BAB I PENDAHULUAN
Uraian pada bab ini diawali dengan latar belakang masalah yang menguraikan tentang hasil penelitian kinerja judgment auditor dari perspektif keperilakuan dan kognitif. Selanjutnya, bagian pertanyaan dan tujuan penelitian menguraikan tentang peran penting metoda pembelajaran terhadap kinerja judgment auditor dan argumen tersebut didasarkan pada teori pembelajaran kognitif. Sub bab motivasi penelitian dan kontribusi menjelaskan secara ringkas peranan metoda pembelajaran dalam mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik. Bagian ini diakhiri dengan sistematika penelitian yang menjelaskan secara ringkas isi setiap bab dalam disertasi ini.
1.1. Latar Belakang Masalah Isu penting pada penelitian kinerja judgment auditor adalah kesesuaian antara struktur kognitif (cognitive) auditor - sebagai pembuat judgment - dengan persyaratan kognitif penugasan audit. Kesesuaian tersebut mengimplikasikan bahwa auditor seharusnya memiliki pengetahuan sesuai dengan persyaratan penugasan (Libby dan Frederick, 1990; Libby dan Tan, 1994; Borthick dkk., 2006). Berbasis pengetahuannya, prediksi auditor atas suatu kejadian hanya didasarkan pada informasi atau petunjuk yang relevan dengan kejadian tersebut (Hogarth, 1980). Sebagai konsekuensi, kesesuaian tersebut akan mengoptimalkan kinerja judgment auditor (Hogarth, 1980) melalui proses judgment yang efektif dan efisien (Libby dan Frederick, 1990; Libby dan Tan, 1994). Pada konteks yang lebih luas, kesesuaian tersebut juga menunjukkan ketepatan dalam memodelkan kinerja judgment auditor. Sebagai ilustrasi, Libby (1995) berpendapat bahwa kinerja judgment auditor ditentukan oleh empat faktor yaitu kemampuan (ability), 1
pengetahuan, motivasi, dan lingkungan. Dengan demikian, keempat faktor tersebut merupakan pembentuk model kinerja judgment auditor. Meskipun tidak selengkap model Libby (1995), Bonner dan Lewis (1990) serta Libby dan Tan (1994) telah menguji secara empiris model kinerja judgment auditor tersebut. Bonner dan Lewis (1990) menguji peranan pengetahuan dan kemampuan terhadap kinerja judgment auditor. Selanjutnya berdasarkan temuan Bonner dan Lewis (1990), Libby dan Tan (1994) menyertakan peranan pengalaman sebagai anteseden pengetahuan, sehingga kinerja judgment auditor ditentukan oleh tiga faktor yaitu pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan. Perkembangan penelitian tentang kinerja judgment auditor sampai saat ini dapat dibagi menjadi dua aliran yaitu teori keperilakuan (behavioral theory) dan teori kognitif (cognitive theory). Keduanya menggunakan pendekatan yang berbeda dalam memodelkan kinerja judgment auditor, sehingga pendekatan tersebut berefek pada perbedaan tujuan pembelajaran penugasan audit. Teori keperilakuan memfokuskan pada peran penting pengalaman dalam mengoptimalkan kinerja judgment auditor, misalkan Libby (1985), Tubbs (1992), Davis (1996), Waller dan Felix (1984), Choo dan Trotman (1991), Libby dan Frederick (1990), serta Lehman dan Norman (2006). Berbeda dengan teori keperilakuan, teori kognitif memfokuskan pada peranan pengetahuan terhadap kinerja judgment auditor, misalkan penelitian Libby dan Tan (1994). Teori keperilakuan memproksikan pengalaman dengan lama waktu (tahun) bekerja sebagai auditor (Bédard, 1989). Menurut Bédard (1989), tujuan pembelajaran dari pengalaman adalah konsistensi perilaku auditor dalam menetapkan judgment, karena teori keperilakuan memandang penting keluaran sebagai pengukur kinerja judgment auditor. Lebih lanjut Bédard (1989) menyatakan bahwa konsistensi perilaku ditunjukkan dengan kesamaan dalam memproses judgment, seperti: kesamaan cara dan strategi dalam mengidentifikasi, mengorganisir, membobot, dan mengkombinasikan petunjuk. Dengan demikian, antar auditor 2
berpengalaman diharapkan memiliki kesamaan dalam memproses judgment dan hal itu ditunjukkan dengan tingkat konsensus yang tinggi antar auditor. Semakin tinggi konsensus antar auditor menunjukkan semakin tinggi kinerja judgment auditor tersebut. Pengalaman dari penugasan sebelumnya membentuk struktur kognitif auditor, oleh sebab itu, pengalaman tersebut digunakan sebagai acuan auditor dalam mendeteksi salah saji pada statemen keuangan (Tubbs, 1992; Waller dan Felix, 1984). Dengan kata lain, pengalaman akan meningkatkan kemampuan auditor dalam mengorganisir petunjuk, mengintegrasikan memori, dan
menetapkan strategi untuk menyelesaikan penugasannya
(Choo dan Trotman, 1991; Libby dan Frederick, 1990; Lehman dan Norman, 2006; Waller dan Felix, 1984). Proses judgment auditor berpengalaman lebih efisien dibandingkan dengan auditor tidak berpengalaman, karena masalah pengauditan dianalisis secara sistematik dan lebih ringkas (Lehman dan Norman, 2006). Meski begitu, penelitian tentang peranan pengalaman terhadap kinerja belum menghasilkan bukti empiris yang konklusif. Libby dan Luft (1993) serta Libby (1995) menyatakan bahwa pengalaman yang diukur dari lama bekerja sebagai auditor tidak meningkatkan kinerja auditor. Demikian pula dengan Chung dan Monreo (2000) dan Moroney dan Carey (2011) mengungkapkan bahwa pengalaman tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja auditor. Menurut Wittrock (2010), individu cenderung mempersepsikan serta mengartikan suatu objek konsisten dengan pengalaman dari penugasan sebelumnya. Konsistensi tersebut didorong oleh tingginya keyakinan auditor terhadap pengalamannya (Chung dan Monreo, 2000). Sebagai konsekuensi, meskipun karakteristik lingkungan pada penugasan saat ini berbeda dengan penugasan sebelumnya, auditor menetapkan judgment yang sama berdasarkan pengalaman dari penugasan sebelumnya (Jeffrey, 1992). Sebagai implikasi, pengalaman mendorong auditor memiliki keyakinan tinggi atas memorinya (Tan, 1995). Keyakinan mendorong keputusan auditor didasarkan pada 3
