BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, merupakan sumber daya
alam yang memiliki aneka ragam kandungan kekayaan alam yang bermanfaat bagi manusia, sebagai bentuk perwujudan rasa syukur terhadap karunia-Nya, maka
hutan
harus
mempertimbangkan
diurus
dan
kecukupan
dimanfaatkan luas
kawasan
secara
optimal
dengan
dan
kegunaan
dalam
memanfaatkannya. Sumberdaya hutan sebagai modal pembangunan mempunyai manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi.1 Dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.2 Termasuk didalamnya hutan adalah suatu kekayaan alam yang harus dimanfaatkan secara baik dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Penyelenggaraan
kehutanan
bertujuan
untuk
sebesar
besarnya
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:3 a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produktif untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya 1
Suryanto et.al., Illegal Loging Sebuah Misteri, Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Sempaja, 2006, h. 1. 2 Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Pasal 33 ayat (3). 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 3.
1
2
dan ekonomi, yang seiring dan lestari; c. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipasif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Paradigma bahwa sumber daya alam kehutanan harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan (ekonomi) semata-mata sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini, hutan harus dimaknai sebagai pemberi manfaat bagi lingkungan hidup dan sosial-budaya. Manfaat ekonomi diupayakan untuk pula sejalan dengan aspek sosial dan lingkungan melalui upaya konservasi sumber daya alam. Prinsip keadilan antargenerasi meletakkan tiga kewajiban mendasar bagi generasi sekarang dalam konservasi sumber daya alam, yaitu: (1) conservation of option, menjaga agar generasi mendatang dapat memilih kuantitas keanekaragaman sumber daya alam; (2) conservation of quality, menjaga kualitas lingkungan agar llestari; dan (3) consevation of acces, menjamin generasi mendatang minimal memiliki akses yang sama dengan generasi sekarang atas titipan kekayaan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.4 Dalam perjalanannya, selain memberi dampak positif5, pengelolaan dan pemanfaatan hutan juga memberi dampak negatif yang mengakibatkan terdegradasinya sumberdaya hutan, baik diakibatkan pelanggaran maupun karena
4
Ahmad Redi, Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, Sinar Grafika Jakarta Timur, 2014, h. 1-2. 5 Sumberdaya hutan sebagai peyumbang devisa dan berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
3
akses perubahan atau proses penyempurnaan6 terhadap sistem pengelolaan itu sendiri. Proses pengerusakan hutan sesungguhnya telah dimualai dari awal praktek eksploitasi hutan dilakukan, baik pada era banjir kap, era Hak Pengusahaan Hutan hingga era sekarang. Namun demikian, praktek eskploitasi secara tidak sah (ilegal) dapat di katakan baru dimulai sejak era pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan pada awal 1970an7. Pada era tersebut, telah terjadi praktek ilegal seperti praktek tebang “cuci mangkok”, penebangan diluar blok tebangan, didalam kawasan lindung, melebihi jatah tebangan dan sebagainya serta sebagian lagi praktek “pencurian” kayu yang dilakukan masyarakat atau oknum dalam manajemen badan usaha pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan.8 Pengertian tindak pidana kehutanan menurut UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap orang atau kelompok orang atau badan hukum dalam bidang kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa; menebang atau memungut Hasil Hutan Kayu (HHK) yang diduga dipungut secara tidak sah, serta mengangkut atau memiliki HHK yang tidak dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)9. Dalam Inpres RI No. 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan penebangan Kayu Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Putting, istilah illegal logging disamakan dengan istilah penebangan kayu illegal. Illegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GWF) (2001 : 36) yaitu untuk
6
Dikenal beberapa sistem pengelolaan, seperti TPI, TPII dan sebagainnya. Pada era banjir kap belum ada peraturan perundang undangan yang memadai, dengan demikian berarti juga tidak ada pelanggaran. 8 Suryanto, et.al., Op.Cit., h. 2-3. 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tantang Kehutanan Pasal 50 ayat 3, huruf e 7
4
menggambarkan semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia.10 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana kehutanan adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunytai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah dan bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena itu dipandang sebagai perbuatan merusak hutan.11 Tindak pidana terhadap kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe dalam Hamzah (1991:1), ada dua kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana khusus itu, yaitu yang pertama, orang-orang atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Hukum pidana khusus yang subjeknya khusu maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer. Dan hukum pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilalakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal.12 Kejahatan di bidang kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang dlam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu delik-delik kehutan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu. Pada dasarnya kejahatan bidang
10
Teguh Prasetyo et.al., Korupsi dan Illegal Logging, Puustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 13-
14. 11
Ibid., h. 15 Op.cit., h. 119
12
5
kehutanan, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokan menjadi beberapa bentuk kejahatan, yaitu: 13 a) Pengrusakan, diatur dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang perusakan barang dalm arti barang-barang yang bisa dimiliki orang( Pasal 406 KUHP). Ancaman hukuman dalam Pasal 406 sampai dengan 412 KUHP paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 4.500. b) Pencurian, menurut penjelasan Pasal 363 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :1. Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai, 2.Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku.3. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.4. dengan ssengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP adalah Pasal 363 lima tahun, Pasal 363 tujuh sampai sembilan tahun, Pasal 365 lima belas tahun. c) Penyelundupan, hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu bahkan dalam KUHP. Namun demikian, Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999, yang mengatur tentangmembeli, menjual dan atau mengangkut hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai perbuatan penyelundupan kayu.
