1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Bank sebagai lembaga intermediasi, memiliki fungsi sebagai perantara keuangan. Dalam peranannya tersebut, terdapat hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat “percaya” untuk menempatkan uangnya dalam produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di banknya dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa perbankan. 1 Transaksi perbankan merupakan hubungan hukum antara bank dan nasabah di bidang bisnis, yang di dalamnya kedua belah pihak saling membutuhkan. Transaksi perbankan terdiri atas transaksi di bidang pendanaan dan transaksi di bidang perkreditan. Transaksi perbankan
di bidang perkreditan memberikan peran bagi bank
sebagai lembaga penyedia dana bagi debitur. Bentuknya dapat berupa kredit, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit usaha kecil, dan jenis-jenis kredit lainnya sesuai dengan kebutuhan debiturnya. Hubungan antara debitur dan bank merupakan
1
Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal.1
1
Universitas Sumatera Utara
2
hubungan interpersonal di bidang perkreditan bertumpu pada suatu kepercayaan atau lebih lazim dikenal dengan kredit. Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan utang piutang pada umumnya. Namun senyatanya dalam kaidah hukum perdata, antara utang dan kredit merupakan dua perbuatan hukum yang berbeda dan memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda pula.2 Utang piutang pada umumnya disebut dengan pinjam habis pakai atau dengan istilah verbuikleen dalam bahasa Belanda yang kemudian diartikan lebih lanjut sebagai pinjam mengganti.3 Pinjam mengganti menurut hukum perdata, yaitu salah satu pihak melepaskan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain yang menghabiskannya apabila dipakai dengan janji bahwa di kemudian hari uang atau barang tersebut dikembalikan dalam jumlah yang sama, dalam keadaan yang sejenis, dalam keadaan yang sama.4 Ketentuan di atas sebagaimana dimuat dalam Pasal 1757 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Apabila sang debitur tidak membayar bunga atas pinjamannya maka kreditur tidak dapat membayar bunga atas pinjamannya maka kreditur tidak dapat menuntut kebatalan atas perjanjian utang piutangnya apabila bunga atas utang tidak diperjanjikan sebelumnya”.
2 Harun Badriyah, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hal.1 3 Ibid 4 Lihat Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta 2001
Universitas Sumatera Utara
3
Dengan kata lain, tidak ada bunga utang piutang bila tidak diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya. Ketentuan dalam pinjam mengganti atau utang piutang pada umumnya ini berbeda dengan ketentuan dalam kredit perbankan yang memiliki kekhasan tersendiri. Istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere” (lihat pula “credo” dan “creditum”), yang kesemuanya berarti kepercayaan (dalam bahasa Inggris “faith” dan ”trust”). Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit, lazimnya bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dan dengan syaratsyarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan.5 Dalam membangun suatu kepercayaan, antara para pihak dibutuhkan berbagai informasi. Informasi-informasi yang dibutuhkan dari nasabah akan diminta pihak bank yang dikenal dengan persyaratan-persyaratan kredit. Untuk memperoleh keyakinan, sebelum mengabulkan kredit, pihak kreditur atau bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Dalam dunia perbankan kelima faktor diatas dikenal dengan sebutan “the five c’s of credit analysis” atau prinsip 5 C’s,
5
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal.236
Universitas Sumatera Utara
4
yaitu Character (sifat/watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Collateral (agunan) dan Condition of Economy (keadaan/prospek ekonomi).6 Demi tercapainya falsafah tesebut maka apabila ada pihak yang ingin mengajukan permohonan kredit, bank harus melakukan pertimbangan dan analisa terhadap berbagai hal seperti analisa 5 C’s, kemampuan bank itu sendiri dalam memberikan kredit serta melaksanakan prinsip kehati-hatian yang tercantum dalam Pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan.7 Untuk dilaksanakannya pemberian kredit itu, harus ada suatu kesepakatan antara bank sebagai kreditur dengan nasabah penerima kredit sebagai debitur yang dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian. Adapun M. Yahya Harahap memberikan definisi perjanjian sebagai berikut : 8 “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.” Perjanjian antara bank dengan nasabah penerima kredit disebut juga sebagai Perjanjian kredit dimana perjanjian ini berakar pada perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang mempunyai definisi sebagai suatu perjanjian dengan pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat 6 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 28 7 Ibid , hal.30 8 Sri Soesilowati, et al, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya Jakarta, Jakarta, 2005, hlm. 134.