persepsinya dan rasionalitas berbatasnya (bounded rationality) (Moeckel, 1990; Andersen dan Malleta, 1994). Ketika auditor memiliki perasaan familiar terhadap suatu penugasan, maka auditor memiliki kecenderungan menetapkan risiko audit yang lebih rendah dan hanya memfokuskan pada bukti-bukti yang mendukung persepsinya (Chung dan Monroe, 2000). Berdasarkan ketidakkonsistenan hubungan kedua peubah (variable) tersebut, maka perkembangan selanjutnya model kinerja judgment auditor didasarkan pada teori kognitif. Teori tersebut mengasumsikan individu bertindak aktif dalam melaksanakan penugasannya (Shuell, 1986). Menurut Shuell (1986), perilaku aktif tersebut ditunjukkan dengan upaya individu memilih dan menyeleksi setiap petunjuk dari lingkungan penugasannya, meskipun individu tersebut tidak memiliki gambaran tentang petunjuk yang tepat sebagai dasar pembuatan judgment-nya. Shuell (1986) dan Bédard (1989) menyatakan bahwa paradigma teori kognitif memfokuskan pada peran penting pengetahuan terhadap kinerja judgment auditor. Dengan demikian, tujuan pembelajaran atas penugasan audit adalah pemerolehan pengetahuan sebagai dasar judgment auditor. Sejauh ini terdapat dua penelitian berbasis paradigma kognitif yaitu Bonner dan Lewis (1990) dan Libby dan Tan (1994). Sebagai contoh, Bonner dan Lewis (1990) membandingkan kinerja antara manager, auditor senior, dan mahasiswa pada penugasan analisis manipulasi laba. Hasil pengujian mengungkapkan bahwa kinerja manager tidak signifikan berbeda dengan kinerja mahasiswa pada penugasan tersebut. Bahkan kinerja auditor senior lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa. Menurut Bonner dan Lewis (1990), pengalaman tidak dapat mengoptimalkan kinerja auditor, sehingga auditor berpengalaman tidak selalu memiliki kinerja yang superior (Libby dan Luft, 1993). Bonner dan Lewis (1990) menyimpulkan dua hal berkaitan dengan hasil pengujian pengetahuan dengan kinerja judgment auditor. Pertama, variansi kinerja antar auditor lebih tepat dijelaskan dari paradigma pengetahuan dibandingkan dengan paradigma pengalaman. 4
Kedua, setiap penugasan audit mensyaratkan pengetahuan berbeda-beda. Pernyataan tersebut didukung oleh Libby dan Tan (1994) bahwa setiap penugasan audit mensyaratkan struktur kognitif berbeda-beda, karena setiap penugasan mensyaratkan pengetahuan dengan tingkat kompleksitas yang berbeda-beda pula. Libby dan Tan (1994) lebih lanjut menyatakan bahwa perbedaan persyaratan setiap penugasan audit melatarbelakangi kebutuhan terhadap pengetahuan spesifik. Perbedaan persyaratan tersebut mengindikasikan perbedaan atribut atau perlakuan (Abdolmohammadi, 1999). Menurut Hogarth (1980), akurasi judgment ditentukan oleh kemampuan pembuat judgment memilih informasi atau petunjuk yang relevan dengan kejadian yang diprediksi. Dengan demikian, penguasaan pengetahuan spesifik menunjukkan tingkat kesesuaian antara struktur pengetahuan auditor dengan persyaratan penugasan audit (Libby dan Tan, 1994; Borthick dkk., 2006; Libby dan Frederick, 1990; Vera-Muñoz dkk., 2001). Selanjutnya, kepemilikan pengetahuan spesifik mengoptimalkan kinerja auditor (Libby dan Tan, 1994). Apabila setiap penugasan audit memiliki persyaratan struktur kognitif berbeda-beda, maka tidak setiap pengetahuan relevan untuk setiap penugasan audit (Libby dan Luft, 1993). Variasi karakteristik penugasan audit berpengaruh terhadap variasi persyaratan pengetahuan yang harus dimiliki auditor dalam pelaksanaan penugasan tersebut (Libby dan Luft, 1993). Chang dkk. (1997) juga mengungkapkan kinerja berkorelasi negatif dengan kompleksitas penugasan, karena semakin kompleks penugasan mensyaratkan pengetahuan yang semakin kompleks pula. Sebagai konsekuensi, menurut Libby dan Tan (1994), adanya perbedaan karakteristik penugasan audit menunjukkan bahwa besaran hubungan pengalaman, pengetahuan, dan kinerja tidak sama untuk setiap penugasan. Kepemilikan pengetahuan spesifik oleh auditor juga menunjukkan kepemilikan auditor atas suatu kompetensi pada penugasan audit tertentu (Libby dan Frederick, 1990; Libby dan Tan, 1994; Bédard, 1989; Fuller dan Kaplan, 2004; Libby dan Luft, 1993; Bonner, 5
1990; Wright, 2001; Vera-Muñoz dkk., 2001; O’Donnell, 2002; dan Rose, 2007). Kompetensi menunjukkan spesialisasi auditor terhadap domain atau area tertentu (Libby dan Luft, 1993; Bédard, 1989; Shoommuangpak, 2007). Di satu sisi, setiap kompetensi memiliki perbedaan dalam pengorganisasian pengetahuan serta pemrosesan informasi (Bédard, 1989). Di sisi lain, Bédard (1989) menyatakan bahwa profesi auditor mensyaratkan kepemilikan kompetensi khusus oleh auditor. Dengan demikian, kompetisi juga mengisyaratkan bahwa auditor seharusnya memiliki keahlian. Bonner dan Lewis (1990), Libby dan Tan (1994), dan Bédard dan Chi (1993) juga menyatakan bahwa seorang auditor dikatakan berkeahlian apabila auditor tersebut berpengetahuan spesifik. Terlebih Bonner dkk. (1992) menyatakan bahwa pada umumnya auditor hanya memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang salah saji yang seringkali terjadi pada laporan keuangan. Bentuk pengalaman dan pengetahuan tersebut menunjukkan penggunaan persepsi dan rasional berbatas auditor pada penugasan saat ini (Moeckel, 1990; Andersen dan Malleta, 1994). Padahal meski berpengalaman, auditor memiliki keterbatasan atas pengalaman tentang salah saji laporan keuangan (Ashton, 1991). Dengan kata lain, penguasaan pengetahuan spesifik oleh auditor mengindikasikan kemampuan kognitif auditor atas suatu penugasan audit tertentu (Libby, 1995) dan auditor tidak berkesempatan memperoleh pengetahuan dari penugasan spesifik tanpa pengalaman penugasan spesifik (Moroney dan Carey, 2011). Demikian pula dengan pendapat Bonner dan Walker (1994), auditor seharusnya memiliki pengetahuan prosedural agar dapat bertindak profesional. Menurut Bonner dkk. (1992), apabila auditor hanya mampu memprediksi frekuensi kemungkinan salah saji pada penugasan saat ini, maka auditor tersebut tidak memiliki pengetahuan prosedural 1. Oleh sebab itu, selain kemampuan memprediksi salah saji, auditor seharusnya memiliki
1
Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang tahapan-tahapan pelaksanaan penugasan audit yang hanya diperoleh dari pengalaman sebagai auditor profesional (Bonner dan Walker, 1994).
