1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah Surakarta memiliki posisi yang unik baik dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, politik maupun agama. Secara sosial-budaya, Surakarta tidak hanya dikenal sebagai kota budaya, tapi juga acap kali disebut sebagai kota “sumbu pendek” (a short fuse)1. Surakarta terkesan tenang, masyarakatnya halus dan santun tapi bisa sangat agresif2, budayanya penuh unggah-ungguh (sopan santun) tapi bisa gampang meledak3. Sementara secara ekonomi dan politik, Surakarta sejak dulu dikenal sebagai kota pergerakan4, di mana dinamika kaum pergerakan di kota ini mempunyai andil bagi lahirnya semangat nasionalisme di Nusantara, yang ditandai dengan munculnya Sarekat Dagang Islam (SDI) dan Sarekat Islam (SI) di Surakarta pada tahun 1912 yang diinisiasi oleh tokoh-tokoh pergerakan seperti HOS. Tjokroaminoto, Samanhudi.5
1
Suhadi (2013) "I Come from a Pancasila Family": a Discursive Study on Muslim-Christian Identity Transformation in Indonesian Post-Reformasi, Berlin: LIT Verlag, hal.177. 2 Setiawan, H., Suranto, H., dan Istianto 1999, Negeri dalam Kobaran Api: Sebuah Dokumentasi tentang Tragedi Mei 1998, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. 3 Groenendael, V. M. C., 1987, Dalang di Balik Wayang, Jakarta: Grafiti Pers, hal. 110. 4 Shiraishi, 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa: 1912-1926, terj. Hilmar Farid, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 5 Korver, A.P.E., 1985, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil? Jakarta: Grafitipers, hal. 21-22. Munculnya SDI dipicu oleh kegelisahan kaum pribumi atas praktik ekonomi di kalangan pengusaha Tionghoa dan Barat yang dianggap merugikan pribumi. Kelahiran SDI dan SI mampu menggelorakan semangat nasionalisme di kalangan pribumi dan menyebarkan kesadaran akan pentingnya pribumi bersatu untuk melawan kekuatan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda, feodalisme kaum Priyayi dan
2
Demikian halnya dengan dinamika keagamaan, sejak era Kerajaan Pajang yang menjadi pusat kekuasaan dinasti politik Islam di Jawa6 sampai dengan berdirinya Kasunanan Surakarta, Islam telah menjadi identitas yang melekat dengan Surakarta7. Islam berkembang baik di dalam maupun di luar keraton. Jika di dalam keraton Islam muncul dalam wajahnya yang harmoni dan sinkretik,8 maka di luar keraton, Islam muncul sebagai gerakan keagamaan yang militan dan progresif. Hal itu ditandai dengan berdirinya SI di Laweyan Surakarta tahun 1912, Sarekat Ngrukti Sawa di Kauman tahun 1914, Sidik Amanah Tabligh Vatonah (SATV) tahun 1918, Muhammadiyah Surakarta tahun 1923 dan Nahdlatul Muslimat tahun 19319. Jika dulu organisasi tersebut di atas dikenal militan terutama SI merah pimpinan Samanhudi-H.Misbach yang pada zaman pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai organisasi keagamaan radikal, maka saat ini uniknya Surakarta lebih dikenal sebagai tempat persemaian gerakan teror dan radikalisme agama10.
penghisapan kaum pemodal. Bakri, S., 2015, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942, hal. 38, Yogyakarta: LKiS. 6 Graaf, H.J., dan Pigeaud, T.G., 1985, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Jakarta: Grafitipers, hal. 187, 274. 7 Hongronje, S., 1999, Kumpulan Karangan Snouck Horgronje VII, terj. Soedarso Soekarno, Jakarta: INIS, hal. 63. 8 Sinkretisme terjadi dalam bentuk harmoni, di mana antara ajaran tradisional Jawa (Javaisme) dengan Islam saling berkoeksistensi. Bahkan, oleh Stephen C. Headley (2004) seorang antropolog sosial jebolan universitas Columbia Amerika menyebut fenomena sinkretis tersebut secara simbolis dengan istilah “Mesjid Durga”, dimana ajaran Islam dan Hindu saling berdampingan dan menyatu. Headley, S.C., 2004, Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion and Community in Central Javanese Islam, Singapore: ISEAS Publications, hal. 300. 9 Azra, A., 2002, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, hal. 220. Poesponegoro, M., 2007, Kauman: Religi, Tradisi, dan Seni, Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, hal. 10. 10 Lihat, Ricklefs, M. C., 2008, “Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and Contemporary Rhymes”, dalam Expressing Islam, Religious Life and Politics in Indonesia, disunting oleh Fealy, G. dan White, Singapore: ISEAS Publishing. Mubarok, M. Z., 2008, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES, hal.12.
3
Tentu saja, yang paling unik dari Surakarta adalah tentang dinamika pers: Surakarta adalah kota yang pertama-tama menerbitkan koran yang berbahasa pribumi11 di Hindia Belanda dan yang paling banyak menginisiasi lahirnya penerbitan pers. Lebih seratusan media cetak “terkubur” dalam dinamika sejarah Surakarta, karenanya Surakarta juga dikenal sebagai “kuburan industri pers”.12 Di samping itu, Surakarta juga mempelopori lahirnya jurnalisme revolusioner, yaitu digunakannya pers sebagai media perjuangan, yang dipimpin oleh para tokoh pers sekaligus tokoh pergerakan seperti Semaoen, Fachrodin, Misbach, Marco, Dasuki, Sismadi, dan tokoh lainnya. Medan Moeslim, Islam Bergera’ dan Ra’jat Bergerak adalah beberapa media massa yang termasuk mampu mengusik ketenangan Surakarta dan menjadikannya bergerak dinamis13. Dewasa ini di wilayah Surakarta terbit tiga surat kabar utama. Bahkan nama lain dari Surakarta, yaitu Solo, telah menjadi bagian dari tiga nama surat kabar
11
Nama surat kabar tersebut adalah; Bromartani, terbit di Solo tahun 1855, adalah surat kabar pertama pada zaman kolonial yang tidak menggunakan bahasa Belanda, melainkan dicetak dengan huruf Jawa, Hanacaraka. Surat kabar mingguan ini terbit tiap hari Kamis dan terbit pertamakali pada tanggal 29 Maret 1855 di Kampung Mondokan Banjarsari Solo. Budiman, H., 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, hal.164. Penerbitan surat kabar Bromartani juga mendorong berkembangnya pelbagai penerbitan berbahasa Melayu, baik berupa surat kabar maupun buku. Surjomihardjo, A., 1980, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Penerangan, hal. 165. 12 Utomo, M. dan Sholahuddin, 2007, Solopos: Satu Dasawarsa Meningkatkan Dinamika Masyarakat, Solo: Harian Umum Solopos. 13 Mc.Vey, R.T., 2006, The Rise of Indonesian Comunism, Jakarta dan Singapura: Exuinox Publishing, hal. 426. Bakri, Gerakan Komunisme, hal. 301-304.
4
tersebut, yaitu : Solopos14, Joglosemar15 dan Radar Solo16. Dari ketiga media tersebut Solopos dan Joglosemar bisa dikatakan sebagai media yang ‘asli’ Surakarta, sedangkan Radar Solo tidak dapat dikategorikan surat kabar lokal mengingat berita tentang Surakarta hanya sekedar suplemen saja, sedangkan sajian utamanya tetap menginduk pada surat kabar nasional asal Surabaya: Jawa Pos. Berbeda halnya dengan Solopos dan Joglosemar, kedua media ini menjadikan isu-isu Soloraya menjadi menu utama. Kesadaran sejarah tentang Surakarta sebagai kota “sumbu pendek” dan “kuburan pers” 17 juga mempengaruhi mediamedia yang ada saat ini. Hal itu salah satunya tampak pada kehadiran konten Islam. Terbukti, dalam kedua media tersebut, isu-isu sosial keagamaan, terutama yang menyangkut Islam, mendapat tempat istimewa. Meski kedua media tersebut tidak satupun secara eksplisit menyatakan sebagai media yang berbasis agama, berbasis Islam. Namun, secara kasat mata kedua media tersebut memuat konten Islam cukup signifikan. Sebagai media non-agama yang tidak terafiliasi pada organisasi keagamaan manapun, Solopos dan Joglosemar terkesan sangat “islami”. Padahal, sebagai media umum, media non-agama, lazimnya berbeda dengan media agama atau 14
Solopos adalah surat kabar harian yang terbit di Surakarta. Koran ini milik pengusaha nasional asal Solo; Sahid Sukamdani S. Gitosardjono, yang berkongsi dengan konglomerat Ciputra. Terbit sejak tahun 1997. 15 “Joglosemar”, singkatan dari Jogja, Solo dan Semarang. Koran Joglosemar didirikan oleh pengusaha penerbitan buku kelahiran Solo, yaitu; S. Hariadi. 16 Radar Solo adalah media “otonomi daerah” yang berafiliasi langsung dengan induknya; Jawa Pos di Surabaya yang dimiliki mantan jurnalis yang kemudian penjadi pengusaha (mantan Menteri BUMN) Dahlan Iskan. 17 Hartanto, A.D., 2007, Seabad Pers Kebangsaan, 1907-2007, Jakarta: I:Boekoe, hal. 1065-1066.
