BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Hidroklorotiazid (HCT) merupakan obat golongan diuretik tiazid yang umumnya digunakan sebagai lini pertama untuk penanganan hipertensi (Departemen Kesehatan RI, 2006). Obat ini bekerja pada ginjal dengan meningkatkan ekskresi air dan natrium sehingga curah jantung berkurang. Hal ini menyebabkan tekanan darah menjadi turun (Nugroho, 2012). Penggunaan HCT sebagai antihipertensi memiliki kelemahan, yaitu bioavailabilitas yang rendah sekitar 65-70% (Moffat dkk., 2011). HCT umumnya tersedia dalam bentuk sediaan tablet konvensional. Bentuk sediaan ini dapat menimbulkan permasalahan bagi pasien yang memiliki kesulitan menelan tablet. Resiko untuk menderita hipertensi pada populasi usia ≥ 55 tahun yang awalnya memiliki tekanan darah normal adalah 90% dan lebih dari 2/3 individu yang berusia >65 tahun mengalami hipertensi (Departemen Kesehatan RI, 2006). Fakta tersebut menunjukkan bahwa obat antihipertensi banyak dikonsumsi oleh geriatri. Kelompok pasien ini umumnya mengalami perubahan fisiologi dan kondisi neurologi yang menyebabkan kesulitan menelan, tremor tangan, dan memiliki resiko tersedak yang lebih tinggi (Pahwa dan Gupta, 2011). Berdasarkan alasan di atas, diperlukan sistem penghantaran obat lain yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu solusi yang dapat dilakukan, yaitu memformulasikan HCT dalam
1
2
bentuk sediaan fast disintegrating tablet (FDT). Menurut Allen dkk. (2011), FDT merupakan sediaan tablet yang didesain untuk terdisintegrasi dalam waktu kurang dari 1 menit ketika kontak dengan cairan saliva yang terbatas. Tablet yang terdisintegrasi cepat di dalam mulut akan segera melepaskan zat aktifnya. Zat aktif selanjutnya akan melarut atau terdispersi dalam cairan saliva. Selain itu, sejumlah bagian obat ada yang dapat diabsorpsi di daerah pregastric seperti mulut, faring, dan esofagus ketika saliva turun ke lambung sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas obat (Bhowmik dkk., 2009). FDT juga menawarkan kemudahan dalam penggunaannya, khususnya untuk pasien yang mengalami disfagia. Tablet cukup diletakkan di atas lidah yang akan segera hancur menjadi bentuk granul kecil kemudian melarut dalam saliva sehingga mudah ditelan (Fu dkk., 2004). Formulasi FDT dapat dilakukan dengan penambahan superdisintegrant yang dapat memfasilitasi hancurnya matriks tablet dengan cepat. Superdisintegrant dipilih karena daya disintegrasinya sangat baik dengan penambahan pada konsentrasi kecil (Sulaiman, 2007). Ada beberapa superdisintegrant yang dapat ditambahkan dalam pembuatan FDT, antara lain crospovidone (CP) dan croscarmellose sodium (CCS). CP sebagai bahan penghancur mempunyai mekanisme utama, yaitu penyerapan air (water wicking). Hal ini disebabkan struktur partikelnya yang sangat berpori sehingga dapat dengan cepat mengabsorpsi medium ke dalam tablet melalui aksi kapiler dan mempercepat waktu pembasahan. Selain itu, CP menunjukkan kompaktibilitas dan kompresibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan CCS (Battu dkk., 2007; Gohel dkk., 2007). CCS sebagai bahan penghancur mempunyai mekanisme utama, yaitu pengembangan (swelling).
3
CCS dapat mengembang 4-8 kali dari ukuran semula sehingga tablet dapat cepat terdisintegrasi (Guest, 2009). CCS konsentrasi 2% sudah dapat menghasilkan waktu disintegrasi yang optimum, sedangkan CP pada konsentrasi 5% (Zhang dkk., 2010). Penggabungan mekanisme dari CP dan CCS dapat meningkatkan kecepatan disintegrasi dan memperbaiki sifat fisik FDT HCT. Penelitian ini dilakukan untuk mengoptimasi
formula
FDT
HCT
dengan
menggunakan
kombinasi
superdisintegrant CP dan CCS yang kemudian dianalisis dengan menggunakan simplex lattice design.
