BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar penyusun tubuh manusia yang memiliki berbagai fungsi penting, antara lain sebagai pengatur keluar masuknya air, elektrolit, dan zat-zat lain, pengatur suhu tubuh, pelindung terhadap radiasi ultraviolet, mikroorganisme, bahan beracun, dan benturan fisik, serta sebagai indera peraba (Kanitakis, 2002; Ejaz dkk., 2009). Ketika kulit mengalami luka, yaitu kerusakan atau gangguan pada struktur anatomi kulit, maka kulit tidak dapat berfungsi dengan baik
sehingga sangat
penting untuk
mengembalikan
integritasnya sesegera mungkin (Lazarus dkk., 1994). Luka dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Bentuk luka bermacam-macam tergantung penyebabnya, misalnya luka sayat disebabkan oleh benda tajam, sedangkan luka tusuk akibat benda runcing. Luka robek merupakan luka yang tepinya tidak rata atau compang-camping disebabkan oleh benda yang permukaannya tidak rata. Luka lecet pada permukaan kulit akibat gesekan disebut ekskoriasi (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Prevalensi luka di Indonesia terbilang tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, tiga urutan terbanyak jenis cedera yang dialami penduduk Indonesia adalah luka lecet/memar (70,9%), terkilir (27,5%), dan luka robek (23,2%) (Anonim, 2013).
1
2
Beban ekonomi untuk perawatan luka tidak bisa dianggap ringan. Di Inggris, biaya yang dibutuhkan untuk perawatan luka pada tahun 2006-2007 mencapai 210 miliar rupiah yang di dalamnya termasuk pembelian perban, tenaga perawat, dan biaya rawat inap (MacDonald, 2009). Biaya lain yang tidak bisa diabaikan adalah biaya tidak langsung, seperti hilangnya produktivitas kerja, dan biaya tidak teraba, seperti rasa sakit dan hilangnya rasa percaya diri. Biaya-biaya tersebut menjadi semakin tinggi ketika luka berkembang menjadi luka kronis, yaitu luka yang gagal dalam proses perbaikan sehingga tidak dapat menghasilkan integritas anatomis dan fungsional (Lazarus dkk., 1994). Salah satu upaya untuk meminimalisasi biaya pengobatan luka adalah dengan memanfaatkan bahan alam. Banyak tanaman obat memiliki peran penting dalam proses penyembuhan luka. Lebih dari 70% produk farmasi untuk penyembuhan luka merupakan produk berbasis tanaman, sedangkan 20% berbasis mineral dan sisanya berbasis produk hewan (Sumanth & Bhargavi, 2014). Indonesia kaya akan berbagai bahan alam berkhasiat dan banyak diantaranya yang masih jarang diteliti aktivitasnya, antara lain tanaman bawang putih anggur (Mansoa alliacea (Lam.) A.H. Gentry). Tanaman yang daunnya berbau seperti bawang putih ketika diremas ini dilaporkan mengandung asam ursolat (Zoghbi dkk., 2009). Asam ursolat diketahui berkhasiat sebagai astringen yang menyebabkan penciutan luka dan peningkatan laju epitelisasi, serta memiliki aktivitas antimikroba (Periyanayagam & Karthikeyan, 2013). Asam ursolat juga menstimulasi sintesis kolagen yang sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan
3
luka (Puratchikody & Nagalakshmi, 2007). Dengan demikian, diharapkan ekstrak daun bawang putih anggur (BPA) yang mengandung asam ursolat mempunyai aktivitas penyembuhan luka. Untuk memudahkan penggunaannya, ekstrak daun BPA dapat dibuat salep, yaitu sediaan setengah padat yang ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir (Anonim, 1995). Bentuk sediaan ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain mudah digunakan, tidak mengganggu kenyamanan pasien, dan tidak mengalami metabolisme lintas pertama. Berdasarkan data yang telah dipaparkan, diperlukan penelitian untuk membuktikan aktivitas penyembuhan luka dari salep ekstrak daun BPA. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu alternatif dalam pengobatan luka dengan memanfaatkan bahan alam sehingga dapat menekan biaya pengobatan luka sekaligus mengembangkan penelitian tentang tanaman obat Indonesia.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana stabilitas fisik sediaan salep ekstrak etanol daun BPA dengan berbagai konsentrasi? 2. Bagaimana potensi iritasi sediaan salep ekstrak etanol daun BPA dengan berbagai konsentrasi? 3. Bagaimana aktivitas sediaan salep ekstrak etanol daun BPA dengan berbagai konsentrasi terhadap penyembuhan luka insisi pada tikus Wistar?
