BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah sindrom koroner akut (Lilly, 2011). Sindom koroner akut (SKA) adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan tanda dan gejala klinis iskemia miokard maupun
W D
infark miokard. Iskemia maupun infark miokard tersebut meliputi angina pektoris tidak stabil (unstable angina), infark miokard akut elevasi segmen ST/ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), dan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST/non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI). Keadaan
K U
ini sangat mengancam jiwa (Overbaugh, 2009). Sindrom koroner akut dapat menjadi pertanda terjadinya proses thrombosis pada arteri koroner. Hal tersebut dapat ditegakkan dengan adanya nyeri dada dengan atau tanpa disertai penjalaran
©
nyeri ke lengan, leher, punggung atau daerah epigastrium, perubahan segmen ST pada gambaran elektrokardiografi, dan peningkatan enzim jantung (Achar et al, 2005).
Analisa data sekunder menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler, termasuk SKA, merupakan penyebab kematian utama di negara maju. Penyakit tersebut juga cenderung meningkat sebagai penyebab kematian diberbagai negara berkembang, begitu pula di Indonesia (Kementerian Kesehatan R.I., 2012). Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2004, penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia dengan penderita perempuan sebanyak 31,5% dan penderita laki-laki sebanyak 26,8% dari total 1
2
seluruh penduduk perempuan dan penduduk laki-laki di dunia. Penyakit ini juga terdaftar sebagai penyebab kematian pertama di dunia dengan jumlah kematian 7,2 juta jiwa (12,2% dari total kematian), penyebab kematian kedua di negara berpendapatan rendah dengan jumlah kematian 2,5 juta jiwa (9,4% dari total kematian), penyebab kematian kedua di negara berpendapatan sedang dengan jumlah kematian 3,4 juta jiwa (13,9% dari total kematian), dan penyebab
W D
kematian pertama di negara berpendapatan tinggi dengan jumlah kematian 1,3 juta jiwa (16,3% dari total kematian) (WHO, 2004). Hingga tahun 2011, penyakit ini tetap menjadi penyebab kematian pertama di dunia dengan jumlah kematian yang semakin meningkat yaitu, 7,25 juta jiwa (12,8% dari total kematian) (WHO,
K U
2011b). Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki data khusus mengenai SKA, akan tetapi telah terdapat data tentang penyakit sistem kardiovaskuler yang menyebabkan kematian.
Data sensus nasional oleh Departemen Kesehatan
©
Republik Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler, termasuk penyakit jantung koroner, sebanyak 26,4% di Indonesia. Angka kematian ini empat kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan kematian akibat kanker yang hanya sebesar 6% (Departemen Kesehatan R.I., 2001).
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), penyakit jantung menjadi salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi selama sepuluh tahun terakhir. Menurut hasil observasi pada 3 rumah sakit di DIY selama tiga tahun terakhir, penyakit kardiovaskuler seperti jantung dan hipertensi juga selalu masuk dalam 10 penyakit penyebab kematian tertinggi.
Penyakit ini bahkan tidak hanya
3
menyandang predikat sebagai penyakit dengan angka kematian tertinggi, tetapi juga sebagai penyakit dengan angka kejadian yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Dinas Kesehatan Provinsi D.I. Yogyakarta, 2012). Sindrom koroner akut digolongkan menjadi beberapa macam meliputi angina pektoris tidak stabil (unstable angina), infark miokard akut elevasi segmen ST/ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), dan infark miokard
W D
akut tanpa elevasi segmen ST/non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI). Ketiganya memiliki presentasi klinik dan penanganan awal yang hampir sama, oleh karena itu istilah SKA sangat berguna sebagai diagnosis awal sebelum diketahui penyakit yang sebenarnya (Achar et al, 2005).
K U
Menurut
observasi yang ada, tingkat kematian pada pasien STEMI relatif tinggi dan stabil jika dibandingkan dengan pasien NSTEMI yang relatif tinggi tetapi mengalami sedikit penurunan dari tahun ke tahun. Keadaan klinis pasien STEMI juga lebih
©
parah karena terdapat daerah infark miokard yang lebih besar dan kondisi nekrosis otot jantung yang tidak dapat berubah seperti sediakala (irreversible) (McManus et al, 2011).
Ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya SKA, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain jenis kelamin (laki-laki memiliki faktor risiko yang lebih besar dibanding perempuan) dan umur (Laki-laki diatas 45 tahun dan perempuan di atas 55 tahun). Faktor risiko yang dapat diubah antara lain peningkatan kolesterol total serum, peningkatan low-density lipoprotein (LDL) atau sering disebut kolesterol jahat, peningkatan trigliserid, penurunan high-
4
density lipoprotein (HDL) atau sering disebut kolesterol baik, diabetes mellitus tipe 2, merokok, obesitas, hipertensi, stres dan lain sebagainya (Overbaugh, 2009). Menurut WHO pada tahun 2007, hipertensi merupakan faktor risiko mayor terjadinya SKA (WHO, 2007).
Setiap peningkatan 20/10 mmHg dapat
meningkatkan 2 kali risiko terjadinya SKA, minimal dimulai dari tekanan darah 115/75 mmHg (WHO, 2011a). Penelitian Thune et al (2008) melaporkan bahwa
W D
hipertensi dapat meningkatkan angka kematian pada pasien dengan infark miokard. Penelitian Ali et al (2012) juga menunjukkan bahwa pasien STEMI dengan hipertensi memiliki angka kematian yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien STEMI tanpa hipertensi. Sedangkan penelitian Majahalme et al
K U
(2003) melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan angka kematian yang signifikan pada pasien infark miokard dengan dan tanpa hipertensi. Selain itu, Ivanusa et al (2009) menunjukkan dalam penelitiannya bahwa angka kematian
©
pasien infark miokard tanpa hipertensi lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien infark miokard dengan hipertensi. Hal tersebut menyatakan bahwa masih belum adanya jawaban yang pasti apakah hipertensi mempengaruhi angka kematian pada SKA, khususnya pada golongan infark miokard akut elevasi segmen ST (STEMI).
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut “Apakah terdapat perbedaan angka kematian pada pasien infark miokard akut elevasi segmen ST (STEMI) dengan hipertensi dan tanpa hipertensi”.
W D
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan angka kematian pada pasien infark miokard akut Elevasi Segmen ST (STEMI) dengan hipertensi dan tanpa hipertensi.
K U
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
©
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai STEMI. 2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber pustaka mengenai perbedaan angka kematian pada pasien STEMI dengan hipertensi dan tanpa hipertensi.
6
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini belum pernah dilakukan di Indonesia, tetapi penelitian ini pernah dilakukan di Finlandia pada tahun 2003 dan Boston pada tahun 2008, tetapi kedua penelitian tesebut mendapatkan hasil yang berbeda. Peneliti melakukan kembali penelitian ini karena peneliti merasa perlu dilakukan penelitian ulang untuk mengkonfirmasi penelitian sebelumnya serta karena
W D
penelitian sebelumnya sudah cukup lama dilakukan.
Peneliti juga ingin
melakukan penelitian ini karena penelitian ini belum pernah dilakukan di Indonesia, sehingga kemungkinan terdapat perbedaan angka kematian pada pasien STEMI dengan hipertensi dan tanpa hipertensi jika penelitian dilakukan di
K U
wilayah yang berbeda. Terdapat 4 penelitian sebelumnya yang serupa dengan penelitian ini dan dijadikan sebagai acuan referensi. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sehingga sebagai
©
bukti keaslian peneliti menunjukkan perbedaannya pada table 1.
7
Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti, Tahun
Judul
Metode
Majahalme et al, 2003
Comparison of Patients With Acute Coronary Syndrome With and Without Systemic Hypertension.
Kohort retrospektif.
Thune et al, 2008
Effect of Antecedent Hypertension and Follow-Up Blood Pressure on Outcomes After High-Risk Myocardial Infarction.
Kohort retrospektif.
Ivanusa et al, 2009
The Influence of Hypertension on Inhospital Outcome in Patients With Acute Myocardial Infarction.
Deskriptif retrospektif.
Tidak terdapat perbedaan angka kematian yang signifikan pada pasien infark miokard dengan dan tanpa hipertensi.
W D
K U
©
Ali et al, 2012
Hasil
In-Hospital Deskriptif prospektif. Complications and 1-Year Outcome of Acute Coronary Syndrome in Patients With Hypertension: Findings From The 2nd Gulf Registry Of Acute Cardiac Events.
Hipertensi meningkatkan angka kematian pada penderita infark miokard.
Pasien infark miokard akut tanpa hipertensi memiliki angka kematian jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasien infark miokard akut dengan hipertensi. Pasien STEMI dengan hipertensi memiliki angka kematian lebih tinggi dibandingkan dengan pasien STEMI tanpa hipertensi.