Universitas Sumatera Utara
5
bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. 9 Dilihat dari hubungan hukum antara pemberi kredit (lender) dan debitur (borrower), ada 3 (tiga) macam cara bagi seorang debitur dalam memperoleh kredit untuk keperluan usahanya dari lembaga pemberi kredit. Cara yang pertama, debitur memperoleh kredit hanya dari satu lembaga pemberi kredit bagi seluruh kebutuhan kreditnya. Cara yang kedua, debitur memperoleh kredit dari suatu sindikasi yang anggotanya terdiri atas lembaga-lembaga pemberi kredit. Pada cara yang kedua ini, terdapat satu perjanjian kredit saja, perjanjian antara debitur dengan sindikasi sebagai pemberi kredit, hal ini dikenal dengan “sindikasi kredit”.10 Cara yang ketiga, debitur menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya. Artinya, terdapat beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur dan masing-masing lembaga pemberi kredit tersebut. Secara hukum, masing-masing perjanjian kredit itu tidak berhubungan satu sama lain kecuali apabila di dalam masing-masing perjanjian kredit dicantumkan cross default clause (“klausula ingkar janji silang”). Klausul tersebut berisi pernyataan hukum yang mengikat para pihak bahwa apabila debitur mengalami kemacetan kredit yang diperoleh dari lembaga pemberi kredit yang lain maka kredit yang diterima debitur berdasarkan perjanjian tersebut 9
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 125. Sindikasi kredit atau loan syndication berbeda dengan kredit sindikasi atau syndicated loan. Sindikasi kredit adalah suatu sindikasi yang peserta – pesertanya terdiri dari lembaga – lembaga pemberi kredit yang dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kredit kepada suatu perusahaan yang memerlukan kredit untuk membiayai suatu proyek. Sedangkan yang dimaksud dengan kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan oleh sindikasi kredit. 10
Universitas Sumatera Utara
6
menjadi demi hukum ingkar janji (default) dan dengan demikian pemberi kredit berhak untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh kredit sekalipun jangka waktu kredit belum berakhir atau masa penyicilan belum tiba saatnya. Hal ini disebut dengan sistem “joint financing”. 11 Dalam joint financing kredit diberikan kepada pelanggan perusahaan pembiayaan (multifinance company) atau kepada debitur bank dengan sumber dana yang berasal dari beberapa bank atau bank dengan perusahaan pembiayaan non bank.12 Perikatan ditinjau dari segi pemenuhan pembayaran kembali uang yang dipinjam dapat dibagi menjadi dua jenis perikatan. Pertama, transaksi kredit “tanpa jaminan” atau “unsecured transaction” yang dapat dijabarkan sebagai perjanjian yang
11