4
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui stabilitas fisik sediaan salep ekstrak etanol daun BPA dengan berbagai konsentrasi. 2. Mengetahui potensi iritasi sediaan salep ekstrak etanol daun BPA dengan berbagai konsentrasi. 3. Mengetahui aktivitas sediaan salep ekstrak etanol daun BPA dengan berbagai konsentrasi terhadap penyembuhan luka insisi pada tikus Wistar.
D. Tinjauan Pustaka 1. Bawang putih anggur a. Taksonomi berdasarkan ITIS (2011): Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Viridiplantae Infrakingdom : Streptophyta Superdivisi
: Embryophyta
Divisi
: Tracheophyta
Subdivisi
: Spermatophytina
Kelas
: Magnoliopsida
Superordo
: Asteranae
Ordo
: Lamiales
Famili
: Bignoniaceae
Genus
: Mansoa
Spesies
: Mansoa alliacea (Lam.) A.H. Gentry
5
Nama tanaman ini pertama kali dideskripsikan dan dipublikasikan sebagai Mansoa alliacea oleh Jean-Baptiste Pierre Antoine de Monet de Lamarck, kemudian pada tahun 1980 direklasifikasi kedalam sistematika botani yang valid oleh Alwyn Howard Gentry (ITIS, 2011).
b. Sinonim Adenocalymma alliaceum, Adenocalymma pachypus, Adenocalymma sagotii,
Bignonia
alliacea,
Pachyptera
alliacea,
Pseudocalymma
alliaceum, Pseudocalymma pachypus, Pseudocalymma sagotti (Taylor, 2006).
c. Nama umum Cipó-de-alho, cipó-d’alho, cipó-alho, alho-da-mata (Brazil), bejuco de ajo (Venezuela), garlic shrub (Inggris), liana à l´all (Prancis), ajo sacha (Peru), garlic creeper (India), garlic vine (Amerika) (Zoghbi dkk., 2009).
d. Deskripsi
Gambar 1. Tanaman bawang putih anggur
6
Bawang putih anggur merupakan tanaman tropis yang tumbuh merambat dan hijau sepanjang tahun. Bawang putih anggur memiliki banyak batang menjalar yang dapat tumbuh hingga 2-3 meter dan tampak seperti semak-semak. Dalam bahasa Spanyol, tanaman ini disebut ajos sacha, yang artinya “bawang putih palsu” karena daunnya, ketika diremas, memiliki bau dan rasa seperti bawang putih. Daun BPA berwarna hijau terang dengan panjang mencapai 15 cm dan bunganya berbentuk terompet dengan warna putih dan ungu (Taylor, 2006).
e. Habitat dan penyebaran Bawang putih anggur dapat tumbuh di tanah yang padat, tidak dekat dengan air, di bawah naungan tumbuh-tumbuhan pendek, dan hutan primer. Banyak ditemui di daerah tropis dengan curah hujan 1800-3500 mm/tahun, pada suhu antara 20-30οC. Tanaman ini tidak dapat tumbuh di daerah yang tergenang air atau ladang terbuka (Zoghbi dkk., 2009). Bawang putih anggur dapat ditemukan tumbuh dengan liar di hutan hujan tropis di Brazil, Ekuador, Peru, Guyana, Costa Rica, Amazon, dan Ucayali (Taylor, 2006).
f. Penggunaan tradisional Bawang putih anggur digunakan sebagai obat oleh suku-suku Indian di Amazon. Suku Shipibo-Conibo menumbuk kulit batang dan daun BPA untuk mengobati memar, bengkak, dan kondisi inflamasi kulit lainnya. Infusa kulit batang dan dekokta daun BPA digunakan dalam pengobatan rematik, artritis,
7
pilek, gangguan rahim, inflamasi, dan epilepsi. Akar BPA dibuat tingtur dan dimanfaatkan sebagai tonik. Suku Ese’eja menggunakan teh daun BPA untuk mengatasi pilek,
sedangkan suku
Amuesha
menggunakannya untuk
meningkatkan kesuburan. Suku Wayapi mencampurkan daun BPA ke dalam air mandi untuk menurunkan demam, sedangkan suku Creoles menggunakan cara yang sama untuk meringankan kram dan nyeri otot (Taylor, 2006).
