BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perbekalan farmasi (obat dan alat kesehatan) merupakan salah satu unsur penting pada berbagai upaya pelayanan kesehatan. Intervensi dengan obat merupakan intervensi yang paling besar digunakan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan (Depkes, RI., 2010). Belanja obat di rumah sakit pada banyak negara berkembang menyerap biaya sebesar 40%-50% dari biaya keseluruhan rumah sakit (Depkes, RI., 2008). Berdasarkan hal tersebut, obat tidak hanya sebagai barang medis tetapi juga merupakan barang ekonomi strategis sehingga obat memiliki kedudukan yang cukup penting di rumah sakit. Pengelolaan perbekalan farmasi yang efisien akan meningkatkan pemanfaatan anggaran yang tersedia, dan diharapkan dapat berpengaruh terhadap peningkatan cakupan dan mutu pelayanan rumah sakit. Apabila pengelolaan perbekalan farmasi yang efisien diterapkan, akan dapat mengurangi beban biaya bagi rumah sakit maupun pasien. Pengelolaan perbekalan farmasi yang tidak tepat dapat mengakibatkan berkurangnya persediaan perbekalan farmasi sehingga beberapa pasien tidak dapat diobati sebagaimana mestinya (Depkes, RI., 2008). Fungsi manajemen obat dilakukan dalam empat tahap yang saling terkait dan harus didukung dengan sistem pendukung pengelolaan yang tepat. Siklus pengelolaan obat (drug management cycle) meliputi empat tahap, yaitu seleksi (selection), perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi (distribution), serta
penggunaan
(use)
yang
memerlukan
1
dukungan
dari
organisasi
2
(organization), ketersediaan pendanaan (financing sustainability), pengelolaan informasi (information management), dan pengembangan sumber daya manusia (human resource management) (Quick, dkk., 1997). Evaluasi pengelolaan obat dilakukan untuk memastikan tercapainya pelayanan kesehatan dasar yang efisien terutama terkait pelayanan obat, sehingga masyarakat pengguna jasa kesehatan akan mendapatkan pelayanan obat yang sebaik-baiknya sesuai dengan standar yang ditetapkan (Depkes, RI., 2008). Evaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit dapat dilakukan dengan menggunakan indikator pengelolaan obat yang telah dikembangkan oleh Pudjaningsih (Fakhriadi, dkk., 2011). Penelitian Rahayu (2007) mengenai evaluasi pengelolaan obat di rumah sakit pemerintah RSUP Dr. Kariadi Semarang menunjukkan masih terdapat beberapa permasalahan, yang meliputi masih adanya obat kadaluarsa dan atau rusak, serta masih ada stok mati. Penelitian Fakhriadi, dkk (2011) di rumah sakit swasta RS PKU Muhammadiyah Temanggung juga menunjukkan masih terdapat beberapa permasalahan, antara lain belum sesuainya item obat yang tersedia dengan DOEN; belum sesuainya item obat yang diadakan dengan yang direncanakan; masih adanya kekosongan obat; obat rusak dan atau kadaluarsa; serta belum efisiennya peresepan obat generik, obat standar rumah sakit, dan obat injeksi. Penelitian ini dilakukan di RS Banyumanik Semarang dengan alasan bahwa rumah sakit ini merupakan rumah sakit swasta dengan tipe D dimana sumber dana berasal dari keuntungan rumah sakit tersebut dan dari pihak
3
pengelola, dalam hal ini adalah yayasan. Pendanaan yang berasal dari keuntungan rumah sakit dan pihak pengelola ini perlu dievaluasi agar tercapai efisiensi di berbagai bidang terutama pada pengelolaan perbekalan farmasinya yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keuntungan rumah sakit tersebut. Sebelum penelitian ini belum ada penelitian yang mengevaluasi pengelolaan perbekalan farmasi di RS Banyumanik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengelolaan perbekalan farmasi di instalasi farmasi RS Banyumanik Semarang periode tahun 2013 dengan menggunakan indikator pengelolaan obat yang telah dikembangkan oleh Pudjaningsih (2006), meliputi indikator persentase alokasi dana pengadaan perbekalan farmasi, persentase jumlah item perbekalan farmasi yang diadakan dengan yang direncanakan, frekuensi pembelian tiap perbekalan farmasi pertahun, Turn Over Ratio, persentase perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa, persentase peresepan obat generik, persentase obat yang tidak masuk dalam formularium rumah sakit, dan persentase resep yang tidak bisa dilayani. Hasil yang didapat diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Instalasi Farmasi RS Banyumanik dalam upaya peningkatan efisiensi pengelolaan perbekalan farmasi serta mutu pelayanan kefarmasian secara keseluruhan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
4
1.
Bagaimanakah gambaran hasil evaluasi pengelolaan perbekalan farmasi pada Instalasi Farmasi RS Banyumanik Semarang periode tahun 2013 yang dinilai menggunakan indikator pengelolaan obat hasil pengembangan Pudjaningsih?
