1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1 Hal tersebut menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mengingat minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis takterbarukan yang dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin.2 Di Indonesia, industri migas memegang peranan penting dalam memproduksi minyak dan gas bumi. Industri minyak dan gas bumi merupakan bisnis dengan risiko yang tinggi3 (high risk), dimana dana dan teknologi yang dibutuhkan cukup besar. Secara umum industri minyak dan gas bumi melakukan lima tahapan kegiatan, yaitu: 1
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bagian Umum Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. 3 Risiko tersebut umumnya terjadi pada aktivitas operasi di hulu migas. Perbedaan jarak antara pendapatan yang akan diperoleh dengan biaya-biaya yang sudah dibebankan terlebih dahulu menjadi faktor keekonomian yang dipikir matang-matang bagi kontraktor migas dalam memutuskan untuk terlibat dalam kontrak migas dikarenakan investasi di migas menjadi seringkali sebuah trade-off antara penerimaan negara dan insentif kontraktor untuk melakukan aktivitas hulu minyak dan gas bumi, Muhammad Mulyawan Tuankotta, “Mengenal Istilah Cost Recovery Dalam Industri Migas”, www.selasar.com/ekonomi/cost-recovery-adalah, Yogyakarta, 28 Januari 2016. 2
2
a. eksplorasi,4 b. eksploitasi,5 c. pengolahan,6 d. pengangkutan/tarnsportasi7 e. dan penyimpanan/pemasaran/niaga8. Lima kegiatan pokok atau kegiatan usaha inti (core business) ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan usaha hulu (upstream) berkaitan dengan ekplorasi dan eksploitasi sedangkan kegiatan hilir (downstream) berkaitan dengan kegiatan pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan.9 Dalam menyelenggarakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi, Pemerintah menjalankan berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan,
4
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan, Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 5 Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya, Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 6 Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan, Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 7 Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi, Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 8 Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 9 SKK Migas, “Mengelola Migas Untuk Kepentingan Bangsa”, www.skkmigas.go.id/mengelolamigas-untuk-kepentingan-bangsa, Yogyakarta, 17 Januari 2016.
3
kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum.10 Kebutuhan energi di Indonesia khusunya konsumsi akan minyak dan gas bumi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dengan semakin padatnya jumlah penduduk yang ada di Indonesia menyebabkan konsumsi akan minyak dan gas bumi mengalami peningkatan. Mengingat kebutuhan akan minyak dan gas bumi selalu mengalami peningkatan maka salah satu langkah yang ditempuh Pemerintah agar kebutuhan akan energi dalam negeri terpenuhi adalah dengan cara meningkatkan produksi minyak dan gas bumi yang ada di Indonesia dengan mengoptimalkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi cadangan-cadangan yang tersebar di wilayah Indonesia. Dalam melakukan ekplorasi minyak dan gas bumi sangat dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Sebagai konsekuensinya Indonesia yang merupakan negara berkembang belum mampu untuk membiayai sendiri kegiatan tersebut sehingga masih membutuhkan kerjasama dari negara lain untuk dapat mengoptimalkan pengekplorasian cadangan minyak dan gas bumi yang tersebar di wilayah Indonesia.11 Bentuk kerjasama yang dilakukan antara Pemerintah dengan pihak investor dikenal dengan kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract).12
10
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, mengenai asas dan tujuan. 11 Seluruh pembiayaan dari awal hingga akhir kegiatan eksplorasi tidak mungkin diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga membutuhkan dukungan dana dari investor. Hal tersebut dilakukan dengan kerjasama antara Pemerintah dengan Investor untuk dapat mengoptimalkan eksplorasi, Media Indonesia, “Eksplorasi Minyak Dan Gas Bumi Butuh Dana Besar”, blog.mediaindonesia.com/mipagi/read/15369/, Yogyakarta 13 Februari 2016 12 Indonesia dalam mengelola usaha hulu minyak dan gas bumi, mengembangkan model kontrak bagi hasil atau (produstion sharing contract), dengan model ini negara memegang kontrol atas pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi, SKK Migas, “Mengelola Migas Untuk Kepentingan Bangsa”, www.skkmigas.go.id, Yogyakarta 13 Februari 2016.