g. Kandungan kimia Ekstrak metanol dari bunga BPA mengandung β-amirin, β-sitosterol, asam
ursolat,
β-sitosteril-d-glukosida,
apigenin,
luteolin,
7-O-
metilskutellarein, apigenin-7-glukosida, apigenin-7-glukuronida, skutellarein7-glukuronida,
apigenin-7-glukuronil
glukuronida,
dan
apigenin-7-O-
metilglukuronida. Alliin, yang terdapat dalam bawang putih dengan konsentrasi 2,34%, terdapat dalam bunga BPA dengan konsentrasi 1,76% (Zoghbi dkk., 2009). Ekstrak air dari daun BPA mengandung asam amino yang umum terdapat dalam tanaman, sedangkan analisis dari ekstrak metanol 70% menunjukkan keberadaan asam amino yang dominan, yaitu alliin. Persentase alliin dalam daun BPA adalah 2,15%. Ekstrak petroleum eter dari daun kering BPA mengandung senyawa alifatik 32-hidroksiheksatriakontan-4-on, 19hidroksiheksatriakontan-18-on,
pentatriakont-1-en-17-ol,
34-hidroksi-8-
metilheptatriakontan-5-on, n-alkana C25-C35, n-alkanol, stigmasterol, βsitosterol, fukosterol, 24-etilkolest-7-en-3β-ol. Senyawa triterpenoid glisiretol,
8
asam β-peltoboikinolat dan asam 3β-hidroksiurs-18-en-27-oat juga diperoleh dari daun (Zoghbi dkk., 2009). Analisis minyak atsiri dari daun BPA mengarah pada identifikasi dialil trisulfida (44,0%) dan dialil disulfida (37,0%) sebagai komponen utama, serta 1-okten-3-ol (5,0%) dan dialil tetrasulfida (4,0%) (Zoghbi dkk., 2009).
h. Aktivitas biologis Senyawa sulfur, terutama alliin dan berbagai alil sulfida, baik dalam bawang putih maupun BPA sudah banyak diteliti dan dilaporkan dapat menurunkan kolesterol (Yeh & Liu, 2001). Ekstrak etil asetat dari daun BPA terbukti memiliki aktivitas insektisida terhadap Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera (Jeyasankar & Chinnamani, 2014). Bawang putih anggur juga mampu menghambat enzim siklooksigenase, suatu enzim yang berperan dalam reaksi inflamasi, sehingga tanaman ini dapat digunakan dalam pengobatan artritis dan rematik (Dunstan dkk., 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2011) membuktikan bahwa ekstrak petroleum eter dan ekstrak etil asetat dari daun BPA mampu menghambat pertumbuhan virus Newcastle Disease. Fraksi etil asetat dan fraksi kloroform dari ekstrak etanol daun BPA dilaporkan bersifat sitotoksik terhadap sel kanker serviks HeLa (Oggi, 2011). Selain itu, BPA dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba terhadap jamur (Aswini dkk., 2010; Shukla dkk., 2008), virus tanaman (Khurana dan Bhargava, 1970), dan bakteri (Vadlapudi, 2010; Rachel dkk.,
9
2013) sehingga banyak digunakan secara tradisional untuk mengobati flu, pneumonia, dan infeksi saluran pernapasan lainnya.
2. Ekstraksi Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu atau beberapa zat dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut, sedangkan ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995). Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi, dimana material tanaman yang sudah dihancurkan atau dibuat serbuk ditempatkan dalam wadah tertutup dan direndam dengan solven yang sesuai lalu didiamkan dalam jangka waktu tertentu sambil sesekali diaduk (Pandey & Tripathi, 2014). Filtrat kemudian dipisahkan dari residu dengan cara disaring. Solven akan berdifusi menembus dinding sel dan melarutkan isi sel. Solven yang telah melarutkan isi sel (konsentrasi tinggi) akan terdesak keluar dan diganti oleh solven dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Penggunaan wadah tertutup bertujuan untuk mencegah penguapan solven selama periode ekstraksi, sedangkan pengadukan berfungsi membantu proses difusi dengan cara menyebarkan solven pekat yang terakumulasi di sekitar
10
permukaan partikel dan dengan demikian membawa solven segar ke permukaan partikel untuk ekstraksi lebih lanjut (Singh, 2008).
3. Asam ursolat Dari berbagai senyawa kimia yang terkandung dalam daun BPA, senyawa yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah asam ursolat (asam 3β-hidroksiurs-12-en-28-oat), yaitu suatu triterpenoid pentasiklik yang merupakan keluarga siklosqualenoid (Cardenas dkk., 2004).
Gambar 2. Struktur molekul asam ursolat
Asam ursolat diketahui berkhasiat sebagai astringen yang menyebabkan penciutan luka dan peningkatan laju epitelisasi, serta memiliki aktivitas antimikroba (Periyanayagam & Karthikeyan, 2013). Asam ursolat juga menstimulasi sintesis kolagen yang sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka (Puratchikody & Nagalakshmi, 2007). Kandungan asam ursolat dalam ekstrak etanol daun binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis) dilaporkan memiliki aktivitas penyembuhan luka (Yuliani, 2012). Aktivitas lain yang dimiliki asam ursolat diantaranya antikanker (Kaewthawee & Brimson, 2013; Li dkk., 2002), antibakteri (Cunha dkk., 2007),
11
antioksidan (Nascimento dkk., 2014), antiprotease dan antimetastasis (Jedinak dkk., 2006), serta antituberkulosis (Jimenez-Arellanes dkk., 2013).