5
media dakwah. Media dakwah bertujuan menyampaikan ajaran Islam dan oleh karena itu kontennya dipenuhi dengan hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam18. Dari kedua media tersebut, Solopos terlihat paling banyak memuat konten Islam. Sebagai perbandingan, pada harian Joglosemar konten Islam biasanya muncul pada peristiwa dan momen menyambut perayaan hari besar ke-Islaman saja. Sedangkan pada harian Solopos secara reguler, di samping momen keagamaan seperti bulan Ramadan dan hari-hari besar Islam lainnya, konten Islam juga muncul pada setiap hari Jum’at melalui Rubrik “Khazanah” yang berkapasitas dua halaman penuh (dulu 12 halaman), Kolom “Tausiah” pada halaman muka (headline) dari tokohtokoh keagamaan lokal, dan biasanya juga ditambah artikel keislaman pada rubrik opini. Hal tersebut bisa dilihat pada tabel berikut di bawah ini: Tabel Perbandingan konten agama pada media cetak di Surakarta Surat Kabar Solopos
Konten Agama 1. Khazanah 2. Mimbar Jum’at 3. Artikel Agama
4. Hikmah Ramadan
Joglosemar
5. Artikel Perayaan hari keagamaan 1. Artikel Agama 2. Tausiah
18
Momen 1. Tiap hari Jum’at 2. Tiap hari Jum’at 3. Tiap hari Jum’at
Kapasitas 1. Dua halaman penuh
4. Setiap hari bulan Ramadan. 5. Tiap momen perayaan keagamaan 1. Tiap momen keagamaan
4. Kolom berkapasitas 5000 karakter
2. Kolom berkapasitas 5000 karakter 3. Artikel berkapasitas 6000 karakter
5. Artikel berkapasitas 6000 karakter 1. Artikel berkapasitas 7000 karakter 2. Artikel berkapasitas
De Fries, H., dan Weber, S., 2001, Religion and Media, Cultural Memory in the Present Religion and Media, Stanford: Stanford University Press, hal. 605. Luth, T., 1999, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press, hal.70.
6
3. Oase Ramadan
2. Tiap hari bulan Ramadan 3. Tiap hari bulan Ramadan
5000 karakter 3. Feature berkapasitas 5000 karakter
Kemunculan konten keagamaan secara mencolok di media cetak non-agama, tentu mengundang pertanyaan karena biasanya konten agama identik dengan media yang berafiliasi atau dimiliki oleh kelompok atau organisasi keagamaan tertentu. Misalnya, jika koran Republika banyak memuat konten Islam tentu tidak aneh, mengingat media ini didirikan oleh kalangan cendikia Islam: ICMI. Demikian halnya dengan majalah Ummi, Sabili, Tarbawi, dan media Islam sejenis, tentu dari nama medianya (naming choice) saja sudah terlihat positioning media tersebut sebagai media agama, media Islam, atau sekurang-kurangnya media yang dimiliki komunitas umat Islam. Terkait dengan hal tersebut di atas, kemunculan konten agama yang cukup signifikan pada media non-agama di Surakarta ini menjadi kontras dengan konteks sosial politik Surakarta, bahwa secara demografi Surakarta bukanlah wilayah yang penduduk beragama non-Islam-nya seperti di daerah lain di Indonesia yang pada umumnya berkisar antara 10 persenan saja (kecuali Bali, NTT dan beberapa daerah lainnya yang didominasi penduduk beragama non-Islam). Di Surakarta jumlah nonIslam hampir mencapai 30 persen (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta,Tahun 2013). Sementara, secara politik Surakarta selalu didominasi partai
7
nasionalis (PDIP), bukan partai agama/Islam. Jika pada masa Orde Lama 19 wilayah ini secara berurutan dikuasai PNI, PKI dan Masyumi, maka saat ini (sejak reformasi) selalu didominasi PDI Perjuangan. Bahkan, pada Pemilu tahun 2014, PDIP mendulang suara lebih dari 50 persen20. Hal tersebut berarti bahwa partai nasionalis amat dominan di wilayah ini. Akan berbeda halnya jika partai Islam mayoritas di Surakarta, tentu akan masuk akal jika koran dan media Surakarta didominasi konten Islam. Dengan demikian, muncul pertanyaan mengapa wilayah yang secara politis lebih dikuasai partai nasionalis (bukan partai berbasis agama/Islam) justru medianya memuat banyak konten bernuansa Islam, bernuansa santri. Walhasil, kita melihat media non-agama seperti media santri, media kapitalis menjadi layaknya media dakwah. Pertanyaanpertanyaan tersebut di atas penting dikaji mengingat karakter keagamaan masyarakat Surakarta yang sangat pluralistik. Secara sosio-teologis, pelbagai mazhab dan aliran keagamaan ---dari Sunni sampai Syi’ah--- ada di wilayah ini.
19
Istilah Orde Lama secara umum selalu digunakan sebagai penanda fase sebelum lahirnya Orde Baru. Sebagaimana telah diketahui, Orde Baru adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk menamai suatu tatanan pemerintahan negara (rezim politik) di Indonesia yang berkuasa sejak Maret 1966 hingga Mei 1998. Istilah Orde Lama, sengaja diciptakan oleh rezim Orde Baru sebagai counter total atas perjalanan sejarah Orde Lama, sekaligus sebagai basis klaim dan legitimasi munculnya Orde Baru. Karenanya, penyebutan Istilah Orde Lama sebagai yang diganti oleh Orde Baru memang tidak begitu jelas pijakannya kecuali karena accident of history saja. Toer, P.A., dkk. 2003, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid IV (1948), Jakarta: KPG, hal. xi dan xix. Wardaya, B.T., 2008, Mencari Supriadi Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, Yogyakarta: Galang Press, hal. 152. Akan tetapi untuk lebih memudahkan pembahasan ini, istilah tersebut masih digunakan karena terlanjur familiar dengan masyarakat Indonesia. Apalagi, istilah ini juga digunakan dalam pelbagai literatur. Lihat, Sulastomo, 2008, Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru: Sebuah Memoar, Jakarta: Kompas. 20 Sunaryo, A., 2014, PDIP Rajai Perolehan Suara Pileg di Solo, (internet) < Http://www.merdeka.com/pemilu-2014/pdip-rajai-perolehan-suara-pileg-di-solo.html > (diakses pada 12 Desember 2015).
8
Di samping itu, pelbagai organisasi keagamaan, mulai dari NU sampai Muhammadiyah juga eksis. Bahkan, Kota Surakarta telah menjadi basecamp, pusat, dari organisasi keagamaan Majelis Tafsir Alqur’an (MTA)21. Setiap Minggu pagi markas pusat MTA di Solo dikunjungi jamaah yang datang dari pelbagai wilayah di Indonesia untuk menghadiri pengajian Ahad pagi yang langsung disampaikan oleh Pimpinan MTA; Drs.H. Ahmad Sukina. Dengan demikian, jika misalnya terjadi homogenisasi wacana keagamaan pada media cetak umum atau sekuler di Surakarta maka hal tersebut tentu kontras dengan kenyataan di atas yang menunjukkan bahwa masyarakat Surakarta amat beragam, sangat plural dan heterogen.
Menurut sumber resmi MTA, Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian AlQur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA. MTA, 2015, Profile Sekilas, (internet) < http://www.mta.or.id/sekilas-profil/> (diakses pada 15 Oktober 2015). Secara doktrinal tidak ada perbedaan antara Muhammadiyah dengan MTA, apalagi pendiri MTA, Thufail juga berpartisipasi aktif di dalam Muhammadiyah. Hanya saja, Thufail kemudian mendirikan MTA karena menganggap Muhammadiyah kurang “keras” dalam melakukan gerakan pemurnian Islam terutama yang menyangkut praktik-praktik dan kepercayaan lokal. Seperti Muhammadiyah, MTA gencar mengkampanyekan gerakan anti TBC (Tahyul, Bid’ah, Churafat) dan mengamalkan Al-Qur’an secara murni dan konsisten. Wildan, M., 2013, Mapping Radical Islam: a Study of Proliferation of Radical Islam in Solo, Central Java, dalam Contemporary Depelopments in Indonesian Islam, Explaining the “Conservative Turn”, disunting oleh Bruinessen, M.V., Singapore: ISEAS Publishing, hal. 202-203. Sebagai keturunan Arab-Pakistan yang bukan dari klan Hadramaut, yang merupakan komunitas dominan di wilayah Arab Pasar Kliwon Solo, Thufail berjarak dengan kelompok tersebut. Apalagi sejak Pendiri MTA tersebut menyerang tradisi-tradisi dalam komunitas ini seperti Barzanji, Shalawatan maupun Maulid, karena dianggap bid’ah (praktik yang tidak punya dasar atau dalil), ia bukan hanya tidak disukai di kalangan kelompok dominan tersebut tapi juga oleh kalangan NU yang selama ini sudah familiar dengan tradisi-tradisi tersebut. Zuhri, S. 2013, Majlis Tafsir Al-Qur’an and Its Struggle for Islamic Reformism, dalam Islam in Indonesia, Constrasting Images and Interpretations, disunting oleh Burhanuddin, J., dan Dicks, K.V., Amsterdam: ICEAS Amsterdam University Press. hal. 230. Dengan alasan yang sama MTA juga tidak mentolerir praktikpraktik slametan kaum abangan dan praktik kaum Sufi. Ricklefs, M.C., 2008, Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and Contemporary Rhymes, dalam Expressing Islam, Religious Life and Politics in Indonesia, diedit oleh Fealy, G. & White, Singapore: ISEAS Publishing, hal. 125. 21
9
1.2 Permasalahan Penelitian Tentu saja, fenomena kemunculan konten Islam dalam Solopos dan Joglosemar juga mengundang pertanyaan lanjutan seperti: Mengapa media nonagama yang ada di Surakarta merepresentasikan Islam? Islam seperti apa yang direpresentasikan? Apakah wacana ke-islaman yang direpresentasikan dari konten agama yang ada di media-media non-agama di Surakarta didominasi oleh narasi dan ideologi
tertentu?