6
pemahaman terhadap sebab akibat salah saji pada statemen keuangan sebagai indikasi kepemilikannya atas pengetahuan prosedural (Bonner dkk., 1992). Masalah utama dalam pemerolehan pengetahuan spesifik adalah bahwa setiap penugasan audit memiliki karakteristik berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap pengetahuan spesifik mensyaratkan metoda pembelajaran berbeda-beda. Jika setiap pengetahuan memiliki tingkat kompleksitas berbeda-beda, maka tingkat kompleksitas tersebut mempengaruhi cara pembelajarannya (Libby dan Tan, 1994). Padahal setiap penugasan audit mensyaratkan pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan yang berbeda pula (Libby dan Tan, 1994). Sebagai contoh, Abdolmohammadi dan Wright (1987) dan Abdolmohammadi (1999) menyatakan bahwa karakteristik penugasan audit bergantung pada persyaratan kognitif. Libby dan Tan (1994) menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran dan persyaratan kognitif menentukan karakteristik penugasan audit. Berbeda dengan Libby dan Tan (1994), menurut Leung dan Trotman (2005 dan 2008) bahwa karakteristik penugasan audit ditentukan oleh jenis bukti atau petunjuk sebagai dasar judgment. Selanjutnya, Hirst dkk. (1999) dan Hirst dan Luckett (1992) menyatakan bahwa karakteristik penugasan audit ditentukan oleh jumlah petunjuk sebagai dasar judgment. Secara umum penugasan audit dikategorikan menjadi dua yaitu penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur. Kedua kategori tersebut merujuk pada penelitian Abdolmohammadi dan Wright (1987), Abdolmohammadi (1999), dan Libby dan Tan (1994) bahwa persyaratan kognitif menentukan karakteristik penugasan audit. Perbedaan persyaratan kognitif juga mengindikasikan adanya perbedaan pemrosesan dalam pelaksanaan kedua penugasan tersebut (Libby dan Tan, 1994). Pernyataan Libby (1995) dan Borthick dkk. (2006) juga dapat digunakan sebagai dukungan atas pentingnya kesesuaian antara kognitif auditor dengan penugasan audit. Libby (1995) dan Borthick dkk. (2006) menyatakan bahwa struktur pengetahuan auditor 7
menentukan tingkat keakuratan kinerja auditor dalam pelaksanaan penugasan audit. Dengan kata lain, tingkat kesesuaian struktur pengetahuan auditor dengan penugasannya menentukan tingkat kinerja auditor. Menurut Earley (2002), jika auditor tidak memiliki pengetahuan spesifik, maka auditor akan berperilaku salah satu dari dua kemungkinan berikut yaitu tidak termotivasi memperoleh bukti atau beranggapan memiliki pengalaman cukup dalam melaksanakan penugasan audit. Kedua perilaku tersebut tentu saja akan mempengaruhi keakuratan judgment melalui kesalahan pemilihan bukti atau petunjuk sebagai dasar prediksi. Oleh sebab itu, Bonner (1990), Bonner dan Lewis (1990), Libby dan Tan (1994), serta Bédard dan Chi (1993) menyatakan bahwa auditor berpengetahuan spesifik adalah auditor berpengetahuan sesuai penugasan dan pengetahuan tersebut diperoleh dari pengalaman spesifik. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan bukti empiris Rose (2007), Vera-Muñoz dkk. (2001), dan Wright (2001), pengalaman spesifik sebagai upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik.
1.2. Pertanyaan Penelitian Pengetahuan spesifik merupakan sentral dari model kinerja judgment auditor, karena penguasaan pengetahuan spesifik merupakan faktor penting dalam mengoptimalkan kinerja judgment auditor (Libby dan Frederick, 1990; Libby dan Tan, 1994; Bédard, 1989; Fuller dan Kaplan, 2004; Libby dan Luft, 1993; Bonner, 1990; Wright, 2001; Vera-Muñoz dkk., 2001; O’Donnell, 2002; Borthick dkk., 2006; Rose, 2007; serta Moroney dan Carey, 2011). Berbasis pernyataan tersebut, isu penting penelitian ini tidak hanya pemerolehan pengetahuan spesifik, tetapi penelitian ini berupaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik. Upaya mengoptimalkan kinerja judgment auditor bergantung pada pemerolehan pengetahuan spesifik yang optimal pula.
8
Penelitian ini menggunakan teori pembelajaran kognitif (cognitive learning theory) sebagai dasar argumen atas pentingnya upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik. Teori pembelajaran kognitif menyatakan bahwa pembelajaran seharusnya merupakan usaha memahami objek yang dipelajari melalui strategi pembelajaran (Shuell, 1986). Menurut Shuell (1986), teori pembelajaran kognitif mengasumsikan pembelajaran merupakan proses aktif, oleh karenanya, pembelajaran bertujuan mengorganisir aktivitas mental pembelajar (learner) untuk memahami penugasan audit. Pemahaman merujuk pada usaha atau strategi dalam mengorganisir informasi sebagai dasar pembuatan judgment, sehingga pembelajaran menyempurnakan penugasan berikutnya (Shuell, 1986; Batkoska dan Koseska, 2012). Pemahaman tersebut diperoleh melalui dua faktor yaitu kemampuan mendaur ulang (recycling) informasi pada memori jangka pendek dan kemampuan mengintegrasikan pengetahuan saat ini dengan pengetahuan sebelumnya (Batkoska dan Koseska, 2012). Selanjutnya, menurut Wittrock (2010) serta Batkoska dan Koseska (2012), informasi tersebut disimpan dan ditransfer ke dalam memori jangka panjang berbasis konsep. Oleh karenanya, strategi pembelajaran seharusnya mendorong pembelajar memiliki aktivitas mental sesuai penugasan audit. Marchant (1990) dan Shanteau (1993) juga memandang penting faktor pelatihan sebagai bagian penting dari pengetahuan spesifik. Marchant (1990) berargumen bahwa definisi keahlian seharusnya tidak hanya berkutat pada pengetahuan spesifik, tetapi lebih dari itu, keahlian mencakup pula upaya melalui pelatihan dan pembelajaran dalam pemerolehan pengetahuan spesifik. Oleh karenanya, menurut Bédard (1989), pembelajaran yang bertujuan mengubah struktur kognitif auditor akan menghasilkan auditor berkeahlian, karena auditor berkeahlian adalah auditor berpengetahuan sesuai penugasannya. Shanteau (1993) menambahkan bahwa keahlian bukan sekedar penguasaan pengetahuan, tetapi keahlian mencakup kemampuan membedakan informasi yang relevan 9
dan tidak relevan dengan penugasan melalui pelatihan dan pembelajaran. Ho dan Rodgers (1993) juga berargumen bahwa kemampuan kognitif auditor dapat diketahui dari kapasitas memorinya. Kapasitas tersebut menunjukkan informasi yang disimpan, ditelusur kembali, dan selanjutnya ditransformasi sebagai dasar judgment. Penggunaan teori pembelajaran kognitif pada penelitian ini didasarkan pernyataan Libby (1995) dan Abdolmohammadi dan Wright (1987) bahwa perbedaan karakteristik penugasan audit menunjukkan adanya variasi kesempatan pembelajaran bagi auditor. Secara empiris Borthick dkk. (2006) mengungkapkan bahwa kesesuaian struktur pengetahuan auditor dengan struktur penugasan hanya dapat dicapai melalui pelatihan yang mempertimbangkan struktur penugasan. Dengan demikian, jika setiap penugasan audit mensyaratkan struktur kognitif berbeda, maka pemahaman setiap karakteristik penugasan audit dibutuhkan metoda pembelajaran yang berbeda pula (Libby dan Tan, 1994). Selain alasan karakteristik penugasan, penggunaan teori pembelajaran kognitif juga dilatar belakangi oleh efek pengalaman terhadap tingkat keyakinan auditor dan penggunaan rasional berbatas auditor dalam proses judgment-nya (Tan, 1995; Moeckel, 1990; Andersen dan Maleta, 1994). Libby (1995) juga menyatakan bahwa memori dan pengetahuan yang diperoleh dari penugasan sebelumnya berakibat pada ketidakakuratan judgment auditor. Oleh sebab itu, menurut Libby (1995), serangkaian pengalaman auditor menunjukkan serangkaian penugasan audit yang telah dilaksanakan oleh auditor. Libby (1995) menyimpulkan bahwa struktur pengetahuan auditor mencerminkan struktur pengalamannya, sebab variasi pengetahuan auditor menunjukkan variasi penugasan yang telah dilaksanakan oleh auditor. Libby (1995) mendefinisikan pengalaman dalam arti yang sempit yaitu sebagai praktik pelaksanaan penugasan atau dalam arti yang luas sebagai kesempatan pembelajaran. Sebagai implikasi, auditor akan memiliki pengetahuan spesifik sesuai penugasannya, apabila penugasan sebelumnya memberikan kesempatan pembelajaran bagi auditor. Sebagai ilustrasi, 10