2.
Apakah pengelolaan perekalan farmasi di Instalasi Farmasi RS Banyumanik Semarang periode tahun 2013 sudah efisien? C. Manfaat Penelitian Penelitian pengelolaan perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi RS
Banyumanik Banyumanik Semarang ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1.
Menjadi bahan pertimbangan dalam meningkatkan efisiensi pengelolaan perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi RS Banyumanik Semarang.
2.
Menambah wawasan ilmu pengetahuan kefarmasian khususnya di bidang pengelolaan perekalan farmasi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
3.
Bermanfaat bagi pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dalam hal peningkatan mutu pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit. D. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui gambaran hasil evaluasi pengelolaan perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi RS Banyumanik Semarang periode tahun 2013 yang dinilai menggunakan indikator pengelolaan obat hasil pengembangan Pudjaningsih.
2.
Mengukur efisiensi pengelolaan perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi RS Banyumanik Semarang periode tahun 2013. E. Tinjauan Pustaka
5
1.
Rumah Sakit Rumah
sakit
adalah
institusi
pelayanan
kesehatan
yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (Depkes, RI., 2009). Menurut Siregar (2004), fungsi rumah sakit adalah sebagai berikut : a. Menyelengggarakan pelayanan medis. b. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis. c. Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan. d. Menyelenggarakan pelayanan rujukan. e. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. f. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan. g. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan. h. Pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan masyarakat. Menurut Armen dan Azwar (2013), penggolongan rumah sakit berdasarkan bentuk pelayanannya adalah sebagai berikut : a. Rumah sakit umum, adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit, dari yang bersifat dasar sampai dengan sub spesialisasi. b. Rumah sakit khusus, adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan jenis penyakit tertentu atau disiplin ilmu.
6
c. Rumah sakit pendidikan, adalah rumah sakit umum yang dipergunakan sebagai tempat pendidikan tenaga medis tingkat S1, S2, dan S3. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit swasta. Rumah sakit publik dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah, diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah tidak dapat dialihkan menjadi rumah sakit privat. Rumah sakit swasta dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero (Depkes, RI., 2009). Pembiayaan rumah sakit pemerintah dapat bersumber dari penerimaan rumah sakit, anggaran pemerintah, subsidi pemerintah, anggaran pemerintah daerah, subsidi pemerintah daerah atau sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, pembiayaan rumah sakit swasta bersumber dari penghasilan rumah sakit itu sendiri dan pihak pengelola (Depkes, RI., 2009). Menurut Armen dan Azwar (2013), berdasarkan tingkat kemampuan pelayanan kesehatan yang dapat disediakan, penggolongan rumah sakit dibagi menjadi 4, yaitu : a. Rumah sakit kelas A, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dan sub spesialistik.
7
b. Rumah sakit tipe B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik luas dan sub spesialistik terbatas. c. Rumah sakit kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dalam empat cabang yaitu penyakit dalam, bedah, kebidanan atau penyakit kandungan, dan kesehatan anak. d. Rumah sakit kelas D, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan sekurang-kurangnya pelayanan medis dasar atau pelayanan yang bersifat umum. 2.
Rumah Sakit Banyumanik Semarang RS Banyumanik Semarang berlokasi di Jl. Bina Remaja no. 61 Banyumanik Semarang, dan merupakan rumah sakit swasta dengan tipe D. Awal mula berdirinya pada bulan November 1989, rumah sakit ini bernama RS Prof. Dr. Hars Danubroto, namun pada tahun 2000 rumah sakit ini berpindah kepemilikan ke yayasan Al-Manshurin dan namanya berubah menjadi RS Banyumanik Semarang. Tujuan dari penamaan ini adalah agar masyarakat mengetahui bahwa rumah sakit ini siap melayani pasien di wilayah kecamatan Banyumanik dan sekitarnya, dan pada saat berdirinya itu, RS Banyumanik adalah rumah sakit pertama yang berdiri di wilayah kecamatan Banyumanik Semarang. Visi dari RS Banyumanik Semarang adalah “Mewujudkan rumah sakit umum yang menjadi brain image masyarakat dalam meningkatkan derajat
8
