Bab I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Persoalan orang Tionghoa di Indonesia tidak hanya mengenai masalah politik, sosial, ekonomi, pendidikan atau hubungan antara etnis tetapi juga masalah identitas mereka di Indonesia. Pertanyaan tentang identitas orang Tionghoa dan posisi mereka dalam keragaman budaya Indonesia adalah masalah yang belum selasai sepenuhnya. Budaya, sebagai salah satu aspek yang penting dalam proses konstruksi identitas, menjadi alat di tangah politik yang digunakan dan disalahgunakan untuk pembebasan serta kontrol. Juga, budaya menjadi konsep pokok utama untuk mengekspresikan sentiment identitas dan solidaritas 1. Orang Tionghoa dengan budaya mereka bisa bernegosiasi secara koeksistensi dengan masyarakat yang dominan. Identitas orang Tionghoa telah dibentuk oleh berbagai pengalaman lokal dimana mereka tinggal dalam proses lokalisasi. Identitas mereka adalah berlapis – lapis sesuai dengan tingkat asimilasi dan akulturasi mereka dengan kondisi – kondisi setempat. Identitas mereka tidak statis tetapi dinamis dan bisa diubah dan didefinisikan kembali. Oleh karena itu, untuk memahami identitas yang kompleks seperti ini, kita harus melihat bagaimana orang Tionghoa mempersepsikan diri dan orang lain, dan sejauh mana mereka mengidentifikasikan diri sebagai Tionghoa. Dalam tesis ini kita akan melihat posisi dan kondisi komunitas orang Tionghoa di
1
Hellman, Jorgen, Performing the Nation: Cultural Politics in New Order Indonesia, Nias, 2003, p. 10
Yogyakarta secara aspek historis dan pengaruh kebudayaan lokal. Dinamika budaya Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari sejarah budaya Jawa yang sangat panjang. Dari sisi kebudayaan, komunitas Tionghoa di Yogyakarta tidak terikat secara ketat pada suatu rasa identitas bersama karena memiliki orientasi kultural yang beragam. Misalnya, bahasa yang digunakan di ruang publik sehari-hari bukan Bahasa Mandarin melainkan mereka sekarang lebih banyak berbicara dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia. Demikian dalam kehidupan agama, selain Khonghucu, banyak orang Tionghoa menganut agama lain seperti Katolik, Kristen (Kristiani), Buddha atau Islam. Juga orang Tionghoa di Yogyakarta, dibandingkan dengan orang Tionghoa di kota-kota lain, sejak awal mempunyai gaya hidup “low profile”, tidak menonjol dari orang Jawa. Sikap low profile menyebabkan orang Tionghoa di Yogyakarta membangun interaksi yang baik dengan masyarakat Jawa 2. Sudah lama mereka mempunyai hubungan yang kuat dan perasaan hormat kepada Sultan Yogyakarta yang memiliki posisi sebagai pemimpin formal dan informal secara politik maupun kultural. Sultan mampu menjadikan tiada ketegangan antara orang Jawa dengan orang Tionghoa karena posisinya yang memiliki kedudukan tinggi dibandingkan dengan lainnya. Dalam hal ini, Sultan sebagai simbol pemersatu dan toleransi antara orang Tionghoa dengan orang Jawa di Yogyakarta. Saat saya tinggal di Yogyakarta sekali-kali saya bertemu dengan orang Tionghoa. Namun mereka tidak memiliki perbedaan gaya hidup dibandingkan dengan warga Yogyakarta sehingga saya tidak tertarik untuk melakukan penelitian secara antropologi. Ini berubah ketika pertama kali saya melihat makam Gunung Sempu. Pertemuan yang pertama terjadi pada tahun 2008. Teman saya mengajak saya ke sana untuk menunjukkan bahwa terdapat suatu “makam aneh”. Teman saya mengatakan “makam aneh” karena berukuran besar. Dia bertanya –tanya mengapa 2
Budi Susanto, S.J, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Kanisius, 2003, hlm. 84
kuburan yang begitu besar hanya untuk satu orang saja, padahal kuburan tersebut dapat digunakan untuk memakamkan sepuluh orang. Memang, banyak kuburan orang Tionghoa lebih besar dibandingkan dengan kuburan orang Jawa. Selain ukurannya, saya memperhatikan relief dan gambaran naga, phoenix, harimau dan patung – patung singa yang berdiri di depan kuburan sebagai penjaga. Di sisi lain, ada banyak kuburan orang Tionghoa dengan tanda Kristiani, yaitu salib, patung-patung malaikat, Yesus Kristus dan lainya berada tidak jauh dari kuburan dengan ukuran besar sebelumnya. Kalau dilihat secara umum, kuburan orang Tionghoa membangkitkan perasaan kegum dan indah bagi yang melihatnya. Makam Gunung Sempu dibuat di tempat yang lebih tinggi daripada tempat lain di sekitarnya. Makam ini tidak ada dinding atau batas apa pun dan terlihat lebih sebagai taman daripada pemakaman. Dalam tesis ini saya melihat kuburan dan makam menjadi pusat kajian tentang budaya material dan konstruksi identitas orang Tionghoa dan kehidupan mereka dengan orang Jawa di Yogyakarta. Budaya material
menciptakan identitas pada sejumlah tingkatan. Objek yang
multivocal, dan berbicara dengan cara-cara orang mendefinisikan diri mereka melalui berbagai identitas yang berbeda. Artefak mampu memberitahu mengenai diri kita kepada orang lain, sementara pada saat yang sama memberi gambaran mengenai jati diri kita. Melalui benda, tercipta identitas nasional, identitas kelompok, atau identitas individu melalui dunia materi yang mampu bercerita mengenai siapa diri kita. Kesadaran tentang kematian telah berkontribusi pada keinginan manusia untuk memperingati, individualisasi dan kolektivisasi keberadaan melalui arsitektur penguburan. Kuburan dan makam menjadi rumah mati atau territorial passage 3 yang punya teritori dengan batas fisik seperti dinding, gerbang dan tanda serta aspek magico – religious. Meskipun 3
Van Gennep, The Rites of Passage, The University of Chicago Press, Chicago, 1960, p. 15
territorial passage makam dapat dilihat sebagai tempat dan ruang heterotopias yang berfungsi pada kondisi non-hegemonic. Bagi manusia makam menjadi ruang fisik dan mental. Foucault dalam Of Other Spaces 4 memakai istilah heterotopias untuk menggambarkan ruang yang memiliki lebih banyak lapisan makna atau hubungan ke tempat - tempat lain yang tidak bisa melihat langsung. Bagi dia makam adalah ruang yang terhubung dengan semua tempat di kota, desa, negara atau masyarakat, karena masing-masing individu dan keluarga memiliki kerabat di makam. Pada contoh makam kita bisa melihat bagaimana terjadi modifikasi lingkungan. Makam dengan kubur – kuburnya adalah berakar secara geografis dengan budaya tertentu. Memilih penguburan secara ruang dan duniawi, praktek ritual yang diasosiasikan, ditransformasikan di tempat suci. Makam menjadi situs penuh emosi, tidak hanya untuk keluarga bersangkutan tetapi juga kerap kali untuk disangkutkan dengan kelompok etnis dan budaya. Batu nisan sebagai bagian integral dari makam akan dilihat sebagai artifak yang dapat dipahami sebagai bentuk kultural eksternal yang berfungsi untuk mempertahankan pikiran dan gambaran - citra. Pikiran dan gambaran sebagai bagian kondisi internal manusia. Setiap masyarakat, baik kuno maupun modern, bergantung pada artefaknya untuk hidup dan realisasi diri. Artefak itu memperpanjang kekuasan fisik dan psikis, juga menyenangkan kehidupannya yang menegaskan sebagai bentuk dan menciptakan makna simbolis. Kemampuannya untuk membuat artefak sebagai bagian integral dalam menciptakan budaya menjadi sangat penting dalam studi budaya manusia. Karena itu, untuk mengetahui kita harus mempelajari artefakartefak yang dibuatnya. Artefak itu dibuat dan digunakan oleh manusia tidak hanya untuk mengekspresikan dasar tetapi merupakan kebutuhan untuk memenuhi diri.