Perumusan Masalah 1.
Bagaimana pengaruh kombinasi kadar superdisintegrant CP dan CCS terhadap sifat fisik kekerasan, kerapuhan, waktu disintegrasi, waktu pembasahan, rasio absorpsi air, dan disolusi FDT HCT?
2.
Pada perbandingan berapakah kombinasi superdisintegrant CP dan CCS menghasilkan FDT HCT dengan sifat fisik yang optimum?
Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui pengaruh kombinasi kadar superdisintegrant CP dan CCS terhadap sifat fisik kekerasan, kerapuhan, waktu disintegrasi, waktu pembasahan, rasio absorpsi air, dan disolusi FDT HCT.
2.
Memperoleh formula FDT yang memberikan sifat fisik optimum dengan menggunakan kombinasi superdisintegrant CP dan CCS.
4
Pentingnya Penelitian Penelitian ini dapat digunakan untuk memperoleh formula FDT HCT yang mempunyai sifat fisik optimum. Hal ini diharapkan dapat membantu meningkatkan efektifitas serta kenyamanan penggunaan HCT sebagai obat antihipertensi pada pasien geriatri.
Tinjauan Pustaka 1.
Fast disintegrating tablet (FDT) FDT merupakan sediaan tablet yang didesain untuk terdisintegrasi dalam waktu kurang dari 1 menit ketika kontak dengan cairan saliva yang terbatas (Allen dkk., 2011). Sementara British Pharmacopoeia (2014) mensyaratkan waktu disintegrasi FDT adalah kurang dari 3 menit. Teknologi FDT menawarkan kenyamanan penggunaan obat lebih baik terutama untuk pasien pediatrik dan geriatrik yang umumnya mengalami kesulitan dalam menelan tablet konvensional. FDT cukup diletakkan di atas lidah yang akan segera hancur menjadi bentuk granul kecil kemudian melarut dalam saliva sehingga mudah ditelan (Fu dkk., 2004). FDT dapat hancur dalam mulut dengan cairan saliva yang terbatas, tanpa membutuhkan air, dan tidak perlu dikunyah (Gandhi, 2012). Hal inilah yang akan mempermudah dan meningkatkan kepatuhan pasien pediatrik dan geriatrik dalam penggunaan obat. Tablet yang terdisintegrasi cepat di dalam mulut akan segera melepaskan zat aktifnya. Zat aktif selanjutnya akan terdisolusi atau terdispersi
5
dalam cairan saliva kemudian ditelan dan diabsorpsi sehingga onset obat akan meningkat. Beberapa zat aktif dapat diabsorpsi di daerah pregastric seperti mulut, faring, dan esofagus ketika saliva turun ke lambung sehingga bioavailabilitas obat akan meningkat (Bhowmik dkk., 2009). Menurut Gandhi (2012), FDT juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu terkait dengan bentuk sediaannya yang memiliki kekerasan yang lebih rendah dari tablet konvensional dan lebih rapuh sehingga diperlukan penanganan yang hati-hati. Selain itu, jika tidak diformulasikan dengan baik maka FDT dapat memberikan rasa yang tidak menyenangkan di mulut seperti sensasi berpasir (grittiness) ketika tablet terdisintegrasi di mulut. Menurut Gandhi (2012), ada beberapa kriteria ideal yang harus dipenuhi untuk FDT antara lain: a.
Tidak memerlukan air untuk terdisintegrasi atau terdispersi di mulut dan dapat segera terdisintegrasi dalam waktu beberapa detik dengan cairan saliva yang terbatas,
b.
Memberikan rasa yang menyenangkan di mulut (pleasant mouthfeel). Teknologi penutupan rasa yang ideal diharapkan mampu menghasilkan FDT yang memberikan mouthfeel yang baik dan tidak memberikan sensasi berpasir (grittiness),
c.
Memiliki kekerasan tablet yang optimal walaupun struktur tablet memiliki porositas yang tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk absorpsi air yang cepat ke dalam tablet. Dengan kekerasan yang optimal, tablet diharapkan tidak pecah atau rusak selama proses manufakturing,
6
d.
Sensitivitas yang rendah terhadap kondisi lingkungan terutama kelembaban,
e.
Dapat dibuat dengan metode pembuatan tablet yang konvensional serta mudah dikemas,
f.