Bonner dkk. (1992) menyatakan bahwa ketika auditor menggunakan ekspektasi dan persepsinya dalam melaksanakan penugasannya, maka pelaksanaan penugasan di masa lalu tidak mendorong proses pembelajaran pengetahuan spesifik penugasan tersebut. Lebih lanjut, menurut Bonner dan Walker (1994), pelaksanaan penugasan atau pengalaman bukan merupakan pembelajaran bagi auditor, apabila pengalaman dari penugasan sebelumnya tidak meningkatkan kesesuaian kognitif auditor dengan penugasannya. Dengan demikian, teori pembelajaran kognitif merupakan fondasi penting mengoptimalkan kinerja judgment auditor. Penelitian ini menggunakan metoda learning by doing dalam upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik penugasan audit. Metoda learning by doing adalah pembelajaran melalui pelaksanaan praktik penugasan audit atau pelatihan penugasan audit dan dilanjutkan dengan pembelajaran dari feedback. Bonner dan Walker (1994), Earley (2001 dan 2003), serta Earley dkk. (1990) menyatakan bahwa pemberian feedback setelah praktik penugasan mengindikasikan auditor menerima telaah atas hasil judgment-nya. Informasi atau telaah dalam feedback membantu auditor memahami suatu penugasan (Bédard, 1989; Frederiksen, 1984; Seong dan Bisantz, 2008), sebab feedback meningkatkan penalaran auditor (Earley, 2003). Dengan demikian, pemberian feedback merupakan metoda pembelajaran yang efisien dan efektif bagi auditor (Bonner dan Walker, 1994; Earley, 2001 dan 2003; Earley dkk., 1990). Meski hasil penelitian sebelumnya telah mengungkapkan manfaat feedback dalam pemerolehan pengetahuan prosedural (Bonner dan Walker, 1994; Earley, 2001 dan 2003; Earley dkk., 1990). Namun, penelitian sebelumnya belum mempertimbangkan adanya perbedaan karakteristik penugasan audit yang mengimplikasikan kebutuhan auditor terhadap pengetahuan spesifik yang berbeda pula. Setiap penugasan memiliki struktur pengetahuan yang berbeda-beda (Abdolmohammadi, 1999) dan penguasaan struktur pengetahuan sesuai penugasan akan mengoptimalkan kinerja auditor (Borthick dkk., 2006; Fuller dan Kaplan, 11
2004; serta Libby dan Luft, 1993). Dengan demikian, pemahaman terhadap karakteristik penugasan audit menunjukkan upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik. Penelitian ini mengacu pada kategori penugasan audit oleh Libby dan Tan (1994) yaitu penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur. Penugasan audit terstruktur mensyaratkan kognitif yang lebih sederhana dibandingkan dengan penugasan audit tidak terstruktur. Penugasan audit terstruktur tidak memiliki banyak alternatif petunjuk sebagai solusi. Selain itu, penugasan audit terstruktur memiliki lingkungan pembelajaran yang lebih tinggi dibandingkan penugasan audit tidak terstruktur. Lingkungan pembelajaran yang tinggi pada penugasan audit terstruktur menunjukkan auditor mudah memahami penugasan tersebut. Teori pembelajaran kognitif menjadi dasar penting dalam penelitian ini, karena pemahaman atas karakteristik penugasan audit terstruktur ataupun tidak terstruktur akan mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik kedua penugasan tersebut. Dengan kata lain, karakteristik feedback sebagai bagian dari metoda learning by doing seharusnya sesuai dengan karakteristik proses judgment pada kedua penugasan audit tersebut. Kesesuaian karakteristik keduanya akan mengoptimalkan kinerja melalui pemerolehan pengetahuan spesifik yang optimal pula. Menurut Cano (2005), perbedaan pendekatan pembelajaran akan menghasilkan keluaran yang berbeda-beda pula. Bonner dan Walker (1994) juga menyatakan bahwa pemberian feedback seharusnya akurat, lengkap, dan informatif agar pengetahuan prosedural auditor meningkat. Argumen tersebut didasarkan pada perbedaan karakteristik informasi atau petunjuk dalam setiap jenis feedback. Diperkuat oleh pernyataan Earley (2001dan 2003) bahwa setiap jenis feedback mensyaratkan tingkat penalaran dan usaha kognitif berbeda-beda. Demikian pula dengan Leung dan Trotman (2005 dan 2008) telah membuktikan bahwa setiap jenis feedback tidak memiliki manfaat yang sama dalam pemrosesan informasi atau bukti.
12
Penelitian ini menggunakan dua jenis feedback yaitu outcome feedback dan explanatory feedback sebagai sarana pembelajaran penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur. Outcome feedback adalah feedback yang berisi jawaban dari penugasan, sedangkan explanatory feedback merupakan feedback yang berisi jawaban disertai dengan penjelasan atau penalaran dari jawaban tersebut (Bonner dan Walker, 1994; Earley, 2001 dan 2003; Hirst dkk., 1999; Hirst dan Luckett, 1992; Moroney dan Carey, 2011). Tentu saja, telaah outcome feedback lebih sederhana dibandingkan dengan telaah explanatory feedback. Alasan utama penggunaan kedua jenis feedback: outcome dan explanatory adalah upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur melalui strategi pembelajaran yang tepat. Lingkungan pembelajaran yang tinggi dan persyaratan kognitif yang tidak kompleks merupakan karakteristik utama penugasan audit terstruktur. Karakteristik tersebut kontras dengan penugasan audit tidak terstruktur yaitu terdapat berbagai alternatif petunjuk untuk dipertimbangkan sebagai solusi, sehingga penugasan tersebut membutuhkan struktur kognitif yang lebih kompleks. Mengacu pada perbedaan persyaratan kognitif kedua penugasan tersebut, maka tentu saja proses judgment dalam pelaksanaan kedua penugasan tersebut berbeda pula. Secara umum Hirst dan Luckett (1992) menyatakan bahwa akurasi judgment ditentukan oleh dua hal yaitu sistem kognitif pembuat judgment dan lingkungan penugasan. Pembuat judgment memprediksi suatu kejadian berdasarkan sejumlah petunjuk, sedangkan suatu penugasan memiliki berbagai alternatif petunjuk atau informasi yang menggambar kejadian tersebut. Pembuat judgment seharusnya memiliki gambaran (baca: ekspektasi atau persepsi) yang tepat tentang petunjuk atau informasi sebagai dasar prediksi atas suatu kejadian. Dengan kata lain, kesesuaian gambaran tersebut dengan petunjuk atau kriteria kejadian akan berefek pada keakuratan judgment.