4
Definisi Production Sharing Contract atau kontrak bagi hasil adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan pelaksana (telah digantikan oleh Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas) dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang minyak dan gas bumi dengan prinsip bagi hasil.13 Production Sharing Contract atau kontrak bagi hasil dilakukan dengan cara membagi hasil produksi minyak dan gas bumi antara pemerintah dan kontraktor (dalam hal ini investor/perusahaan minyak dan gas bumi nasional maupun internasional). Namun, sebelum minyak dan gas bumi dibagi, terlebih dahulu dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor untuk menghasilkan minyak dan gas bumi yang disebut dengan istilah cost recovery.14 Dalam mekanisme cost recovery terdapat tiga proses yang saling terkait yaitu proses pengambilan hak atas minyak mentah atau lifting, proses pelaporan biaya aktual dan proses penyelesaian kelebihan/kekurangan pengambilan atau over/under lifting. Dipilihnya sistem bagi hasil minyak dan gas bumi sesungguhnya konsekuensi dari kondisi keterbatasan negara (pada waktu itu, dan sepertinya hingga kini) baik dalam kemampuan finansial maupun kemampuan teknologi di dalam pengelolaan dan pengembangan sumber daya minyak dan gas bumi. 15
13
Salim HS., Hukum Pertambangan Di Indonesia, Jakarta : PT RajaGarfindo persada, 2007, hlm 305. 14 Anton Dedi Hermanto, “Kajian Yuridis Pelaksanaan Cost Recovery Dalam Sistem Production Sharing Contract Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah, Yogyakarta, 2014, Hlm 138. 15 Pri Agung Rakhmanto (Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute), Meluruskan Permasalahan Cost Recovery, www.reforminer.com/2011/1048, Yogyakarta, 27 Januari 2016.
5
Konsekuensi adanya kontrak kerjasama ini adalah diterapkannya mekanisme mengenai cost recovery dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang masih menghendaki pengendalian manajemen di tangan negara. Cost recovery merupakan penggantian biaya operasional kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi semasa tahap eksplorasi dan eksploitasi yang dikeluarkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas apabila berhasil memproduksi migas secara komersil.16 Pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan peraturan mengenai cost recovery, tindakan tersebut merupakan siasat Pemerintah agar investor atau perusahaan migas asing lebih berminat untuk berinvestasi di Indonesia khusunya di sektor minyak dan gas bumi.17 Menurut Hanif Rusdi selaku kepala SKK Migas Sumatera Bagian Utara menyatakan sesungguhnya bisnis hulu migas adalah proyek negara sedangkan perusahaan-perusahaan migas asing itu hanya selaku investor yang bekerja dan memproduksi migas untuk dan atas nama negara dengan cara memberikan dana terlebih dahulu dan menyediakan teknologi yang dibutuhkan selama proses eksplorasi itu dilakukan.18 Berangkat dari hal tersebut dan dengan memperhatikan sistem bagi hasil yang ada, khusunya menyangkut posisi dan mekanisme cost recovery, maka ada 16
Edhi Hafidl, “Perang Kepentingan Dalam Peraturan Pemerintah Cost Recovery’, http://www.kabarbisnis.com/read/2820354, Yogyakarta, 17 Januari 2016. 17 PP Cost Recovery yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, diharapkan dapat memberikan kepastian bagi investor yang ingin menanamkan mondalnya di sektor migas. Pasalnya, ketidakjelasan aturan mengenai cost recovery menjadi ganjalan bagi investor. Hal itu bisa dilihat dari sepinya peminat pada lelang wilayah kerja migas tahap kedua, yang mana dari 16 blok yang ditawarkan pemerintah, hanya lima blok yang laku, Yoz, “PP Cost Recovery Rampung Maret 2010”, m.hukumonline.com/berita/baca/lt4b680ec4b8bd/, Yogyakarta 13 Februari 2016. 18 Bambang Supriyanto, “Banyak Pihak Keliru Pahami Cost Recovery, Ini Penjelasan SKK Migas”, m.bisnis.com/industri/read/20141211/44/31723, Yogyakarta, 17 Januari 2016.
6
beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan bahwa terkait besar kecilnya pengembalian cost recovery memang akan menentukan besar kecilnya penerimaan negara. Selain itu, besaran cost recovery yang akan selalu bermakna ganda, semakin besar cost recovery di satu sisi bisa menunjukkan bahwa nilai investasi minyak dan gas bumi juga membesar dan oleh karenanya bersifat positif, tetapi tidak ditutup kemungkinan adanya inefisiensi dalam arti high cost economy biaya operasi minyak dan gas bumi yang berarti bersifat negatif.19 Sehingga dengan adanya permasalahan diatas, penulis tertarik untuk menganalisis bagaimana penetapan cost recovery yang dilakukan oleh Pemerintah agar dapat mengimbangi antara memberikan keuntungan bagi pendapatan negara dan tidak mengesampingkan agar investor atau perusahaan migas lebih berminat untuk melakukan kerjasama untuk mengelola sumber daya alam khusunya di bidang migas sektor hulu, selain itu penulis juga ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pemerintah dalam penetapan cost recovery melalui penulisan hukum dengan judul “Analisis Mengenai Penetapan Cost Recovery Pada Pengelolaan Sektor Hulu Migas Di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas maka terdapat dua permasalahan yang perlu mendapatkan penelitian dan pengkajian terkait dengan “Analisis Mengenai Penetapan Cost Recovery Pada Pengelolan Sektor Hulu Migas Di Indonesia”, yaitu sebagai berikut: 19
Pri Agung Rakhmanto (Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute), Op.cit, Yogyakarta, 27 Januari 2016.