4
Teks “Des Espace Autres,” (Of Other Spaces) diterbitkan oleh French journal Architecture /Mouvement/Continuité in October, 1984. Teks ini adalah dasar ceramah yang diberikan oleh Michel Foucault pada Maret 1967
Artefak/objek memediasi dan menghasilkan wacana kematian seperti kematian memediasi dan menghasilkan nilai dan makna. Objek atau budaya material merupakan sistem ingatan untuk orang (oknum) dan kelompok sosial yang telah terancam atau trauma dengan kehilangan. Forty mengasumsikan bahwa objek material bisa memegang dan melestarikan kenangan serta memastikan kontinuitas dari waktu ke waktu. Nilai-nilai pada sebuah objek mungkin timbul dari kapasitas mereka yang dianggap secara fisik bertahan waktu, seperti dalam batu atau marmer 5. Batu atau marmer yang dipakai untuk nisan adalah ujung tubuh almarhum sebagai objek material. Nisan merupakan hubungan dan pertalian antara jazad tubuh dengan objek mnemonic (membantu ingatan). Nisan dan kuburan berfungsi untuk mengingat mereka dalam sistem sosial dan spiritual, bekerja untuk menampilkan peringkat sosial dan politik mereka. Analisis artefak biasanya dimulai dengan karakteristik nyata yaitu karakteristik fisik yang independen dari gambaran mental individu. Menurut Ian Woodward artefak/objekt memiliki kapasitas yang bervariasi untuk melakukan pekerjaan sosial dan budaya. Studinya menunjukkan bagaimana objek dapat digunakan sebagai: (1) penanda nilai, (2) penanda identitas dan (3) enkapsulasi jaringan kekuasaan budaya dan politik 6. Pentingnya aspek fisik dari artefak tersebut adalah kunci untuk memahami kekuasannya dan signifikasinya dalam konstruksi budaya dan identitas. Artefak memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai jembatan, tidak hanya antara dunia fisik dan mental, tetapi juga antara kesadaran dan ketidaksadaran. Pierre Bourdieu mencoba untuk menengahi antara dunia fisik praktek sebagai:
5 6
Hallam, E. and Hockey J, Death, Memory and Material Culture, Berg, 2001 p. 49 Woodward, I. Understanding Material Culture, Sag Publications Los Angels, New Delhi, Singapore, 2007, p. 6
“… a determinant material structure and constructivist analysis of the material world as inseparable from the cognitive means of its appropriation”. 7 Studi budaya material melihat artefak sebagai bentuk materi alami yang kita alami terus melalui praktek dan juga sebagai bentuk seorang secara terus – menurus mengalami tata budaya kita. Artefak atau objek tindakan untuk mengintegrasikan perwakilan individu dalam tatanan normatif dari kelompok sosial lebih besar. Objek itu berfungsi sebagai medium agar intersubjektif ditanamkan sebagai praktik generatif melalui beberapa versi ‘habitus’ 8. Istilah budaya material sering digunakan untuk merujuk pada artefak dan oleh karena itu kita perlu menjelaskan apa yang dimaksud dengan budaya material. I.2 Kajian Pustaka Bagaimana orang menghadapi kematian adalah suatu aspek penting melalui cara mereka berhubungan dan memanfaatkan budaya mereka. Elizabeth Hallam and Jenny Hockey dalam buku Death, Memory and Material Culture (2004) menulis mengenai aspek – aspek ini. Hallam dan Hockey berpendapat bahwa memori konstruksi sosial melalui objek material yang memiliki hak mereka sendiri dengan berbagai cara. Dalam beberapa bab pertama mereka menggunakan catatan sejarah komparatif untuk merenungkan perubahan sejarah dan kesinambungan melalui metafora dan isu-isu yang berkaitan dengan ruang dan waktu. Mereka mempertimbangkan metafora memori yang berkaitan dengan benda-benda dan orang-orang, termasuk tubuh jenazah sebagai objek. Selain itu, mereka juga menulis tentang isu temporalitas seperti indera waktu, instrumen waktu terkait dengan kematian, dan representasi dari pembusukan, dan ruang eksternal kematian dibandingkan negara internal memori. Dalam bab-bab terakhir fokus pada materi memori dan kekuatan benda, termasuk bagaimana kematian ditangani dengan material di visual, 7 8
Miller,D, Material Culture and Mass Consumption, Basil Blackwell, Oxford, 1987, p. 103. Ibid, hlm. 129
tertulis, dan media ritual. Objek dibahas dalam bagian ini termasuk foto-foto dan peninggalan orang mati, surat wasiat dan batu nisan, dan benda lainnya yang berasal dari berbagai kekuatan hubungan mereka dengan almarhum. Dalam buku Last Landscapes: The Architecture of the Cemetery in the West, Ken Worpole (2003) ditulis mengenai pemakaman sebagai ruang budaya yang unik, dasar identitas manusia dan sejarah. Dia mengeksplorasi cara kematian mengubah ide-ide tentang landscape dan arsitektur, sejarah dan masa kini masyarakat Barat dan budaya. Worpole membuat kasus bahwa arsitektur diciptakan dalam pembuatan makam sehingga kita bisa menghormati nenek moyang kita. Kemudian mengikuti teorinya ke masa kini, ketika jenazah dikremasi meninggalkan kita tanpa adanya mayat untuk dihormati maka makam diciptakan sebagai bentuk arsitektur untuk menghormati orang yang telah meninggal. Dalam bukunya berfokus pada kritik bagaimana landscape atau arsitektur dapat membangun koneksi mengenai sesuatu yang tidak ada, mengacu pada kepentingan kehadiran tubuh manusia sebagai dasar untuk menciptakan dunia material. Buku-buku tersebut di atas menggambarkan pandangan Barat mengenai budaya material (arsitektur) terkait dengan kematian. Pada pihak lain,persoalan tentang sakralitas budaya material dan makam orang Tionghoa adalah kurang diteliti dan kajiannya masih sedikit. Buku Media, Kematian dan Identitas Budaya Minoritas: Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Dukacita (2005) ditulis oleh Iwan Awaluddin Yusuf adalah studi yang paling dekat dengan topik tesis ini. Representasi identitas budaya minoritas etnik Tionghoa (Cina) ditampilkan lewat iklan duka cita, meliputi representasi bidang ekonomi, sosial, budaya dan agama dijleaskan pada buku tersebut. Melalui metode semiotik, dia mengkaji aspek-aspek tersebut dalam perspektif komunikasi dan budaya. Berdasarkan observasinya terhadap iklan koran, dia membuktikan bahwa iklan dukacita telah digunakan untuk mengekspresikan berbagai kepentingan. Pertama adalah digunakan