13
Sebagai contoh, pembuat judgment mempersepsikan bahwa ukuran likuiditas adalah aktiva lancar / hutang lancar dan persepsi tersebut menggambarkan struktur kognitif pembuat judgment. Apabila pembuat judgment mempersepsikan rasio tertentu sebagai petunjuk atau informasi yang tepat dan relevan dalam memprediksi likuiditas suatu perusahaan, maka pembuat judgment akan menggunakan rasio tersebut pada penugasan saat ini. Faktanya, pembuat judgment akan menghadapi berbagai macam petunjuk sebagai pengukur likuiditas perusahaan. Meski begitu, tidak seluruh petunjuk relevan sebagai pengukur tingkat likuiditas perusahaan. Dengan demikian, ketepatan pembuat judgment memilih petunjuk dalam prediksi suatu kejadian bergantung pada persepsinya dari penugasan sebelumnya. Berkaitan dengan peran penting feedback dalam proses judgment, maka feedback berfungsi menurunkan kesenjangan antara kedua sisi tersebut. Feedback menyediakan telaah terhadap pelaksanaan proses judgment. Oleh sebab itu, feedback diberikan auditor setelah auditor melaksanakan praktik penugasan (Bonner dan Walker, 1994). Dengan demikian, terjadinya kesenjangan tersebut dikaitkan dengan persyaratan struktur kognitif dalam pelaksanaan penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur. Pada pelaksanaan penugasan audit terstruktur, ketidakakuratan judgment auditor kemungkinan disebabkan oleh ketidaksesuaian kognitif auditor dengan kriteria kejadian. Mengingat penugasan tersebut tidak memiliki banyak alternatif solusi. Auditor dimungkinkan memiliki persepsi atau gambaran petunjuk yang tidak sesuai dengan penugasan. Dengan kata lain, meskipun penugasan audit terstruktur tidak mensyaratkan kognitif yang kompleks, auditor kemungkinan memiliki struktur pengetahuan yang tidak sesuai dengan persyaratan penugasan tersebut. Telaah dari outcome feedback memadai untuk mengatasi kesenjangan pada sisi auditor, karena auditor hanya membutuhkan konfirmasi atas keakuratan judgmentnya. Persyaratan struktur kognitif yang tidak kompleks dapat dicapai dari pembelajaran dengan outcome feedback. 14
Sebaliknya, telaah dari explanatory feedback menurunkan kesenjangan pada kedua sisi yaitu kognitif auditor dan lingkungan penugasan. Telaah dari explanatory feedback lebih kompleks dibandingkan dengan outcome feedback. Explanatory feedback tidak hanya menyajikan jawaban atas judgment, tetapi telaah mencakup pula alasan atas jawaban tersebut sebagai dasar pemrosesan judgment. Telaah explanatory feedback memadai untuk memenuhi struktur kognitif yang disyaratkan penugasan audit tidak terstruktur. Di satu sisi, lingkungan penugasan tersebut memiliki banyak alternatif petunjuk sebagai solusi. Di sisi lain, auditor dimungkinkan memiliki persepsi yang tidak sesuai dengan penugasan tentang petunjuk yang relevan sebagai dasar prediksi. Dengan demikian, telaah berupa alasan atau penalaran atas judgment yang benar dari explanatory feedback memberikan solusi terhadap masalah pemilihan petunjuk. Selanjutnya, auditor memperoleh konfirmasi atas keakuratan judgmentnya melalui telaah berupa jawaban dari explanatory feedback. Mengacu pada teori pembelajaran kognitif, pengujian pada penelitian ini difokuskan pada upaya mengungkapkan jenis feedback yang paling optimal dalam pemerolehan pengetahuan spesifik dan kinerja pada penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur. Penelitian ini akan membandingkan capaian pengetahuan spesifik dan kinerja atas penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur dari pembelajaran dengan kedua jenis feedback tersebut. Jika suatu strategi pembelajaran dapat mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik atas penugasan audit terstruktur ataupun tidak terstruktur, maka strategi tersebut akan mengoptimalkan pula kinerja pada kedua jenis penugasan audit tersebut. Mengingat karakteristik penugasan audit terstruktur, maka pembelajaran dengan outcome feedback lebih optimal dibandingkan pembelajaran dengan explanatory feedback. Telaah dalam bentuk jawaban pada outcome feedback cukup memadai untuk meningkatkan penalaran auditor. Penugasan tersebut tidak mensyaratkan kognitif yang kompleks, karena
15
auditor hanya menghadapi sedikit petunjuk sebagai dasar prediksi. Dengan demikian, telaah dari outcome feedback berfungsi menjaga struktur kognitif auditor sesuai penugasannya. Sebaliknya, pembelajaran penugasan audit tidak terstruktur lebih optimal menggunakan
explanatory feedback. Telaah atas penugasan ini seharusnya lebih detail,
karena penugasan tersebut menyediakan berbagai alternatif sebagai dasar prediksi. Oleh karena auditor menghadapi banyak petunjuk sebagai dasar prediksi, maka telaah dari explanatory feedback diharapkan menurunkan kesenjangan dari kedua sisi. Di satu sisi, auditor memperoleh konfirmasi atas keakuratan judgment-nya, sedangkan di sisi lain, lingkungan pembelajaran penugasan audit tidak terstruktur menjadi lebih sederhana sebagai efek dari telaah berbentuk penalaran. Mengingat kesesuaian karakteristik penugasan audit dengan karakteristik feedback akan menurunkan kesenjangan dalam pemrosesan judgment, maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Apakah subjek yang menerima outcome feedback memiliki tingkat pengetahuan spesifik penugasan audit terstruktur lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang menerima explanatory feedback?
2.
Apakah subjek yang menerima explanatory feedback memiliki tingkat pengetahuan spesifik penugasan audit tidak terstruktur lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang menerima outcome feedback?
3.
Apakah subjek yang memperoleh pengetahuan spesifik penugasan audit terstruktur dari outcome feedback memiliki kinerja atas penugasan audit terstruktur lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang memperoleh pengetahuan spesifik penugasan audit terstruktur dari explanatory feedback?
4.
Apakah subjek yang memperoleh pengetahuan spesifik penugasan audit tidak terstruktur dari explanatory feedback memiliki kinerja atas penugasan audit tidak 16
terstruktur lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang memperoleh pengetahuan spesifik penugasan audit tidak terstruktur dari outcome feedback?
1.3. Tujuan Penelitian Pada konteks kinerja judgment auditor, tingkat pemahaman auditor terhadap penugasan audit ditunjukkan dengan kesesuaian antara struktur pengetahuan auditor dengan persyaratan penugasan audit (Borthick dkk., 2006; Fuller dan Kaplan, 2004; Libby dan Luft, 1993; Libby, 1995). Di sisi lain, pengetahuan spesifik merupakan pengetahuan sesuai penugasan (Libby dan Tan, 1994). Dengan demikian, semakin tinggi pengetahuan spesifik auditor menunjukkan semakin tinggi kesesuaian struktur kognitif auditor dengan persyaratan penugasan audit. Teori pembelajaran kognitif memandang penting strategi pembelajaran untuk mengoptimalkan pemahaman terhadap suatu penugasan (Shuell, 1986). Ketepatan strategi pembelajaran atas suatu penugasan akan mengoptimalkan kinerja judgment auditor (Borthick dkk., 2006). Berbasis argumen tersebut, metoda pembelajaran berperan penting dalam mengoptimalkan pemahaman auditor atas suatu penugasan audit. Pemahaman auditor menunjukkan kesesuaian antara struktur kognitif auditor dengan persyaratan kognitif penugasan audit, sehingga auditor memilih petunjuk sesuai penugasannya (Hogarth, 1980). Mengingat metoda pembelajaran berperan penting dalam mengoptimalkan kinerja judgment, maka penelitian ini bertujuan mendapatkan bukti empiris berkaitan dengan: 1.
