdasarkan
pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan suatu aturan hukum yang diintegrasikan antara pemulihan narapidana dengan pembalasan atas perbuatannya yang bertujuan supaya ada pertobatan. Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat terlaksana
secara
konfrehensif terhadap narapidana. Sebab terapi medis dan rehabilitasi sosial terhadap narapidana narkotika memberi manfaat dalam pemulihan pecandu. Kemanfaatan hukum bagi narapidana sebagai sistem pemidanaan dalam pandangan utilitarian (utilitarian view) menyatakan bahwa pemidanaan itu harus dilihat dari segi manfaatnya. Menurut pandangan utilitarian tujuan hukum dari segi manfaat dan kegunaannya yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkan pidana itu. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP secara tegas mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana. Pada Pasal 14 Undang-
45
Ibid 103
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP menentukan bahwa
Narapidana
berhak : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani 3. Mendapat pendidikan dan pengajaran 4. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5. Menyampaikan keluhan 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang 7. Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan 8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi 10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga 11. Mendapat pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas 13. Mendapatkan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. .
Universitas Sumatera Utara
Hakekat pemasyarakatan yang menjadi kelembagaan yang bersifat formal yang pada prinsipnya mengarahkan narapidana itu menjadi manusia yang lebih baik dan berguna. Pelaksanaan penghukuman terhadap para narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika dengan perlakuan manusiawi yang bersifat treatment dengan menggunakan terapi dan rehabilitasi untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantungan walaupun pengguna Napza suatu hal yang susah untuk sembuh. Perlakuan pemasyarakatan
bersifat manusiawi inilah yang menjadi prinsip dari sistem yang menghormati dan menghargai penuh nilai dan norma
kehidupan masyarakat sehingga integritas sosial dari narapidana, masyarakat dan petugas dapat terlaksana dengan baik sebagai suatu rangkaian yang harus aktif untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantugan napza
sebagaimana tujuan
pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang tercermin dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. Sejarah penjara ke sistem pemasyarakatan pada tanggal 27 April 1964 oleh Saharjo. di Lembang Bandung bahwa pemsyarakatan selain tujuan pemidanaan juga bertugas untuk memulihkan narapidana kedalam kesatuan integritas masyarakat kemudian disusul dengan pidato Saharjo sebagai Menteri Kehakiman RI bahwa pidana penjara adalah berfungsi pengayoman dengan sistem pemasyarakatan. Sejarah ini kemudian melahirkan era baru dalam sistem pembinaan dan tata cara yang baru dalam perlakuan terhadap narapidana ditetapkan dalam suatu Undang-Undang Pemasyarakatan dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.
Universitas Sumatera Utara
Strategi pemasyarakatan sebagai suatu proses tidaklah berdiri sendiri, melainkan ia merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses penegakan hukum yang panjang dimulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan dan penjatuhan putusan hakim, dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa pemasyarakatan merupakan sub sistem dari suatu Criminal Justice System 46 Menyangkut Integrited criminal justice system Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat melahirkan manusia baru yang berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Sejarah kemudian mencatat bahwa narapidana narkotika harus dipisah dari narapidana lain untuk lebih terkondisikan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan maka kemudian narapidana narkotika di laksanakan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Tugas pokok Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dituangkan ke dalam sistem pembinaan narapidana narkotika yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan, Untuk melaksanakan pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada empat belas komponen untuk mencapai tujuan pembinaan yaitu : Falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem klasifikasi, pendekatan klasifikasi perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga
46
. Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung, Alumni, 1982, Hal 75
Universitas Sumatera Utara
narapidana, dan Pembina/pemerintah. 47 Pembinaan sebagai terobosan yang menjadi alat/sarana di lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana . 48 2. Kerangka Konsepsi Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan konsep teoretisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui fakta mengenai pokok perhatian dan suatu konsep adalah defenisi dari suatu yang diamati, konsep menentukan antara variable-variabel yang ingin menentukan adanya gejala empiris. 49 Beranjak dari judul tesis ini yaitu “ Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika Sebagai Bagian Sistem Pembinaan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kls IIA Pematangsiantar)” maka dapatlah dijelaskan konsepsi atau pengertian kata demi kata dari judul tesis ini sebagai berikut : 1. Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 50 Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat
47
Harsono HS.C.I, Sistem Baru Pembinaan Narapidana,Op Cit hal 5. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Bab II angka 7, Pembinaan dan Pola Pembinaan ini meliputi tahanan, pelayanan tahanan, pembinaan narapidana dan anak didik dan bimbingan klien. Pelayanan tahanan ialah segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan. pembinaan narapidana dan anak didik ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan /Rutan (intramural treatmen). Bimbingan klien ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para klien pemasyarakatan di luar tembok (extramural treatment). 49 . Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta, Gramedia Pustaka, 1997) hlm 21. 50 Pasal 1 angka (17) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 48
Universitas Sumatera Utara
diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan 51
2. Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. 52 Sistem pembinaan narapidana dikenal dalam sistem pemasyarakatan. 53 3. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam gololongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang. 54 4. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. 55 5. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika adalah Tempat untuk melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya. 56 Di Sumatera Utara baru ada satu Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M.04.PR.07.03 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung,