Bagaimana
media-media
non-agama
di
Surakarta
merepresentasikan Islam dalam kaitannya dengan isu-isu global yang terjadi belakangan ini? Kasus Charlie Hebdo misalnya, bagaimana Solopos dan Joglosemar merepresentasikan peristiwa tersebut? Kasus penyerangan Majalah Charlie Hebdo Prancis yang terjadi pada Rabu 7 Januari 2015 oleh militan Islam yang merenggut 17 nyawa ini, dapat menjadi ilustrasi atau model untuk melihat bagaimana dewasa ini Islam direpresentasikan dalam media-media non-agama di Surakarta. Apakah mediamedia tersebut melakukan politik pemaknaan dan representasi kasus Charlie Hebdo sejalan dengan hegemoni media global yang cendrung anti Islam atau media-media non-agama tersebut melakukan kontra hegemoni, dengan mengusung ideologi tandingan yang pro-Islam? Sebagaimana diketahui, kasus Charlie Hebdo terjadi di ibu kota Prancis, Paris, Rabu (7/1/2015) pagi waktu setempat. Aksi teror tersebut dilakukan oleh tiga orang bersenjata otomatis AK47 menyerbu kantor redaksi Charlie Hebdo. Ketiga penyerbu melepaskan tembakan berkali-kali sehingga menewaskan 12 orang dan 5
10
orang yang terluka parah. Esoknya, 5 orang tersebut ikut tewas. Korban yang tewas dalam aksi teror Paris tersebut adalah 15 wartawan dan dua polisi. Dalam peristiwa itu, kartunis majalah Charlie Hebdo juga dilaporkan tewas. Sang kartunis termasuk dalam target paling diinginkan Al Qaeda pada 2013 karena menggambar kartun Nabi Muhammad. Selang dua hari, dua aksi penyanderaan kembali mengguncang Ibu Kota Prancis, Paris, Jumat (9/1/2015) petang waktu setempat. Polisi Prancis menyerbu dua lokasi penyanderaan tersebut dan berhasil menewaskan tiga pelaku yang kebetulan beragama Islam, ketiganya merupakan pelaku penyandera sekaligus penyerang Charlie Hebdo yang bersaudara, yakni Said dan Cherif Kouachi dan satu penyandera lainnya di tempat terpisah.22 Muncul pertanyaan: Bagaimana media melakukan politik pemaknaan atas peristiwa tersebut di atas? Dalam konteks ini, bagaimana media di Surakarta: Solopos dan Joglosemar merepresentasikan peristiwa tersebut? Disini akan terlihat bagaimana narasi besar “Teror Paris” berinteraksi dengan narasi kecil yang disebut Surakarta atau Solo. Bagaimana Surakarta, melalui Solopos dan Joglosemar, membaca ulang (rereading) dan sekaligus merepresentasikan (rewriting) wacana global yang bernama Charlie Hebdo dalam media-media mereka?. Kasus pemberitaan Charlie Hebdo tersebut dipandang perlu diteliti dengan pertimbangan: Pertama, kasus ini telah menjadi isu global yang cukup menyita
22
Solopos, 2015, Teroris Tembaki Kantor Media, 12 Tewas, 8 Januari, hal.6. Joglosemar, 2015, Pembunuh 12 Orang di Charlie Hebdo Beraksi Seperti Militan, 8 Januari, hal.6.
11
perhatian dunia. Hal ini ditandai dengan munculnya reaksi dari para pemimpin dan tokoh dunia, baik dari Barat ataupun dari kalangan dunia Islam sendiri, yang merespon kasus penyerangan majalah asal Paris Prancis tersebut. Bahkan, media nasional maupun lokal juga ikut memberitakan kasus tersebut secara signifikan. Kedua, kasus Charlie Hebdo tersebut telah memunculkan ketegangan ideologis (antara Islam dan Barat) pada konstruksi dan discourse media. Hal ini ditandai dengan kenyataan bahwa media-media lokal melansir informasi secara bipolar: dari sumber-sumber Barat dan sumber-sumber Islam. Dari kasus ini, kita akan melihat bagaimana media menjadi medan pertarungan ideologis, antara Islam dan Barat, yang saling berebut dan melihat bagaimana isu-isu global direpresentasikan dalam media lokal. Berangkat dari hal di atas muncul pelbagai pertanyaan seperti: Apakah fenomena maraknya konten ke-islaman pada media-media cetak non-agama di Surakarta: Harian Solopos dan Harian Joglosemar, merupakan ekspresi ideologis keislaman media? Atau sebaliknya, keberadaan konten ke-islaman pada media-media non-agama di Surakarta digerakkan semata-mata oleh motif ekonomi? Artinya, apakah konten ke-islaman tersebut merupakan simbol atau ekspresi dari meningkatnya kesadaran media/pemilik dan stake holder media untuk menyebarkan ajaran Islam atau semata-mata hanya sebagai komodifikasi agama? Dalam konteks penelitian ini, tentu saja penting untuk mengkaji substansi konten dan berita ke-islaman di media cetak non-keagamaan di Surakarta terutama yang terkait dengan isu-isu global dewasa ini yang menyangkut relasi Islam dan
12
Barat, seperti kasus Charlie Hebdo di Paris Prancis. Dengan melakukan kajian pada konten dan berita ke-islaman di media-media non-keagamaan tersebut diharapkan akan terlihat aspek ideologi dominan dari tulisan-tulisan yang muncul pada mediamedia tersebut. Di samping itu, kajian ini akan memperlihatkan apakah media-media di Surakarta merepresentasikan isu-isu ke-islaman dengan “membebek” pada hegemoni Barat atau sebaliknya media lokal lebih independen dan mempunyai pandangan sendiri, atau justru sebaliknya media-media non-agama di Surakarta dikendalikan oleh ideologi keagamaan tertentu. 1.3 Rumusan Masalah Dengan demikian, dari seluruh permasalahan di atas saya membatasi dan sekaligus merumuskan permasalahan penelitian menjadi sebagai berikut: Bagaimana representasi Islam dalam media-media cetak non-agama di Surakarta? 1.4 Telaah Pustaka dan Landasan Teori Berikut di bawah ini secara berurutan akan dideskripsikan telaah Pustaka dan Landasan Teori. Pada Telaah Pustaka akan dijelaskan sejumlah pustaka yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Begitu juga pada Landasan Teori, akan disajikan sejumlah teori-teori yang relevan untuk dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini.
13
1.4.1 Telaah Pustaka Dalam buku Stuart Hall (2003) yang berjudul Representation: Cultural Representation and Signifying Practices digambarkan bahwa proses produksi dan pertukaran makna antara manusia atau antar budaya yang menggunakan gambar, simbol dan bahasa. Media paling sering digunakan dalam produksi dan pertukaran makna23. Satu hal yang penting dicatat dari gagasan Hall adalah media cenderung sensitif pada gaya hidup kelas menengah ke atas, sementara wong cilik digambarkan sebagai “kelompok di luar konsensus”. Tulisan Hall ini membantu penelitian ini untuk memahami konsep kunci dari penelitian ini yaitu representasi yang digambarkannya sebagai sebuah proses produksi makna melalui bahasa. Hal ini membantu penelitian ini untuk melihat dan meletakkan bahasa media sebagai sebuah upaya untuk memproduksi makna yang meliputi proses gagasan, makna, ideologi dan kode sosial bahkan ilmu pengetahuan. Dalam buku Mary Talbot (2007) Media Discourse: Representation and Interaction, digambarkan bagaimana wacana media tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan proses dan interaksi sosial yang terdapat baik di dalam media maupun di luar media. Oleh karenanya, bagi Talbot, sebuah kajian representasi tidak cukup hanya memfokuskan pada aspek tekstual dan profil media saja, tetapi juga harus mengeksplorasi konteks sosial di sekitar media. Ibarat teori dramaturgi, yang
23
Hall. S., 2003, Representation; Culture Representation and Signifying Practice, London: SAGE Publications, hal 17.
14
mengasumsikan adanya dua panggung, panggung depan dan panggung belakang, Talbot mengasumsikan representasi bekerja juga demikian. Bahwa antara panggung depan dan panggung belakang meski sering diasumsikan bekerja sendiri-sendiri, tapi sebenarnya terjadi interaksi di antara keduanya. Kalau teks media adalah panggung depannya, maka komunitas produksi dan komunitas penonton adalah panggung belakangnya. Sehingga, dengan demikian dalam sebuah studi representasi idealnya harus memaparkan apa yang disebut oleh Talbot “interaksi” antara media dan khalayak. Interaksi media dan konteks dimana media tersebut berada.24 Kegunaan buku tersebut dalam penelitian ini adalah memberikan sumbangan teoritis yang akan digunakan untuk melakukan pendekatan terhadap studi representasi media. Hal itu sebagaimana pendapat Norman Fairclough (1992) dalam bukunya yang berjudul Discourse and Social Change, yang menyatakan bahwa terjadi interplay antara teks dan konteks. Bagi Fairclough, wacana merupakan sebuah praktik sosial dan karenanya ia membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial practice. Artinya teks-teks yang dihasilkan media tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dan hubungan saling mempengaruhi, yang dalam bahasa Talbot di atas disebut interaksi, antara teks dan konteks, Karenanya teks dan wacana adalah juga sebagai praktik sosial.25 Jadi bukannya hanya produk media yang sepenuhnya bebas dari kepentingan ideologi media. Buku Fairclough ini sangat
24
Talbot, M., 2007, Media Discourse: Representation and Interaction, Edinburgh University Press. Fairclough, N., 2013, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, New York: Roudledge, hal. 94. 25
15
membantu memberikan sumbangan teoritis dalam mengkaji representasi media, terutama dalam kaitannya dengan bagaimana teks media mempunyai benang merah dengan konteks sosial di dalam masyarakat. Menurut John Fiske (1997) dalam bukunya yang berjudul Television Culture, dalam sebuah praktek representasi asumsi yang berlaku adalah bahwa isi media tidak merupakan murni realitas karena itu representasi lebih tepat dipandang sebagai cara bagaimana mereka membentuk versi realitas dengan cara-cara tertentu bergantung pada posisi sosial dan kepentingannya. Pendapat Fiske mengenai representasi ini berlaku dalam sebuah proses kerja media secara umum dan sudah mulai menyinggung mengenai kaitan antara representasi dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh suatu media26. Buku tersebut sangat penting untuk memahami konsep representasi media. Antonio Gramsci (1971) dalam buku Selection from Prison Notebooks menganalisa berbagai relasi kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Lewat perspektif hegemoni, akan terlihat bahwa penulisan, kajian suatu masyarakat, dan media massa merupakan alat kontrol kesadaran yang dapat digunakan kelompok penguasa. Media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat dipertukarkan. Akan tetapi, berbeda
26
Fiske, J., 1997, Television Culture. London: Rotledge.