sebagai media untuk mempresentasikan eksistensi dan budaya mereka. Kedua kepentingan pihak surat kabar sendiri yang memanfaatkan necrocultura untuk memodifikasi iklan duka cita sebagai sumber pendapatan. Pada sisi lain dari representasi identitas budaya minoritas adalah signifikansi perubahan yang cukup nyata berkaitan dengan ekspresi kebudayaan Tionghoa yang diizinkan kembali setelah momentum reformasi 1998. Kenyataan ini tampak dari visualisasi iklan duka cita yang menampilkan tulisan - tulisan dengan huruf Cina (bahasa Mandarin-Chinese Character) sebagai pernyataan simbolik atas pengakuan kembali eksistensi budaya etnik Tionghoa di Indonesia. Identitas dapat dipahami sebagai proses konstruksi makna atas dasar atribut budaya, atau satu set terkait atribut budaya yang merupakan sumber prioritas makna. Bagi seorang individu atau untuk kelompok ada sejumlah identitas dan salah satu dari sejumlah identitas itu adalah identitas kultural. Identitas kultural dapat diartikan sebagai rincian karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang diketahui batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayan orang lain. Kajian mengenai konstruksi identitas kultural orang Tionghoa tidak banyak. Kalau ada biasanya terkait dengan literatur dan sastra atau film dan media. Salah satunya adalah Konstruksi Identitas Budaya Etnis Tionghoa dalam Film “The Photograph” ditulis oleh Anggia Kisima. Dia memberikan penjelasan makna identitas orang Tionghoa yang dikontruksikan melalui film, tetapi apakah ini benar? Masalah konstruksi identitas adalah lebih kompleks dan penjelasan makna identitas berdasar pada film tidak bisa memberi hasil penuh. Persoalan orang Tionghoa di Indonesia dan masalah identitas mereka dijelaskan dalam buku Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia. Editor buku ini adalah I.Wibowo dan studi ini merupakan kumpulan tulisan. Secara umum buku ini menekankan
pada masalah identitas diri orang Tionghoa di Indonesia. Disebutkan dalam sejarah Cina atau sejarah Indonesia, orang Tionghoa melakukan pilihan untuk mengidentifikasikan diri mereka. Orang Tionghoa yang memilih sejarah Cina adalah mengorietasikan dirinya ke daratan Cina. Oleh karena itu mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Cina yang bukan bagian dari orang Indonesia. Di sisi lain, orang Tionghoa yang memilih sejarah Indonesia sudah menganggap diri mereka sebagai orang Indonesia. Saat terjadinya tragedi pada bulan Mei 1998 di Jakarta ketika orang Tionghoa sadar bahwa mereka belum diterima secara adil sebagai bagian masyarakat Indonesia meskipun Indonesia menjadi “rumah” mereka selama beberapa generasi. Orang Tionghoa meskipun telah berganti nama dan berbicara bahasa pribumi, dia akan tetap disebut orang Tionghoa karena berkulit kuning, bermata sipit dan berambut lurus. I.3 Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Di Indonesia banyak orang Tionghoa yang tinggal dan menetap, tetapi mereka tidak pernah menjadi kelompok yang homogen. Keragaman daerah dan posisi sosial membentuk identifikasi diri yang heterogen di kalangan mereka, meskipun yang disebut pada kebanyakan buku dan hasil penelitian mengenai orang Tionghoa secara umum dan mungkin bukan merupakan gambaran orang Tionghoa secara lebih jelas. Topik-topik yang biasanya ditemukan adalah dari politik, sejarah, bisnis, identitas, stereotipe, diskriminasi atau pendidikan. Selama waktu mencari referensi untuk tesis ini, penulis mempunyai masalah karena persoalan budaya orang Tionghoa dan terutama simbolisme budaya material makam yang sangat terbatas. Alasan tidak tersedianya mungkin ada dalam kepentingan umum untuk persoalan yang lebih komersial dan pada saat ini paling ada dalam ilmu pengetahuan. Budaya material dalam antropologi memainkan perang penting, dalam era globalisasi dan neo – liberalisme fokus bergeser lebih ke arah konsumerisme, marketing dan syberspace.
Dalam tesis ini, penulis memilih Yogyakarta sebagai tempat dengan kebudayaan Jawa sangat kuat, sejarah yang lama dengan sejumlah kecil orang Tionghoa. Yogyakarta adalah kota sejarah yang pada abad ke-18 dan abad ke-19 menjadi pusat munculnya kembali kerajaan Mataram. Dalam proses menciptakan identitas nasional, Yogyakarta memiliki peran sangat penting dalam sejarah dan politik negara Indonesia. Nasionalisme Yogyakarta bukan etnonasionalisme dalam arti konvensional. Yogyakarta adalah sebagian kecil dari total populasi Jawa dan Kesultanan menempati sebagian kecil dari wilayah yang dihuni oleh Jawa. Namun, banyak orang Yogyakarta menganggap dirinya berbeda secara fundamental dari yang lain Jawa, hampir sama seperti mereka namun berbeda dari orang Indonesia lain. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, adalah fokus utama dari otoritas dan identitas kolektif untuk warganya. Yogyakarta memiliki sastra dan tradisi artistik kaya yang telah berasimilasi ke dalam elemen banyak agama: Hindu, Budha, Islam dan Kristen yang paling baru. Yogyakarta adalah salah satu dari dua kota kerajaan di selatan Jawa Tengah. Didirikan pada tahun 1755 sesuai dengan ketentuan perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram pada Solo (Surakarta) dan Yogyakarta. Sampai waktu Perang Jawa tahun 1825, Yogyakarta adalah pusat perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda 9. Di awal Perang Dunia Kedua, Yogyakarta adalah satusatunya tempat pertahanan saat terjadinya kemerdekaan Indonesia. Di Yogyakarta Sultan tetap sebagai tokoh agama dan politik yang mampu melampaui nasionalisme dan agama. Bahkan umat Kristen dan banyak organisasi moderen Islam seperti Muhammadiyah juga menganggap Sultan sebagai tokoh panutan. Yogyakarta menetapkan status khusus sebagai kerajaan di dalam republik yang masih melestarikan budayanya. Melalui charisma tahta kesultanan Jawa, Yogyakarta telah memberikan 9
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam, Springer 2011, p.p 10 - 11
kontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia saat Sultan Hamengkubuwana IX. Yogyakarta adalah buaian nasionalisme Indonesia. Banyak gerakan nasionalis dan moderen awal terbentuk di Yogyakarta, termasuk Muhammadiyah sebagai Islam moderen dan budaya nasionalis dengan adanyaTaman Siswa yang didirikan dalam dinding-dinding dalam kraton Yogyakarta 10. Menurut artikel Keragaman Etnis dalam Pengelolaan Wilayah, ditulis oleh Alip Sontosudarmo dan Tukiran, jumlah orang Tionghoa di Yogyakarta pada tahun 2000 adalah 9.942, distribusi 0,57% dan konsentrasi 0,32% 11. Selain kota Surabaya dan kota Semarang, Yogyakarta pun menjadi tempat terbaik untuk mendapatkan data mengenai konstruksi identitas melalui proses akulturasi dan asimilasi. Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Mengapa orang Tionghoa di Yogyakarta (melalui simbolisme budaya material makam) membangun (konstruksi) dan mewakilkan (representasi) identitas mereka dalam bentuk tempat tinggi, konsep Feng Shui, kuburan besar dalam bentuk omega, patung – patung singa, relief atau gambar naga, phoenix, harimau, bambu bahasa Mandarin, nama dan ziarah Ceng Beng? 2) Peran sejarah dan agama dalam proses akulturasi dan asimilasi orang Tionghoa dan perwujudannya di makam Gunung Sempu?