13
Op.cit., h. 120-124
6
d) Pemalsuan, pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276, pemalsuan materai dan merek diatur dalam pasal 253-262. Pemalsuan dalam hal ini membuat surat palsu yang isinya tidak semestinya. Ancaman pidananya menurut Pasal 263 KUHP yaitu penjara paling lama 6 tahun dan Pasal 264 paling lama delapan tahun. e) Penggelapan, dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Ancaman hukumannya yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-. f) Penadahan, dalam KUHP pendahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan persekongkolan atau sekongkol atau pertolongan jahat. Penjelasan lebih lanjut dalam Pasal 480 KUHP. Ancaman pidana dalam pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp. 900,-. Modus ini telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999. Dari berbagai problematika yang ditimbul sangat diperlukan penegakan hukum yang serius dan jitu dari tingkat pusat sampai ketingkat daerah agar pelanggaran mengenai tindak pidana di bidang kehutanan dapat ditekan. Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tentunya harus ada sarana dan prasarana yang memadai, antara lain harus ada personil yang memadai untuk mampu mengawasi seluruh wilayah hutan yang ada di wilayah Wonogiri terutama wilayah-wilayah yang rawan terjadi kasus tindak pidana kehutanan serta SDM yang handal. Disamping itu pula perangkat hukum terutama peraturan perundangundangan yang ada harus pula menjadi prioritas utama yang dapat memberi
7
keleluasaan bertindak apabila para penegak hukum menemukan tindak kejahatan di hutan.14 Kerjasama antara instansi-instansi ini diharapkan dapat mengurangi atau bahkan memberantas habis segala macam tindakan yang mengarah pada kasus tindak pidana bidang kehutanan yang ada diwilayah Wonogiri. Dalam menjalankan penegakan maupun pencegahan terhadap tindak pidana bidang kehutanann di wilayah Kabupaten Wonogiri
Polres Wonogiri
beserta Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan atau dalam
hal
ini
Polisi
Hutan
Wilayah
Wonogiri
berkerjasama
sesuai
kewenangannya masing-masing yang didalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa ada dua pejabat yang berkedudukan sebagai Penyidik, yaitu Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Penyidik Polri memiliki kewenangan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP sedangkan untuk PPNS kewenangannya sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, untuk PPNS kehutanan kewenangannya diatur dalam Pasal 77 Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 39 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAHE. PPNS kehutanan walaupun telah diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan sebagaimana disebut di atas, namun dalam pelaksanaan tugasnya Kedudukannya berada dibawah kordinasi dan Pengawasan penyidik POLRI dalam hal ini Polres Wonogiri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP) dengan kata lain bahwa: 1. Kedudukan Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana kehutanan adalah; sebagai Koordinator; dan sebagai Pengawas proses penyidikan
14
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, h. 5.