Sutan Remy, Sjahdeini, Kredit Sindikasi Proses, Teknik Pemberian, dan Aspek Hukumnya, PT Kreatama, Jakarta, 2006, hlm. 1. 12 Joint financing berbeda dengan kredit sindikasi, adapun perbedaan tersebut terletak dalam bentuk perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Dalam joint financing, debitur menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya. Artinya, terdapat beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur dengan lembaga pemberi kredit, di mana di dalam masing-masing perjanjian kredit dicantumkan cross default clause. Agunan yang diberikan oleh debitur kepada para kreditur dalam pemberian kredit tersebut adalah satu atau sama dan para kreditur bersama-sama sebagai pemegang jaminan dengan adanya perjanjian berbagi jaminan di antara mereka, dimana pelaksanaan pemberian kredit tersebut diadministrasikan oleh satu agen yang sama. Sedangkan dalam kredit sindikasi, para kreditur bersama-sama mengikatkan diri dalam satu perjanjian kredit yang sama dengan agunan yang sama, untuk memberikan kredit kepada debitur pemohon dana. Definisi tersebut diatas mencakup semua unsur-unsur yang penting dari suatu kredit sindikasi. Pertama, kredit sindikasi melibatkan lebih dari satu lembaga pembiayaan dalam suatu fasilitas sindikasi. Kedua, definisi tersebut menyatakan bahwa kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang sama bagi masing-masing peserta sindikasi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hanya ada satu perjanjian kredit antara nasabah dan sebuah bank peserta sindikasi. Ketiga, definisi tersebut menegaskan bahwa hanya ada satu dokumentasi kredit, karena dokumentasi inilah yang menjadi pegangan bagi semua bank peserta sindikasi secara bersama – sama. Keempat, sindikasi tersebut juga diadministrasikan oleh satu agen yang sama bagi semua bank peserta sindikasi. Bila tidak demikian halnya, maka terpaksa harus ada serangkaian fasilitas bilateral (dua pihak), yang sama tetapi mandiri, antara masing -masing bank peserta dengan nasabah.
Universitas Sumatera Utara
7
tidak mempunyai jaminan (not guaranteed) atau tidak ada perlindungan (not protected) atas pemenuhan pembayaran kembali hutangnya. Dalam hal ini, pelunasan pembayaran kembali hutang, tidak dijamin dengan sesuatu barang yang mempunyai nilai atau harga yang sama atau melebihi jumlah pinjaman. Itulah sebabnya, ditinjau dari aspek bisnis, transaksi tersebut dapat dikategorikan sebagai unsecured debt karena merupakan transaksi utang tanpa jaminan sedangkan dari aspek yuridis, disebut tuntutan tanpa jaminan (unsecured claim) dan krediturnya dikategorikan kreditur tanpa jaminan (unsecured kreditur).13 Apabila tidak ada jaminan khusus yang diberikan oleh debitur kepada kreditur maka apabila debitur lalai/cidera janji (wanprestasi) dalam memenuhi kewajibannya membayar hutang maka kreditur harus mengajukan gugatan untuk membuktikan kelalaian debitur dan apabila putusan telah menyatakan debitur lalai, kreditur dapat langsung
memohon
penetapan
kepada
Pengadilan
Negeri setempat
untuk
mengeksekusi benda yang dijaminkan dalam perjanjian kredit tersebut. Setelah permohonan dikabulkan maka kelanjutan sita eksekusi adalah penjualan lelang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (1) Herziene Indlansch Reglement (“HIR”) dan Pasal 218 ayat (2) Rechtsreglement Voor de Buitengewesten (“Rbg”) yang pada intinya menyatakan bahwa penjualan barang yang disita dilakukan dengan perantaraan Kantor Lelang, oleh pejabat yang menyita barang itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, satu sama lain menurut pertimbangan Ketua Pengadilan