4. Kromatografi lapis tipis Kromatografi merupakan istilah kolektif untuk sekumpulan teknik laboratorium yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran menjadi komponen-komponen penyusunnya. Prinsip pemisahan dalam kromatografi adalah perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen yang dibawa oleh fase gerak dan ditahan secara selektif oleh fase diam (Kumar dkk., 2013). Fase diam yang digunakan dalam Kromatografi Lapis Tipis (KLT) berupa penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Beberapa penjerap fase diam yang digunakan pada KLT antara lain silika gel, silika yang dimodifikasi dengan hidrokarbon, serbuk selulosa, alumina, kieselguhr, selulosa penukar ion, gel sephadex, dan β-siklodekstrin. Lempeng KLT telah tersedia di pasaran dengan berbagai ukuran dan telah ditambah dengan reagen fluoresen untuk memfasilitasi deteksi bercak solut. Fase gerak yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar & Rohman, 2007). Mekanisme pemisahan pada KLT melibatkan interaksi partisi, adsorpsi, atau gabungan keduanya, tergantung dari fase diam dan fase gerak yang digunakan. Sampel yang dianalisis dilarutkan dengan pelarut yang sesuai kemudian ditotolkan pada fase diam dan dielusi dengan fase gerak dalam suatu
12
bejana tertutup dan fase gerak akan bergerak ke atas pada fase diam mengikuti gaya kapiler hingga batas elusi yang ditetapkan. Seiring dengan pergerakan fase gerak, komponen-komponen dalam sampel juga bergerak dengan kecepatan yang berbeda tergantung pada interaksinya dengan fase gerak dan fase diam. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemisahan senyawa dalam sampel (Kumar dkk., 2013). Senyawa-senyawa hasil pemisahan divisualisasikan dengan detektor yang sesuai (sinar UV, sinar tampak, pereaksi kimia). Pemisahan senyawa diamati dengan menghitung dan membandingkan harga retention factor (Rf) dari bercakbercak yang diperoleh dan dibandingkan dengan senyawa pembanding. 𝑅𝑅𝑅𝑅 =
𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑ℎ 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑ℎ 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
(Kumar dkk., 2013)
Keuntungan KLT antara lain hanya dibutuhkan sampel dalam jumlah sedikit, peralatan yang dibutuhkan sederhana, prosesnya cepat, dan dapat menyediakan informasi kualitatif dan semi-kuantitatif mengenai komponenkomponen utama dalam sampel (Wagner & Bladt, 2001).
5. Salep Salep adalah sediaan setengah padat yang ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir (Anonim, 1995). Syarat-syarat salep yang baik menurut Anief (2007) adalah: a. Stabil Selama masih dipakai mengobati, salep harus stabil pada suhu kamar dan kelembaban dalam kamar.
13
b. Lunak Lunak artinya semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi, inflamasi, dan ekskoriasi. c. Mudah dipakai Supaya mudah dipakai, konsistensi salep tidak boleh terlalu keras maupun terlalu encer, serta dapat melekat pada kulit selama diperlukan. Umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit. d. Basis salep yang cocok Basis salep harus kompatibel secara fisika dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Basis salep tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi obat dan harus mampu melepas obatnya pada daerah yang diobati. Basis juga tidak boleh mengiritasi kulit maupun menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki. e. Protektif Untuk salep tertentu diperlukan kemampuan melindungi kulit dari pengaruh luar baik berupa sifat asam, basa, debu, sinar matahari, dan lain-lain. f. Terdistribusi merata Obat harus terdistribusi merata dalam basis salep agar setiap pemakaian mempunyai khasiat yang sama. Basis salep dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu basis salep hidrokarbon, basis salep absorpsi, basis salep yang dapat dicuci dengan air, dan basis salep yang larut dalam air. Pemilihan basis salep tergantung pada beberapa
14
faktor seperti khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, dan stabilitas sediaan jadi (Anonim, 1995). Basis salep yang dibuat dalam penelitian ini adalah basis salep yang dapat dicuci dengan air. Basis salep ini berupa emulsi minyak dalam air yang dapat dicuci dari kulit dan pakaian dengan air. Dari sudut pandang terapi, basis ini mempunyai kemampuan mengabsorpsi cairan serosal yang keluar dalam kondisi dermatologi. Contoh salep dengan basis yang dapat dicuci dengan air adalah salep hidrofilik yang mengandung natrium lauril sulfat sebagai emulgator, dengan stearil alkohol dan vaselin putih mewakili fase minyak, serta propilen glikol dan air mewakili fase air. Metilparaben dan propilparaben digunakan sebagai pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroba (Ansel, 1985).