I.4 Kerangka Teori Makam Gunung Sempu adalah tempat persamaan komunitas Tionghoa, berdasar pada pengakuan (recognition) pada tingkat sadar dan tidak sadar (unconscious), dari penempatan 10 11
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam, Springer 2011, p. 12 http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1548_mu10120018k.pdf
habitual serupa yang diwujudkan dalam praktek budaya dan hubungan sosial dimana orangorang terlibat. Tempat ini akan memberikan dasar untuk persepsi komunitas kesamaan dan perbedaan ketika orang-orang dari tradisi kebudayaan dan agama yang tidak sama datang berinteraksi satu sama lain. Makam menjadi tempat yang dianggap mikrokosmos sejarah identitas dan masyarakat umum. Ini menjelaskan Carolyin L. Carter dalam artikelnya Creating Historic Open Space in Melaka (1993). Dia menulis mengenai Bukit China, makam tradisional orang China paling besar dan mungkin paling lama di dunia yang menjadi taman sejarah. Pada contoh ini, Carter menjelaskan bahwa Bukit China berisi kumpulan kuburan yang menyoroti etnis dan ekonomi keragaman Melaka (Malaysia) ditegakkan sebagai ciri dari komunitas mereka. Menurut dia, Bukit China menceritakan sejarah komunitas Melaka. Dalam berbagai cara makam dapat mempresentasikan beberapa informasi. Secara umum, makam menjadi sebuah tempat dengan batu nisan sebagai penandanya. Batu nisan terdiri dari nama, tanggal dan tulisan, yang dapat menginformasikan mengenai berbagai aspek kehidupan orang yang telah meninggal seperti gender, usia, keluarga dan informasi pribadi lainnya. Dengan kata lain, batu nisan menjadi sebuah ekspresi material bagi identitas seseorang. Selain itu, batu nisan menjadi sumber mengenai budaya setempat. Namun, batu nisan dapat mengatur dengan cara tertentu dan sengaja dibuat oleh orang-orang yang menggunakan makam. Makam sendiri berperan sebagai tempat dimana orang berkumpul dan dikumpulkan, baik yang sudah meninggal dan kerabat yang masih hidup, usia dan budaya yang berbeda. Oleh karena makam dilihat dari aspek simbolik, sikap dan tanggapa terhadap makam pun berbeda-beda. Hal yang penting mengenai makam dan batu nisan yaitu sebagai representer orang yang tidak hanya memiliki pengalaman, cara berpikir, nilai-nilai dan gaya hidup individual, tetapi juga secara umum. Melalui ekspresi budaya material dan simbol-simbol batu nisan secara
pribadi,
ritual
terkait dengan
makam dan
jenazah almarhum,
makam pun
dapat
mengkomunikasikan nilai-nilai umum dan ekspresi identitas komunitas secara kolektif. Afinitas kelompok tertentu dalam masyarakat berdasarkan pengakuan, baik di tingkat sadar dan tidak sadar, cenderung diwujudkan dalam praktek-praktek budaya dan hubungan sosial. Budaya material makam terkait dengan pengakuan dan ekspresi identitas. Kelompok dan individu mempunyai kepentingan untuk membuktikan siapa diri mereka dalam kaitannya dengan korespondensi terhadap orang lain. Dalam upaya untuk melakukan hal tersebut, kelompok atau individu harus bergabung denganleluhur yang memiliki peranan fundamental dalam konstruksi identitas dan legitimasinya. Makam Gunung Sempu adalah wujud self-reflective masyarakat Yogyakarta. Sebagai arena, makam ini menunjukkan proses konstruksi identitas orang Tionghoa. Kuburan Tionghoa merupakan pilihan sadar sebagai jembatan waktu, untuk menghubungkan orang-orang dalam keluarga dan masyarakat, dan untuk mengekspresikan sensibilitas budaya tentang lingkungan dan landscape. Memilih tempat tinggi, kuburan dalam bentuk omega, relief dan gambaran naga, phoenix, harimau, bambu, patung-patung singa dan tulisan pada bahasa Mandarin, orang Tionghoa menunjukkan maksud apa menjadi orang Tionghoa atau maksud apa untuk hidup dan mati sebagai orang Tionghoa. Dalam tesis saya, ini menjadi krusial karena menggambarkan identitas seperti apa dan budaya material apa, bagi orang Tionghoa datang ke Indonesia. Identitas dalam bentuk ini mewakili identitas mereka di homeland dan budaya asli. Juga, sepanjang waktu, identitas orang Tionghoa akan menjadi persoalan adaptasi mereka pada lingkungan baru dan proses pemisahan dalam komunitas mereka sendiri. Melalui pengaruh agama, kebudayaan dan politik, kita akan melihat apa artinya menjadi orang Tionghoa dan apa bentuk budaya material yang menerangkan identitas mereka.
Seperti telah dijelaskan atas, konstruksi identitas orang Tionghoa akan dibahas melalui budaya. Budaya dalam tesis ini adalah terlihat sebagai "a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes toward life” 12. Clifford Geertz dalam bukunya Interpretation of Culture (1973) menggunakan thick description sebagai istilah utama dan menyatakan bahwa tugas antropologi adalah menjelaskan budaya melalui thick description yang menentukan banyak rincian, struktur konseptual dan makna. Thick description adalah kebalikan dari thin description yang merupakan rekenin faktual tanpa interpretasi apapun. Geertz menegaskan bahwa budaya pada dasarnya adalah semiotik dan analisis budaya harus menjadi praktik interpretatif yang menelusuri cara di mana makna berasal. Menurut dia, “culture is public because meaning is” 13 dan sistem makna adalah apa yang menghasilkan budaya, mereka adalah milik kolektif suatu bangsa tertentu. Budaya memberi mata rantai antara kemampuan manusia untuk menjadi apa dan kenyataannya sebagai apa.
Manusia menjadi
individu yang berada di bawah pengarahan pola – pola kebudayaan, yaitu sistem – sistem makna yang tercipta secara historis 14. Dengan itu manusia sendiri memberi bentuk dan arah untuk kehidupannya. I.4.1 Simbolisme Budaya Material dan Konsep Ruang Budaya material adalah salah satu bagian budaya. Daniel Miller dalam Artefacts and the meaning of things menulis bahwa budaya, adalah proses dimana kelompok manusia membangun dan bersosialisasi, maka aspek budaya material sebagai objektifikasi, melalui bentuk-bentuk materi membutuhkan proses budaya. Aspek budaya material adalah fenomena yang jelas 12
Geertz, C., The Interpretation of Cultures. Basic Books, 1973, p. 89 Ibid, p. 12 14 Geertz, C., Tafsir Kebudayaan, Kanisius, 2000, hlm. 65 13
memanifestasikan identitas pribadi dan kolektif melalui benda, proses konstruksi dan penggunaan mereka. Perwujudan budaya bukan hanya masalah membangun benda-benda fisik yang mencerminkan aspek realitas sosial dan budaya. Pada dasarnya, budaya material terdapat, hubungan yang dinamis dan tindakan sosial, yang terbentuk antara objek, diri dan masyarakat. Menurut Daniel Miller budaya material adalah proses antara manusia dan objek tertentu, manifestasi dan perubahan batas – batas yang ditentukan oleh masyarakat dengan adat – istiadat. 15 Menurutnya terjadi interaksi antara orang – orang dan benda – benda yang merupakan klas (class) objek dan kelompok manusia dan didefinisikan dalam hubungan tersebut 16. Secara singkat, di dalam pernyataan Miller masalah utama dapat dipahami bagaimana cara-cara bagaimana orang mengidentifikasi objek, kemudian bagaimana objek itu mengidentifikasi orang dan bagaimana menjadi tidak terpisah. Jules David Prown pun melihat budaya material sebagai studi malalui artefak dari keyakinan – nilai, ide, sikap dan asumsi dari suatu komunitas atau masyarakat pada waktu tertentu. Studi budaya material adalah berdasar pada keberadaan objek buatan manusia sebagai bukti adanya kecerdasan manusia dalam saat pembuatannya 17. Budaya material adalah salah satu aspek studi budaya. Melalui budaya material antropolog bisa melihat hubungan antara individu dan kelompok dalam masyarakat, terutama pola dan rincian dari kehidupan sehari-hari. Pada contoh makam, budaya material menengahi hubungan kita dengan kematian, objek, gambaran/citra, praktik, berserta pula tempat dan ruang. Hal ini dibuat untuk mengingatkan kita tentang orang lain yang sudah meninggal dan kematian kita sendiri. Karena kematian menjadi salah satu aspek kehidupan yang sangat penting, religius, Ердеи, И. Антропологија потрошње, Београд, 2008, 231-234 (Erdei, Anthropology of Consumption) Милер, Д. Артефакти и значење предмета, Трећи програм, бр. 1/2 (125/126), 2005, 248. (terjemahan Daniel Miller: ''Artefacts and the Meaning of Things''. In: Companion Encyclopedia of Anthropology. (ed.) Tim Ingold, London-N.Y., Routledge, 1995, pp. 396-419). 17 Prown, Mind in Matter: An Introduction to Material Culture Theory and Method, Winterthur Portfolio, Vol. 17, No. 1 (Spring, 1982), p. 1 15 16