kesehatan masyarakat”, sedangkan misinya adalah “Memberikan pelayanan kesehatan paripurna yang terbaik kepada masyarakat secara efektif dan efisien dalam lingkungan bersih, sehat, dan nyaman dengan semangat beribadah”. RS Banyumanik mempunyai motto yaitu “Kesembuhan Anda Harapan Kami”, sehingga diharapkan setiap pasien yang berobat di rumah sakit ini benar-benar bisa segera sembuh dari penyakitnya. RS Banyumanik Semarang memberikan pelayanan 24 jam pada IGD, rawat inap, instalasi farmasi, laboratorium, radiologi, dan kamar operasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilayani antara lain adalah fisioterapi, USG, EKG, dan konsultasi gizi. Poliklinik yang dilayani adalah poliklinik umum, poliklinik gigi, KIA, spesialis anak, penyakit dalam, bedah, THT, obsgyn, mata, kulit dan kelamin, syaraf, serta kesehatan jiwa. Jumlah petugas farmasi di RS Banyumanik adalah sebanyak 12 orang, yang terdiri dari 1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi, dibantu oleh 2 orang apoteker pendamping yang bertanggungjawab sebagai penanggungawab logistik dan penanggungjawab pelayanan, 1 orang tenaga administrasi farmasi, 1 orang tenaga teknis kefarmasian yang bertugas sebagai koordinator gudang, serta 7 orang tenaga teknis kefarmasian yang bertugas pada pelayanan kefarmasian. Sumber dana pengadaan obat berasal dari yayasan yang diberikan 1 bulan sekali pada setiap awal bulan. Stok opname dan laporan keuangan dilakukan tutup buku pada tanggal 20 dan dilaporkan paling lambat tanggal 25 tiap bulannya beserta usulan dana pengadaan obat untuk 1 bulan
9
berikutnya. Usulan dana pengadaan obat adalah sebesar total dana pembelian pada 2 bulan sebelumnya ditambah 10% dari total dana tersebut. Penambahan 10% ini berfungsi sebagai dana cadangan untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan dana pengadaan obat. 3.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah suatu tempat atau fasilitas di sebuah rumah sakit di bawah pimpinan seorang Apoteker yang bertanggung jawab
atas
seluruh
pelayanan
kefarmasian,
mencakup
perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan atau sediaan farmasi, dispensing obat, pengendalian mutu, serta pengendalian distribusi seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit (Siregar, 2004). Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut (Depkes, RI., 2004). Tugas utama IFRS adalah pengelolaan mulai dari perencanaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada penderita sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit baik untuk penderita rawat tinggal, rawat jalan maupun untuk semua unit termasuk poliklinik rumah sakit. Berkaitan dengan pengelolaan tersebut, IFRS harus menyediakan terapi obat yang optimal bagi
10
semua penderita dan menjamin pelayanan yang bermutu tertinggi dan yang paling bermanfaat dengan biaya minimal (Siregar, 2004). Fungsi IFRS dalam kaitannya dengan pengelolaan perbekalan farmasi menurut Depkes RI (2004) adalah : a. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit. b. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal. c. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku. d. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. e. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku. f. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian. g. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit. Fungsi IFRS dalam kaitannya dengan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan menurut Depkes RI (2004) adalah : a. Mengkaji instruksi pengobatan atau resep pasien. b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan. c. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan.
11
d. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan e. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien atau keluarga pasien. f. Memberi konseling kepada pasien atau keluarga pasien. g. Melakukan pencampuran obat suntik. h. Melakukan penyiapan nutrisi parenteral. i. Melakukan penanganan obat kanker. j. Melakukan penentuan kadar obat dalam darah. k. Melakukan pencatatan setiap kegiatan, melaporkan setiap kegiatan. 4.
Instalasi Farmasi RS Banyumanik Semarang Visi IFRS Banyumanik adalah “Menjadi instalasi farmasi yang terdepan dalam pelayanan, informasi, dan pengetahuan kefarmasian mengutamakan pengembangan sumber daya demi menghasilkan pelayanan yang profesional agar pelanggan puas dan setia berdasarkan kode etik dan semangat beribadah. Misi IFRS Banyumanik adalah : a. Menjamin keamanan layanan dengan menyediakan sediaan farmasi yang berkualitas, terjangkau, dalam jumlah, dan pada waktu yang dibutuhkan. b. Melayani dengan ramah dan terpadu sehingga menghasilkan citra yang menghasilkan pelanggan puas dan setia. c. Memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada pelanggan sehingga menghasilkan pengobatan yang optimal.
12
d. Mengembangkan sumber daya manusia dengan memberikan pelatihan dan pendidikan yang cukup sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten, berkomitmen, profesional, dan produktif. e. Mengembangkan spiritual sumber daya manusia sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkarakter cinta kasih kepada sesama, iklas, sabar, lemah lembut dalam melayani pelanggan, dan mempunyai penguasaan diri yang baik. Tujuan IFRS Banyumanik adalah memberikan pelayanan farmasi yang rasional dalam aspek farmakoterapi, sosial maupun ekonomi, bekerjasama dengan tenaga kesehatan yang lain demi memberikan perlindungan yang optimal bagi pasien dan masyarakat dengan memperhatikan perkembangan teknologi kefarmasian terbaru dan perundang-undangan yang berlaku. Struktur organisasi IFRS Banyumanik dapat dilihat pada gambar 1.