16
dengan manipulasi atau indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Media di sini dianggap dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama. Sementara nilai atau wacana lain dipandang sebagai menyimpang. Tulisan Gramscy ini sangat membantu penelitian ini untuk memahami bagaimana wacana media dalam hubungannya dengan ideologi. Di sini menggambarkan bagaimana proses hegemoni bekerja. Ia berjalan melalui suatu proses atau cara kerja yang tampak wajar. Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, memang begitulah adanya, logis dan bernalar (common sense) dan semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan27. Louis Althusser (2008) dalam bukunya yang berjudul Essays on Ideology berbicara tentang Ideologi: Marxisme Struktural, Psikoanalisa, dan Cultural Studies. Althusser merumuskan bagaimana satu ideologi dibentuk, dibakukan dan disebarluaskan. Ideologi dibentuk melalui pengalaman, hubungan sosial dan status dalam masyarakat. Setiap hal tertentu yang menjadi pengalaman manusia akan menghasilkan dampak tertentu juga dalam bentuk tindakan. Karena itu, ideologi tidak
27
Gramsci, A., 1971, Selections from the Prison Notebooks, New York: International Publishers.
17
hanya dimiliki sebuah Negara ataupun organisasi. Ideologi adalah milik individu. Namun, negara dan organisasi dan institusi sosial merupakan alat penyebarluasan ideologi terbesar. Tulisan Althusser ini sangat membantu untuk mengenal bagaimana datangnya ideologi dan mengerti bagaimana ini dibakukan (di-massal-kan) serta disebarluaskan oleh negara dan institusi sosial di mana media termasuk di dalamnya28. Theo Van Leeuwen (1996), dalam tulisannya yang berjudul The Representation of Social Actors in Discourse, menunjukkan bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Artinya ada kelompok yang sering dijadikan objek pemaknaan dan digambarkan secara buruk oleh kelompok dominan yang memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa. Dengan model analisis inilah kita bisa melihat bagaimana peristiwa dan aktor-aktor sosial ditampilkan dalam media, dan bagaimana juga suatu kelompok terus-menerus dimarjinalkan. Ada dua pusat perhatian yang digunakan oleh Teo Van Leeuwen, yaitu exclusion (proses pengeluaran suatu aktor dalam pemberitaan) dan inclusion (proses masing-masing pihak atau kelompok ditampilkan lewat pemberitaan)29. Tulisan Van Leeuwen ini menjadi rujukan penting dalam penelitian ini terutama dalam menganalisis berita surat kabar sehingga terlihat bagaimana para aktor di tampilkan dalam pemberitaan media.
28
Althusser, L., 2008, Essays on Ideology, diterjemahkan dengan judul Tentang Ideologi: Marxisme struktural, Psikoanalisa, dan Cultural Studies, Yogyakarta: Jalasutra. 29 Van Leeuwen, T., 1996. The Representation of Social Actors in Discourse, dalam Texts and Practices: Readings in Critical Discourse Analysis, disunting oleh Caldas-Coulthard, C. R., dan Coulthard, M., London: Routledge, 32-40.
18
Dalam buku Suhartono (1989) yang berjudul Apanage dan Bekel Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 (1991), dijelaskan bahwa keresahan di Surakarta pada abad XIX timbul karena ketidakpuasan dari golongan besar masyarakat pedesaan, yaitu petani. Ketidakpuasan ini khususnya merupakan akibat perubahan sosial dan ekonomi kolonial yang intensif di sektor agraria. Praktek perkebunan memang tidak memberi hak hidup pada petani, karena telah menelan tanah dan tenaga kerja, sehingga petani tidak mendapat bagian hajat hidupnya secara layak. Perkebunan yang mempunyai jiwa kapitalis berusaha menguras habis kekayaan di pedesaan tanpa imbal balik yang setimpal. Sebagai kompensasi kekecewaaannya petani melakukan tindakan “kasar” seperti yang tercermin dalam budaya mereka yaitu budaya pedesaan. Jalan keluar yang mereka tempuh dengan perampokan yang dalam terminologi kolonial disebut perbanditan. Perbanditan tidak lain adalah bentuk dari kriminalitas yang berkembang di masyarakat agraris. Bertolak dari ketidakpuasan, keresahan dan gerakan sosial selalu dapat dikembalikan pada kemerosotan kedudukan ekonomi maupun politik.30 Buku ini sangat penting untuk memberi latar sosial historis terutama dengan munculnya gerakan sosial di Surakarta. Dalam bukunya yang lain, Suhartono (1995), dalam Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942, menjelaskan latar belakang munculnya perbanditan di pedesaan Jawa. Seperti yang telah diketahui bahwa perbanditan di pedesaan Jawa merupakan dampak dari perubahan-perubahan yang dilakukan oleh
30
Suhartono, 1989, Apanage dan Bekel. Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830-1920), Yogyakarta: PT Tiara Wacana, hal. 61-162.
19
Pemerintah Kolonial terhadap kehidupan sosial, ekonomi petani yang berakibat pada timbulnya perasaan tidak puas petani. Para petani merasa bahwa miliknya telah direbut oleh Pemerintah Kolonial melalui cara-cara modern. Sebagai kompensasi kekecewaannya maka petani melakukan berbagai tindakan kriminal. 31 Buku ini membantu untuk melihat bagaimana protes sosial ---yang dalam bahasa pemerintah kolonial disebut perbanditan--- muncul terutama di Surakarta dan membantu untuk menjelaskan fenomena gerakan sosial keagamaan di Surakarta. 1.4.2 Landasan Teori Berikut di bawah ini akan dielaborasi bebeberapa konsep yang dianggap memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu teori-teori tentang Representasi Media, Politik Representasi, Discourse dan Ideologi. 1.4.2.1 Representasi Media Istilah representasi mengacu pada bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tertentu ditampilkan32. Dalam konteks media massa, pembicaraan adalah berita yang hadir dalam bentuk bahasa. Bahasa mempunyai kemampuan untuk menghadirkan pemikiran melalui beberapa tahap yang tersentral dalam proses representasi. Bahasa media massa adalah teks yang “mewakili” peristiwa atau realitas
31
Suhartono, 1995, Bandit-Bandit Pedesaan: Studi Historis, 1850-1942 di Jawa, Yogyakarta: Aditya Media, hal. 3-4. 32 Dalam konsep Theo Van Leeuwen (1996) istilah ini mengacu pada bagaimana para aktor/subjek/sesuatu ditampilkan (di-eksklusi dan di-inklusi), dalam sebuah diskursus. Lihat, Van Leeuwen, T., 1996. The Representation of Social Actors in Discourse, dalam Texts and Practices: Readings in Critical Discourse Analysis, diedit oleh Caldas-Coulthard, C. R., & Coulthard, M., London: Routledge.
20
yang ingin disampaikan kepada publik. Masyarakat mengetahui peristiwa atau realitas melalui teks yang disajikan media massa. Dalam pandangan umum, media dianggap sebagai institusi netral yang menyampaikan informasi kepada khalayak secara apa adanya. Padahal sebagai konsep, representasi memiliki pengertian yang khas karena terkait dengan kerangka teori tertentu. Dalam kajian budaya dan media istilah representasi dimaknai sebagai “production of the meaning of the concepts in our mind through language”33. Artinya, representasi adalah produksi makna dari pelbagai konsep pemikiran yang disampaikan lewat bahasa. Oleh karena itu, menurut Stuart Hall penting untuk melihat bagaimana sistem representasi bekerja dalam sebuah media. Hal ini mengingat karena seluruh makna akan ditentukan oleh representasi tersebut. Apa yang disampaikan oleh media bukanlah realitas sebenarnya tetapi realitas yang sudah melewati sejumlah proses seperti: penyuntingan, edit dan penyesuaian dengan agenda-seting serta kepentingan media34. Inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan realitas yang sudah dikonstruksikan (constructed reality)35. Artinya, representasi media yang bekerja lewat bahasa, baik lisan mapun tulisan, verbal mapun visual, teks maupun gambar, memiliki posisi yang sangat penting karena seluruh makna dan konsep pemikiran diproduksi disini. Melalui
33
Hall, S., 2003, Representation; Culture Representation and Signifying Practice, London: SAGE Publications, hal. 7. 34 Michael Schudson mengatakan “kita tidak mengatakan bahwa media memalsukan berita, kita mengatakan bahwa media “membuat” berita. Dalam, Burton, G., 2008, Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar Kajian Media, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 107. 35 Berger, P., & Luckmann, T., 1967, The Social Construction of Reality, New York: Doubleday.