Perbedaan tingkat pemerolehan pengetahuan spesifik penugasan audit terstruktur dari pembelajaran melalui outcome feedback dan explanatory feedback.
2.
Perbedaan tingkat pemerolehan pengetahuan spesifik penugasan audit tidak terstruktur dari pembelajaran melalui outcome feedback dan explanatory feedback.
3.
Perbedaan kinerja penugasan audit terstruktur antara pembelajaran penugasan audit terstruktur dari outcome feedback dengan pembelajaran dari explanatory feedback. 17
4.
Perbedaan kinerja penugasan audit tidak terstruktur antara pembelajaran penugasan audit tidak terstruktur dari outcome feedback dengan pembelajaran dari explanatory feedback.
1.4. Motivasi Penelitian Penelitian ini dimotivasi oleh tiga hal yaitu peran penting pengetahuan spesifik terhadap kinerja judgment auditor, peran penting ketepatan metoda pembelajaran dalam menurunkan kesenjangan struktur kognitif auditor dalam memproses judgment, dan efek tekanan dari lingkungan terhadap kebutuhan metoda pembelajaran yang mengoptimalkan kinerja judgment auditor. Argumen atas ketiga motivasi tersebut dijelaskan pada uraian berikut: 1.
Pada awalnya, penelitian tentang kinerja judgment auditor mengacu pada teori keperilakuan (Libby, 1985; Tubbs, 1992; Davis, 1996; Waller dan Felix, 1984; Choo dan Trotman, 1991; Libby dan Frederick, 1990; serta Lehman dan Norman, 2006). Hakikat dari pendekatan tersebut adalah bahwa auditor diharapkan belajar dari pengalaman. Manifestasi pembelajaran dalam konteks tersebut adalah konsistensi perilaku auditor dalam proses judgment, sehingga auditor menghasilkan keluaran sesuai penugasan sebelumnya. Oleh karena paradigma tersebut menganggap keluaran merupakan ukuran keakuratan judgment, sehingga stabilitas atau konsensus judgment antar auditor berpengalaman menjadi ukuran kinerja auditor (Bédard, 1989). Dengan demikian, pengalaman merupakan anteseden kinerja judgment auditor. Namun, sebagai konsekuensi dari konsistensi perilaku auditor adalah pengalaman tidak meningkatkan kinerja, tetapi pengalaman meningkatkan keyakinan auditor (Moeckel, 1990; Jeffrey, 1992; Andersen dan Malleta, 1994; Bonner dan Lewis, 1990; Tan, 1995; Chung dan Monroe, 2000; Wittrock, 2010) Akibatnya, auditor menggunakan persepsi, ekspektasi, dan rasional berbatasnya yang dibentuk dari pengalaman sebelumnya untuk 18
melaksanakan penugasan saat ini (Moeckel, 1990; Andersen dan Malleta, 1994). Selanjutnya, penelitian tentang kinerja judgment auditor mendasarkan pada teori kognitif. Teori tersebut menekankan pada peran penting pengetahuan terhadap kinerja auditor (Bonner dan Lewis, 1990; Libby dan Tan, 1994). Individu diasumsikan bertindak aktif dengan memilih petunjuk sebagai dasar judgment, meskipun individu tersebut tidak memiliki gambaran tentang petunjuk yang tepat sebagai dasar judgmentnya (Shuell, 1986). Hasil pengujian Bonner dan Lewis (1990), Libby dan Tan (1994), serta Borthick dkk. (2006) mengungkapkan bahwa setiap penugasan audit mensyaratkan struktur pengetahuan yang berbeda-beda, sehingga struktur kognitif auditor seharusnya sesuai dengan persyaratan kognitif suatu penugasan. Bukti empiris tersebut
mengisyaratkan
kebutuhan
terhadap
pengetahuan
spesifik
untuk
mengoptimalkan kinerja judgment auditor. Auditor berpengetahuan spesifik memiliki kinerja judgment yang lebih baik (Bonner, 1990; Vera-Muñoz dkk., 2001; Wright, 2001; O’Donnel, 2002). Rose (2007) menyatakan bahwa auditor dengan pengalaman pengauditan umum (general audit experience) tidak mampu mendeteksi terjadinya kecurangan potensial dalam pelaporan keuangan, karena auditor tersebut memiliki tingkat skeptisma yang rendah dan kurang agresif dalam mendapatkan bukti sebagai dasar judgment pada penugasan saat ini. Temuan tersebut mengimplikasikan bahwa upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik setiap penugasan audit mensyaratkan metoda pembelajaran berbeda pula. Selain argumen struktur kognitif, kebutuhan terhadap pengetahuan spesifik dilandasi pula adanya efek pengetahuan dan memori auditor dari penugasan sebelumnya terhadap kinerja judgment auditor (Ashton, 1991; Libby, 1995). Moeckel (1990) dan Tan (1995) mengungkapkan bahwa auditor berpengalaman melakukan kesalahan dalam proses rekaulang (reconstructive) informasi, karena proses judgment atau pola pikir auditor tersebut dibentuk dari 19
penugasan sebelumnya. Menurut Wittrock (2010), judgment dengan karakteristik tersebut cenderung konsisten dengan persepsi yang dibangun dari pengalaman sebelumnya, sedangkan konsistensi menunjukkan adanya kesenjangan kognitif auditor dengan penugasannya (Earley, 2002). 2.
Penelitian Bonner dan Walker (1994) menggunakan metoda learning by doing dalam pemerolehan pengetahuan prosedural bagi auditor yunior. Metoda tersebut mencakup pelaksanaan praktik penugasan dan diikuti dengan telaah dari feedback. Penelitian Bonner dan Walker (1994) memfokuskan pada usaha mengungkapkan perbedaan karakteristik outcome feedback dengan explanatory feedback. Upaya tersebut dilakukan dengan cara: (1) mengkombinasikan antara salah satu kedua jenis feedback dengan salah satu dari kedua jenis instruksi yaitu understanding rules dan how to rules, (2) pembelajaran dengan salah satu jenis feedback, dan (3) pembelajaran dengan salah satu jenis instruksi tersebut. Selain Bonner dan Walker (1994), hasil penelitian Leung danTrotman (2005 dan 2008) mengungkapkan bahwa setiap jenis feedback memiliki peran berbeda dalam menurunkan kesalahan auditor mengintegrasikan bukti audit. Earley (2001 dan 2003) mengungkapkan setiap jenis feedback memiliki pengaruh berbeda-berbeda terhadap penalaran auditor. Berbeda dengan beberapa penelitian tersebut, penelitan ini mempertimbangkan karakteristik penugasan audit untuk mengoptimalkan peranan feedback sebagai metoda pembelajaran. Libby dan Tan (1994) menyatakan bahwa penugasan audit dikategorikan menjadi dua yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Keduanya mensyaratkan tingkat kognitif berbeda, sehingga keduanya mensyaratkan kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan yang berbeda pula. Selain pernyataan Libby dan Tan (1994), penelitian ini mengacu pada teori pembelajaran kognitif bahwa pembelajaran bertujuan memahami objek yang dipelajari melalui strategi pembelajaran. Dengan demikian, penelitian ini menekankan pada peran 20
penting strategi pembelajaran untuk memahami penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur. Tingkat pemahaman ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan spesifik atas kedua penugasan tersebut. Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan dua jenis feedback: outcome feedback dan explanatory feedback sebagai upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik dan pencapaian kinerja atas penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur. Kedua jenis feedback memiliki peranan yang berbeda dalam menurunkan kesenjangan atas pelaksanaan kedua jenis penugasan audit. Hirst dan Luckett (1992) menyatakan bahwa akurasi judgment auditor ditentukan oleh struktur kognitif auditor sebagai pembuat judgment dengan petunjuk atau informasi sebagai dasar prediksi. Ketepatan pembuat judgment memilih petunjuk dalam prediksi suatu kejadian bergantung pada gambaran atau persepsinya (Hirst dan Luckett, 1992; Hogarth, 1980). Outcome feedback mengatasi kesenjangan pada sisi pembuat judgment, karena pelaksanaan penugasan audit terstruktur tidak menghadapi banyak alternatif petunjuk sebagai dasar prediksi. Sebaliknya, telaah dari explanatory feedback diharapkan menurunkan kesenjangan pada kedua sisi tersebut, karena pelaksanaan penugasan audit tidak terstruktur menghadapi banyak alternatif petunjuk sebagai dasar prediksi dan auditor kemungkinan memiliki persepsi berbeda atas petunjuk yang relevan dalam penugasan. 3.