Kepala Instalasi Farmasi (Drs. Ari Santosa, Apt) Administrasi Farmasi (Ratih)
Penanggung jawab logistik
Penanggung jawab pelayanan
(Uswatun Hasanah, S Farm, Apt)
(Oktalia Ratnaningrum, S Farm, Apt)
(Suzana Wulandari) (Dina Haryati)
(Endang Dwi)
(Ani Hidayanti)
(Yuliani M)
13
(Puput Tejo S)
(Prasasti)
(Unjiani)
Gambar 1. Struktur Organisasi IFRS Banyumanik 5.
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) merupakan unit fungsional yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit yang bertugas memberikan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai rumusan kebijakan dan prosedur untuk evaluasi, pemilihan, dan penggunaan obat di rumah sakit. Tugas PFT pada bidang pendidikan adalah merumuskan program yang berkaitan dengan edukasi tentang obat dan penggunaannya kepada tenaga kesehatan di rumah sakit (Depkes RI., 2008). Organisasi dasar tiap rumah sakit dan staf mediknya dapat berpengaruh pada fungsi dan ruang lingkup PFT. Beberapa fungsi PFT menurut Siregar (2004), antara lain: a. Berfungsi dalam suatu kapasitas evaluatif, edukasi, dan penasehat bagi staf medik dan pimpinan rumah sakit, dalam semua hal yang berkaitan dengan penggunaan obat (termasuk obat investigasi). b. Mengembangkan dan menetapkan formularium obat yang diterima untuk digunakan dalam rumah sakit dan mengadakan revisi tetap. Pemilihan sediaan obat yang akan dimasukkan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi obyektif terhadap manfaat terapi, keamanan, dan harga. PFT harus meminimalkan duplikasi dari jenis obat dasar yang sama, zat aktif yang sama atau sediaan obat yang sama.
14
c. Menetapkan program dan prosedur yang membantu memastikan terapi obat yang aman, bermanfaat, dan manfaat biaya terapi obat. d. Menetapkan dan merencanakan program edukasi yang sesuai bagi staf profesional rumah sakit tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penggunaan obat. e. Berpartisipasi dalam kegiatan jaminan mutu yang berkaitan dengan distribusi, pemberian, dan penggunaan obat. f. Memantau dan mengevaluasi reaksi merugikan dari suatu obat dalam rumah sakit dan membuat rekomendasi yang tepat untuk mencegah reaksi merugikan berulang kembali. Susunan anggota PFT dapat beragam di berbagai rumah sakit dan biasanya bergantung pada kebijakan, lingkup fungsi PFT, dan besarnya tugas dan fungsi suatu rumah sakit. Anggota PFT yang mempunyai hak suara harus terdiri atas sekurang-kurangnya dokter, apoteker, perawat, unsur pemimpin, koordinator jaminan mutu, dan berbagai ahli jika diperlukan. Anggota panitia diangkat oleh pimpinan rumah sakit atas usul komite medik (Siregar, 2004). 6.
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) RS Banyumanik Semarang PFT di RS Banyumanik dibentuk dan diangkat oleh pimpinan rumah sakit. Fungsi dan ruang lingkup PFT di RS Banyumanik meliputi menyusun dan merevisi formularium secara periodik yang berdasarkan kebijakan RS Banyumanik yang dilakukan setiap satu tahun sekali; memantau dan menganalisa kerasionalan penggunaan obat di RS Banyumanik; serta sebagai media komunikasi, menjembatani antara apoteker dan dokter-dokter pada
15
masing-masing SMF. Susunan anggota PFT RS Banyumanik adalah sebagai berikut : a.
Ketua
: dr. Hartono, Sp A
b.
Sekretaris
: Drs. Ari Santosa, Apt
c.
Anggota 1) dr. Sri Wahyuni, Sp Pd 2) dr. Fera, Sp A 3) dr. Sudiat, Sp OG 4) dr. Dyah N, Sp S 5) dr. Benny K, Sp B 6) Niko Kuswindriyo, SE 7) Edy Supriyanto, AmK 8) Sulistiyani, Amd 9) Endang Dwi Harjanti, Amd
7. Formularium Rumah Sakit Formularium rumah sakit adalah dokumen berisi kumpulan produk obat yang dipilih PFT disertai informasi tambahan penting tentang penggunaan obat tersebut, serta kebijakan dan prosedur berkaitan obat yang relevan untuk rumah sakit. Formularium terus menerus direvisi agar selalu akomodatif untuk kepentingan penderita dan staf profesional pelayan kesehatan, berdasarkan data konsumtif dan data morbiditas serta pertimbangan klinis staf medik rumah sakit. Formularium merupakan sarana bagi staf medik rumah
16
sakit dan perawat dalam pemberian obat kepada pasien maka formularium harus lengkap, ringkas, dan mudah digunakan (Siregar, 2004). 8.