21
representasi, media melakukan politik pemaknaan dan memproduksi konsensus ataupun disensus, menyebarkan nilai-nilai, ideologi, interes dan kepentingan media. Semua itu hanya bisa dilakukan lewat bahasa36. Maka, bahasa memiliki peran sentral dalam proses representasi. Bahasa menjadi media perantara dalam menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikan. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Melalui bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide tentang sesuatu. Oleh karena itu, bagi Stuart Hall bahasalah yang menjadikan manusia sebagai makhluk berbudaya. Lewat representasi, yang menggunakan saluran bahasa, kita memproduksi kebudayaan37. Bahasa memungkinkan manusia melakukan aktivitas penting dalam kebudayaan yaitu “pengalaman berbagi”. Dari sini kita berbagi pengalaman, kode-kode kebudayaan, berbicara dalam “bahasa”, dan saling berbagi konsep-konsep. Dalam konteks representasi media, bahasa menjadi penting karena melaluinya segala macam motif, kepentingan, tujuan bisa diartikulasikan. Masalahnya adalah, kepentingan media tak selamanya selaras dengan kepentingan publik. Bahasa media justru acapkali bertentangan dengan bahasa publik. Kalangan penganut aliran Marxis klasik misalnya mengatakan bahwa media hanya melayani
36
Barker, C., 2004, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, London: SAGE. Hall, S., 2003, Representation; Culture Representation and Signifying Practice, London: SAGE Publications. 37
22
kepentingan kelas penguasa. Dalam konteks ini representasi media adalah representasi kelas dominan, kaum elit. Louis Althusser mengkritik media yang disebutnya telah menjadi aparat ideologis negara/penguasa (ideological state apparatus)38. Media hanya menjadi “corong” kepentingan dan ideologi negara/penguasa39. Akibatnya, media terjebak pada fungsinya yang hanya sebatas menjadi “stempel” kepentingan penguasa, sementara kepentingan rakyat banyak tidak diartikulasikan. Hal yang sama, dalam dimensi yang berbeda terjadi dewasa ini. Jika dulu pada masa Orde Baru media menjadi corong negara, maka sejak reformasi media menjadi corong kepentingan para cukong pemilik media40. Jika dulu penguasanya adalah negara sekarang berpindah ke pemilik media.41
38
Althusser, L., 2011, Ideology and Ideological States Apparatuses (Notes Towards an Investigation) dalam Cultural Theory, An Anthology, disunting oleh Szesman, I., dan Kaposy, T., UK: WhileyBlackwell Publication. 39 Batubara, S.L., 2007, Menegakkan Kemerdekaan Pers: Kumpulan Makalah 1999-2007, Jakarta: Dewan Pers, hal. 30. 40 Asmaradhana, U., 2008, Pengkhianatan Jurnalis: Sisi Gelap jurnalisme Kita, Jakarta; Institut Studi Arus Informasi, hal. 65. Hidayat, D.N., 2000, Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 38. 41 Kritik Althusser kepada media tersebut tidak semata-mata karena media berada dalam kontrol pemerintah, misalnya seperti pada masa Orde Baru, tetapi kata “state” tersebut bisa juga berarti “negara” lain, yaitu sebuah kekuatan yang powerfull yang menguasai media, karena penguasaan mereka pada alat-alat produksi (means of production). Sehingga, jika dulu media menjadi alat penyebaran ideologi negara saat ini media menjadi alat penyebaran ideologi pemilik alat produksi alias para cukong kapitalis. Fenomena, lahirnya kebebasan media pasca Orde Baru telah menggeser dominasi media pemerintah (TVRI) menjadi dominasi televisi dan media swasta. Jika dulu ideologi negara yang mendominasi televisi, maka saat ini ideologi kapitalisme merajai media-media di Indonesia, hal ini akibat dari penguasaan modal dan means of production para pemodal seperti Abu Rizal Bakri dengan TV One dan Antv-nya, Haritanoe Sudibyo dengan RCTI dan “kerajaan media”nya MNC Group, Surya Paloh dengan Metro TV, dan Media Inonesia Group-nya, Chairul Tanjung (CT) dengan Transmedia group-nya dan yang lainnya. Kepemilikan means of production di tangan sejumlah pemodal tersebut, jelas, dalam perspektif Althusserian telah membuat para pemodal menjadi transetter gaya hidup dan ideologi kapitalisme. Althusser, L., 2011, Ideology and Ideological States
23
Berbeda dengan kalangan Marxis klasik, Anthony Gramsci melihat media laksana arena; tempat pelbagai kepentingan saling dipertarungkan42. Sebagai arena, media tentu tak melulu hanya menyalurkan kepentingan kelompok dominan, tapi juga tempat seluruh komponen masyarakat lainnya saling berebut dan berkompetisi, saling menghegemoni. Bagi Gramsci, media adalah arena kekuasaan (field of power), sebagai ruang dimana terjadi “pertarungan” pelbagai ideologi (battle ground for competing ideologis). Sebagai arena, media menjadi wilayah terbuka dari perbagai kepentingan yang saling berkompetisi.43 Maka, media tak selalu negatif, media juga bisa digunakan sebagai alat untuk merepresentasikan kritik dan koreksi pada suatu tatanan sosial politik yang tidak adil. Artinya, media punya posisi stategis untuk melakukan representasi positif, yaitu: transformasi sosial.44 Hal tersebut dikarenakan media mempunyai kemampuan hegemonik, yaitu kekuatan untuk menggiring konsesus publik, sekaligus juga counter hegemonic. Namun, bagi Edward Schiappa kemungkinan hadirnya semacam representasi yang “positif” (Representational Correctness) yang mampu mendorong lahirnya transformasi sosial sebagaimana yang diangankan Gramsci di atas: yang tidak mengandung bias, streotype, prejudice dan hal-hal negatif lainnya seperti yang
Apparatuses (Notes Towards an Investigation), 1970, dalam Cultural Theory, An Anthropology, disunting oleh Szesman, I., & Kaposy, T., UK: Whiley-Blackwell Publication, hal, 204. 42 Gramsci, A., 1971, Selections from the Prison Notebooks, New York: International Publishers. 43 Dalam bahasa Redi Panuju, media telah menjadi “arena konversasi publik”. Panuju, R., 2002, Relasi Kuasa Negara, Media Massa dan Publik: Pertarungan Memenangkan opini Publik dan Peran dalam Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 44. 44 Hartiningsih, M., 2002, Jurnalisme Damai: Media Massa untuk Transformasi Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan-Britis Council.
24
dikritik oleh para kritikus media adalah mustahil (the impossible dream) dan tidak realistik (unrealistic expectations)45. Artinya, representasi media adalah artikulasi kepentingan penguasa dan kelompok dominan, bukan ---dan tidak dapat diharapkan -- untuk mengekspresikan kepentingan publik secara luas. Begitupun, Schiappa sepakat dengan Hall bahwa walau media pekat berselubung kepentingan kaum elit: representasi kelompok dominan, namun bagaimanapun canggihnya sebuah representasi tapi pada akhirnya pemaknaannya bersifat polisemik; tidak serta merta sesuai dengan makna yang diinginkan ketika representasi di-encoding oleh media. Menurut Stuart Hall ada tiga pendekatan dalam representasi, yaitu: reflektif, intensional dan konstruksionis. Pada pendekatan reflektif, makna yang disampaikan oleh bahasa seperti kaca yang merefleksikan sesuatu (objek, seseorang, ide) sebagaimana adanya, sesuai makna aslinya (true meaning). Pada intensional, makna didasarkan pada ---penjelasan---penulis/pembicara. Sedangkan yang terakhir, konstruksionis, sesuatu tidak memiliki makna apapun, sampai kita mengonstruksi makna dari sesuatu tadi, dengan menggunakan sistem representasi. Khusus pada pendekatan yang terakhir, konstruksionis, belakangan ini menjadi paling berpengaruh secara signifikan dalam ilmu kebudayaan. Hall mengatakan terdapat dua
45
Schiappa, E., 2008, Beyond Representational Correctness: Rethinking Criticism of Popular Media, New York: SUNY Press.
25
model pendekatan; konstruksionis-semiotik yang mengacu pada Ferdinand de Saussure dan pendekatan diskursif, yang dipengaruhi oleh Michel Foucault.46 Dalam penelitian ini, konsep representasi mengacu pada pendekatan konstruksionis-diskursif. Artinya, discourse media tidak dilihat apa adanya tetapi dilihat sebagai sesuatu yang dikonstruksikan. Sebagai konstruksi, discourse media tidak bisa lepas dari bias kepentingan dan ideologi. Seperti pendapat Althusser sebelumnya yang mengkritik media karena berfungsi hanya sebagai “aparat ideologis” (ideological state apparatus) kelompok dominan. Artinya, media tidak sekedar menyampaikan informasi atau hiburan tetapi, media secara sadar digunakan untuk propaganda dan kepentingan ideologis, melindungi status-quo the rulling class. Dalam konteks ini diyakini adanya hubungan langsung antara pemilik media dan isi media yang menegaskan legitimasi dan kekuasaan kaum elit. Karena itu, representasi media bukanlah representasi natural, tapi representasi yang pekat terselubung jubah kepentingan dan ideologi kelas dominan.47. Situasi media seperti tersebut di atas mengakibatkan munculnya, apa yang disebut sebagai, kesadaran palsu (false consciousness). Media menjadi tempat untuk 46
Hall, S., 2003, Representation; Culture Representation and Signifying Practice, London: SAGE Publications, hal.15. 47 Ideological state apparatus merupakan sebuah istilah yang dikembangkan oleh teorisi Marxis, Louis Althusser untuk menunjukkan bahwa lembaga seperti pendidikan, gereja-gereja, keluarga, media, serikat buruh, dan hukum, yang secara resmi di luar kontrol negara tetapi di atas semua itu, lembagalembaga tersebut mereproduksi dan menyebarkan nilai-nilai dan ideologi kelompok dominan. Peran utamanya adalah merekayasa kepatuhan sosial dalam rangka meraih konsensus untuk mengamankan kepentingan cukong kapitalis dan kelompok dominan. Istilah ini kontras dengan apa yang disebut 'aparatur negara represif': angkatan bersenjata dan polisi. Althusser, L., 2012, Ideology and Ideological State Apparatus (Notes Toward an Investigation) dalam Mapping Ideology, disunting oleh Zizek, S., London - Newyork: Verso, hal.115.