Harus cost effective. Sejumlah teknik atau metode telah diterapkan untuk pembuatan tablet
jenis ini. Beberapa metode yang dapat digunakan antara lain : a.
Direct compression (Kempa langsung) Kempa langsung merupakan proses pembuatan tablet yang dilakukan dengan mengempa secara langsung campuran serbuk zat aktif dan eksipien yang sesuai tanpa dilakukan proses sebelumnya kecuali penimbangan dan pencampuran (Sulaiman, 2007). Pembuatan tablet FDT dengan metode kempa langsung merupakan teknik yang paling mudah dan cost effective karena cukup dengan menambahkan suatu superdisintegrant dan eksipien turunan gula kemudian dikempa (Pahwa dan Gupta, 2011). Penggunaan eksipien turunan gula seperti manitol, sorbitol, maltiol, dan xylitol dapat memberikan kelarutan yang baik dalam air dan memberikan rasa manis yang menyenangkan di dalam mulut (Bhowmik dkk., 2009). Metode ini mengharuskan bahan-bahan yang digunakan memiliki sifat alir dan kompresibilitas yang tinggi (Gohel dkk., 2007) sehingga diharapkan serbuk akan mengalir dengan seragam ke dalam lubang kempa dan dihasilkan tablet dengan komposisi yang seragam.
7
b.
Freeze drying (Liofilisasi) Liofilisasi merupakan teknik pembuatan tablet dimana air disublimasikan dari produk setelah didinginkan sehingga menghasilkan struktur yang sangat berpori dan dapat terdisintegrasi dengan cepat. Metode ini cocok digunakan untuk bahan yang tidak tahan panas karena proses pengeringannya tanpa menggunakan panas (Fu dkk., 2004).
c.
Molding Pada
metode
molding,
campuran
serbuk
pertama-tama
dibasahkan terlebih dahulu dengan hidroalkoholik solven kemudian dikempa dengan tekanan rendah menjadi massa yang basah. Selanjutnya solven yang mudah menguap tersebut dihilangkan dengan air drying (Gandhi, 2012). d.
Cotton candy process Pembuatan FDT dengan metode ini dilakukan dengan membentuk matriks polisakarida melalui teknik pelelehan dan putaran cepat sehingga diperoleh candy floss matrix yang selanjutnya dicampur dengan zat aktif dan eksipien lain. Matriks kemudian dikompres menjadi tablet (Gandhi, 2012; Deepak dkk., 2012).
2.
Superdisintegrant Superdisintegrant merupakan suatu eksipien yang berfungsi sebagai bahan penghancur dalam formulasi tablet. Bahan penghancur akan membantu hancurnya tablet menjadi granul selanjutnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil agar memudahkan suatu zat aktif terdisolusi ketika kontak dengan
8
cairan. Superdisintegrant hanya dibutuhkan dalam konsentrasi kecil, biasanya 1-10% dari bobot total tablet untuk menghasilkan efek disintegrasi yang cepat (Pahwa dan Gupta, 2011). Beberapa superdisintegrant yang sering digunakan dalam pembuatan FDT antara lain: sodium starch glycolate, croscarmellose sodium, dan crospovidone (Deepak dkk., 2012). Aksi superdisintegrant dalam menghancurkan tablet ada beberapa mekanisme, yaitu : a.
Pengembangan (swelling) Swelling
merupakan
mekanisme
umum
kebanyakan
superdisintegrant. Ketika tablet kontak dengan air maka bahan penghancur yang ada di dalam tablet akan mengembang akibatnya partikel penyusun lainnya akan terdesak dan kemudian tablet hancur (Mohanachandran dkk., 2011). Tablet dengan struktur pori yang besar maka waktu disintegrasinya semakin lama karena pengembangan yang terjadi tidak cukup kuat untuk mendesak partikel lainnya (Gandhi, 2012). Mekanisme swelling ditunjukkan pada Gambar 1.
Tablet
Superdisintegrant kontak dengan air kemudian mengembang
Superdisintegrant yang mengembang mendesak partikel penyusun lain sehingga tablet hancur
Gambar 1. Mekanisme swelling (Gandhi, 2012)
9
b.