Pengelolaan Obat di Rumah Sakit Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi menggunakan sistem satu pintu (Depkes, RI., 2009), yaitu melalui IFRS sehingga IFRS harus mempertanggung jawabkan semua aktivitasnya kepada direktur rumah sakit (Depkes, RI., 2008). Pengelolaan perbekalan farmasi yang efisien akan meningkatkan
pemanfaatan
anggaran
yang tersedia
sehingga
dapat
mengurangi beban biaya bagi rumah sakit maupun pasien. Selain itu, diharapkan dapat berpengaruh terhadap peningkatan cakupan dan mutu pelayanan rumah sakit (Depkes, RI., 2008). Pengelolaan obat digambarkan dalam siklus pengelolaan obat (drug management cycle) pada gambar 2, yang meliputi empat tahap yaitu seleksi (selection), perencanaan dan pengadaan (procurement), penyimpanan dan distribusi (storage and distribution), serta penggunaan (use) yang memerlukan dukungan dari organisasi (organization), ketersediaan pendanaan (financing sustainability), pengelolaan informasi (information management), dan pengembangan sumber daya manusia (human resource management) (Quick, dkk., 1997). Selectio
MANAGEMENT SUPPORT
Organization Financing Use
Procureme Information management Human resource
17
Storage and
Gambar 2. Siklus pengelolaan obat (drug management cycle) a. Pemilihan (selection) Fungsi pemilihan adalah untuk menentukan apakah perbekalan farmasi benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah pasien atau kunjungan dan pola penyakit di rumah sakit. Kriteria pemilihan kebutuhan obat yang baik menurut Depkes RI (2008) meliputi : 1) Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari kesamaan jenis. 2) Hindari pengunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek yang lebih baik dibanding obat tunggal. 3) Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi. b. Perencanaan dan Pengadaan (procurement) Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan penentu dalam pengadaan obat. Tujuan perencanaan obat dan perbekalan kesehatan yaitu untuk menetapkan jenis serta jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar termasuk obat program kesehatan yang telah ditetapkan (Depkes, RI., 2010).
18
Menurut Depkes RI (2008), tahapan perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi meliputi : 1) Pemilihan Pemilihan obat di rumah sakit merujuk pada daftar obat esensial nasional (DOEN) sesuai kelas rumah sakit, formularium rumah sakit, dan formularium nasional (Fornas) untuk daftar obat pasien BPJS. Pemilihan alat kesehatan di rumah sakit berdasarkan dari data pemakaian sebelumnya, standar ISO, daftar harga alat, daftar alat kesehatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Binfar dan Alkes, serta spesifikasi yang ditetapkan oleh rumah sakit. 2) Kompilasi Penggunaan Kompilasi penggunaan perbekalan farmasi berfungsi untuk mengetahui penggunaan bulanan masing-masing jenis perbekalan farmasi di unit pelayanan selama satu tahun dan sebagai data pembanding bagi stok optimum. Informasi yang didapat dari kompilasi penggunaan perbekalan farmasi adalah : a) Jumlah penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi pada setiap unit pelayanan. b) Persentase penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi terhadap total penggunaan setahun seluruh unit pelayanan. c) Penggunaan rata-rata untuk setiap jenis perbekalan farmasi. 3) Perhitungan Kebutuhan
19
Pendekatan perencanaan kebutuhan dapat menggunakan beberapa metode, yaitu : a) Metode Konsumsi Perhitungan metode konsumsi didasarkan pada data riil konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian dan koreksi. Langkah yang harus diperhatikan dalam menghitung jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan adalah : (1) Pengumpulan dan pengolahan data. (2) Analisa data untuk informasi dan evaluasi. (3) Perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi. (4) Penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi dana. b) Metode Morbiditas atau Epidemiologi Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam metode ini adalah : (1) Menentukan jumlah pasien yang akan dilayani. (2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan prevalensi penyakit. (3) Menyediakan formularium perbekalan farmasi. (4) Menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi. (5) Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.