26
mengonstruksi dan mereproduksi false consciousness, dan menyebarkan serta menggunakannya untuk mencapai tujuan, kepentingan dan ideologi media (agenda setting media dan status quo). Noam Chomsky menggambarkan manipulasi pemikiran publik untuk mendukung status quo tersebut dengan frasa “rekayasa persetujuan” (enggineering of consent). Publik diibaratkan seperti apa yang dikatakan oleh Walter Lippman sebagai “ignorant herds” (kumpulan/kawanan bodoh) yang harus dipengaruhi. “The public must be put in its lace”. Terjadilah apa yang disebut “the manufacture of consent” melalui penggiringan opini publik48. 1.4.2.2 Politik Representasi Konsep representasi dalam studi media massa dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang sangat bergantung sifat kajiannya. Studi media yang melihat bagaimana wacana berkembang di dalamnya —biasanya dapat ditemukan dalam studi wacana kritis pemberitaan media — memahami representasi sebagai konsep yang menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan yang membantu mendefenisikan kekhasan kelompok-kelompok tertentu49. Ada dua hal penting berkaitan dengan representasi; pertama, bagaimana orang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan bila dikaitkan dengan realitas yang ada; apakah ditampilkan sesuai dengan fakta atau
48
Chomsky, N., 2003, Hegemony or Survival, America's Quest for Global Dominance, New York: Metropolitan Books, hal. 211. 49 Burton, G., 2008, Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar Kajian Media, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 120.
27
cenderung diburukkan, hanya menampilkan sisi buruk seseorang atau kelompok tertentu dalam pemberitaan sehingga menimbulkan kesan meminggirkan. Kedua, bagaimana eksekusi penyajian objek tersebut dalam media. Eksekusi representasi objek tersebut bisa mewujud dalam pemilihan kata, kalimat, aksentuasi dan penguatan dengan foto atau imaji macam apa yang akan dipakai untuk menampilkan seseorang, kelompok atau suatu gagasan dalam pemberitaan.50 Sementara itu, menurut John Fiske representasi merupakan sejumlah tindakan yang berhubungan dengan teknik kamera, pencahayaan, proses editing, musik dan suara tertentu yang mengolah simbol-simbol dan kode-kode konvensional ke dalam representasi dari realitas dan gagasan yang akan dinyatakannya. Bagi Fiske, dalam sebuah praktek representasi asumsi yang berlaku adalah bahwa isi media tidak merupakan murni realitas karena itu representasi lebih tepat dipandang sebagai cara bagaimana mereka membentuk versi realitas dengan cara-cara tertentu bergantung pada posisi sosial dan kepentingannya51. Pendapat Fiske mengenai representasi ini berlaku dalam sebuah proses kerja media secara umum dan sudah mulai menyinggung mengenai kaitan antara representasi dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh suatu media.
50
Leeuwen, T., 1996. The Representation of Social Actors in Discourse, dalam Texts and Practices: Readings in Critical Discourse Analysis, disunting oleh Caldas-Coulthard, C. R., dan Coulthard, M., London: Routledge. Branston, G., dan Stafford, R., 1996, The Media Student’s Book. New York: N.Y. Routledge, hal. 78. 51 Fiske, J., 1997, Television Culture, London: Routledge, hal. 5.
28
Pendapat Fiske di atas paralel dengan pendapat Fairclough yang menyatakan bahwa dalam sebuah analisis representasi terhadap isi media sebenarnya kita mencoba menentukan apa yang dicakupkan atau tidak, yang eksplisit atau pun implisit, yang menjadi foreground atau pun back ground, dan yang menjadi tematik atau pun tidak serta menentukan kategori mana yang merupakan representasi sebuah peristiwa, karakter, situasi atau pun keadaan tertentu. Konsepsi Fairclough mengenai analisis representasi dalam isi media ini secara implisit juga menyinggung keterkaitan antara praktek representasi dengan realitas yang di re-presentasikan oleh media. Suatu media bisa jadi memang secara sadar hendak mengedepankan suatu realitas bentukan tertentu dan karenanya menegaskan kembali betapa representasi memang tak sekedar menyajikan cermin realitas semata52. Sementara itu, menurut Branston dan Stafford representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda di dalam mana media menghadirkan kembali (re-present) sebuah peristiwa atau realitas. Namun demikian “realitas” yang tampak dalam citraan atau suara tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di dalamnya senantiasa akan ditemukan sebuah konstruksi (a construction), atau tak pernah ada ‘jendela’ realitas yang benar-benar transparan. Branston dan Stafford berpendapat meskipun dalam praktek representasi diandaikan senantiasa terjadi konstruksi namun konsepsi ‘representasi’ tidak lalu
bisa diterjemahkan setara
dengan ‘konstruksi’; ‘representasi’ bahkan bergerak lebih jauh karena mendekati
52
Fairlough, N., 1995, Media Discourse, London: Arnold, hal. 104.
29
pertanyaan tentang bagaimana sebuah kelompok atau berbagai kemungkinan hal-hal yang ada di luar media telah direpresentasikan oleh produk suatu media53. Pertanyaan tentang “bagaimana” itu lalu membawa implikasi politis yang lebih luas sebagai berikut: Pertama, representasi mengingatkan kita pada politik representasi. Suatu media memberikan kita citraan tertentu, yaitu suatu cara menggambarkan sebuah kelompok tertentu sehingga kita seakan sampai pada pengertian tentang bagaimana kelompok tersebut mengalami dunianya, dan bagaimana kelompok tersebut bisa dipahami dan bahkan bagaimana mereka bisa diterima oleh kelompok lainnya. Kedua, dalam praktek representasi suatu media besar memiliki kekuasaan untuk menghadirkan kembali suatu kelompok tertentu, berulang-ulang, beberapa citraan tertentu, beberapa asumsi, dan kuasa untuk meniadakan atau memarjinalkan kelompok yang lain, dan karenanya menjadikan kelompok yang lain itu menjadi asing. Menjadi liyan. Karena itu, representasi itu sangat ideologis, artinya bahwa makna tentang subjek-subjek representasi ditentukan oleh siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak, juga persoalan bagaimana kekuasaan itu diterapkan dan nilai-nilai yang mendominasi cara berpikir tentang masyarakat dan hubungan-hubungan sosial54.
Branston, G., dan Stafford, R., 1996, The Media Student’s Book. New York: N.Y. Routledge, hal. 78. 54 Burton, G., 2008, Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar Kajian Media, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 120. 53
30
Pendapat Branston dan Stafford mengenai representasi di atas bila dikaitkan dengan, misalnya, representasi suatu identitas seseorang atau kelompok tertentu dalam suatu media tampaknya akan memiliki kemiripan dengan pendapat Stuart Hall. Menurut Hall dalam politik representasi: “It conceives of representation as not merely expressive but formative of identities; and it conceives of difference not as unbridgeable separation but as positional, conditional and conjunctural”55. Membandingkan konsepsi representasi menurut Hall dan Branston dan Stafford tersebut bisa kita pahami bahwa keduanya sepakat representasi itu tidak sekedar proses penyajian kembali suatu objek di dalam sebuah media namun lebih dari itu media ternyata juga menjalankan proses pembentukan suatu identitas tertentu atau suatu positioning tertentu terhadap objek yang dicitrakan dalam suatu media. Konsepsi atau peta teoritik mengenai representasi dalam sebuah media akan lebih lengkap bila kita mencoba menukik lebih dalam mengenai ‘makna’ yang lalu dihadirkan melalui representasi. Menurut Sturken dan Cartwrigth, representasi tidak hanya diyakini senantiasa melekat pada konstruksi tetapi juga pada proses pemaknaannya sebagaimana tercermin dalam penjelasan dalam bukunya Practice of Looking bahwa “Representasi merujuk pada penggunaan bahasa dan imaji untuk menciptakan makna tentang dunia sekitar kita”.56 Dalam penelitian ini, konsep
55
Gillespie, M., 1995, Television, Ethnicity and Cultural Change, London & New York : Routledge, hal. 11. 56 Sturken, M. dan Cartwright, L., 2001, Practices of Looking, an Introduction to Visual Culture, New York: Oxford University Press, hal. 66.
31
representasi mengacu pada konsep yang disampaikan Theo Van Leeuwen57 yang menyatakan bila kita ingin mencari makna tersirat dari sebuah berita maka mau tidak mau kita harus melihat bagaimana sebuah teks hadir atau dihadirkan menjadi sebuah kalimat. Artinya,
dalam
proses
pemberitaan,
suatu
peristiwa
kemudian
direpresentasikan ke dalam teks berita. Dalam proses representasi mengubah kejadian tertentu menjadi susunan teks, bisa dilihat bagaimana cara wartawan menyampaikan sebuah kenyataan. Juga bisa dilihat bagaimana suatu kelompok mendominasi wacana dalam berita tersebut dan ada kelompok atau individu yang dikeluarkan atau dimarjinalkan dalam pembicaraan. Menurut Van Leeuwen, kelompok yang dianggap mendominsi wacana adalah, adanya kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kelompok untuk memegang kendali penafsiran pembaca dari sebuah berita. Inilah yang disebut politik representasi. Dalam teks berita, dominasi ini bisa berbentuk sebuah pencitraan media terhadap pelaku dan korban dalam sebuah berita. Misalnya, representasi pencitraan para teroris atau orang-orang yng dianggap teroris. Segala
bentuk
pencitraan
seperti
itu
dilakukan
hanya
dengan
merepresentasikan suatu kejadian yang benar terjadi menurut susunan teks dengan pilihan kata dan bentuk kalimat. Salah satu agen terpenting dalam mendefinisikan kelompok adalah media. Dengan begitu media secara tidak langsung membentuk
57
Leeuwen, T., 1996, The Representation of Social Actors in Discourse, dalam Texts and Practices: Readings in Critical Discourse Analysis, disunting oleh Caldas-Coulthard, C. R., & Coulthard, M., London: Routledge.