Penyerapan air melalui aksi kapiler (wicking) Tablet yang merupakan hasil pengempaan granul atau serbuk memiliki pori-pori kapiler (Sulaiman, 2007). Ketika tablet kontak dengan air maka air berpenetrasi ke dalam tablet melalui pori-pori kapiler ini dan melemahkan ikatan antarpartikel penyusun tablet sehingga tablet hancur (Mohanachandran dkk., 2011). Mekanisme wicking ditunjukkan pada Gambar 2.
Air berpenetrasi ke dalam tablet melalui pori-pori kapiler
Tablet dengan pori-pori kapiler
Penetrasi air melemahkan ikatan antarpartikel penyusun tablet sehingga tablet hancur
Gambar 2. Mekanisme wicking (Gandhi, 2012)
Kecepatan penyerapan tablet dipengaruhi oleh hidrofilisitas dari eksipien. Eksipien yang bersifat hidrofilik akan mempercepat penyerapan air. Selain itu, kecepatan penyerapan juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan struktur porous dari tablet sehingga saluran hidrofilik (hydrophilic channels) yang akan dilalui cairan semakin banyak (Gandhi, 2012). c.
Perubahan bentuk (deformation) Proses pengempaan tablet akan merubah bentuk partikel superdisintegrant. Ketika tablet kontak dengan air maka partikel superdisintegrant ini akan kembali ke bentuk asalnya seperti sebelum
10
pengempaan. Akibatnya partikel penyusun tablet lainnya akan terdesak sehingga menyebabkan tablet terdisintegrasi (Gandhi, 2012). Mekanisme deformation ditunjukkan pada Gambar 3.
Superdisintegrant mengalami perubahan bentuk akibat pengempaan tablet
Tablet kontak dengan air sehingga superdisintegrant kembali ke bentuk asal sebelum pengempaan
Deformation menyebabkan partikel penyusun tablet lainnya terdesak sehingga tablet hancur
Gambar 3. Mekanisme deformation (Gandhi, 2012)
3.
Parameter sifat fisik FDT Beberapa parameter sifat fisik tablet perlu diketahui untuk menjamin kualitas tablet, antara lain : a.
Keseragaman sediaan Keseragaman sediaan didefinisikan sebagai derajat keseragaman jumlah zat aktif dalam satuan sediaan. Menurut Farmakope Indonesia (2014), keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari 2 metode, yaitu keseragaman bobot dan keseragaman kandungan. Tablet dengan kandungan zat aktif lebih kecil dari 25 mg atau 25% dari bobot total tablet maka keseragaman sediaan perlu dilakukan dengan uji keseragaman kandungan. Uji keseragaman kandungan dilakukan dengan penetapan kadar masing-masing kandungan zat aktif dalam satuan sediaan untuk menjamin bahwa kandungan zat aktif dalam tiap tablet
11
terletak dalam batasan yang ditentukan. Persyaratan keseragaman kandungan pada sediaan tablet dipenuhi jika nilai penerimaan (NP) dari 10 tablet yang diuji lebih kecil atau sama dengan 15. b.
Kekerasan tablet Kekerasan
merupakan
parameter
yang
menggambarkan
ketahanan tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan dan benturan. Faktor yang mempengaruhi kekerasan tablet adalah tekanan kompresi dan sifat bahan yang akan dikempa. Semakin besar tekanan yang diberikan saat penabletan akan meningkatkan kekerasan tablet. Penambahan bahan pengikat juga akan meningkatkan kekerasan tablet meskipun tekanan kompresinya sama. Kekerasan FDT yang baik adalah 3-5 kg/cm2 (Panigrahi dan Behera, 2010). c.
Kerapuhan tablet Kerapuhan merupakan parameter yang menggambarkan kekuatan permukaan tablet dalam melawan berbagai perlakuan yang menyebabkan abrasi pada permukaan tablet. Uji kerapuhan berhubungan dengan kehilangan bobot akibat abrasi yang terjadi pada permukaan tablet. Semakin besar nilai persentase kerapuhan maka semakin besar massa tablet yang hilang (Sulaiman, 2007). Menurut Allen dkk. (2011), tablet dianggap baik bila persen kerapuhan tidak lebih dari 1 %.
d.