emosional dan yang ditunjukkan serta diwakili orang juga masyarakatnya dalam satu periode, kita harus melihat peran objek atau artefak dalam perkembangan masyarakat tertentu melalui simbol-simbol. Ketika orang lahir pada saat dan tempat khusus, kita mengalami ini sebagai dimensi dari sistem kultural utama. Seseorang memakai artefak/objek seperti memakai kemampuan berbicara dan tindakan (action) untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Suatu kejadian ketika artefak fisik dalam konteks sosial dan kultural adalah bertanam dengan makna, kita bisa katakan bahwa objektifikasi makna ini bagi seseorang. Konsep objektifikasi Miller meminjam istilah dari Hegel yang menjelaskan konsep itu sebagai hubungan dialektis antara subjek dan objek. Dalam buku Hegel yang berjudul Phenomenology of Spirit (1977) ditulis bahwa tidak mungkin ada pemisahan mendasar antara manusia dan materialitas (artefak) karena segala yang kita lakukan dan muncul dari refleksi atas diri kita diberikan sebagai imaji citra (mirror image) dari proses yang kita membuat bentuk dan diciptakan oleh proses yang sama 18. Sebuah subjek, untuk memahami dirinya sendiri, menciptakan alienasi dan objektifikasi objek, yang kemudian, hanya untuk membuat objek lain. Kita tidak bisa tahu siapa kita, atau menjadi apa kita, kecuali dengan melihat dalam refleksi material. Cermin refleksi material itu adalah dunia sejarah dibuat oleh orang-orang yang hidup sebelum kita. Dunia ini menghadapkan kita sebagai budaya material dan terus berkembang melalui kita. Persoalan penting adalah subjek tidak pernah menjadi subjek seperti itu, tapi selalu didefinisikan melalui hubungannya dengan objek 19. Konsep objektifikasi adalah terkait dengan ruang juga. Miller melihat karya antropolog lainnya yaitu Nancy Munn, yang mempelajari masyarakat pra-industri dari perspektif objektifikasi. Menurut dia, dalam satu masyarakat media utama objektifikasi adalah landscape, yang diubah 18 19
Miller, D, Materilality, Duke University Press, 2005, p.8 Miller, D. Material Culture and Mass Consumption, Basil Blackwell, 1987, p. 31
oleh tindakan objektifikasi menjadi landscape sosial atau budaya, yang kemudian kembali dialokasikan oleh subjek kolektif. Tatanan moral dan tatanan sosial masyarakat dipahami hanya karena mereka dipetakan ke sebuah landscape budaya yang 'naturalied' yang pada gilirannya ke fitur alami dari landscape geografis. Sifat dari landscape ini menjadi penting, tetapi memberikan keabadian, otoritas, dan masif yang dapat melegitimasi dunia sosial 20. Kualitas yang istimewa pada artefak/objek tertanam dalam market society (mereka terlihat, tahan lama, portabele, dibeli, ditukarkan), artefak secara khusus memenuhi syarat tidak hanya untuk mengekspresikan makna tetapi juga untuk mewujudkan hal itu. Proses objektifikasi merujuk tidak hanya pada kualitas ekspresif artefak (artefak “mengatakan” apa), tetapi juga untuk peran aktif artefak dalam membangun makna (artefak "melakukan" apa) bagi penggunanya dan untuk masyarakat pada umumnya 21. Artefak atau objek, seperti orang, memiliki sifat ganda (dual nature). Orang memiliki sifat spiritual dan jasmani, objek memiliki sifat material dan simbolis. Mary LeCron Foster dalam Symbolism: The Foundation of Culture 22 menulis bahwa simbol adalah artefak, sebuah ‘benda’ yang ada di luar di suatu tempat dalam ruang dan waktu., Simbol sebagai 'benda' memiliki realitas material dan dialami melalui indera. Simbol terlibat dalam budaya sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam keragaman konteks untuk menyampaikan makna, bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang proses budaya dan hubungan. Setiap simbol berpartisipasi dalam jaringan signifikansi yang kita sebut budaya. Budaya tidak sendiri terbentuk dari simbol, tapi makna yang terletak dan menyatukan simbol. Makna ini hanya
20
Ibid, p.58 Poyer, L. The Role of Material Goods in Spiritual Development, Journal of Bahá’í Studies Vol. 1, number 3 (1989) 22 LeCron Foster, M, Symbolism: The Foundation of Culture dalam Companion Encyclopedia of Anthropology, ed. Tim Ingold, p. 366 - 395 21
ada dalam pikiran (mind) pelaku budaya tetapi bertindak keluar melalui manipulasi simbol, yang merealisasikan makna. Menurut dia, “Culture is thus an elaborate system of classification whose units are symbols. It is a generalization from symbolic meanings shared within a society and realized during social interaction”. 23 Hubungan antara budaya material dan simbol yang dijelaskan Edmund Leach ketika mengenal tiga jenis perilaku manusia: 1. Perilaku biologis/alamiah, misalnya bernafas, detak jantung, metabolism tubuh, berpikir, merenung dan sebagainya. 2. Aktivitas teknik untuk mengubah dunia fisik, misalnya membajak sawah, memasak, membuat rumah. 3. Tindakan ekspresif, yaitu menyatakan sesuatu keadaan dunia seperti apa adanya, atau mengubahnya melalui cara – cara metafisik. 24 Realitas materi tubuh kita merupakan bagian dari landasan tersebut pengalaman manusia dalam realitas. Tubuh "hidup" adalah “kendaraan” manusia untuk memahami dan menafsirkan dunia. Tubuh manusia sebagai realitas material juga jelas mengalami materi kondisi eksistensi sosial. Tubuh dihubungkan dengan realitas lainnya seperti pengalaman kelaparan, kedinginan, penyakit atau kematian. Aspek biologis orang selalu butuh untuk mengubah dunia sekitar mereka dan dengan aktivitas teknik ini terjadi. Dalam kasus kematian, seseorang menjadi alasan biologis (dekomposisi tubuh, bau, ketakutan) ada kecenderungan untuk memisahkan almarhum dari mereka, tetapi pada saat yang sama berada dekat dengan mereka. Dengan mewujudkan almarhum dalam bentuk material, nisan batu, hal itu secara pelan menghilangkan keadaan biologis dan mendapatkan bentuk yang dibuat oleh aktivitas teknik. Tubuh manusia yang 23
Ibid, p. 366. Leach, E, Culture and Communication: the logic by which symbols are connected – An introduction to the use of structuralist analysis in social anthropology, Cambridge University Press, 1976, p. 9 24
meninggal masih memiliki peran sosial dengan adanya batu nisan sebagai pengingat terhadap bentuk tubuh yang telah berubah secara alami saat seseorang meninggal. Batu nisan merupakan situs pengganti nyawa yang telah tiada karena jenazah telah membusuk. Dengan adanya batu nisan, seseorang yang telah membusuk masih tetap melekat pada orang-orang yang hidup karena pada batu nisan tersebut tertulis nama seseorang. Sebagai fungsi tambahan batu nisan, juga bertindak sebagai pengingat dari bentuk hidup dari tubuh alami 25. Hal ini sebagai tindakan ekspresif, transedental dan metafisik dan oleh karena itu menjadi simbol sebagai alat ekspresi, komunikasi, pengetahuan dan kontrol. Sifat instrumental simbol sebagai sarana ekspresi sangat jelas dengan simbol-simbol politik dan agama. Raymond Firth menyatakan bahwa bendera, lagu kebangsaan, pakaian tradisional, lukisan gereja dapat membangkitkan emosi yang kuat sebagai identifikasi kelompok dan digunakan sebagai titik kumpul bagi tindakan kelompok 26. Simbol adalah makna yang membantu dengan masalah komunikasi dari waktu ke waktu dan “aiding recall and obviating to some extent a need for reformulation of ideas” 27. Simbol sebagai bagian dari pengetahuan sosial yang melekat pada kita untuk berkomunikasi secara tidak langsung dari pengalaman realitas transenden sehari-hari - seperti agama, ilmu pengetahuan dan politik. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, melalui simbol-simbol dan komunikasi realitas ini dapat menjadi intersubjektif dan objektifikasi, karena itu dapat mempengaruhi tindakan manusia 28. Salah satu aspek utama simbol adalah sebagai alat kontrol yang terkait dekat dengan kekuasan. Pada dua aspek ini, simbol dapat digunakan untuk referensi dan dukungan ketika perilaku dipertanyakan. Hal ini seperti nilai – nilai yang diatur oleh otoritas saat mereka membuat perbandingan. Simbol