13
M. Yahya, Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 179.
Universitas Sumatera Utara
8
Negeri setempat. Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, Undang-undang memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan Kantor Lelang dan penjualannya disebut Penjualan Lelang (executoriale verkoop atau foreclosure sale). Kedua, transaksi kredit yang “dilindungi jaminan” atau secured transaction, dimana terhadap utang atau pinjaman, debitur memberi barang jaminan sebagai perlindungan pemenuhan pembayaran kepada kreditur. Apabila debitur ingkar atau lalai memenuhi pembayaran utang sebagaimana mestinya sesuai dengan perjanjian, pemenuhan dapat dipaksa (imposed) dengan jalan eksekusi barang jaminan di mana kreditur dilindungi dengan hak preferensi (untuk menerima pelunasan terlebih dahulu dibanding kreditur lainnya) dan hak separatis serta hak parate eksekusi yang menyebabkan kreditur dapat memperoleh pelunasan piutangnya melalui “penjualan lelang” berdasarkan penetapan pengadilan tanpa perlu mengajukan gugatan terlebih dahulu atau melalui penjualan barang jaminan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dari segi bisnis, transaksi ini dikategorikan sebagai transaksi utang yang dilindungi jaminan (secured debt) dan kreditur berada dalam posisi terjamin (secured creditor) sedangkan dari segi hukum, tuntutan pemenuhan pembayaran utang dilindungi dengan barang jaminan, sehingga dikategorikan sebagai secured claim dengan jalan menjual atau mengeksekusi barang jaminan melalui pengadilan.14
14
Ibid, hlm. 180
Universitas Sumatera Utara
9
Adapun dalam transaksi perkreditan atau peminjaman uang, jaminan yang diserahkan debitur harus dibuat dengan perjanjian antara pemilik jaminan dengan kreditur atau bank yang disebut perjanjian pengikatan jaminan yang sifatnya accesoir.15 Sebagaimana telah disebutkan di atas, jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan. Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.16 Secara umum, benda dalam Pasal 504 KUH Perdata dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu yang bergerak dan yang tidak bergerak, maka tanggung jawab si berhutang menurut Pasal 1131 KUH Perdata, pada asasnya meliputi seluruh harta si berhutang, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, dan yang dipakai sebagai patokan untuk mengukur ”yang sudah atau akan ada” adalah saat hutang dibuat.17 Hukum Jaminan dan untuk masing-masing kelompok benda oleh KUH Perdata diberikan lembaga jaminannya masing-masing. Untuk benda bergerak disediakan lembaga jaminan berbentuk gadai (diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata) dan Fidusia (diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia) 15 Accesoir artinya perjanjian pengikatan jaminan merupakan perjanjian tambahan yang eksistensinya atau keberadaannya mengikuti perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit. 16 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 62. 17 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
10
sedangkan untuk benda tetap (tidak bergerak) disediakan lembaga hipotik untuk kapal yang terdaftar dengan isi kotor 20 m3 (dua puluh meter kubik) atau lebih dan pesawat terbang (diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata) dan Hak Tanggungan untuk benda tidak bergerak berupa tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (”UUHT”). 18 Tanah digolongkan benda tidak bergerak menurut sifatnya di mana tiap bagian dari bumi yang dapat diberi batas dan segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung melekat padanya dalam satu kesatuan, yakni tanah dengan segala sesuatu yang melekat dengan tanah, baik organis maupun mekanis, termasuk pekarangan serta kebun dan segala sesuatu yang tumbuh di atas tanah.19 Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit sebab tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak dan sulit untuk digelapkan dan dapat dibebani dengan hak tanggungan yang merupakan jaminan khusus yang memberikan hak istimewa kepada kreditur sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan dibandingkan dengan kreditur lainnya, Hak Tanggungan juga selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek itu berada dan Hak Tanggungan juga memenuhi asas spesialitas dan publisitas 18
Salim, HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 94.
19
Kie, Tan Thong Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2007, hlm. 152.
