BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peranan yang sangat besar dari segi ekologi maupun sosial ekonomi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi menyebabkan implikasi meningkatnya berbagai kebutuhan termasuk pemanfaatan hutan secara masif. Kebutuhan hasil hutan baik berasal dari kayu maupun non kayu diakui semakin meningkat, berbanding lurus dengan meningkatnya pertumbuhan demografis yang tinggi. Tidak sedikit dari sebagian orang memanfaatkan lahan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan jangka pendek, sehingga keberlangsungan hutan yang seharusnya terjaga dengan baik, akan tetapi mengalami stagnasi, seperti halnya dominasi tanaman monokultur di area hutan dan pemanenan yang berlebih tanpa memperhatikan riap. Fenomena tersebut pernah terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2000 dimana populasi cendana (Santallum album Linn.) mengalami degradasi tegakan secara masif hingga 50% lebih selama kurun waktu 10 tahun (1987-1997) (Anonim., 2009b). Penurunan populasi dan produksi cendana disebabkan kendala teknis seperti : pemanenan berlebih, kebakaran dan penggembalaan ternak (Anonim., 2009a). Cendana merupakan jenis tanaman berkayu dari Famili Santalaceae yang tumbuh secara alami di daerah Kepulauan Nusa Tenggara Timur, dan
1
2
beberapa pulau lainnya. Cendana tergolong kayu tumbuhan mewah dimanakayu terasnya memiliki kandungan minyak atsiri antara 1,8% sampai 5% (Dirjosoemarto dan Hadi, 1981) sehingga sangat diminati banyak orang. Dalam laporannya, Wawo (2003) menyebutkan, perdagangan kayu cendana dari kawasan NTT (Timor, Sumba, Flores) telah berlangsung sejak sebelum kehadiran Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Saat itu cendana ditebang di habitat aslinya dan tidak ada upaya untuk pembudidayaan. Akibatnya populasi cendana perlahan-lahan mulai menurun hingga saat ini. Cendana di Indonesia baik berupa hutan alam maupun hutan tanaman banyak ditemui di beberapa daerah diantaranya daerah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Soeseno, 2001). Tahun 1968 cendana ditanam di Petak 5 Wanagama I Gunungkidul, pada perkembangannya (sekitar tahun 1976) telah nampak mulai ada permudaan alam. Permudaan ini semakin meluas dan bahkan telah mencapai Petak 6 dan lahan sekitarnya (Prianto dkk., 1987). Cendana semakin tersebar di luar area Petak 5 Wanagama I. Pada tahun 2005 ditemukan permudaan alam sekitar 206 batang semai dan 88 batang sapihan pada areal petak 5 bagian barat (Purwito,2005). Sedangkan pada tahun 2006 ditemukan permudaan alam sekitar 44 batang semai dan 3 batang sapihan dalam radius 1 kilometer arah Barat dan Barat Laut di luar Petak 5 WanagamaI Gunungkidul (Nugroho, 2006). Pada penelitian Widiyatmoko, (2007), mengatakan Indeks Nilai Penting cendana dalam radius 2 kilometer di luar Petak 5 diperoleh sebesar 9,40% yang diperoleh dari Kerapatan Relatif
3
5,63% dan nilai Frekuensi Relatif 3,77%, namun dalam pengamatan ditemukan permudaan alam cendana di luar petak ukur. Selain pernyataan tersebut menurut Ratnaningrum dan Indrioko (2013), keberadaan cendana di Gunungkidul, selain terdapat di Wanagama yang letaknya berada di Desa Banaran, Kecamatan Gading, tegakan cendana pada berbagai tingkat umur juga terdapat di beberapa lokasi yaitu Kawasan Wisata Gua Pindul (Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo), Kawasan Wisata Air Terjun Srigethuk 3 (Desa Bleberan, Kecamatan Playen), Pegunungan Kapur Nglanggeran (Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk) dan Desa Banyusoco (Kecamatan Playen). Tegakan cendana pada masing-masing lokasi ini memiliki karakteristik yang berbeda. Kesuksesan dalam membangun hutan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan metode pola campur agroforestri. Disamping dapat menjaga kelestarian suatu jenis, masyarakat juga dapat mengambil keuntungan materi berupa penghasilan tambahan guna menghidupi keluarga sehari-hari. Agroforestri merupakan salah satu pola tanam yang dapat digunakan dalam pelestarian hutan termasuk tanaman berbasis cendana yang bertujuan agar fungsi ekologis tetap terjaga juga kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat dapat meningkat ke arah yang lebih positif. Sejalan dengan apa yang dikatakan Nair (1993) bahwa agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama–sama atau bergiliran,
4
sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Lundgren dan Raintree (1982) dalam Hairiah dkk., (2003), agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem–sistem dan teknologi–teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Di Desa Petir, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul terdapat populasi cendana dengan pola agroforestri. Sehingga, inventarisasi dan penggalian informasi mengenai struktur dan komposisi populasi cendana pada pola agroforestri adalah penting untuk pelestarian dan pemanfaatan cendana secara optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dengan judul “Komposisi dan Kesesuaian Lahan Cendana pada Sistem Agroforestri di Desa Petir C Kecamatan Rongkop Gunungkidul”.
1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam penulisan skripsi ini, yakni: 1. Bagaimana komposisi jenis cendana pada sistem agroforestri di Desa Petir.
5
2. Bagaimana karakteristik dan potensi kelimpahan populasi cendana pada sistem agroforestri di Desa Petir. 3. Bagaimanakesesuaian lahan untuk cendana pada sistem agroforestri di Desa Petir
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui komposisi jenis cendana pada sistem agroforestri di Desa Petir. 2. Mengetahui karakteristik dan potensi kelimpahan populasi cendana pada sistem agroforestri di Desa Petir. 3. Mengetahui kesesuaian lahan untuk cendana pada sistem agroforestri di Desa Petir
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi awal dalam memulai penelitian berikutnya. Belum pernah ada instansi pemerintah atau akademisi yang melakukan penelitian di Dusun Petir C. Sehingga, berharap agar peneliti berikutnya dapat memberikan informasi yang lebih sempurna dan masyarakat di area tersebut mendapatkan manfaat terutama dalam hal bagaimana meningkatkan produktivitas lahan dengan menggunakan sistem agroforestri berbasis cendana.