6. Pemerian bahan a. Natrium lauril sulfat (CH3(CH2)10CH2OSO3Na) Natrium lauril sulfat adalah campuran dari natrium alkil sulfat, sebagian besar mengandung natrium lauril sulfat. Kandungan campuran natrium klorida dan natrium sulfat tidak lebih dari 8,0%. Pemerian : Hablur, kecil, berwarna putih atau kuning muda; agak berbau khas. Kelarutan : Mudah larut dalam air; membentuk larutan opalesen (Anonim, 1995). Natrium lauril sulfat merupakan surfaktan anionik yang digunakan dalam berbagai sediaan nonparenteral dan kosmetik sebagai detergen,
15
emulgator, lubrikan pada tablet dan kapsul, serta agen pembasah. Konsentrasi natrium lauril sulfat yang digunakan sebagai emulgator adalah 0,5-2,5% (Rowe dkk., 2009).
b. Propilen glikol (CH3CH(OH)CH2OH) Propilen glikol mengandung tidak kurang dari 99,5% C3H8O2. Pemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna; rasa khas; praktis tidak berbau; menyerap air pada udara lembab. Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, dengan aseton, dan dengan kloroform; larut dalam eter dan dalam beberapa minyak esensial; tetapi tidak dapat bercampur dengan minyak lemak (Anonim, 1995). Propilen glikol digunakan secara luas sebagai solven, humektan, desinfektan, pengawet, agen penstabil, dan kosolven yang campur dengan air. Propilen glikol merupakan solven yang lebih baik dibandingkan gliserin dan dapat melarutkan berbagai jenis material, seperti kortikosteroid, fenol, sulfa, barbiturat, vitamin A dan D, sebagian besar alkaloid, dan banyak anestesi lokal. Propilen glikol digunakan dalam konsentrasi sekitar 15% sebagai humektan dan 5-80% sebagai solven atau kosolven sediaan topikal (Rowe dkk., 2009).
c. Stearil alkohol (C13H38O) Stearil alkohol adalah campuran alkohol padat, terutama terdiri dari stearil alkohol.
16
Pemerian : Butiran atau potongan, licin, putih; bau khas lemah; rasa tawar. Kelarutan : Sukar larut dalam air; larut dalam etanol dan dalam eter (Anonim, 1979). Stearil alkohol biasa digunakan dalam kosmetik, krim, dan salep untuk membentuk tekstur yang kaku. Stearil alkohol meningkatkan stabilitas emulsi dengan cara meningkatkan viskositasnya. Stearil alkohol juga memiliki sifat emolien dan emulgator lemah, dan digunakan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan air pada salep (Rowe dkk., 2009).
d. Vaselin putih Vaselin putih adalah campuran yang dimurnikan dari hidrokarbon setengah padat, diperoleh dari minyak bumi dan keseluruhan atau hampir keseluruhan dihilangkan warnamya. Dapat mengandung stabilisator yang sesuai. Pemerian : Putih atau kekuningan pucat, massa berminyak transparan dalam lapisan tipis setelah didinginkan pada suhu 0o. Kelarutan : Tidak larut dalam air; sukar larut dalam etanol dingin atau panas; mudah larut dalam benzena, dalam karbon disulfida, dalam kloroform; larut dalam heksana, dan dalam sebagian besar minyak lemak dan minyak atsiri (Anonim, 1995). Vaselin terutama digunakan dalam sediaan topikal sebagai basis salep dan juga digunakan dalam krim dan sediaan transdermal. Konsentrasi vaselin dalam salep dapat mencapai 100% (Rowe dkk., 2009).
17
e. Aquades (H2O) Aquades adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik, atau proses lain yang sesuai. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum. Tidak mengandung zat tambahan lain. Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna; tidak berbau (Anonim, 1995). Aquades digunakan sebagai bahan pembawa dan solven dalam proses pembuatan produk farmasi (Rowe dkk., 2009).
f. Metilparaben (C8H8O3) Metilparaben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C8H8O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian : Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih; tidak berbau atau berbau khas lemah; mempunyai sedikit rasa terbakar. Kelarutan : Sukar larut dalam air, dalam benzena dan dalam karbon tetraklorida; mudah larut dalam etanol dan dalam eter (Anonim, 1995). Metilparaben digunakan secara luas sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, makanan, dan formulasi farmasetik. Dapat digunakan secara tunggal maupun dikombinasikan dengan paraben lain atau dengan antimikroba lain. Paraben memiliki efektivitas dalam rentang pH yang lebar dan merupakan antimikroba berspektrum luas. Konsentrasi metilparaben yang digunakan dalam preparat topikal adalah 0,02-0,3% (Rowe dkk., 2009).