Universitas Sumatera Utara
11
sehingga dapat mengikat pihak ketiga, memberikan kepastian hukum kepada pihak pihak yang berkepentingan dan mudah serta pasti pelaksanaan eksekusinya. Konsep mengenai kepastian hukum bagi para kreditur yang memberikan kredit dengan sistem cross collateral terutama dalam mengeksekusi jaminan Hak Tanggungan apabila debitur ingkar janji atau wanprestasi (default) merupakan topik yang sangat perlu diteliti, karena dalam kasus ini pemberian kredit diberikan oleh lebih dari satu kreditur kepada satu debitur yang sama dalam waktu yang berbeda atau tidak secara bersamaan dengan jaminan berupa tanah sehingga atas tanah tersebut dibebankan lebih dari 1 (satu) peringkat Hak Tanggungan kepada masing masing kreditur. Ketentuan Hak Tanggungan sendiri mengatur bahwa suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang.20 Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan maka masing-masing Hak Tanggungan diberikan peringkat yang ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan.21 Selanjutnya dalam hal debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
20
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 21 Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Universitas Sumatera Utara
12
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.22 Dengan ketentuan tersebut maka dalam hal joint financing kredit dengan pemberian jaminan tanah dan bangunan yang diikat dengan Hak Tanggungan tidak menutup kemungkinan akan timbul masalah dikemudian hari terkait dengan proses penjualan objek jaminan, pelunasan hutang dan pelaksanaan joint financing kredit itu sendiri. Disebabkan karena kreditur kedua dan/atau seterusnya selaku pemegang Hak Tanggungan selain peringkat pertama atau terdahulu menurut ketentuan UUHT lebih memberikan hak preferen atau hak didahulukan pada kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama dibandingkan dengan kreditur kedua dan atau seterusnya guna menjamin pelunasan hutangnya debitur (lebih utama pemegang Hak Tanggungan pertama). Dalam penelitian ini Bank Mandiri merupakan bank yang dijadikan objek dari penelitian mengenai cross collateral. Bank Mandiri merupakan bank terbesar milik pemerintah saat ini yang menjadi pelaku ekonomi yang memiliki peran yang strategis di Indonesia. Yang tentu saja memiliki banyak permasalahan kompleks berkaitan dengan kredit perbankan. Adapun sasaran penelitian ini adalah untuk mengetahui hakikat dari cross default dan cross collateral dalam perjanjian kredit serta upaya yang dapat dilakukan
22
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Universitas Sumatera Utara
13
bank dalam mengeksekusi jaminan yang diikat secara cross collateral bila si debitur wanprestasi. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian yang dimuat dalam latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pengaturan pemberian kredit secara cross collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk ?
2.
Bagaimanakah pelaksanaan sistem pemberian kredit secara cross collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk ?
3.
Bagaimanakah penyelesaian kredit bermasalah terhadap debitur pemegang hak tanggungan yang jaminannnya diikat secara cross collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit secara cross collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk.
2.
Untuk mengetahui pelaksanaan sistem pemberian kredit secara cross collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk.
3.
Untuk mengetahui penyelesaian kredit bermasalah terhadap debitur pemegang hak tanggungan yang jaminannnya diikat secara cross collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk.
Universitas Sumatera Utara
14
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut : 1.
Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya di dalam bidang hukum perbankan, hukum jaminan dan hukum kepailitan yang menyangkut dalam hal proses pemberian kredit cross collateral. 2.
Secara Praktis Penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang jelas kepada
praktisi hukum khususnya notaris dan kalangan perbankan serta masyarakat luas dalam melaksanakan perjanjian kredit, khususnya perjanjian kredit secara cross collateral. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Secara Cross Collateral Pada Perbankan (Studi di PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan Iman Bonjol)” , belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Namun sebagai bahan referensi terdapat penelitian yang dilakukan oleh saudara Ricky, mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan
Universitas Sumatera Utara
15