32
pemahaman kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu lewat pemberitaan yang terus menerus disebarkan. Ini berarti bahwa wacana yang dibuat media itu punya peran dalam meligitimasi suatu hal atau kelompok dan mendelegitimasi atau memarjinalkan kelompok lain. Van Leuween memperkenalkan sebuah model analisis wacana, model analisis terebut untuk mendeteksi atau mengetahui bagaimana sebuah kelompok hadir sebagai kelompok yang dimarjinalkan. Dalam model analisisnya, Van Leeuwen menampilkan bagaimana pihakpihak dan aktor (perorangan atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua titik focus perhatian dalam melihat teks media. Pertama, Van Leeuwen menyebutnya proses pengeluaran (exclusion) yaitu apakah suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan58. Proses yang kedua, menurut Van Leeuwen adalah proses pemasukan (inclusion). Proses ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana seseorang atau kelompok aktor dalam suatu kejadian dimasukkan atau direpresentasikan dalam berita. Menurutnya, proses eksklusi maupun inklusi terdapat sebuah strategi wacana. Strategi wacana yang ditampilkan media dengan cara pemilihan kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat
Ini bisa dicontohkan misalnya dalam pemberitaan terorisme apakah kelompok “dianggap teroris” diberi kesempatan yang sama atau tidak dalam pemberitaan, atau justru “dikeluarkan” dalam pembicaraan. Makna dari pengeluaran seseorang atau aktor dalam pemberitaan adalah, media seakanakan menghilangkan atau menyamarkan pelaku/aktor dalam berita, tidak dijelaskan siapa pelaku sebenarnya, apakah sungguh dia atau kelompok tersebut yng melakukan aksi terorisme. Bila itu terjadi maka media sudah melakukan eksklusi dan hanya merepresentasikan pihak korban atau narasumber resmi dan mengabaikan informasi dari sisi yang lain. Secara tidak langsung proses Eksklusi (pengeluaran) ini bisa mengubah pemahaman pembaca tentang isu yang dibicarakan dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu. Wahjubowo, I. S., 2015, Terorisme dalam Pemberitaan Media, Yogyakarta: Deepubish Publisher hal. 58-60. 58
33
tertentu, cara berita tertentu. Lewat strategi ini masing-masing kelompok direpresentasikan kedalam sebuah teks59. 1.4.2.3 Discourse dan Ideologi Secara etimologis kata discourse berasal dari bahasa Latin discurrere (mengalir ke sana ke mari) dari nominalisasi kata discursus (“mengalir secara terpisah”) yang ditransfer maknanya menjadi “terlibat dalam sesuatu”, atau “memberi informasi tentang sesuatu”60. Menurut Rudolf Vogt (1987), dalam bahasa Latin abad pertengahan kata discursus selain berarti percakapan, perdebatan yang aktif, dan juga keaktifan berbicara, kata ini juga berarti orbit dan lalu lintas61). Dalam pengertian yang sederhana, discourse berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas62. Kleden (1997) menyebut discourse sebagai “ucapan/tulisan dalam mana seorang pembicara/penulis menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada pendengar/pembaca”63.
59
Leeuwen, T., 1996. The Representation of Social Actors in Discourse, dalam Texts and Practices: Readings in Critical Discourse Analysis, disunting oleh Caldas-Coulthard, C. R., & Coulthard, M., London: Routledge. 60 Vass, Elisa, 1992, Duskursanalyse als Interdisiplinares Forschungsgebiet, Wien: Universitas Wien Diplomarbeit, hal. 7, dalam Titscher, S., Mayer, M., Wodak, R., Vetter, E., 2000, Methods of Text and Discourse Analysis, London: Sage Publications. Diterjemahkan dengan judul Metode Analisis Teks dan Wacana, 2009, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 42 61 Idem, hal. 228. 62 Lul, J., 1998, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global. Penerjemah, A. Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 225. 63 Kleden, L., 1997, “Teks, Cerita dan Transformasi Kreatif” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam 10, hal. 34.
34
Sementara itu, bagi Fairclough (dalam Mills, 1997) menuliskan pendapatnya tentang discourse sebagai berikut di bawah ini “Discourse does not just describe discursive structures, but also [shows] how discourse is shaped by relations of power and ideologies, and the constructive effects discourse has upon social identities, social relations and systems of knowledge and belief, neither of which is normally apparent to discourse participants”64. Discourse tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan dan ideologi,
dan bagaimana ia mengonstruksi identitas dan relasi sosial, pengetahuan dan keyakinan masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, discourse Islam yang direpresentasikan oleh Solopos dan Joglosemar bisa dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan dan ideologi. Pada kasus Charlie Hebdo misalnya, akan dilihat discourse apa yang sedang direpresentasika Solopos dan Joglosemar. Ideologi dan kekuasaan apa yang ada di dalam ---atau beroperasi bersama--- representasi tersebut. Dalam tulisannya yang lain Fairclough (1989) menunjukkan bagaimana bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan ideologi dibangun. Institusi-institusi media sering dianggap bersikap netral dalam menyediakan ruang bagi wacana publik. Fairclough menunjukkan kesalahan dari asumsi tersebut, dan menggambarkan mediasi dan konstruksi discourse oleh media justru dilakukan demi agenda setting media, kepentingan dan ideologi media65. Hal tersebut berarti discourse media sangat tendensius dan subjektif. Padahal, media sering sekali diklaim dan persepsikan oleh publik sebagai institusi yang objektivitas dan netral dalam pemberitaan mereka.
64 65
Mills, S., ed., 1997, Discourse, London: Routledge, hal. 149. Fairclough, 1989, Language and Power. London: Longman.
35
Akibatnya, discourse media ditelan mentah-mentah begitu saja. Para ahli wacana meyakini bahwa ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya discourse media, secara inheren merupakan bagian dan dipengaruhi oleh struktur sosial dan diproduksi dalam interaksi sosial66. Dengan demikian, meski bahasa itu penting, tetapi jauh lebih penting untuk melihat bagaimana bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan ideologi yang beroperasi di dalamnya. Hal tersebut sebagaimana pendapat Joan Scott (1988) yang melihat wacana atau discourse sebagai sesuatu yang bukan hanya sebatas fenomena bahasa (language), tetapi juga sebagai praktik sosial, dimana struktur spesifik dari pernyataan-pernyataan,
istilah-istilah,
kategori-kategori
dan
kepercayaan-
kepercayaan dikonstruksi secara historis, sosial dan institusional dalam sebuah discourse. Dengan demikian, jika wacana dilihat sebagai praktik sosial, akan ada implikasi-implikasi yang muncul, yakni dialektika hubungan antara kejadian diskursif tertentu dengan situasi serta institusi dan struktur sosial yang melingkupinya.67 Hal tersebut paralel dengan pendapat Althusser (1984) yang mengatakan bahwa media adalah bagian dari ideological state apparatus. Media, lewat mesin representasi, menyebarkan ideologi yang relatif otonom dari determinasi ekonomi.
Fairclough, 1995, Media Discourse, London: Arnold, dalam Udasmoro, W., 2009, “Critical Discourse Aalysis Terhadap Wacana Politik Pluralis Prancis: Mempersoalkan Sentral Dan Perifer”, Leksika, Vol. 3 No. 2, hal. 1-11. 67 Ibid, hal. 1-11. 66
36
Artinya, discourse media tidak melulu digerakkan oleh motif-motif material, profit maximization, tetapi lebih dari itu, determinasi kulturalis seperti ideologi justru lebih dominan. Senada dengan itu, Gramsci (1971) menyatakan dominasi lewat kesadaran (consent) atau hegemoni68 justru marak terjadi di media sebab media dipandang sebagai sarana yang efektif untuk menyebarkan nilai-nilai, keyakinan, pandangan hidup dan ideologi kelompok dominan dalam rangka meraih konsensus publik secara halus.69 Media sebagai situs kekuasaan (field of power) di mana berbagai ideologi direprentasikan. Melalui representasi di media, apa yang disebut oleh Gramsci (1971) sebagai popular common sence yang menjadi dasar hegemoni dimanfaatkan untuk kepentingan kelas dominan dan legitimasi status quo. Ketiga kerangka konsep di atas; representasi media, politik representasi, discourse dan ideologi, menjadi panduan konseptual penelitian ini terutama dalam mengelaborasi pemberitaan media-media cetak di Surakarta dalam kaitannya dengan bagaimana media-media cetak di Surakarta yaitu Solopos dan Joglosemar
68
Hegemoni secara klasik muncul dalam tradisi Yunani kuno (hegemonia), yang merujuk pada bentuk-bentuk legitimasi yang berbasis kepentingan umum, sebaliknya lawan dari hegemonia adalah dominasi partai dalam sebuah kerajaan. Aristoteles membuat oposisi biner: yang pertama mengacu pada monarki sedangkan yang belakangan disebut tirani, Aristokrasi versus Oligarki. Namun istilah tersebut oleh Gramsci lebih dipahami dalam pengertian suatu dominasi lewat kesadaran (consent) bukan paksaan (coercion). Jika militer misalnya melakukan dominasi lewat coersion maka media mendominasi lewat consent, dengan beraliansi dengan kelas dan kelompok dominan untuk mereproduksi konsensus publik dan common sense. Lentner, H.H. dan Haugaard, M., ed., 2006, Hegemony and Power, Consensus and Coercion in Comtemporary Politics, Oxford: Lexington Books, hal. 4-5. 69 Saking halusnya, publik tidak menyadari bahwa sebenarnya apa yang disebut konsensus publik tersebut lebih merupakan representasi kepentingan elit (elit interest) ketimbang kepentingan publik (public interest). Artz, L., dan Kamalipour, Y.R., (ed.), 2003, The Globalization of Corporate Media Hegemony, New York: State University of New York Press, hal. 80-81.