8
oleh PPNS Kehutanan. 2. Kedudukan PPNS Kehutanan sebagai Penyidik tindak pidana kehutanan. Seperti yang dilakukan Polres Wonogiri dalam menangani tindak pidana bidang kehutanan yang semakin meningkat di masa-masa sekarang ini, karena di wilayah Wonogiri sendiri daerahnya sebagian besar adalah berupa kawasan hutan. Tidak menutup kemungkinan bila daerah yang sebagian besar hutan di manfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencuri bahkan untuk merusak hutan di wilayah Wonogiri. Luas kawasan hutan di daerah Wonogiri sendiri menurut Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah tahun 2013 bahwa luas kawasan hutan di Wonogiri 20,094.56 ha. Ada beberapa jenis hutan yang mempunyai fungsi masing-masing diantarnya: 1) Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, 2) Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, 3) Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, 4) Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, 5) Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, 6) Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, 7) Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi
9
sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, 8) Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 9) Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.15 Dan jenis hutan yang membentang luas di wilayah Kabupaten Wonogiri termasuk dalam kategori hutan lindung karena mengingat fungsi dan kegunaannya. Jenis tanaman yang membentang luas di kawasan hutan Wonogiri sebagian besar berupa hutan jati dan hutan pinus. Mengingat pentingnya kawasan hutan di Wilayah Kabupaten Wonogiri guna mencegah banjir, tanah longsor, dan pendangkalan Waduk Gajah Mungkur.
Polres Wonogiri beserta Kesatuan
Pemangkuan Hutan Wonogiri selaku salah satu satuan kerja Perum Perhutani di wilayah kabupaten Wonogiri, bersama dengan stake holder terkait yang ada di wilayah kabupaten Wonogiri, bahu membahu dan bersama-sama menciptakan situasi keamanan hutan yang kondusif agar tujuan menganai tindak pidana illegal logging yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri dapat berkurang. Tidak bertumpu pada penegakan secara represif saja untuk bena-benar mengurangi tindak pidana kehutanan yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri, Polres Wonogiri melakukan penegakan secara preventiv dengan tujuan penecegahan sebelum terjadi tindakan yang dilakukan masyarakat dalam kaitannya tindak pidana kehutanan. Terbukti dengan adanya tindakan preventif yang dilakukan Polres Wonogiri dalam hal ini Satbinmas, yang rutin melakukan pembinaan atau 15
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Pasal 1 ayat 4-12
10
penyuluhan bersama KPH dan masyarakat disekitar kawasan hutan di wilayah Wonogiri, setidaknya dapat menekan angka tindak pidana di bidang kehutanan yang selama tahun 2013 terdapat 3 kasus dan ditahun berikutnya yaitu ditahun 2014 tindak pidana mengenai pencurian kayu dapat dikatan nihil atau tidak ada, ini sesuai data dari ANEV TINDAK PIDANA BULAN TAHUN 2013 SAT RESKRIM POLRES WONOGIRI.16 Tetapi dalam kenyataannya yang terjadi dilapangan menurut data dari Polhut Polres Wonogiri dari Periode Tahun 20132014 ada 8 kasus yang terkait tindak pidana di bidang kehutanan di Wilayah Kabupaten Wonogiri.17 Kabupaten Wonogiri sendiri terdapat empat KPH yang tersebar diantaranya ;181 KPH Kota Wonogiri, Polsek yang menaungi Polsek Wonokarto, 2 KPH Jatisrono, Polsek yang menaungi Polsek Jatisrono, 3 KPH Baturetno, Polsek yang menaungi Polsek Baturetno, 4 KPH Purwantoro, Polsek yang menaungi Polsek Purwantoro. Dari kerjasama yang dibangun antar instansiinstansi dan penegakan hukum seacara preventif yang dilakukan Polres Wonogiri, semuanya
ini diharapkan dapat mengurangi atau bahkan memberantas habis
segala macam tindak kejahatan kehutanan, terutama mengenai Tindak Pidana di bidang kehutanan yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut, oleh karena itu penulis mengambil judul skripsi tentang “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN (Studi Kasus di Polres Wonogiri)”.
16
Wawancara dengan KASAT RESKRIM POLRES WONOGIRI, Wonogiri, 14 Juli 2015 Wawancara dengan KASAT POLHUT POLRES WONOGIRI, Wonogiri 31 Juli 2015 18 Wawancara dengan KANIT BINPOLMAS POLRES Wonogiri, Wonogiri, 31 Juli 2015 17
11
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka untuk
membatasi luasnya permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, penulis merumuskan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan oleh Polres Wonogiri ? 2. Apa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan ?
C.
Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini tujuan yang diharapkan yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk penegakan hukum oleh Polres Wonogiri terhadap tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penindakan hukum oleh Polres Wonogiri terhadap tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.