Waktu disintegrasi Waktu disintegrasi merupakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur menjadi granul atau partikel-partikel penyusunnya yang lebih
12
halus. Allen dkk. (2011) menyebutkan bahwa FDT setidaknya memiliki waktu disintegrasi kurang dari 1 menit sementara British Pharmacopoiea (2014) mensyaratkan waktu disintegrasi FDT tidak lebih dari 3 menit. e.
Waktu pembasahan Waktu pembasahan digunakan untuk mengetahui seberapa cepat FDT dapat menyerap air, dimana kecepatan penyerapan air ini akan mempengaruhi kecepatan disintegrasi tablet. Semakin cepat waktu pembasahan tablet maka semakin cepat waktu disintegrasinya (Gohel dkk., 2007).
f.
Rasio absorpsi air Rasio absorpsi air merupakan parameter untuk mengetahui kemampuan tablet menyerap dan menampung air di dalam matriksnya. Semakin besar rasio absorpsi air suatu tablet maka semakin besar jumlah air yang dapat ditampung dalam matriks tablet. Hal ini berarti akan meningkatkan tekanan hidrostatik sehingga tablet cepat terdisintegrasi (Battu dkk., 2007). Uji ini dilakukan dengan menggunakan serangkaian alat uji daya serap air seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4, tablet diletakkan diatas kertas saring yang telah dijenuhkan pada daerah A. Tablet akan menyerap air yang berarti air pada botol penampung di atas neraca analitik (daerah B) berkurang. Berkurangnya bobot air di atas neraca analitik inilah yang nantinya dihitung sebagai bobot air yang diserap tablet (Soebagyo dkk., 2013).
13
STOK
Keran TABLET
A
Penyangga Penyangga
B Neraca Analitik
Gambar 4. Skema rangkaian alat uji rasio absorpsi air (Soebagyo dkk., 2013)
g.
Disolusi Disolusi adalah proses melarutnya zat aktif (bahan obat) dalam sediaan obat ke dalam suatu medium. Setelah kontak dengan cairan badan, mula-mula tablet akan mengalami proses disintegrasi, yaitu hancurnya tablet menjadi granul/agregat, lalu diteruskan dengan deagregasi yang berupa hancurnya agregat menjadi partikel penyusunnya (Fudholi, 2013). Disolusi sering merupakan faktor penentu proses absorpsi obat dalam tubuh manusia, terutama apabila zat aktif tersebut mempunyai kelarutan yang kecil. Kecepatan disolusi obat dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik (Fudholi, 2013). Suatu obat untuk dapat diabsorpsi maka harus dapat terlarut dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Adanya peningkatan kecepatan disolusi maka diharapkan bioavailabilitas obat juga akan meningkat (Sulaiman, 2007).
14
4.
Simplex lattice design Model simplex lattice design (SLD) merupakan salah satu model aplikasi yang paling sederhana yang biasa digunakan untuk optimasi campuran dalam bahan sediaan padat, semipadat, atau optimasi pelarut baik untuk campuran biner atau lebih. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan proporsi relatif bahan-bahan yang digunakan dalam suatu formula sehingga diharapkan akan didapatkan formula yang paling baik sesuai kriteria yang ditentukan (Kurniawan dan Sulaiman, 2013). Implementasi dari simplex lattice design dengan menyiapkan berbagai macam formula yang mengandung konsentrasi berbeda dari beberapa bahan. Konsentrasi komponen-komponen penyusun berbeda tetapi jumlah totalnya harus sama untuk tiap formula. Hasil eksperimen digunakan untuk membuat persamaan polinomial (simplex), dimana persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi respon (Bolton dan Bon, 2010). Persamaan simplex lattice design ditunjukkan pada persamaan (1)
Y = a(A) + b(B) + ab(A)(B) ....................................................................... (1) Keterangan dari persamaan (1) : Y = respon atau efek yang dihasilkan a,b,ab = koefisien yang dapat dihitung dari hasil percobaan (A) dan (B) = fraksi komponen, dengan jumlah (A) + (B) harus satu bagian
Hasil persamaan dari percobaan merupakan suatu persamaan empiris yang sekiranya dapat menggambarkan pola respon dalam suatu ruang simplex (Bolton dan Bon, 2010).