18
g. Propilparaben (C10H12O3) Propilparaben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C10H12O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian : Serbuk putih atau hablur kecil, tidak berwarna. Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol, dan dalam eter; sukar larut dalam air mendidih (Anonim, 1995). Propilparaben digunakan secara luas sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, makanan, dan sediaan farmasi. Dapat digunakan secara tunggal maupun dikombinasikan dengan paraben lain atau dengan antimikroba lain. Konsentrasi propilparaben yang digunakan dalam preparat topikal adalah 0,01-0,6% (Rowe dkk., 2009).
h. Butil Hidroksitoluen (C15H24O) Butil hidroksitoluen (BHT) mengandung tidak kurang dari 99,0% C15H24O. Pemerian : Hablur padat, putih; bau khas, lemah. Kelarutan : Tidak larut dalam air dan propilen glikol; mudah larut dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter (Anonim, 1995). Butil hidroksitoluen digunakan sebagai antioksidan dalam kosmetik, makanan, dan produk farmasi, terutama untuk menunda atau mencegah ketengikan akibat oksidasi lemak dan minyak dan juga mencegah hilangnya aktivitas vitamin larut lemak. Konsentrasi BHT yang digunakan dalam produk topikal adalah 0,0075-0,1% (Rowe dkk., 2009).
19
7. Stabilitas fisik salep Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu syarat salep yang baik adalah stabil. Pengujian yang dilakukan pada salep untuk memastikan stabilitasnya antara lain: a. Uji organoleptis Pengujian organoleptis bertujuan untuk mengetahui organoleptis sediaan yang meliputi warna, aroma, dan konsistensinya. Organoleptis yang baik turut mempengaruhi penerimaan sediaan salep. b. Uji kelarutan bahan Pengujian ini dilakukan untuk melihat secara fisik mengenai kelarutan bahanbahan dalam salep. Tidak adanya gumpalan atau butiran kasar pada tiap-tiap bagian menunjukkan bahwa semua bahan-bahan dalam salep terlarut sempurna. c. Uji daya lekat Pengujian daya lekat bertujuan untuk mengetahui kemampuan sediaan untuk bertahan pada kulit. Semakin lama salep melekat pada kulit maka efek yang ditimbulkan akan semakin baik. Persyaratan daya lekat yang baik adalah tidak kurang dari 4 detik. d. Uji daya sebar Pengujian daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan penyebaran salep pada kulit. Semakin mudah salep diratakan pada kulit maka akan semakin memperluas area kontak dengan kulit sehingga absorpsi zat aktifnya
20
semakin besar. Persyaratan daya sebar untuk sediaan topikal adalah sekitar 5-7 cm. e. Uji pH Pengujian pH salep bertujuan untuk memastikan bahwa sediaan salep yang dibuat memiliki pH yang sesuai dengan pH fisiologis kulit, yaitu 4,5-6,5. Kesesuaian pH kulit dengan pH sediaan topikal mempengaruhi penerimaan kulit terhadap sediaan. Sediaan yang terlalu asam maupun terlalu basa akan menyebabkan iritasi pada kulit (Hairima dkk., 2013; Ulaen dkk., 2012).
8. Betadine® Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah salep Betadine® yang mengandung 10% povidon iodin. Povidon iodin merupakan kompleks iodin, suatu bakterisida, dengan polivinilpirolidon (povidon), suatu polimer sintetik yang berfungsi sebagai bahan pembawa yang melepaskan iodin secara bertahap (Burks, 1998). Bahan pembawa ini mempertahankan aktivitas antimikroba spektrum luas dari iodin tetapi mengurangi efek samping yang dikaitkan dengan tingtur iodin dan larutan lugol (Kumar dkk., 2009). Iodin
merupakan
antimikroba
berspektrum
luas
yang
mampu
menghancurkan bakteri, endosperma, jamur, dan protozoa melalui interaksi oksidatif dan iodinasi langsung terhadap makromolekul biologi. Povidon iodin telah dibuat menjadi berbagai bentuk sediaan, diantaranya serbuk, tablet, salep, gel, dan larutan (Kumar dkk., 2009).
21
9. Uji iritasi Iritasi kulit adalah munculnya kerusakan reversibel pada kulit setelah aplikasi bahan uji selama 4 jam (OECD, 2002). Gejala umum yang dapat diamati pada iritasi, seperti panas dan kemerahan (eritema), disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah pada daerah tersebut. Selain itu, dapat juga diamati terjadinya edema, yaitu perbesaran plasma yang membeku pada daerah yang terluka, dan dipercepat dengan adanya jaringan fibrosa yang menutupi daerah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka harus dilakukan uji iritasi sebelum pemakaian pada manusia sehingga reaksi hipersensitivitas dapat dicegah. Iritasi primer biasanya diukur dengan patch test pada kulit kelinci. Adanya tanda-tanda iritasi pada kulit hewan coba mengarah pada kemungkinan terjadi iritasi pada kulit manusia (Irsan dkk., 2013).