D.
Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang
positif, yaitu:
1. Manfaat Teoretis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi pendalaman kajian serupa, sehubungan dengan fungsi penegakan hukum sebagai sarana
12
penyesaian sengketa, serta sebagai pembaharuan masyarakat yang menyangkut perilaku masyarakat untuk mampu memahami norma hukum yang berlaku guna membangun masyarakat yang sadar terhadap adanya hukum dan kepatuhan terhadap hukum. b) Seacara teoretis penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan bidang hukum khususnya dalam hukum pidana mengenai
penegakan hukum
terhadap tindak pidana di bidang kehutanan yang terjadi di Kabupaten Wonogiri.
2. Kegunaan Praktis Pembuatan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan bagi aparatur penegak hukum didalam bidang kehutanan dan bahan tambahan perpustakaan atau bahan informasi berbagai pihak mengenai penegakan hukum yang di lakukan oleh Polres Wonogiri terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan.
E.
Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan realitas sosial dari fakta-fakta yang diketemukan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan oleh Polres
13
Wonogiri dalam penanggulan tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.
2. Metode Pendekatan Metode pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan secara Sosio Legal. Pendekatan Sosio Legal adalah suatu pendekatan dalam penelitian hukum yang menempatkan hukum sebagai gejala sosial yang lebih menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum19. Terkait dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan oleh Polres Wonogiri dalam menanggulangi tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.
3. Jenis dan Sumber Data, Unit Amatan Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi penggunaan data sebagai berikut:
a. Data Primer Data Primer yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan. Data primer dalam penulisan ini diperoleh dengan cara interview/wawancara terhadap pihak Polisi Resort Wonogiri tepatnya dibagian SATBINMAS Kanit Binpolmas dengan AIPTU Suyoto, SATRESKRIM dengan IPDA Wiyono, POLHUT Polres Wonogiri yang terkait dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan. Banyak hal yang dapat dikaji melalui penegakan hukum terhadap tindak pidanan di bidang kehutanan oleh Polres Wonogiri tersebut, mengingat pentingnya kawasan hutan di Wilayah Kabupaten
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, 2014, h. 128.
14
Wonogiri guna mencegah banjir, tanah longsor, dan pendangkalan Waduk Gajah Mungkur.
b. Data Sekunder Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara melakukan study dokumen dan study literatur dalam mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin hukum serta isi kaedah hukum yang menyangkut penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan oleh Polres Wonogiri. Jenis data sekunder dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya;
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
15
Unit amatan terdiri dari: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang
Kehutanan 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 4. Penyidik Polres Wonogiri 5. SATBINMAS Polres Wonogiri 6. POLHUT Polres Wonogiri Unit analisis : Tentunya yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan oleh Polres Wonogiri 2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum perimer yaitu : karya tulis dari para sarjana; hasilhasil penelitian dari kalangan hukum; peraturan pelaksanaan undangundang; dan sebagainya. 3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari kamus, dan sebagainya.
16
4. Teknik Pengumpulan Data Lazimnya suatu penelitian maka dalam penelitian ini digunakan teknikteknik pengumpulan data dengan harapan mampu diperoleh data yang benar-benar valid dan untuk itu digunakan teknik-teknik dalam hal pengumpulan datanya melalui: a. Survey awal berupa pengambilan informasi dari instansi dalam hal ini Polisi Resor Wonogiri tepatnya bagian KASAT RESKRIM
SATBINMAS dan
POLHUT untuk mempermudah langkah pengumpulan informasi berikutnya. b. Wawancara yang tersusun berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh informan (informan) yang diterima dijadikan bahan untuk merumuskan sejumlah daftar pertanyaan yang sebelumnya telah disiapkan atau disusun lebih dahulu. c. Studi pustaka (library research) meliputi mempelajari berbagai dokumen dan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan.
17
F.
Sistematika Penulisan Agar penyusunan skripsi ini lebih terarah dan mudah dipahami maka
penulisan ini dibagi menjadi beberapa sub bab yang akan penulis awali terlebih dahulu dengan : BAB I
Pendahuluan, dalam bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II
Dalam bab ini dikemukakan mengenai kerangka teori, hasil penelitian, dan analisis.
BAB III
Penutup, dalam bab ini dikemukakan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.