25
Hallam, E. and Hockey J, Death, Mamory and Material Culture, Berg, 2001 p. 52 Firth, R, Symbols: Public and Privet, Cornell University Press, 1975, p. 77. 27 Ibid, p. 81 28 Jochen Dreher, The Symbol and the Theory of the Life-World: "The Transcendences of the Life-World and Their Overcoming by Signs and Symbols, Human Studies, Vol. 26, No. 2 (2003), pp. 141-163, p. 143. 26
juga bisa dibawah otoritas langsung atau dapat dimanipulasi oleh orang yang ingin mempengaruhi perilaku orang lain 29. Jika kita melihat manusia sebagai makhluk budaya dan budaya manusia penuh dengan simbol-simbol yang dapat dikatakan bahwa budaya manusia adalah simbolis. Sepanjang sejarah budaya manusia simbolisme mewarnai tindakan – tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, pengetahuan maupun agama. Menurut Geertz dengan simbol objek apapun, tindakan, acara, kualitas, atau relasi yang berfungsi sebagai kendaraan untuk konsepsi. Kata konsepsi menurut Geertz "berarti" simbol. Simbol-simbol adalah “tangible formulations of notions, abstractions from experience fixed in perceptible forms, concrete embodiments of ideas, attitudes, judgements, longings, or beliefs.” 30 Dengan kata lain, simbol adalah dasar dimana orang berkomunikasi melalui ide-ide mereka. Ketika menggunakan simbol – simbol untuk membedakan satu hal atau tindakan dari yang lain kita menciptakan batas-batas di lapangan secara budaya terus - menerus. Pada dasarnya batas tidak punya dimensi tetapi jika batas adalah ditandai pada tanah, penanda itu akan membuat ruang sendiri. Semua batas adalah buatan dan material dan berlaku untuk ruang serta waktu. Jika melihat dunia budaya material makam, dunia itu sesungguhnya bersifat multibentuk dan multidimensional. Dalam hal ini tidak hanya akan berbicara mengenai dunia fisik, akan tetapi juga dunia nonfisik atau dunia simbolik. Konsep dunia ini sering disamakan dengan konsep ruang (space) karena konsep dunia tidak dapat dipisahkan dari konsep ruang. Dunia ada di dalam sebuah ruang dan selalu meruang. Dalam hal ini akan melihat budaya orang Tionghoa di Yogyakarta dan relasi antarmanusia yang diperantarai oleh benda, simbol dan makna, yang di dalamnya simbol-simbol digunakan sebagai alat di dalam berbagai relasi kultural, dengan 29 30
Firth, R, Symbols: Public and Privet, Cornell University Press, 1975, p. 84. Geertz,C, The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc., Publishers, New York, 1973, p. 91
mengaitkan simbol-simbol dengan berbagai relasi ideologi. Pada budaya material makam akan dilihat dunia dan sebuah perubahan dan transformasi dunia ini secara kultural, sejarah, simbolik, psikologis, sosial, politis yang sangat kompleks. W. Lloyd Warner dalam The living and the dead: a study of the symbolic life of Americans (1959) menyatakan bahwa pemakaman sebagai 'representasi kolektif', yang sakral, replika simbolis dari komunitas hidup yang menyatakan banyak keyakinan dasar masyarakat dan nilai-nilai. Meskipun dia tidak menulis tentang ruang, namun dia memberi alasan sangat jelas mengapa kita harus melihat makam dari aspek ruang. Menurut dia, material, makam adalah jenis tertentu ruang yang dibatasi secara sosial dimana pemakaman sehari-hari dan perayaan Memorial Day (atau Cheng Bing dalam kasus ini) menjadi ritual hubungan antara orang mati spiritual dan dunia sekuler yang hidup. Tanda-tanda material pemakaman (kuburan dan nisan dimiliki oleh keluarga tertentu) ini berubah mati dari objek mati berubah pada objek hidup yang secara simbolis membantu mempertahankan berlangsung (on–going) identitas masing-masing dan menegaskan eksistensi sosial terus mereka melalui memori 31. Makam adalah ruang sakral tepat di mana hidup dan mati dipisahkan dan simbolis bergabung sebagai salah satu orang melalui kinerja transisi dan ritus memorial. Landscape memiliki berbagai macam makna dan asosiasi. Hal tersebut terkait dengan konsep, termasuk tempat dan ruang, dalam dan luar, citra dan representasi sesuai dengan salah satu dari dua kutub gagasan tersebut: foreground actuality background potentiality tempat ruang di luar di dalam representasi citra (image)
31
Francis, D, Cemeteries as cultural landscapes, Mortality, Vol. 8, No. 2, 2003 p. 222 - 223
Konsep-konsep pada sisi kanan kira - kira sesuai dengan apa yang dipahami sebagai konteks dan bentuk sehari-hari atau yang menurut Bourdieu menyebut sebagai ‘unreflexive forms of experience’. Konsep-konsep pada sisi kiri kira-kira sama dengan konteks dan bentuk pengalaman luar sehari-hari 32. Dalam buku Low dan Lawrence – Zuniga yang berjudul The Anthropology of Space and Place: Locating Culture menulis tentang ruang dan menjelaskan bahwa antropolog mulai bergeser
perspektif
mereka
untuk
foregrounding
dimensi
spasial
budaya
daripada
memperlakukan mereka sebagai latar belakang, sehingga gagasan bahwa semua perilaku terletak dan dibangun oleh ruang telah memiliki makna baru. Menurut mereka ruang dan tempat tidak sadar, dan perlu untuk memahami dunia kita memproduksi. Munn menyatakan bahwa orang tersebut membuat ruang dengan bergerak melalui itu, menelusuri bagaimana pola pergerakan kolektif membentuk lokalitas dan mereproduksi lokalitas. Menurutnya, tempat tidak dalam landscape, tapi dalam pikiran orang, kebiasaan, dan praktek-praktek tubuh. Menurut Donald W. Winnicott dan dalam model klasiknya antara hubungan dengan objek - objek adalah kompensasi karena memungkinkan untuk mengelola dan mengatasi krisis menegaskan ketidakhadiran ibu. Dalam versi lebih lengkap diartikulasikan teori dengan istilah 'objek' yang lebih inklusif untuk memahami bagaimana manusia membentuk dan mempertahankan rasa diri sendiri, serta hubungan dengan orang lain, melalui hubungan dan memeliharanya dengan berbagai non manusia benda 33. Bollas berpikir bahwa objek transisional memiliki aspek unik karena dialami bukan hanya sebagai objek tetapi sebagai suatu proses,
32
Hirsch, E, Landscape: Between Place and Space, dalam Low, Lawrence – Zuniga, The Anthropology of Space and Place: Locating Culture, p. 4 33 Ian Woodward and David Ellison Aesthetic Experience, Transitional Objects and the Third Space: The Fusion of Audience and Aesthetic Objects in the Performing Arts, Thesis Eleven 103(1) 2010, 45–53, p. 47; atau http://the.sagepub.com/content/103/1/45
dimana keterlibatan apapun dengan objek mengubah kedua subjek dan objek dalam proses transformasi relasional 34. Dalam tulisan ini kita akan melihat bagaimana orang membentuk hubungan yang bermakna dengan tempat lokal yang mereka tempati, bagaimana mereka melampirkan makna ruang, dan mengubah ruang ke tempat. Fokus tulisan ini mengenai pengalaman yang tertanam di tempat dan bagaimana ruang memegang kenangan yang melibatkan orang dan peristiwa. Meskipun ruang dikonstruksi secara sosial, ruang juga menghasilkan subjek sendiri. Manusia hidup mempunyai interaksi dengan ruang arsitektur/objek. Oleh karena itu ruang merupakan salah satu dari aspek utama dari budaya manusia dan dasar untuk setiap diskusi arsitektur atau budaya material, baik dalam domain desain arsitektur praktis atau dalam penelitian arsitektur/objek. I.4.2 Konsep Identitas dan Akulturasi Dalam tulisan ini mempertimbangkan bagaimana material mengartikulasi identitas dan cara aspek-aspek tertentu dari identitas yang mungkin diasingkan, diproyeksikan, dan, khususnya, digunakan melalui bentuk-bentuk spesifik budaya material. Identitas dipahami sebagai sejarah dan budaya berakar citra diri dari kelompok orang yang didominasi sketsa dan dipertajam dalam kontak vis-à-vis kelompok lain masyarakat. Hal ini berarti identitas terkait dengan konsep antropologi seperti pandangan dunia, nilai, etos, dan, paling penting, budaya, semuanya menyarankan jenis tertentu homogenitas di antara anggota komunitas. Konsep identitas ini adalah sesuai dengan asumsi homogenitas pandangan bahwa identitas individu