Secara empiris telah diungkapkan bahwa faktor lingkungan, seperti tekanan tengat waktu (time deadline pressure) (Kelley dkk., 1999) dan tekanan anggaran waktu (time budget pressure) (Liyanarachchi dan McNamara, 2007; Pierce dan Sweeney, 2004) berefek negatif pada kinerja judgment auditor. Survey Liyanarachchi dan McNamara (2007) mengungkapkan bahwa di Australia terjadi peningkatan persaingan antar KAP (Kantor Akuntan Publik). Para KAP berusaha menurunkan fee audit untuk memenangkan persaingan tersebut. Sebagai konsekuensi, KAP terdorong untuk 21
meningkatkan efisiensi pada proses pengauditan, misalkan mengabaikan prosedur penting dalam pengauditan atau auditor membawa pulang pekerjaannya. Persaingan berefek terhadap kinerja judgment auditor, meskipun aturan atau standar menuntut auditor
mempertahankan
mutu
pengauditan
dengan
melaksanakan
prosedur
pengauditan yang sesuai dengan standar kodifikasi (Liyanarachchi dan McNamara, 2007). Bukti empiris lainnya oleh Chang dkk. (1997) mengungkapkan bahwa kinerja berkorelasi negatif dengan kompleksitas penugasan, karena semakin kompleks penugasan mensyaratkan pengetahuan semakin kompleks pula. Auditor juga memiliki keterbatasan atas pengalaman tentang salah saji laporan keuangan (Ashton, 1991). Pada kedua kondisi tersebut diatas, teori pembelajaran kognitif sangat relevan, karena KAP akan menggunakan metoda pembelajaran yang tepat sebagai upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik. Dengan demikian, penguasaan pengetahuan spesifik akan mendorong auditor melaksanakan proses audit lebih efisien tanpa menurunkan kinerja judgment auditor. Di satu sisi, kepemilikan pengetahuan spesifik oleh auditor juga menunjukkan kompetensi auditor atas penugasan audit (Libby dan Frederick, 1990; Libby dan Tan, 1994; Bédard, 1989; Fuller dan Kaplan, 2004; Libby dan Luft, 1993; Bonner, 1990; Wright, 2001; Vera-Muñoz dkk., 2001; O’Donnell, 2002; dan Rose, 2007). Di sisi lain, Bédard (1989) juga menyatakan bahwa profesi auditor mensyaratkan
auditor
memiliki
kompetensi
khusus
yang
mengimplikasikan
kepemilikan keahlian oleh auditor.
1.5. Kontribusi Penelitian Kontribusi pertama dari penelitian ini adalah model kinerja judgment auditor yang menekankan pada peran penting pengetahuan spesifik terhadap kinerja auditor. Hasil pengujian menyatakan bahwa perbedaan tingkat pemerolehan pengetahuan spesifik berefek 22
terhadap perbedaan kinerja. Semakin tinggi pemerolehan pengetahuan spesifik penugasan audit terstruktur ataupun tidak terstruktur, maka semakin tinggi capaian kinerja pada kedua penugasan audit tersebut. Bukti empiris tersebut merupakan tambahan bukti temuan Libby dan Tan (1994) serta Borthick dkk. (2006) bahwa setiap penugasan audit juga mensyaratkan struktur kognitif yang berbeda-beda pula. Kesesuaian struktur kognitif auditor dengan persyaratan suatu penugasan akan mengoptimalkan kinerja judgment auditor (Hogarth, 1980; Borthick dkk., 2006; Moroney dan Carey, 2011). Kontribusi kedua dari penelitian ini adalah bukti empiris tentang peran penting teori pembelajaran kognitif sebagai dasar dalam membangun model kinerja judgment auditor. Penelitian ini menggunakan metoda eksperimen yang menginteraksikan antara dua perlakuan penugasan audit: terstruktur dan tidak terstruktur dengan dua jenis feedback: outcome feedback dan explanatory feedback. Penggunaan perlakuan tersebut mengacu pada teori pembelajaran kognitif bahwa pembelajaran bertujuan memahami objek yang dipelajari melalui strategi atau metoda. Dengan demikian, pemahaman tersebut menyempurnakan kinerja pada penugasan berikutnya melalui kepemilikan aktivitas mental sesuai penugasan (Shuell, 1986). Lebih dari itu, ketepatan metoda pembelajaran akan menurunkan kemungkinan kesalahan rekaulang memori dari pengalaman sebelumnya (Batkoska dan Koseska (2012). Moeckel (1990), Tan (1995), serta Earley (2002) menyatakan bahwa auditor berpengalaman cenderung melakukan adaptasi pada proses rekaulang memorinya, sehingga auditor berpengalaman mengalami kegagalan dalam menciptakan pola pikir sesuai dengan penugasan saat ini. Hasil pengujian pada penelitian ini mengungkapkan bahwa pembelajaran penugasan audit terstruktur lebih tepat menggunakan outcome feedback, tetapi pembelajaran penugasan audit tidak terstruktur lebih tepat menggunakan explanatory feedback. Ketepatan tersebut ditunjukkan oleh tingkat pengetahuan spesifik dan kinerja atas kedua penugasan dari 23
pembelajaran dengan kedua feedback tersebut. Hasil tersebut memperkuat pernyataan Shuell (1986), Wittrock (2010), serta Batkoska dan Koseska (2012) bahwa strategi pembelajaran dapat mendorong pembelajar memiliki aktivitas mental sesuai penugasannya. Bukti empiris tersebut menjadi tambahan bukti empiris hasil penelitian Bonner dan Walker (1994) serta Earley (2001 dan 2003) bahwa perbedaan karakteristik informasi yang ada pada outcome feedback atau explanatory feedback berefek terhadap perbedaan proses pembelajaran. Hasil pengujian juga menjadi tambahan bukti pernyataan Libby dan Tan (1994) serta Borthick dkk. (2006) bahwa perbedaan struktur penugasan audit mensyaratkan struktur pengetahuan yang berbeda pula. Borthick dkk. (2006) menyatakan pula bahwa pengalaman dan pelatihan bagi auditor seharusnya mendorong auditor memiliki struktur pengetahuan sesuai dengan persyaratan penugasan, karena struktur pengetahuan berpengaruh terhadap kinerja judgment auditor. Sebagaimana Cano (2012) bahwa perbedaan metoda pembelajaran akan menghasilkan keluaran yang berbeda-beda pula. Kontribusi ketiga penelitian ini adalah pengukuran kinerja auditor. Pengukuran kinerja penugasan audit terstruktur ataupun tidak terstruktur dengan cara: jumlah jawaban yang benar dibagi waktu untuk menyelesaikan penugasan. Jumlah jawaban yang benar digunakan untuk mengukur tingkat keakuratan, sedangkan waktu dalam pelaksanaan penugasan digunakan untuk mengukur efisiensi. Pengukuran kinerja dengan formula tersebut dilatarbelakangi oleh pernyataan O’Donnel (1996) bahwa usaha kognitif (cognitive effort) dapat diketahui dari waktu sebagai penunjuk efisiensi dalam proses judgment. O’Donnel (1996) mengungkapkan bahwa pengalaman spesifik berefek terhadap penggunaan waktu dalam menyelesaikan penugasan audit, namun tidak demikian dengan penguasaan pengalaman umum yang tidak berefek terhadap efisiensi. Hasil pengujian pada penelitian ini mengungkapkan bahwa subjek yang menerima outcome feedback lebih efisien dalam pelaksanaan penugasan audit terstruktur dibandingkan 24