20
c) Metode Kombinasi Kombinasi antara metode konsumsi dan metode morbiditas disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Acuan yang digunakan yaitu : (1) DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit (Standard Treatment Guidelines/STG), dan kebijakan setempat yang berlaku. (2) Data catatan medik. (3) Anggaran yang tersedia. (4) Penetapan prioritas. (5) Pola penyakit. (6) Sisa persediaan. (7) Data penggunaan periode lalu. (8) Rencana pengembangan Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui proses pembelian, produksi atau pembuatan sediaan farmasi, sumbangan, droping, atau hibah dari pemerintah atau institusi tertentu. Pembelian sediaan farmasi dapat dilakukan melalui empat proses yaitu tender terbuka, tender terbatas, pembelian dengan tawar menawar, dan pembelian langsung. Perbekalan farmasi yang diproduksi biasanya adalah sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali, sediaan farmasi yang tidak tersedia di
21
pasaran, sediaan nutrisi parenteral, sitostatika, dan sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru (Depkes, RI., 2008). Menurut WHO (2004), pengadaan obat didasarkan pada obat yang dipilih, bentuk sediaan, dan sumber daya keuangan yang tersedia. Prosedur yang diterapkan dalam pengadaan obat meliputi : 1) Memperkirakan kuantitas setiap produk obat yang dibutuhkan untuk suatu periode tertentu. 2) Mencari tahu harga dari bentuk sediaan obat yang berbeda yang diperlukan. 3) Mengalokasikan dana untuk masing-masing bentuk sediaan obat tergantung pada prioritas sifat dari bentuk obat, dosis, dan keuangan yang tersedia. Menurut WHO (1999), cara strategis dalam pengadaan obat adalah : 1) Mengadakan obat yang paling hemat biayanya dan tepat jumlahnya. 2) Memilih pemasok yang dapat diandalkan dengan produk-produk yang berkualitas tinggi. 3)
Memastikan pengiriman tepat waktu.
4)
Mencapai total biaya serendah mungkin. Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender) merupakan
suatu metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga. Apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker harus mendasarkan pada kriteria mutu produk, reputasi produsen, harga, ketepatan waktu pengiriman, mutu pelayanan pemasok, pemasok yang
22
dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan, dan pengemasan (Depkes, RI., 2008). Tujuan pengadaan obat adalah untuk menjamin tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan, mutu obat terjamin, dan obat dapat diperoleh pada saat diperlukan (Depkes, RI., 2010). c. Penyimpanan dan Distribusi (storage and distribution) Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan obat dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat dan perbekalan kesehatan (Depkes, RI., 2010). Obat disimpan di tempat yang aman dan dirancang untuk menghindari kontaminasi atau kerusakan, menghindari kerusakan label, menjaga integritas kemasan, menjamin kualitas dan potensi obat selama penyimpanan, mencegah atau mengurangi pencurian atau kerugian, serta mencegah serangan hama dan kutu (WHO, 2004). Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan alfabetis, prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO), dan disertai sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan. Prinsip FEFO dan FIFO dalam penyusunan perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yang masa kadaluarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya perbekalan farmasi yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih
23
tua dan masa kadaluarsanya mungkin lebih awal. Penyimpanan sebaiknya dilakukan dengan memperpendek jarak gudang dan pemakai dengan cara ini maka secara tidak langsung terjadi efisiensi (Depkes, RI., 2008). Distribusi
adalah
suatu
rangkaian
kegiatan
dalam
rangka
pengeluaran dan pengiriman obat, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlah secara merata serta teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan (Depkes, RI., 2010). Menurut Siregar (2004), pada dasarnya ada beberapa jenis sistem distribusi obat untuk penderita rawat inap, yaitu: 1) Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada resep atas nama pasien melalui perawat ke ruang pasien tersebut. 2) Sistem distribusi persediaan lengkap di ruang Sistem distribusi lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan perbekalan farmasi sesuai dengan yang ditulis dokter pada order perbekalan farmasi, yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dengan mengambil dosis atau unit perbekalan farmasi dari wadah persediaan yang langsung diberikan kepada pasien di ruang tersebut. Semua perbekalan farmasi yang dibutuhkan pasien tersedia dalam ruang penyimpanan perbekalan farmasi, kecuali perbekalan farmasi yang jarang digunakan.
24
3) Sistem distribusi dosis unit Perbekalan farmasi dosis unit adalah perbekalan farmasi yang diorder oleh dokter untuk pasien, terdiri atas satu atau beberapa jenis perbekalan farmasi yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Sistem distribusi dosis unit dapat dioperasikan dengan salah satu dari tiga metode, yang pilihannya tergantung pada kebijakan dan kondisi masing-masing rumah sakit. Metode tersebut adalah sebagai berikut : a) Sistem distribusi dosis unit sentralisasi, yang dilakukan oleh IFRS sentral ke semua unit rawat inap di rumah sakit secara keseluruhan. Artinya, di rumah sakit itu mungkin hanya satu IFRS tanpa adanya depo atau satelit IFRS di beberapa unit pelayanan. b) Sistem distribusi dosis unit desentralisasi dilakukan oleh beberapa depo atau satelit IFRS di sebuah rumah sakit. Sistem distribusi ini pada dasarnya sama dengan sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang, hanya saja sistem distribusi desentralisasi ini dikelola seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian oleh IFRS sentral. c) Sistem