37
merepresentasikan Islam. Konsepsi representasi media dan politik representasi misalnya dapat dijadikan sebagai “alat kritis” untuk membantu menganalisis beritaberita media, bahwa berita media bukanlah entitas yang mandiri atau steril dari bias kepentingan dan ideologi. Karenanya, hal ini membantu saya untuk sejak dini menempatkan diri dalam posisi sebagai pembaca kritis, yaitu selalu curiga, su’udzan, bahwa berita media mempunyai relasi kepentingan dan kekuasaan. Representasi Islam dalam Solopos dan Joglosemar misalnya, dapat dilihat dalam konsep tersebut, sehingga membantu saya melihat pemberitaan kedua media tersebut dalam pengertian: bahwa ada selubung kepentingan dan ideologi yang beroperasi dalam pemberitaan pada kedua media di atas. Di samping itu, melalui konsep discourse dan ideologi, juga dapat membantu saya dalam menyingkap selubung kepentingan dan ideologi dalam pemberitaan media. Konsep ini terutama sangat membantu untuk melihat bagaimana discourse media tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan dan ideologi, dan bagaimana ia mengonstruksi identitas dan relasi sosial, pengetahuan dan keyakinan masyarakat. Pada pemberitaan dalam media-media di Surakarta misalnya, pertanyaan tentang bagaimana Islam direpresentasikan dalam Solopos dan Joglosemar dan mengapa direpresentasikan demikian oleh kedua media tersebut akan terkuak jawabannya dengan menggunakan seperangkat konsep di atas dan mengkombinasikannya dengan analisis wacana critis (critical discourse analysis) yang memokuskan pada bagaimana aktor/subjek/sesuatu diberitakan dalam media. Hal itu untuk melihat
38
bagaimana media merepresentasikan Islam, mengapa dan siapa yang dibela atau dimarjinalkan, serta ideologi apa yang sedang beroperasi dalam pemberitaan pada kedua media cetak tersebut. 1.5 Metode Penelitian Pada Metode Penelitian ini akan dijelaskan tentang Korpus Penelitian, Objek Penelitian, Teknik Pengambilan Data, dan yang terakhir Analisa Data. Untuk itu, di bawah ini hal tersebut satu persatu akan dijelaskan sebagai berikut: 1.5.1 Korpus Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk mencari data tentang mengapa media di Surakarta memasukkan konten agama/Islam dalam media mereka, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian lapangan (field research) kualitatif. Metode ini digunakan dengan pertimbangan: Pertama; Penelitian ini berorientasi pada makna bukan bermaksud mencari data-data yang bersifat kuantitatif. Kalaupun data kuantitatif muncul, misalnya persentase konten Islam dalam Media di Surakarta, ini hanya sebagai pelengkap saja. Kedua; Untuk mencari data-data tentang kebijakan media dalam merepresentasikan segala sesuatu dalam media mereka tentu lebih kredibel jika bersumber dari tangan pertama, yaitu: para stake holder media. Karena itu, metode penelitian lapangan ini menjadi sebuah keniscayaan. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan tentang Islam seperti apa yang sedang direpresentasikan media-media di Surakarta maka digunakan pendekatan analisis wacana kritis, yaitu analisis wacana Theo van Leeuwen yang memusatkan
39
pada aktor. Analisis ini memusatkan pada bagaimana para aktor ditampilkan (inklusi) atau dikeluarkan (eksklusi) dalam sebuah pemberitaan. 1.5.2 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah: Pertama, objek formal, yaitu representasi Islam. Artinya, bagaimana media-media sekuler di Surakarta, yaitu Solopos dan Joglosemar merepresentasikan Islam dan ideologi apa yang ada di balik konstruksi wacana atau discourse kedua media tersebut. Kedua, objek material, yaitu artikel berita (news) kasus Charlie Hebdo yang terbit periode Januari-Pebruari 2015 pada Harian Umum Solopos dan Joglosemar. Dipilihnya kasus Charlie Hebdo dengan pertimbangan: Pertama, kasus ini telah menjadi isu global yang cukup menyita perhatian dunia. Hal ini ditandai dengan munculnya reaksi dari para pemimpin dan tokoh dunia, baik dari Barat ataupun dari kalangan dunia Islam sendiri, yang merespon kasus penyerangan majalah asal Paris Prancis tersebut. Bahkan, media-media nasional maupun lokal juga ikut memberitakan kasus tersebut secara signifikan. Kedua, kasus Charlie Hebdo tersebut telah memunculkan ketegangan atau kontestasi ideologis antara Islam dan Barat pada konstruksi dan discourse media. Hal ini ditandai dengan kenyataan bahwa mediamedia lokal melansir informasi secara bipolar: dari sumber-sumber Barat dan sumber-sumber Islam. Maka, menarik menjadikan isu tersebut untuk melihat bagaimana media menjadi medan pertarungan kepentingan dan ideologi “dunia
40
Islam” dan Barat, serta bagaimana isu-isu global direpresentasikan dalam konteks media lokal. 1.5.3 Teknik Pengambilan Data Untuk data yang menyangkut pertanyaan mengapa konten Islam muncul dalam media sekular di Surakarta, maka data diambil dengan dua cara, yaitu: Pertama, melalui interview terhadap para stake holder media Solopos dan Joglosemar yang dianggap relevan. Kedua, melalui dokumentasi. Artinya, dokumendokumen, baik yang fisik maupun digital, yang terkait dengan profil kedua media di atas dan dokumen lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Sedangkan data yang menyangkut pertanyaan tentang bagaimana Islam direpresentasikan dalam kedua media di atas, maka data diambil dengan cara pertama-tama dengan memilih kasus kontemporer yang menyangkut Islam yang diberitakan dalam kedua media. Kasus tersebut adalah kasus Charlie Hebdo. Kemudian, setelahnya dipilih beberapa artikel terkait yang diasumsikan sebagai representasi dari media di Surakarta: Solopos dan Joglosemar. 1.5.4 Analisa Data Untuk analisis data, penelitian ini menggunakan analisis wacana Van Leeuwen70 yang secara umum bertujuan untuk melihat pihak-pihak dan aktor, seseorang atau kelompok atau para pihak ditampilkan dalam pemberitaan, atau dalam
70
Van Leeuwen, T., The Representation, hal. 32-40.
41
konteks penelitian ini untuk melihat bagaimana pelaku penembakan dan umat Islam ditampilkan dalam pemberitaan di Solopos dan Joglosemar. Ada dua pusat perhatian yaitu: Exclusion, yang menyangkut bagaimana suatu aktor, seseorang atau sekelompok dikeluarkan dalam sebuah artikel berita, dan Inclusion, yang berkaitan dengan bagaimana aktor atau pihak-pihak ditampilkan dalam berita. Secara umum model analisis Theo van Leeuwen ini dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini: Teknik
Yang ingin dilihat a. Apakah ada penghilangan aktor dalam pemberitaan? (Pasivasi). b. Apakah ada upaya media untuk mengedepankan aktor tertentu dan menghilangkan aktor lain? (Nominalisasi)
Eksklusi
c. Bagaimana strategi yang dilakukan untuk menyembunyikan atau menghilangkan aktor sosial tersebut? Apakah subjek atau aktor dihilangkan dengan memakai anak kalimat? (Penggantian Anak Kalimat)
a. Bagaimana para aktor ditampilkan dalam teks berita secara berbeda? (Diferensiasi/indeferensiasi) b. Apakah suatu peristiwa atau aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkrit? (Objektivasi/Abstraksi) Inklusi
c. Apakah aktor ditampilkan apa adanya atau media mengkategorisasi aktor tersebut? (Nominasi/Kategorisasi) d. Apakah aktor digambarkan dengan identitas buruk atau sterotype tertentu? (Nominasi/Identifikasi) e. Apakah peristiwa atau aktor ditampilkan dengan jelas atau tidak (anonim)? (Determinasi/Indeterminasi)
42
Tabel I: Tabel Eksklusi dan Inklusi model analisis Theo van Leeuwen, dalam modefikasi Khuriyati (2013)
Dengan menggunakan model di atas, akan terlihat bagaimana Solopos dan Joglosemar menampilkan para aktor dan subjek yang terkait dengan Islam. Bagaimana aktor/subjek Islam diinklusi (ditampilkan dalam teks berita) dan dieksklusi (dihilangkan atau dimarjinalisasi dan dimisrepresentasikan dalam teks berita). 1.6 Sistematika Disertasi Disertasi ini diawali oleh BAB I PENDAHULUAN, yang terdiri dari : Latar belakang Masalah, Permasalahan Penelitian, Rumusan Masalah, Telaah Pustaka, Landasan Teori: Teori Representasi Media, Politik Representasi Media, Discourse dan Ideologi. Dilanjutkan dengan Metode Penelitian: Korpus Penelitian, Objek Penelitian, Teknik Pengambilan Data, Analisa Data. Bab ini akan ditutup dengan Sistematika Disertasi yang menjelaskan secara naratif struktur dari disertasi ini. BAB
II:
SURAKARTA
DALAM
SPEKTRUM
GERAKAN
KEAGAMAAN: DARI REVIVALISME HINGGA KE PURITANISME. Pada bab ini akan diuraikan tentang : Sejarah Sosial Surakarta: Kota Sumbu Pendek, Gerakan Keagamaan Zaman Pra-Kemerdekaan, Gerakan Islam Pasca Reformasi, Gerakan Islam Radikal, Revivalisme Islam: Gerakan Tarbiyah, MTA dan Gerakan Puritan BAB III: MEDIA CETAK DI SURAKARTA: MENILIK RELASI ANTARA ISLAM DAN MEDIA. Bab ini membahas tentang : Sejarah Media: Kuburan Industri Pers, Interaksi Media dan Islam, Media Pasca Reformasi, Profil
43
Media Cetak di Surakarta, Proses Munculnya Konten Islam, Bentuk, Macam dan Ragam Konten Islam. BAB IV: MEDIA DAN REPRESENTASI ISLAM: HASIL ANALISIS CDA BERITA-BERITA KASUS CHARLIE HEBDO. Pada bab ini akan dibahas: Representasi Islam Dalam Media Global, Representasi Islam dalam Media Lokal,: Discourse Islam dalam Kasus Charlie Hebdo, Representasi Umat Islam Dalam Kasus Charlie Hebdo, Misrepresentasi Umat Islam dalam Kasus Charlie Hebdo dan Representasi Media dalam Pandangan Kritis. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN. Bab ini akan menjelaskan tentang Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan akan memaparkan ringkasan dari jawaban dari rumusan masalah penelitian Disertasi ini. Sedangkan Saran, merupakan anjuran yang bersifat akademik atau semacam rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang mungkin bisa dilakukan oleh peneliti lainnya di masa-masa akan datang.