51
Penjelasan Pasal 56 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung :Yrama Widya,2001), Hal 565 53 Romli Atmasasmita, Op Cit, hal 76 54 .Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 55 Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 56 Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E.KP.09.05-701A Tahun 2003 Tentang Tugas Pejabat Struktural dan Petugas Operasional Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI 52
Universitas Sumatera Utara
Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pemekasan, Martapura, Bangli, Maros dan Jayapura. 6. Sistem Pemasyarakatan adalah Suatu tatanan mengenai arah dan batas tata cara pembinaan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan
berdasarkan
Pancasila
yang
dilaksanakan secara terpadu Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat aktif secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 57 7. Pembinaan adalah Kegiatan untuk meningkatkan kwalitas Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan prilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakayan. 58 G. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tehnologi. 59 Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi data yang telah dikumpulkan dan diolah. 60
57
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan , Pasal 1 angka 1 59 Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : CV.Rajawali,1990), hal 1. 60 Ibid 58
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 61 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan : 1.Spesifikasi Penelitian. a. Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah gabungan antara yuridis normatif dan empiris. Penelitian ini disebut yurudis normatif adalah ditinjau dari objek penelitian adalah hukum positif yang mengkaji kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang rehabilitasi sebagai bagian sistem pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Penelitian ini disebut Penelitian yuridis empiris karena selain mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan rehabilitasi, juga mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja. Penelitian ini disebut juga penelitan bekerjanya hukum ( law In Action) . 62
61
Ibid .Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Daualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta :Pustaka pelajar, 2010,Cetakan I), Hal 47 62
Universitas Sumatera Utara
b. Sifat Penelitian. Sifat penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah bersifat deskriptif analisis dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi sebagai bagian sistem pembinaan terhadap narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, akan tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis kaitanya untuk mencapai tujuan pemasyarakatan. c. Pendekatan. Hasil suatu penelitian normatif agar lebih baik nilainya atau untuk lebih tepat penelaahan dalam penelitian tersebut, peneliti perlu menggunakan pendekatan hukum dalam setiap analisisnya, pendekatan ini akan dapat menentukan nilai dari hasil penelitian tersebut. 63 Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 64 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan akan menghasilkan penelitian yang lebih akurat . Dalam penelitian digunakan pendekatan terhadap hirarki perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalahguna
63
Ibid, Hal 184 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, (Malang : Bayumedia Publishing, 2007), hal 302 64
Universitas Sumatera Utara
narkotika. Dalam hal ini Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang UUN dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP beserta Peraturan Pelaksananya. 2. Sumber Data Penelitian a. Data Primer. Data primer dalam penelitian hukum dapat dilihat sebagai data yang merupakan prilaku hukum dalam masyarakat 65 Maka peneliti memperhatikan prilaku narapidana selama menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyaraktan Narkotika. b. Data Sekunder. Pada penelitian hukum yuridis normatif bahan pustaka merupakan dasar yang dalam ilmu pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder 66 Dalam penelitian yuridis normatif data sekunder bersumber dari : 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer antara lain: a. Norma-norma atau kaiah-kaidah dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945 b. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rehabilitasi, pembinaan, pemidanaan dan narkotika dalam hal ini meliputi : UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penempatan Pemakai Narkotika Ke Dalam Terapi dan Rehabilitasi. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
65
Ibid hal 156 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Op Cit, hal 28 66
Universitas Sumatera Utara
1999
Tentang
Pembinaan
dan
Pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa buku-buku yang berkaitan dengan sistem pemidanaan, pembinaan narapidana, rehabilitasi dan narkotika, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel-artikel dan seminar yang relevan dengan penelitian ini. .3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan-penjelasn terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian. 67 3. Alat Pengumpulan Data. a. Studi dokumen. Pengumpulan data dalam penelitian tesis ini menggunakan studi dokumen dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi pustaka (library research). b.. Wawancara. Data primer dikumpulkan melalui studi lapangan dengan mempergunakan teknik wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan dalam penelitian ini adalah: a. Kepala Lapas Narkotika Klas II A Pematangsiantar.
67
. Ibid hlm 41
Universitas Sumatera Utara
b. Pegawai Lapas Narkotika Klas IIA Pematangsiantar dalam hal ini Kasi Binadik, Kasubsi Bimwasmat, Kasubsi Registrasi dan Kasub Bag TU dan responden adalah 10 (sepuluh) orang narapidana narkotika Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangiantar. 4. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif sesuai dengan spesifikasi sifat penelitian untuk mengkaji antara teori dan praktek dalam pelaksanaan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika sebagai bagian pembinaan dengan sistem pemasyarakatan. Analisis data kualitatif adalah dengan melakukan penggalian fakta-fakta sosial tidak hanya yang tampak dipermukaan namun justru menggali apa yang sesungguhnya terjadi dibalik peristiwa nyata tersebut. 68 Ukuran-ukuran tidak diserahkan kepada peneliti tetapi diserahkan seluruhnya pada hasil temuan di lapangan. Penarikan kesimpulan akan diperoleh dari penyelesaian perumusan masalah yang dilakukan dalam penelitian.
68
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Op Cit, hal 59
Universitas Sumatera Utara