distribusi
dosis
unit
kombinasi
sentralisasi
dan
desentralisasi, dimana hanya dosis awal dan dosis keadaan darurat
25
saja yang dilayani depo atau satelit IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua pekerjaan tersentralisasi, seperti pengemasan dan pencampuran sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral. 4) Sistem distribusi kombinasi Sistem distribusi kombinasi adalah sistem distribusi yang menerapkan sistem distribusi resep atau order individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Perbekalan farmasi yang disediakan di ruangan adalah perbekalan farmasi yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah perbekalan farmasi yang harganya murah mencakup perbekalan farmasi berupa resep atau perbekalan farmasi bebas. d. Penggunaan (use) Penggunaan obat yang rasional mengharuskan bahwa obat diresepkan untuk pasien tertentu setelah dilakukan diagnosa yang tepat. Penggunaan obat yang rasional mengharuskan pasien dengan masalah kesehatan tertentu menerima obat sesuai dengan kriteria berikut (WHO, 2004) : 1) Dosis tepat 2) Bentuk sediaan tepat 3) Rute pemberian yang tepat 4) Frekuensi pemberian tepat
26
5) Durasi pengobatan tepat 6) Pemberian informasi yang tepat kepada pasien 7) Tindaklanjut yang memadai Setelah resep ditulis maka petugas kesehatan harus memberikan penjelasan dalam berbagai hal, yaitu (Simatupang, 2010) : 1) Efek utama obat 2) Efek samping obat 3) Instruksi mengenai saat minum obat, cara minum obat, cara penyimpanan, apa yang harus dilakukan bila terjadi masalah, dan lain sebagainya. 4) Peringatan terkait dengan efek samping, misalnya tidak boleh mengemudi dan menjalankan mesin karena efek samping mengantuk, dan lain sebagainya. 5) Jadwal kunjungan berikutnya untuk monitoring dan evaluasi pengobatan. 6) Memastikan pasien mengerti dengan informasi yang diterima, bisa dengan meminta pasien mengulangi setiap informasi yang telah diberikan. e. Pengendalian Pengendalian adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan, kekurangan, dan kekosongan
27
obat di unit-unit pelayanan kesehatan (Depkes, RI., 2008). Kegiatan pengendalian mencakup beberapa hal, diantaranya : 1) Memperkirakan atau menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu. Jumlah stok ini disebut stok kerja. 2) Menentukan stok optimum yaitu stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan agar tidak mengalami kekurangan atau kekosongan. 3) Menentukan stok pengaman yaitu jumlah stok yang disediakan untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang tidak terduga, misalnya karena keterlambatan pengiriman. 4) Menentukan waktu tunggu (leadtime) adalah waktu yang diperlukan dari mulai pemesanan sampai obat diterima. f. Penghapusan Penghapusan merupakan kegiatan pemusnahan terhadap perbekalan farmasi yang tidak terpakai karena kadaluarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan perbekalan farmasi kepada pihak terkait sesuai prosedur yang berlaku. Tujuan penghapusan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar yang berlaku. Adanya penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan maupun mengurangi resiko terjadinya penggunaan obat yang sub standar (Depkes, RI., 2008). g. Pencatatan dan pelaporan 1) Pencatatan
28
Pencatatan merupakan bagian penting dari pengelolaan obat. Catatan harus diaudit dari waktu ke waktu ketika ada informasi yang tidak benar, terjadi pencurian, kebakaran, atau banjir. Kesalahan pada catatan harus dicoret dengan rapi tetapi tidak boleh dihapus (WHO, 2004). Tujuan pencatatan adalah untuk memonitor transaksi perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di lingkungan IFRS. Pencatatan akan memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila terjadi adanya mutu obat yang sub standar dan harus ditarik dari peredaran. Pencatatan dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk digital maupun manual. Kartu yang umum digunakan untuk melakukan pencatatan adalah kartu stok dan kartu stok induk (Depkes, RI., 2008). Fungsi kartu stok menurut Depkes RI (2008) adalah sebagai berikut : a) Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi perbekalan farmasi (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kadaluarsa). b) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 (satu) jenis perbekalan farmasi yang berasal dari 1 (satu) sumber anggaran. c) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan, pengadaan, distribusi dan sebagai pembanding terhadap
keadaan
fisik
perbekalan
farmasi
penyimpanannya. Hal-hal yang harus diperhatikan (Depkes RI., 2008) :
dalam
tempat
29
a) Kartu stok diletakkan bersamaan atau berdekatan dengan perbekalan farmasi bersangkutan. b) Pencatatan dilakukan secara rutin dari hari ke hari. c) Setiap terjadi mutasi perbekalan farmasi (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kadaluarsa) langsung dicatat di dalam kartu stok. d) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan pada setiap akhir bulan.