34
Ibid, p. 47
mencerminkan identitas kelompok budaya mereka 35. Dalam beberapa tahun terakhir muncul pertanyaan apakah era globalisasi dapat dipahami sebagai identitas dan ekspresi homogenitas sosial atau sebagai representasi dari realitas. Identitas dalam era globalisasi berarti tidak hanya merupakan kesamaan dan keunikan, karena tidak dapat didefinisikan dalam isolasi identitas kultural lainnya. Identitas tidak lagi dilihat sebagai eksklusif, karena tiap individu memiliki lebih dari satu identitas yang tidak terlepaskan, atau lebih tepatnya: terpisahkan, tetapi memiliki kaitan yang dibangun dengan identitas lain yang dibangun secara beda, sering berpotongan secara wacana, praktek dan posisi. Akibatnya, identitas telah bergeser dari identitas tunggal menjadi multi identitas 36. Studi ini akan berfokus pada identitas orang Tionghoa secara aspek budaya yang terkait dekat dengan cara-cara orang berinteraksi dengan landscape mereka. Grey, Hay dan Stokowski mengatakan bahwa identitas kultural dirumuskan sebagai ‘place identity’ menegaskan hubungan antara budaya dan satu tempat 37. Anthony P. Cohen melihat budaya sebagai identitas yang mengacu pada upaya mewakili seseorang atau kelompok dalam hal budaya reification dan/atau melambangkan. Menurut Cohen, kita harus melihat budaya sebagai hasil dan produk interaksi, atau, dengan kata lain, melihat orang-orang aktif dalam terciptanya budaya, bukannya pasif dalam menerima hal itu 38. Dalam pandangan ini, budaya adalah cara kita membuat makna, dengan siapa membuat dunia yang berarti bagi diri sendiri, dan diri kita berarti bagi dunia. Simbol menjadi pembawa makna, simbol adalah kendaraan untuk budaya. Salah satu karakteristik yang paling signifikan adalah politisasi identitas budaya. Cohen menempatkan 35
van Meijl, Toon, Culture and Identity in Anthropology: Reflections on ‘Unity’ and ‘Uncertainty’ in the Dialogical Self, International Journal for Dialogical Science Fall, 2008. Vol. 3, No. 1, 165-190, p. 170 36 Ibid, p. 173 37 Stephenson, J., The Cultural Values: An Integrated approach to values in landscapes, Landscape and Urban Planning, Volume 84, Issue 2, 6 February 2008, p. 127 -139, p. 127 38 Cohen, P. A.,Culture as Identity: An Anthropologist's View, New Literary History, Vol. 24, No. 1, Culture and Everyday Life (Winter, 1993), pp.195-209, p. 195
tanda kesetaraan antara identitas budaya dan identitas etnis karena etnis adalah politisasi budaya 39. Stuart Hall dalam essay Cultural Identity and Diaspora menunjukkan bahwa ada dua cara berpikir tentang identitas budaya. Model tradisional yang melihat identitas dalam satu hal, budaya bersama, seperti kolektif ‘one true self’ (satu diri sejati), bersembunyi di dalam lain yang lebih dangkal atau dipaksakan 'diri' artifisial, yang seseorang dengan sejarah dan leluhur yakini bersama 40. Sebuah konsepsi identitas budaya (cultural identity) memainkan peran penting dalam semua perjuangan pasca-kolonial karena menceritakan kembali (re–telling) mengenai masa lalu atau sejarah. Model kedua identitas budaya mengakui kritis poin yang mendalam dan perbedaan signifikan yang lebih tepatnya merupakan 'apa sebenarnya kita', karena sejarah telah ikut campur - 'apa yang telah terjadi pada kita' 41. Berdasarkan pandangan ini identitas budaya adalah: “matter of ‘becoming’ as well as of ‘being’. It belongs to the future as much as to the past. It is not something which already exists, transcending place, time, history and culture. Cultural identities come from somewhere, have histories. But like everything which is historical, they undergo constant transformation. Far from being eternally fixed in some essentialised past, they are subject to the continuous ‘play’ of history, culture and power. Far from being grounded in mere ‘recovery’ of the past, which is waiting to be found, and which when found, will secure our sense of ourselves into eternity, identities are the names we give to the different ways we are positioned by, and position ourselves within, the narratives of the past. 42
Orang-orang tanpa sejarah adalah orang-orang yang telah dicegah dari usaha mengidentifikasi diri sendiri untuk orang lain. Abad ke – 21 adalah abad pencarian identitas dan menempatkan diri di dunia. Membuat sejarah merupakan cara memproduksi identitas sejauh itu menghasilkan hubungan antara yang seharusnya terjadi di masa lalu dengan keadaan sekarang.
39
Ibid, p. 199. Stuart Hall, Culture Identity and Diaspora, dalam Colonial Discourse and Post-colonial Theory: A Reader. Ed. Patrick Williams and Chrisman. London: Harvester Wheatsheaf, 1994. 392-401, p. 393 41 Ibid, p. 394 42 Ibid, p. 394 40
Salah satu bentuk proses sosial adalah akulturasi dan asimilasi. Asimilasi atau pembauran sebagai proses yang timbul jika: 1) kelompok-kelompok manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda; 2) saling bergaul lansung secara intensif selama jangka waktu yang relatif lama; 3) kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok tadi masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran. 43 Istilah asimilasi dan akulturasi dalam pengertian yang sama sering tumpang-tindih atau yang dipakai sebagai sinonim. Tidak seperti kebanyakan pakar, Herskovits dengan keras menjelaskan bahwa asimilasi melibatkan hubungan masyarakat dengan tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda, hubungan ditentukan oleh lamanya koneksi jumlah peserta, dan hubungan yang langsung atau tidak merupakan definisi proses akulturasi pada keragaman budaya. Ditambahkan kembali oleh Herskovits, akulturasi atau pengiriman kebudayaan berarti mengambil unsur-unsur atau isi-isi atau komponen-komponen dari budaya komunitas masyarakat tertentu dan biasanya lebih dikembangkan daripada komunitas lain, yang memiliki lingkungan atau pusat kebudayaan lain. 44 Manifestasi dari akulturasi biasanya dapat dilihat dalam situasi seperti perubahan dalam budaya material, perubahan dalam organisasi sosial dan dalam pola serta kejadian partisipasi individu dalam kehidupan kelompok, dan perubahan pada struktur dan organisasi kepribadian. 45 Akulturasi adalah proses rangkap perubahan budaya dan psikologis. Perubahan budaya dan 43
Hariyono, P. Kultur Cina dan Jawa: pemahaman menuju asimilasi kultur, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 14 44 Stefanovic, M. Akulturacija i migracije Srba, Etnoloske sveske (Stara serija: 1978 – 1990), 1990, no 11, str. 25 45 Gillin, J. and Raimy, V. Acculturation and Personality, American Sociological Review, Vol. 5, No. 3 (Jun., 1940), p. 372.
psikologis terjadi melalui sebuah proses jangka panjang, kadang-kadang bertahun-tahun, dari generasi ke generasi, dan dari abad ke abad. Selama proses akulturasi, menjadi masyarakat berbudaya plural (culturally plural) mengalami proses yang terus berlangsung. Seseorang dari berbagai latar belakang budaya datang untuk hidup dalam masyarakat yang beragam, membentuk masyarakat multikultural. Dalam banyak kasus mereka membuat kelompok kelompok budaya (culture groups) yang tidak sama dalam kekuasaan yang numerical, ekonomik atau politik. Dalam proses akulturasi ada tiga isu yang bisa diidentifikasi yaitu: kontak (contact), pengaruh timbal balik (reciprocal influence) dan perubahan (change). Kontak dalam akulturasi sebagai pertemuan (meeting) antara paling sedikit dua kelompok budaya atau individu yang datang bersama-sama dalam cara "langsung" dan “firsthand”. Akulturasi bisa dikatakan menjadi salah satu aspek dimana individu atau kelompok yang memiliki interaksi dalam ruang dan waktu yang sama, bukan melalui pengalaman “secondhand”.