15
Gambar 5. Simplex lattice design model linier (Armstrong dan James, 1996) Keterangan : Kurva 1 = kurva melengkung ke atas, interaksi positif Kurva 2 = kurva linier, tidak ada interaksi Kurva 3 = kurva melengkung ke bawah, interkasi negatif A dan B = fraksi komponen ; Angka 50% menunjukkan titik tersebut terdiri dari fraksi komponen A 50% dan B 50%
Kurva simplex lattice design 2 komponen ditunjukkan pada Gambar 5. Kurva 1 pada gambar di atas menunjukkan adanya interaksi yang positif, yaitu masing-masing komponen saling mendukung, kurva 2 menunjukkan bahwa tidak ada interaksi, yaitu masing-masing komponen tidak saling mempengaruhi, sedangkan kurva 3 menunjukkan bahwa adanya interaksi negatif, yaitu masing-masing komponen saling meniadakan respon (Armstrong dan James, 1996). 5.
Monografi bahan a.
Hidroklorotiazid Hidroklorotiazid
(HCT)
memiliki
rumus
molekul
C7H8ClN3O4S2 dengan nama kimia 6-Chloro-3,4-dihydro-2H-1,2,4benzothiadiazine-7-sulphonamide 1,1-dioxide. HCT berbentuk serbuk berwarna putih dengan berat molekul 297,7. HCT bersifat sangat sukar larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (96%) , larut dalam
16
aseton,
dan mudah
larut
dalam larutan
natrium
hidroksida
(Departement of Health, 2014). Struktur molekul HCT ditunjukkan pada Gambar 6.
Cl
H N
S
S
O NH H2N O
O
O
Gambar 6. Struktur molekul hidroklorortiazid (Moffat dkk., 2011)
HCT merupakan obat golongan diuretik tiazid yang beraksi menghambat co-transporter Na+/Cl- pada tubulus distal sehingga menghambat reabsorpsi Na+ dan Cl- yang menyebabkan peningkatan ekskresi air dan natrium. Kondisi ini menyebabkan curah jantung berkurang dan tekanan darah menjadi turun. HCT termasuk obat lini pertama untuk penanganan hipertensi yang digunakan untuk kasus hipertensi ringan sampai sedang (Departemen Kesehatan RI, 2006). HCT juga dapat digunakan untuk menurunkan oedema pada pasien gagal jantung, penyakit ginjal, dan hati. HCT tergolong dalam BCS kelas 3 yang memiliki kelarutan baik dan permeabilitas rendah (WHO, 2005). Kelarutannya dalam air murni sebesar 0,7 mg/mL (Trivedi dkk., 2011). Titik leburnya cukup tinggi yaitu 2730-2750C. Bioavailabilitas oral HCT sekitar 65-70% (Moffat dkk., 2011). Efek diuresis muncul 2 jam setelah pemberian obat
17
dan mencapai maksimal setelah 4 jam. HCT diberikan secara oral dengan dosis pemakaian untuk hipertensi sebesar 12,5 mg sekali dalam sehari dan dapat ditingkatkan hingga 25-50 mg dalam sehari. Dosis pemakaian untuk menurunkan oedema sebesar 25 mg - 100 mg dalam sehari. Sediaan yang sudah ada di pasaran Indonesia yaitu HCT dalam bentuk tablet dan tablet salut selaput, baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi (MIMS, 2013). b.
Crospovidone Crospovidone (CP) merupakan homopolimer sintetik dari crosslinked N-vinyl-2-pyrrolidone. Pemeriannya berupa serbuk halus, putih sampai putih kekuningan, mudah mengalir, praktis tidak berasa, dan tidak berbau. CP tidak larut dalam air tetapi bersifat sangat hidrofilik. Struktur molekul CP ditunjukkan pada Gambar 7.
N C H
O C H2
n
Gambar 7. Struktur molekul crospovidone (Kibbe, 2009) Keterangan : Jumlah n > 1.000.000
Semakin besar ukuran partikel CP, porositas per partikelnya semakin besar dan saluran hidrofilik (hydrophilic channels) semakin
18
banyak sehingga penyerapan air melalu aksi kapiler (wicking) semakin cepat (Shah dan Augburger, 2001; Battu dkk., 2007). Hal ini akan mempercepat waktu pembasahan tablet dan menyebabkan tablet semakin cepat terdisintegrasi (Gohel dkk., 2007). Dalam formulasi tablet, CP banyak digunakan sebagai superdisintegrant dengan konsentrasi antara 2-5% untuk metode granulasi basah, granulasi kering, dan kempa langsung. CP juga dapat digunakan untuk meningkatkan kecepatan disolusi obat yang kelarutannya rendah (Kibbe, 2009). c.