7
1. Bagaimana penetapan cost recovery pada pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala penetapan cost recovery pada pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dam Penulisan Hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui penetapan cost recovery pada pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia. b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala penetapan cost recovery pada pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh penulis antara lain : 1. Kegunaan Praktis
8
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pikiran yang bermanfaat bagi stakeholders terkait penetapan cost recovery pada pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia. 2. Kegunaan Akademis a. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang sudah diperoleh. b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperluas dan mengembangkan ilmu hukum dagang yang berkaitan dengan perusahaan khususnya perusahaan asing yang melakuakan kegiatan di sektor migas.
E. KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah penulis lakukan diperpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Penulis tidak menemukan satupun penulisan hukum yang pernah membahas topik ataupun menggunakan objek penelitian tentang “Analisis Mengenai Penetapan Cost Recovery Pada Pengelolaan Sektor Hulu Migas Di Indonesia”. Meski demikian, adapun Penulis temukan beberapa penulisan hukum yang cukup relevan dengan milik Penulis namun memiliki judul, rumusan masalah dan tempat penelitian yang berbeda. Penulisan Hukum tersebut adalah : 1. Tesis yang diajukan oleh Ratna Kusuma Dewi di tahun 2015 berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Investasi Asing Kegiatan Hulu Minyak
9
Dan Gas Bumi Melalui Bentuk Usaha Tetap Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Pajak Penghasilan. Tesis tersebut meneliti pengaturan Undang-Undang Pajak Penghasilan terhadap investasi asing kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) serta sudah sesuaikah ketentuan investasi asing melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Lewat Penelitiannya, Ratna Kusama Dewi menemukan bahwa : a. Pengaturan Undang-Undang Pajak Penghasilan terhadap investasi asing kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) merupakan salah satu bentuk fasilitas dari pemerintah
untuk
menarik
investor
asing
(foreign
direct
investment) untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia, selain itu memberikan kepastian hukum mengenai pemenuhan perpajakan dan negara yang berhak atas pemajakan, serta terdapat jaminan investasi yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan pemerintah fokus memerhatikan keberlangsungan kegiatan Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia salah satunya dengan mendapat pengembalian biaya operasi terhadap kegiatan hulu minyak dan gas bumi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah omor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
10
b. Investasi asing melalui bentuk usaha tetap khusunya dalam kegiatan hulu minyak dan gas bumi sudah sesuai dengan UndangUndang Penanaman Modal, karena pegaturan mengenai bentuk usaha tetap tersebut diberikan oleh otoritas yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
2. Tesis yang diajukan oleh Anton Dedi Hermanto di tahun 2014 berjudul Kajian Yuridis Pelaksanaan Cost Recovery Dalam Sistem Production Sharing Contract Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi Dikaitkan Dengan Peraturan Pemeritah. Tesis ini meneliti pelaksanaan kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) dalam industri hulu minyak dan gas bumi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 serta tata cara pelaksanaan pengembalian biaya operasi (cost recovery) oleh Kontraktor Kerja Sama Migas kepada Pemerintah berdasarkan peraturan yang berlaku. a. Lewat penelitiannya, Anton Dedi Hermanto menemukan bahwa : pelaksanaan kontrak bagi hasil ditinjau dari UU 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dilakukan antara pemerintah indonesia yang diwakili oleh SKK Migas dan investor. b. Pembebanan biaya operasi dan pelaksanaan cost recovery pada PT. Chevron
Pasfic
Indonesia
telah
sesuai
dengan
peraturan
pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 dan Pasal 13
11
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi
yang
Dapat
Dikembalikan
dan
Perlakuan
Pajak
Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Migas. Dari kedua penulisan hukum yang Penulis temukan tersebut, Penulis beranggapan bahwa terdapat perbedaan antara penulisan hukum milik Penulis dengan penulisan hukum yang telah ada sebelumnya. Adapun perbedaan tersebut terletak pada : 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Jakarta dan Perusahaan Migas yaitu Energy Equity, Jambi Merang. 2. Objek Penelitian Penelitian ini difokuskan pada penetapan cost recovery pada pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia dan kendala yang ditemukan dalam penetapan cost recovery tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, Penulis beranggapan bahwa penelitian ini dilakukan dengan itikad baik tanpa adanya maksud untuk melakukan tindakan plagiarisme. Apabila terdapat penelitian yang serupa, maka diharapkan penelitian ini dapat memperkaya penelitian sebelumnya serta memperluas khasanah penulisan hukum yang bersifat akademis.