10. Penyembuhan luka Kulit merupakan organ terbesar penyusun tubuh manusia yang memiliki berbagai fungsi penting, antara lain sebagai pengatur keluar masuknya air, elektrolit,
dan zat-zat
lain,
pengatur
suhu
tubuh,
pelindung
terhadap
mikroorganisme, radiasi ultraviolet, bahan beracun, dan benturan fisik, serta sebagai indera peraba (Kanitakis, 2002; Ejaz dkk., 2009). Ketika kulit mengalami luka, yaitu kerusakan atau gangguan pada struktur anatomi kulit, maka kulit tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga sangat penting untuk mengembalikan integritasnya sesegera mungkin (Lazarus dkk., 1994).
22
Luka dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Bentuk luka bermacam-macam tergantung penyebabnya, misalnya luka sayat disebabkan oleh benda tajam, sedangkan luka tusuk akibat benda runcing. Luka robek merupakan luka yang tepinya tidak rata atau compang-camping disebabkan oleh benda yang permukaannya tidak rata. Luka lecet pada permukaan kulit akibat gesekan disebut ekskoriasi (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Luka dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu penyembuhan maupun kedalamannya. Berdasarkan waktu penyembuhannya, ada luka akut dan luka kronis. Luka akut antara lain berupa luka lecet/gores, luka tusuk, dan luka sayat. Pada individu yang sehat, luka akut akan sembuh dalam waktu 3-4 minggu dengan fase remodelling berlangsung sampai tahun berikutnya. Jika proses penyembuhan luka terhambat di salah satu dari 4 fase (hemostasis, inflamasi, proliferasi, remodeling), maka luka tersebut menjadi luka kronis, yaitu luka yang melewati proses perbaikan tanpa menghasilkan integritas anatomis dan fungsional (Orsted dkk., 2011). Berdasarkan kedalamannya, luka dibagi ke dalam 4 stadium. Pada stadium I, tidak terjadi kehilangan lapisan kulit dan ditandai dengan kulit yang memerah tapi tidak rusak. Luka stadium II ditandai dengan hilangnya seluruh lapisan epidermis dan sebagian dermis. Luka stadium III merupakan kerusakan pada seluruh epidermis, dermis, dan dapat melibatkan jaringan subkutan. Luka stadium IV merupakan perluasan stadium III dan melibatkan kerusakan pada otot, tendon, dan tulang (Berardi dkk., 2009).
23
Penyembuhan luka melibatkan hubungan timbal balik yang dinamis antara sitokin, sel, dan matriks ekstraseluler dalam 4 fase yang berlangsung secara tumpang-tindih, yaitu: a. Hemostasis Hemostasis adalah penutupan pembuluh darah yang rusak oleh platelet yang terjadi segera setelah terbentuknya luka (Orsted dkk., 2011). Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan pendarahan, dan tubuh berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melekat, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Trombosit yang berlekatan akan
berdegranulasi,
melepas kemoatraktan
yang
menarik
sel radang,
mengaktifkan fibroblas lokal dan sel endotel serta vasokonstriktor (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010).
b. Inflamasi Inflamasi ditandai dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang mensekresikan sitokin dan faktor pertumbuhan (Ejaz dkk., 2009), serta pembersihan jaringan yang rusak dan fagositosis mikroorganisme oleh neutrofil dan makrofag. Fase ini terjadi sampai dengan hari ke-4 setelah luka (Orsted dkk., 2011). Tanda dan gejala klinis inflamasi berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
24
Aktivitas selular yang terjadi yaitu pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Monosit dan limfosit yang kemudian muncul, ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit, dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah. Monosit yang berubah menjadi makrofag ini juga menyekresi bermacam-macam sitokin dan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010).
c. Proliferasi Fase proliferasi dimulai sekitar 4 hari setelah luka dan biasanya berlangsung sampai hari ke-21 pada luka akut, tergantung pada ukuran luka dan kondisi kesehatan pasien. Proliferasi ditandai dengan angiogenesis, penumpukan kolagen, pembentukan jaringan granulasi, penutupan luka, dan epitelisasi (Orsted dkk., 2011). Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblas. Fibroblas berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam amino glisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini, serat kolagen dibentuk dan dihancurkan kembali untuk menyesuaikan dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblas, dan kolagen, serta
25
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase remodelling (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010).