Croscarmellose sodium Croscarmellose sodium (CCS) merupakan carboxymethyl cellulose yang mempunyai crosslinked internal. Pemeriannya berupa serbuk putih sampai putih keabu-abuan dan tidak berbau. CCS sebagai bahan penghancur mempunyai mekanisme ganda yaitu penyerapan air (water wicking) dan pengembangan (swelling) sehingga tablet dapat terdisintegrasi semakin cepat. CCS dapat mengembang 4-8 kali dari ukuran semula. Dalam formulasi tablet, CCS umumnya digunakan dalam konsentrasi 0,5-5% dan biasanya pada metode kempa langsung cukup digunakan konsentrasi 2% (Guest, 2009). Penggunaan pada konsentrasi lebih dari 5% dapat memperlama waktu disintegrasi dikarenakan adanya pembentukan gel. Menurut penelitian yang dilakukan Gohel dkk. (2007), CCS menunjukkan kompaktibilitas dan kompresibilitas
19
yang kurang baik jika dibandingkan CP. Struktur molekul CCS ditunjukkan pada Gambar 8.
O ONa O
O ONa
O
OH
O
OH
OH O
O OH
OH
O OH
OH
OH
O
O OH
O
crosslinked
O
O O
ONa
O O NaO
O O
O
OH
OH
OH O OH
OH
O
O OH
O OH
O
O
OH
OH OH
O NaO O
n
Gambar 8. Struktur molekul croscarmellose sodium (Guest, 2009) Keterangan : Crosslinked internal berupa ester karboksilat
d.
Microcrystalline cellulose PH 102 Microcrystalline cellulose (MCC) merupakan eksipien yang biasanya digunakan sebagai filler-binder dengan konsentrasi 20-90% b/b. Pemeriannya berupa serbuk berwarna putih dengan bentuk partikel yang berpori, tidak berasa, dan tidak berbau (Guy, 2009). MCC biasanya digunakan pada pembuatan tablet dengan metode kempa langsung karena ukuran partikel dan kandungan airnya telah dirancang untuk digunakan sebagai filler-binder untuk metode kempa langsung. MCC PH 102 memiliki ukuran partikel dengan diameter rata-rata 100 μm yang berguna dalam meningkatkan sifat aliran campuran bahan.
20
Selain itu, MCC PH 102 memiliki kandungan air sekitar 5% yang dapat memperbaiki kompresibilitas massa granul (Agoes, 2008). MCC stabil walaupun bersifat higroskopis dan harus disimpan pada wadah yang tertutup rapat dengan suhu yang sejuk ditempat kering (Guy, 2009). e.
Manitol Manitol atau sering disebut D-manitol berbentuk serbuk kristal berwarna putih dan tidak berbau. Manitol digunakan secara luas dalam formulasi sediaan obat dan makanan. Dalam bidang farmasi, manitol biasa digunakan sebagai bahan pengisi dan pemanis. Manitol memiliki rasa manis dengan tingkat kemanisan setara dengan glukosa dan setengah dari tingkat kemanisan sukrosa serta menimbulkan efek dingin (cooling sensation) di dalam mulut (Armstrong, 2009).
f.
Sukralosa (dalam Tropicana slim®) Sukralosa merupakan eksipien yang biasanya digunakan sebagai bahan pemanis dalam formulasi sediaan obat dengan konsentrasi 0,03-0,24% b/b. Tingkat kemanisan sukralosa sekitar 3001000 kali lebih manis dari sukrosa. Pemeriannya berupa serbuk kristal berwarna putih dan memiliki sifat alir yang baik (Langdon dan Mullarney, 2009).
g.
Cab-O-Sil® Cab-O-Sil® merupakan produk merk dagang dari Wacker Chemicals yang komponen penyusunnya silikon dioksida dalam bentuk
21
koloid. Pemeriannya berupa serbuk amorf dengan ukuran partikel ratarata sekitar 15 nm , tidak berbau, dan tidak berasa. Cab-O-Sil® biasa digunakan sebagai glidan dan antiadherent dalam formulasi sediaan obat dengan konsentrasi 0,1-1% b/b (Hapgood, 2009). h.