judul ”Analisis Yuridis Perjanjian Kredit Sindikasi Dengan Jaminan Hak Tanggungan “ (Studi di Bank UOB Indonesia)”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 dan objek penelitiannya yaitu pada bank UOB Indonesia. Sedangkan penelitian tesis ini menjadikan PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan Imam Bonjol menjadi objek yang diteliti. Penelitian tersebut secara spesifik membahas jenis perjanjian kredit yaitu sindikasi dan akibat hukumnya bila terjadi wanprestasi. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertangungjawabkan dari segi isinya. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Sebelum peneliti mengetahui kegunaan dari kerangka teori, maka peneliti
perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai arti teori. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.23 Sedangkan menurut Bintaro Tjokromijoyo dan Mustofa Adidjoto “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan causal yang logis di antara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
23
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986,
hal.126
Universitas Sumatera Utara
16
kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut”.24 Adapun teori sistem dari Mariam Darus yang mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.25 Dari beberapa pengertian teori di atas dapat disimpulkan bahwa maksud kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan untuk proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya gejala-gejala yang timbul. Dengan kata lain menurut M.Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis.26 Menurut Soejono Soekanto, kerangka teori pada penelitian hukum sosiologis atau empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi ilmu hukum.27
24
Bintaro Tjokroamidjoyo dan Mustofa Adijoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Haji Mas Agung, Jakarta, 1998, hal 12 25 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung, Alumni, 1983, hal 15 26 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.13 27 Soejono Soekanto, Op.Cit, hal 127
Universitas Sumatera Utara
17
Berkenaan dengan penelitian ini, maka kerangka teori diarahkan secara khusus pada ilmu hukum yang mengacu pada penelitian hukum normatif. Penelitian ini berupaya guna menganalisis secara hukum terhadap pemberian kredit secara cross collateral, artinya memahami asas hukum perjanjian (sebagai subjek), asas hukum jaminan (sebagai objek) serta akibat hukumnya bila terjadi wan prestasi. Dalam perjanjian kredit yang dilaksanakan antara kreditur dan debitur memuat seperangkat hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan atau ditepati oleh para pihak yang dinamakan prestasi. Menepati (“nakoming”) berarti memenuhi isi perjanjian, atau dalam arti yang lebih luas melunasi (“betaling”) pelaksanaan perjanjian, yaitu memenuhi dengan sempurna segala isi, tujuan dari ketentuan sesuai dengan kehendak yang telah disetujui oleh para pihak.28 Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat empat syarat untuk sahnya perjanjian yaitu, kata sepakat kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal. Untuk mengetahui kapan terjadinya kata sepakat, KUH Perdata sendiri tidak mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori sebagai berikut:29 1.
Teori Kehendak (wilstheorie) : Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi manakala para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian.
28 29
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Allumni,1986, hal.56 Gatot Supramono, Op.Cit, hal.37
Universitas Sumatera Utara
18
2.
Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie): Berdasarkan teori kepercayaan, kata sepakat dalam suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat dipercaya secara obyektif oleh pihak yang lainnya.
3.
Teori ucapan (uitingstheorie): Dalam teori ini yang dilihat adalah ucapan (jawaban) debitur. Kata sepakat dianggap telah terjadi pada debitur mengucapkan persetujuannya terhadap penawaran yang dilakukan kreditur. Kalau dilakukan dengan surat, maka kata sepakat terjadi pada saat menulis surat jawabannya.
4.
Teori pengiriman (verzendingstheorie): Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengirimkan surat jawaban kepada kreditur. Jika dilakukan pengirimannya melalui pos, maka kata sepakat dainggap telah terjadi pada saat surat jawaban tersebut distempel (cap) oleh kantor pos.
5.
Teori penerimaan (ontvangstheorie): Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur menerima surat jawaban dari debitur. Tepatnya pada saat kreditur membaca surat jawaban tersebut, karena saat itu ia mengetahui kehendak debitur.
6.
Teori pengetahuan (vernemingstheorie): Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur mengetahui bahwa debitur telah menyatakan menerima penawarannya. Tampak teori ini lebih luas dari teori penerimaan, karena dalam teori ini memandang kreditur mengetahui kehendak debitur baik melalui surat maupun secara lisan.