Dalam reciprocal influence artinya
kelompok saling mempengaruhi satu sama lain. Namun, karena perbedaan kekuasaan, baik dalam hal kekuatan ekonomi, kekuatan politik atau kekuatan numerik, satu kelompok memberikan pengaruh lebih dari lainnya. Oleh karena satu kelompok sering memberikan pengaruh lebih (kelompok dominan) dari yang lain (kelompok non-dominan), sering salah diasumsikan bahwa hanya kelompok non-dominan yang berubah. Dalam mempelajari akulturasi, dapat sama-sama berada di proses sendiri, misalnya bagaimana perubahan akulturasi (proses pertanyaan) serta pada apa yang telah berubah selama akulturasi (hasil-pertanyaan) 46.
46
Sam,L. David, Berry,W.John, The Cambridge Handbook of Acculturation Psychology, Cambridge University Press 2006, p. 14 - 16
I.5 Metode Penelitian Penelitian ini akan berfokus pada orang Tionghoa yang bertempat tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ketertarikan penulis untuk meneliti makan Tionghoa dari perspektif budaya material, agama, dan konsep ruang, juga keterkaitannya dengan kehidupan orang Jawa masih tergolong langka. Pemilihan lokasi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah penting karena ketika menyebutkan Yogyakarta atau Jogja, orang selalu berpikir tentang pariwisata dan universitas (pendidikan). Yogyakarta menjadi pusat seni klasik dan budaya Jawa seperti batik, balet, tarian tradisional, musik, wayang dll. Dalam mempromosikan Indonesia, Yogyakarta memiliki posisi yang sangat strategis sebagai tujuan yang melambangkan “The Real Java” dan “Wonderful Indonesia” 47. Budaya yang berfungsi dalam pariwisata adalah gambar dari satu masyarakat tetapi apakah budaya itu mewakili budaya Jawa (the real culture) dan praktisnya yang terjadi tanpa skenario dan “tata rias”. Dalam kajian budaya material, metode etnografi akan sesuai digunakan karena tujuan penelitian etnografi menggambarkan apa yang dilakukan oleh orang-orang di tempat dan pada status tertentu yang biasa dilakukan, dalam keadaan biasa atau khusus. Etnografi juga menyajikan deskripsi dengan cara yang menarik perhatian keteraturan yang melibatkan proses budaya 48. Penelitian etnografi memungkinkan untuk memahami proses kebudayaan, tetapi dalam pemahaman budaya secara keseluruhan, saya berfokus pada dunia material makam. Metode etnografi yang dipakai di kajian ini adalah moderate participant dan bukan sebagai full participant. Moderate participant hadir di tempat kejadian dan diidentifikasi sebagai peneliti,
47
Jogja – The Real Java, Objek dan Daya Tarik Wisata Kota Yogyakarta, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kota Yogyakarta; atau www.jogjakota.go.id 48 Wolcott, H.F, Ethnography: A Way of Seeing, AltaMira Press, Oxford,1999, p. 68
tetapi memiliki interaksi terbatas atau sesekali dengan orang-orang yang penulis pelajari 49. Dalam kajian lebih dalam dan analisis lebih dinamis, kehadiran di ruang dengan orang-orang dan objek-objek, observasi serta mengadakan wawancara akan menghasilkan pemahaman lebih baik dan lebih dalam tentang bagaimana orang menggunakan dan berinteraksi dengan dunia materi. E. McClung Fleming dalam artikel Artifact Study: A Proposed Model 50 memberi salah satu metode penelitian artefak dan budaya material. 1) Artefak Identifikasi (Deskripsi yang faktual / Factual description) 2) Evaluasi Perbandingan dengan objek lain 3) Analisis kebudayaan dan berhubungan artefak dengan kebudayaannya Aspek yang dipilih dari budaya artefak 4) Interpretasi (kepentingan) Nilai – nilai budaya Pada pertanyaan pertama akan dijelaskan mengenai artefak umum, yang termasuk dimana dan kapan dibuat, dibuat bagi siapa, oleh siapa (kalau ada informasi) dan untuk apa. Kemudian penulis akan melihat konstruksi artefak yaitu: desain, bentuk, corak mode (style), dekorasi dan ikonografinya. Pertanyaan ini akan membahas mengenai penggunaan (fungsi yang dimaksudkan) dan peran (fungsi yang tidak diinginkan) dari objek dalam budayanya seperti keperluan atau komunikasi. Pertanyaan yang kedua akan berfokus pada kualitas estetika (baik atau kurang baik), ekspresi bentuk, style dan ornamen. Juga penulis akan membuat perbandingan dari satu objek dengan yang lain dari jenisnya. Pertanyaan kedua dan ketiga adalah terkait karena kita akan melihat fungsi yang dilakukan (performed) oleh artefak dalam budaya. Disini penulis akan 49
Barron, E. Ringnalda, Process of Cultural Reproduction in Material Culture: A Study of Latter - Day Saint Home Décor, Department of Communication University of Utah, 2009, p.59 50 E. McClung Fleming dalam artikl Artifact Study: A Proposed Model, Winterthur Portfolio, Vol. 9. (1974), pp. 153-173
membahas tentang perilaku manusia yang berhubungan dengan artefak dan kelompok etnis terlibat dalam perilaku ini. Dengan konstruksi, disain dan menggunakan simbol-simbol, artefak menjadi seperti alat komunikasi menyasmpaikan identitas, status, ide-ide, nilai-nilai, perasaan dan makna. Melalui analisis kebudayaan kita dapat mengikuti identifikasi dengan budaya tertentu atau subkultur, wilayah geografis, pembuat tunggal atau kelompok pembuat, seperangkat unik karakteristik fisik dan estetika. Analisis kebudayaan memungkinan untuk mengisolasi dan membuat kesimpulan tentang karakteristik dan sifat (nature) umum satu kelompok. Artefak adalah produk budaya dan oleh karena itu mempunyai sudut pandang sebagai bukti atau dokumen budaya itu. Pertanyaan yang terakhir akan membahas hubungan antara artefak budayanya dan interpretasinya. Dunia membutuhkan interpretasi untuk dipahami, dibuat layak huni, dikuasai oleh orang – orang yang menempatinya. Seseorang sendiri mungkin menjadi bagian dari dunia, membuat interpretasi, memiliki ketertarikan, dan menjadi partisipan. Namun mereka membuat dunia mereka, membuat diri mereka sendiri dan perspektif mereka, melalui interpretasi mereka. Dengan cara ini, dunia sosial manusia adalah dunia yang dibuat oleh manusia, tergantung pada aktivitas manusia dan praktek simbolis untuk keberadaan mereka. Hubungan artefak dengan budayanya adalah dasar interpretasi. Interpretasi berfokus pada hubungan antara beberapa fakta yang belajar tentang artefak dan beberapa aspek kunci dari sistem nilai. Penelitian mengenai simbolisme budaya material dan konstruksi identitas orang Tionghoa berdasar pada penelitian lapangan, memotret batu nisan dan observasi. Selain itu, penelitian dilakukan dengan studi kepustakaan dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan orang Tionghoa dan orang Jawa yang asli dari Yogyakarta dan yang berhubungan dengan makam Gunung Sempu. Wawancara dengan orang Tionghoa terdiri dari pertanyaan mengenai biografi
mereka dan keluarga mereka, pengalaman kehidupan mereka dengan orang Jawa, agama dan tindakan berkoneksi dengan pemakaman. Di sisi lain, saya juga menambah orang Jawa sebagai informan yang memiliki hubungan dengan orang Tionghoa melalui pekerjaan atau pernikahan.