PEG 6000 PEG atau polietilen glikol merupakan polimer dari etilen dioksida. PEG memiliki beberapa jenis diantaranya PEG 400, PEG 1500, PEG 4000, PEG 6000, dan PEG 8000. Angka yang mengikuti PEG menunjukkan rata-rata bobot molekul dari polimer tersebut. PEG dengan bobot molekul sekitar 200-600 biasanya berupa cairan, sedangkan PEG dengan bobot molekul diatas 1000 biasanya berbentuk padatan. PEG bersifat hidrofilik sehingga mudah larut dalam air. Pada formulasi sediaan tablet, PEG biasa digunakan sebagai lubrikan (Wallick, 2009). Landasan Teori
HCT merupakan obat golongan diuretik tiazid yang digunakan sebagai lini pertama untuk penanganan hipertensi ringan sampai sedang (Departemen Kesehatan RI, 2006). HCT dalam bentuk sediaan FDT akan memberikan kemudahan dalam penggunannya dan bioavailabilitas yang lebih baik dengan mempercepat waktu disintegrasi dan disolusinya sehingga obat dapat diabsorpsi di daerah pregastric (Bhowmik dkk., 2009; Fu dkk., 2004). Pembuatan FDT HCT untuk menghasilkan FDT yang memenuhi kriteria dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
kombinasi
superdisintegrant.
22
Superdisintegrant umumnya digunakan pada konsentrasi 1-10% dari bobot total tablet untuk menghasilkan efek disintegrasi yang cepat (Pahwa dan Gupta, 2011). Crospovidone (CP) memiliki aksi penyerapan air (water wicking) yang dominan dan efek pembentukan gel yang kecil (Kibbe, 2009). Bentuk struktur yang sangat berpori dari CP dapat mempercepat waktu disintegrasi karena banyaknya saluran hidrofilik (hydrophilic channels). Hydrophilic channels menyebabkan terjadinya penyerapan air melalui aksi kapiler (wicking) sehingga tablet semakin cepat terbasahi dan kemudian terdisintegrasi (Shah dan Augsburger, 2001; Battu dkk., 2007). Menurut Kibbe (2009), CP juga dapat digunakan untuk meningkatkan kecepatan disolusi obat yang kelarutannya rendah. Croscarmellose sodium (CCS) sebagai bahan penghancur mempunyai mekanisme utama yaitu pengembangan (swelling). CCS dapat mengembang 4-8 kali dari ukuran semula sehingga menyebabkan tablet dapat terdisintegrasi semakin cepat (Guest, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan Zhang dkk. (2010), penggunaan tunggal CCS optimum digunakan pada konsentrasi 2%, sedangkan CP pada konsentrasi 5%. Namun, CCS menunjukkan kompaktibilitas dan kompresibilitas yang kurang baik jika dibandingkan CP (Gohel dkk., 2007). Menurut penelitian yang dilakukan Thulluru dkk. (2012), kombinasi superdisintegrant CP-CCS 2,5 : 2,5% pada FDT ibuprofen menghasilkan FDT dengan sifat fisik yang lebih baik daripada penggunaan tunggal CP dan CCS. Mekanisme dari CP dan CCS dapat saling melengkapi, CP melalui aksi kapiler (wicking action) dan CCS dengan mekanisme pengembangan (swelling) menyebabkan tablet cepat terbasahi dan terdisintegrasi (Gohel dkk.,
2007).
23
Penggunaan konsentrasi optimum pada kombinasi superdisintegrant CP-CCS dapat menghasilkan FDT dengan sifat fisik optimum yang memenuhi persyaratan. Hipotesis 1.
Penggunaan kombinasi superdisintegrant CP-CCS pada konsentrasi 1-10% dapat mempengaruhi sifat fisik FDT HCT. Semakin tinggi proporsi CP dapat mempercepat waktu pembasahan, waktu disintegrasi, dan disolusi tablet, sedangkan penggunaan CCS pada proporsi tinggi dapat menurunkan respon kekerasan, meningkatkan respon kerapuhan dan rasio absorpsi air.
2.
Kombinasi CP-CCS 5% : 2% terhadap bobot total tablet diperkirakan mampu memberikan respon sifat fisik yang optimum pada FDT HCT.