subjek yang menerima explanatory feedback. Hasil pengujian berbeda pada penugasan audit tidak terstruktur. Subjek yang menerima explanatory feedback lebih efisien dalam pelaksanaan penugasan audit tidak terstruktur dibandingkan dengan subjek yang menerima outcome feedback. Hasil pengujian tersebut memiliki implikasi bahwa ketepatan pemberian feedback berefek terhadap pelaksanaan penugasan audit baik terstruktur ataupun tidak terstruktur. Dengan demikian, bukti empiris tersebut menguatkan pernyataan Libby (1995) serta Libby dan Luft (1993), bahwa model kinerja auditor seharusnya menyertakan faktor lingkungan, seperti tekanan waktu. Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa faktor lingkungan, misalkan persaingan antar KAP, berkontribusi terhadap penurunan kualitas auditor (Kelley dkk., 1999; Liyanarachchi dan McNamara, 2007; Pierce dan Sweeney, 2004). Peningkatan persaingan menyebabkan auditor mengurangi prosedur audit untuk menghemat pengeluaran. Dengan demikian, KAP membutuh strategi pembelajaran yang meningkatkan kesesuaian struktur kognitif auditor dengan penugasannya. Penghematan KAP seharusnya melalui kemampuan auditor melaksanakan prosedur audit yang efisien.
1.6. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan disertasi ini dibagi menjadi lima. Kelima bab tersebut adalah pendahuluan, telaah literatur dan pengembangan hipotesis, metoda penelitian, hasil pengujian, dan simpulan. Pendahuluan sebagai bab pertama berisi alasan mengapa penelitian ini penting dilakukan, dan selanjutnya bab kedua berisi uraian lebih detail dari penelitian sebelumnya sebagai pendukung alasan pada bab pertama. Tentu saja, alasan memunculkan pertanyaan penelitian dan hal itu akan dirinci pada hipotesis di bab dua. Metoda penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan langkah-langkah
yang dilakukan peneliti
dalam
membuktikan dugaan pada bab dua. Bab empat berisi hasil pengujian dan dilanjutkan implikasi hasil pengujian pada bab lima. 25
Mengacu pada tujuan setiap bab, maka bab pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua terdiri dari dua sub bab yaitu telaah literatur dan pengembangan hipotesis. Bab ketiga terdiri dari enam bagian yaitu partisipan eksperimen, desain eksperimen, prosedur eksperimen, instrumen eksperimen, peubah penelitian, dan model penelitian. Bab empat terdiri dari karakteristik subjek dan hasil cek manipulasi, statistik deskriptif, hasil pengujian hipotesis, serta diskusi hasil pengujian hipotesis. Bab simpulan terdiri dari simpulan penelitian serta keterbatasan dan peluang penelitian. Disertasi ini diawali latar belakang masalah yang menjelaskan tentang dua hal yaitu hubungan pengalaman dan kinerja serta hubungan pengetahuan dan kinerja. Temuan yang kontradiktif pada hubungan pengalaman dan kinerja judgment auditor memunculkan ide untuk menghubungkan pengetahuan dan kinerja judgment auditor. Meskipun demikian, hasil penelitian juga menyatakan bahwa auditor seharusnya memiliki pengetahuan spesifik agar kinerjanya optimal. Dengan demikian, peran penting pengetahuan spesifik terhadap kinerja mengawali uraian pada pertanyaan penelitian. Selanjutnya pada bab satu diuraikan tentang tujuan, motivasi, dan kontribusi penelitian. Uraian tersebut menjelaskan tentang upaya mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik penugasan audit terstruktur dan tidak terstruktur melalui dua jenis feedback: outcome feedback serta explanatory feedback. Penelitian ini mendasarkan pada teori pembelajaran kognitif, karena mengoptimalkan pemerolehan pengetahuan spesifik atas penugasan audit tidak dapat dipisahkan dari metoda pembelajaran
yang dapat
mengoptimalkan proses pembelajaran penugasan audit tersebut. Bab dua diawali dengan uraian telaah literatur atas hasil penelitian: hubungan pengalaman dan kinerja auditor, hubungan pengetahuan dan kinerja auditor, serta hubungan pengetahuan spesifik dan kinerja auditor. Setiap uraian tersebut diawali dengan penjelasan 26
teori-teori yang mendasarinya yaitu teori keperilakuan, teori kognitif, dan teori pembelajaran kognitif. Bab dua diakhiri dengan uraian pengembangan hipotesis tentang hubungan antara karakteristik setiap jenis feedback: outcome feedback dan explanatory feedback
dengan
tingkat pemerolehan pengetahuan spesifik dan capaian kinerja. Bab metoda penelitian menjelaskan tentang kriteria subjek eksperimen dan dilanjutkan dengan penjelasan tentang jenis perlakuan, penghargaan bagi partisipan eksperimen, tahapan penugasan, serta isi penugasan pada eksperimen. Penjelasan pada sub bab instrumen eksperimen berisi tentang tahapan yang dilakukan peneliti dalam membuat instrumen penelitian. Penjelasan terakhir berisi tentang peubah penelitian serta model penelitian yang menggambarkan secara ringkas skema perlakuan dan hipotesis penelitian. Bab hasil pengujian menjelaskan tentang karakteristik subjek yang terlibat eksperimen dan hasil tes manipulasi, deskripsi hasil eksperimen, hasil pengujian secara statistis, dan implikasi pengujian terhadap motivasi penelitian. Selanjutnya, disertasi ini diakhiri dengan simpulan yang menjelaskan isi disertasi secara ringkas dari pendahuluan sampai hasil pengujian. Penjelasan selanjutnya adalah kendala yang dihadapi peneliti dan diluar kendali peneliti. Berbasis kendala tersebut, penelitian ini mendiskusikan kemungkinan penelitian yang dapat dilakukan di masa mendatang.
27