d. Pembentukan kembali (remodelling) Fase
remodelling
meliputi
regresi
kapiler,
reorganisasi
matriks
ekstraseluler, dan pematangan jaringan yang menjamin stabilitas struktural dan mekanis dari lapisan-lapisan penyusun kulit. Proses ini bisa berlangsung sampai dengan 2 tahun setelah luka (Orsted dkk., 2011). Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan yang sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan besarnya regangan. Selama proses ini
26
berlangsung, dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, lentur, serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka menurut Berardi dkk. (2009) dapat dikelompokkan menjadi: a. Faktor lokal Faktor lokal yaitu perfusi dan oksigenasi jaringan, infeksi, dan karakteristik luka. Sistem pembuluh darah yang buruk akan menunda penyembuhan luka, sedangkan oksigenasi yang buruk menyebabkan melemahnya aktivitas leukosit, menurunnya produksi kolagen, melambatnya proses epitelisasi, dan menurunnya resistensi terhadap infeksi. Penyakit yang menyebabkan penurunan perfusi antara lain diabetes, anemia parah, hipotensi, dan gagal jantung kongestif. Infeksi akan berkembang jika terdapat kontaminasi bakteri pada level yang tinggi (misalnya >105 bakteri/gram jaringan luka), kondisi lingkungan jaringan yang buruk (misalnya nekrosis), kondisi sistemik tertentu (misalnya usia, terapi steroid, malnutrisi), dan inkompetensi sistem imun. Adanya infeksi pada luka akan menunda sintesis kolagen dan epitelisasi sehingga memperpanjang fase inflamasi. Tanda dan gejala dari infeksi lokal antara lain eritema, edema, pengerasan, nyeri, dan timbulnya nanah di area yang terinfeksi. Infeksi sistemik ditandai oleh demam, gejala mirip flu, dan leukositosis.
27
b. Faktor sistemik Faktor sistemik meliputi nutrisi, usia, berat badan, diabetes melitus, dan pengobatan tertentu. Nutrisi yang cukup menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk perbaikan jaringan. Protein, karbohidrat, dan vitamin diperlukan untuk produksi kolagen dan pembentukan energi seluler. Vitamin A dan C meningkatkan integritas luka. Vitamin A mendukung sintesis kolagen dan menstimulasi epitelisasi dengan cara mempercepat pergantian sel. Vitamin C diperlukan untuk menjaga integritas membran sel. Zink juga dapat mempercepat penyembuhan luka melalui peningkatan proliferasi sel. Penuaan dapat menyebabkan respon inflamasi yang tertunda dan dikaitkan dengan kerapuhan kapiler, penurunan sintesis kolagen, dan epitelisasi yang lambat. Pasien obesitas bermasalah pada perfusi yang buruk karena kurangnya pembuluh darah pada jaringan lemak sehingga cenderung mengalami penundaan penyembuhan luka. Diabetes yang tidak terkontrol dikaitkan dengan penurunan sintesis kolagen, penundaan penutupan luka dan migrasi epidermis. Kortikosteroid menekan inflamasi sehingga menyebabkan penurunan pada proses angiogenesis, sintesis kolagen, dan fagositosis. Antikoagulan berpengaruh pada fase awal inflamasi. Obat-obat antineoplastik dan terapi radiasi berpengaruh pada pembelahan sel yang berperan dalam fungsi fibroblas dan reepitelisasi.
28
E. Landasan Teori Penambahan ekstrak etanol daun BPA ke dalam basis kemungkinan akan mengubah karakteristik basis tersebut sehingga dapat mempengaruhi stabilitas fisik dari salep yang dihasilkan. Daun BPA banyak digunakan oleh suku-suku Indian di Amazon sebagai campuran air mandi untuk menurunkan demam serta meringankan kram dan nyeri otot. Selain itu, tumbukan daun BPA dapat digunakan sebagai analgesik dengan cara dioleskan pada bagian yang sakit. Mengingat luasnya penggunaan daun BPA secara topikal, diharapkan salep ekstrak etanol daun BPA tidak berpotensi menimbulkan iritasi primer. Daun BPA diketahui mengandung asam ursolat yang berkhasiat sebagai astringen yang menyebabkan penciutan luka dan peningkatan laju epitelisasi, memiliki aktivitas antimikroba, serta dapat menstimulasi sintesis kolagen. Dengan demikian, diharapkan salep ekstrak etanol daun BPA yang mengandung asam ursolat mempunyai aktivitas penyembuhan luka insisi pada tikus Wistar.
F. Keterangan Empirik 1. Penambahan ekstrak etanol daun BPA ke dalam basis mempengaruhi stabilitas fisik salep yang dihasilkan. 2. Salep ekstrak etanol daun BPA tidak berpotensi menimbulkan iritasi primer. 3. Salep ekstrak etanol daun BPA yang mengandung asam ursolat, dengan jalur pemberian topikal, memiliki aktivitas terhadap penyembuhan luka insisi pada tikus Wistar.