2) Pelaporan Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi perbekalan farmasi, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada pihak yang berkepentingan. Tujuan pelaporan adalah agar tersedia data yang akurat sebagai bahan evaluasi, tersedia informasi yang akurat, tersedia arsip yang memudahkan penelusuran surat dan laporan, serta tersedia data yang lengkap untuk membuat perencanaan (Depkes, RI., 2008). h. Monitoring dan evaluasi Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). Kegiatan ini juga bermanfaat sebagai masukan guna penyusunan perencanaan dan pengambilan keputusan. Pelaksanaan monev dapat dilakukan secara periodik dan berjenjang (Depkes, RI., 2008). Monitoring dan evaluasi pengelolaan perbekalan farmasi dilakukan pada tahap pemilihan (selection), perencanaan dan
30
pembelian (procurement), penyimpanan dan distribusi (storage and distribution), serta tahap penggunaan (use). Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan menggunakan indikator-indikator pengelolaan obat yang telah dikembangkan oleh Pudjaningsih. 9.
Indikator Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Evaluasi pengelolaan perbekalan farmasi di instalasi farmasi rumah sakit dapat dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang merupakan hasil pengembangan oleh Pudjaningsih (2006), seperti yang tersaji pada tabel I. Tabel I. Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Rumah Sakit Tahapan
Indikator
Tujuan
Perencanaan
Persentase alokasi dana pengadaan perbekalan farmasi
Mengetahui seberapa jauh persediaan dana RS memberikan dana kepada farmasi
100%
Persentase jumlah perbekalan farmasi diadakan dengan direncanakan
Mengetahui perencanaan
100% - 120%
Pengadaan
item yang yang
Nilai Pembanding
ketepatan
Frekuensi pembelian tiap item perbekalan farmasi pertahun Mengetahui berapa kali obat-obat tersebut dipesan dalam setahun
Penyimpanan
Distribusi
Dibandingkan dengan perhitungan metode EOQ a. Rendah: <12x/tahun b. Sedang : 12-24x/tahun c. Tinggi: > 24x/tahun 8 – 12 x
Turn Over Ratio
Mengetahui perputaran modal dalam satu tahun persediaan
Persentase perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa
Mengetahui besarnya kerugian rumah sakit
≤ 0,2%
Persentase generik
obat
Mengukur kecenderungan dokter untuk meresepkan obat generik
> 59% (Quick, 1997) ;
Persentase peresepan obat yang tidak masuk dalam formularium
Mengukur tingkat kepatuhan dokter terhadap standar obat
0%
peresepan
31
rumah sakit
di rumah sakit
Persentase obat yang tidak bisa dilayani
Mengetahui cakupan pelayanan rumah sakit
0%
F. Landasan Teori Ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan perbekalan farmasi dapat memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit. Tingkat kualitas pengelolaan perbekalan farmasi di instalsi farmasi rumah sakit perlu dinilai agar dapat diketahui permasalahan dan kelemahan dalam pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan
kepada
masyarakat.
Pudjaningsih
(2006)
telah
melakukan
pengembangan indikator efisiensi pengelolaan obat sebagai tolok ukur evaluasi pengelolaan obat di rumah sakit. Berdasarkan penelitian Rahayu (2006) mengenai evaluasi pengelolaan obat di RSUP Dr. Kariadi Semarang menunjukkan masih terdapat beberapa indikator yang belum efisien yaitu, persentase ketersediaan dana pengadaan obat sebesar 95,53%; persentase obat yang kadaluarsa dan atau rusak sebesar 0,32%; serta persentase obat yang dapat dilayani sebesar 98,97%. Penelitian Fakhriadi, dkk (2011) di RS PKU Muhammadiyah Temanggung juga menunjukkan masih terdapat beberapa indikator yang belum efisien pada tahun 2008, antara lain indikator persentase jumlah item obat yang diadakan dengan yang direncanakan yaitu 142,27%; indikator frekuensi pengadaan tiap item obat tergolong rendah dan belum efisien (11,6 kali) bila dibandingkan dengan perhitungan dengan metode Economic Order Quantity (EOQ) yaitu 14,8 kali; masih ada obat yang kadaluarsa sebesar 1,79% pada tahun 2008; persentase peresepan obat generik masih rendah
32
sebesar 32,14% untuk rawat inap, dan 32,33% untuk rawat jalan; peresepan obat yang sesuai dengan standar obat rumah sakit masih kurang yaitu 80,25% untuk rawat inap, dan 85,30% untuk rawat jalan; serta persentase obat yang dapat diserahkan masih belum efisien pada pasien rawat inap yaitu sebesar 99,86%. G. Keterangan Empiris Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui mengenai efisiensi pengelolaan perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi RS Banyumanik Semarang periode tahun 2013, yang dilihat dari indikator pengelolaan obat hasil pengembangan Pudjaningsih (2006), yaitu indikator persentase alokasi dana pengadaan perbekalan farmasi, persentase jumlah item perbekalan farmasi yang diadakan dengan yang direncanakan, frekuensi pembelian tiap item perbekalan farmasi pertahun, Turn Over Ratio, persentase perbekalan farmasi yang rusak dan kadaluarsa, persentase peresepan obat generik, persentase peresepan obat yang tidak masuk dalam formularium rumah sakit, dan persentase obat yang tidak bisa dilayani.