Universitas Sumatera Utara
19
Dalam
hukum
perjanjian
juga
dikenal
beberapa
asas
yaitu
asas
30
Asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kepribadian.
konsensualisme adalah kesepakatan, maka asas ini menetapkan terjadinya suatu perjanjian setelah tercapainya kata sepakat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Sebagaimana telah diketahui, kata sepakat diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Sedangkan menurut asas kebebasan berkontrak yaitu setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, asalkan perjanjian itu tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dalam KUH Perdata asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1339. Asas tersebut sebenarnya malah membatasi kebebasan seseorang, karena tidak dapat menikmati kebebasan yang sebebas-bebasnya. Meskipun demikian asas ini dimaksudkan agar setiap orang selalu dapat membuat perjanjian demi kebaikan dan tidak merugikan pihak lain. Berikutnya yaitu asas kepribadian menurut asas ini seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan diri untuk kepentingan dirinya sendiri dalam perjanjian. Asas tersebut diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Pemenuhan prestasi yang dituntut pihak kreditur terhadap debitur dengan maksud agar kreditur tidak menderita suatu kerugian. Dengan mengatur saat-saat 30
Ibid, hal.41
Universitas Sumatera Utara
20
seseorang debitur berada dalam keadaan lalai, pembentuk undang-undang bermaksud untuk menentukan saat yang pasti pada pihak debitur dan kreditur dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, sehingga dengan mudah dapat ditentukan jumlah pembayaran ganti rugi, biaya dan bunga. Kelalaian atau kegagalan merupakan suatu situasi yang terjadi karena salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya atau membiarkan suatu keadaan berlangsung sedemikian rupa (non performance), sehingga pihak lainnya dirugikan secara tidak adil karena tidak dapat menikmati haknya berdasarkan kontrak yang telah disepakati bersama. Karena itu, biasanya cedera janji dirumuskan secara aktif dalam arti bahwa cedera janji dirumuskan secara aktif dalam arti bahwa cedera janji terjadi jika pihak yang berkewajiban tidak melaksanakan kewajibannya atau secara pasif dengan membiarkan keadaan (yang seharusnya dicegah) sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan tertentu.31 Akibat dari tidak dipenuhinya perikatan, kreditur dapat meminta ganti rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang–undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai (ingebreke stelling). Lembaga pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai pada suatu fase, dimana debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi).
31
Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak,Jakarta, Gramedia, 2001,
hal 70-71
Universitas Sumatera Utara
21
Pasal 1243 KUH Perdata mengatakan : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,tetap melalaikannyam atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya.” Jadi yang dimaksud dengan “berada dalam keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat itu dilampauinya, maka debitur ingkar janji (wanprestasi).32 2.
Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi , antara abstraksi dan realitas.33 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstaksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.34 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Berikut peneliti akan sampaikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yang berkenaan dengan penulisan tesis ini sebagai rangkaian operasional, yaitu sebagaimana yang tertera di bawah ini:
32 33
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal.19 Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal 34
Universitas Sumatera Utara
22
1. Kredit adalah “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-memimjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. 35 2. Perjanjian kredit Bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak alam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah (debitur). 36 3. Bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”37 4. Kreditur adalah Pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan hutang piutang tertentu. 5. Debitur adalah Pihak yang berhutang dalam suatu hubungan hutang piutang tertentu. 6. Cross Collateral adalah jaminan yang diserahkan oleh debitur yang telah diikat sesuai dengan jenis jaminannya akan mengkait ke beberapa debitur pada bank atau kreditur yang sama.38
35
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 36 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hal 33 37 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 38 Johannes Ibrahim, Op.cit, hal.107
Universitas Sumatera Utara
23
7. Wanprestasi menurut Subekti adalah “Apabila ia berutang (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia dikatakan melakukan “wan prestasi”, ia alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya”. 39 Sedangkan menurut Yahya Harahap yang dimaksud dengan wan prestasi adalah “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wan prestasi, apabila ia dalam melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga ‘terlambat’ dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya”.40 G. Metode Penelitian Dalam setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.41 Kata Metode berasal dari bahasa Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 42 Metode Penelitian disebut juga sebagai metodologi yang berarti “jalan ke” Terhadap “metodologi”, biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut : 1.
Logika dari penelitian ilmiah 39
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1884, hal 45 Yahya Harahap, Op.cit, hal.60 41 Jujun Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995 hal.328 42 Koenjtaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal.16 40
Universitas Sumatera Utara
24
2.
Studi terhadap prosedur dan teknik penelitian
3.
Suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian.43 Adapun dalam penulisan tesis ini, digunakan metode penelitian sebagai
berikut: 1.
Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, adapun jenis penelitian atau metode pendekatan yang
dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.44 Ronny Hanitijo Soemitro menyatakan bahwa penelitian yuridis-normatif terdiri atas :45 a.
Penelitian inventarisasi hukum positif
b.
Penelitian terhadap asa-asas hukum
c.
Penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito
d.
Penelitian terhadap sistematika hukum
e.
Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal. Maka dengan kata lain peneliti akan melakukan penelitian hukum dengan
melakukan abstraksi melalui proses deduksi dari hukum positif yang berlaku, yang merupakan sistematisasi hukum dan sinkronisasi hukum secara horizontal terhadap
43
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hal.5-6 Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, 2003, Op.cit, hal.13-14 45 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalian Indonesia, Jakarta, 1982,
44
hal.12
Universitas Sumatera Utara
25
perjanjian kredit secara cross collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk, Cabang Imam Bonjol Medan. 2.
Sifat Penelitian Sebagai suatu hasil karya ilmiah yang memenuhi nilai-nilai ilmiah, maka
menurut sifatnya penelitian yang dilaksanakan ini dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif-analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.46 Artinya penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundangundangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai Pemberian Kredit Secara Cross Collateral, khusunya implikasinya bila terjadi wan prestasi oleh debiturnya pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Imam Bonjol Medan. 3.
Sumber Data Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi
kepustakaan yang telah ditekankan pada pengambilan data sekunder.47 Adapun sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah terdiri dari : 1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang diurut berdasarkan hierarki perundang-undangan yang meliputi: 46
Bambang Sunggono, Metodologi Penellitian Hukum, PT Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 1997, hal 38 47 Ibid, hal .15
Universitas Sumatera Utara
26
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. c. Akta Perjanjian Kredit yang berlaku di PT Bank Mandiri, (Persero), Tbk. 2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, yang meliputi : a. Literatur yang membahas mengenai masalah perbankan b. Literatur yang membahas mengenai masalah perjanjian c. Literatur yang membahas mengenai masalah hukum jaminan
3.
Bahan hukum tersier, yaitu berupa berbagai referensi lainnya yangberkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum tersier ini memberikan informassi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain dapat berupa kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan kamus bahasa Inggris serta berbagai majalah hukum dan klipping dari media massa dan internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tersebut.
4.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian hukum, dikenal paling sedikit 3 (tiga) alat pengumpulan data
atau alat penelitian (research instrument), yaitu studi dokumen akta perjanjian kredit atau bahan pustaka, pengamatan dan wawancara atau interview. Ketiga alat penelitian tersebut dapat dipergunakan masing-masing maupun secara bergabung. 48 a.
Studi dokumen, dipakai terhadap kajian buku-buku, hasil penelitian dalam bentuk disertasi dan tesis, peraturan perundangan, terbitan berkala seperti 48
Ibid, hal.66
Universitas Sumatera Utara
27
majalah,bulletin dan surat kabar yang berkaitan dengan masalah penelitian. Metode yang dipakai untuk mengetahui isi dokumen tersebut adalah analisis isi (content analysis). b.
Wawancara yang dilakukan adalah dengan Legal Document and Safe Keeping pada unit bisnis Consumer Loan Business Center, Legal Officer pada unit Recovery Credit Regional dan Relationship Officer pada unit Business Banking Center. Kesemua unit tersebut merupakan unit bisnis pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan Imam Bonjol Medan.
5.
Analisis Data Teknik analisis data penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis
kualitatif, yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan. Sedang metode deskriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya dilapangan. Seluruh data primer dan sekunder yang diperoleh dari penelitian lapangan dan pustaka diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan analisis. Langkah selanjutnya data sekunder yang telah disusun dan ditetapkan sebagai sumber dalam penyusunan tesis ini kemudian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.
Universitas Sumatera Utara