BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit yang sering dikeluhkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2006), utamanya adalah gingivitis (Suproyo, 2009). Prevalensi terjadinya gingivitis tersebar luas di dunia. Di Amerika Serikat, prevalensi gingivitis mencapai lebih dari 82% pada penduduk usia muda dan lebih dari 50% pada orang dewasa (Albandar dan Rams, 2003; Barnett, 2006). Di Indonesia, khususnya Bali dan Kalimantan Barat diketahui prevalensi penderita gingivitis mencapai 77% dari 395 remaja berusia 18 tahun (Pilot dkk.,1986 sit. Corbet dkk., 2002). Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menyatakan bahwa prevalensi gingivitis di seluruh dunia adalah 75-90% dengan kategori sedang mencapai 75% (Harville dkk., 2004; Widyawati, 2010). Tingginya prevalensi gingivitis tersebut menunjukkan bahwa masyarakat belum mampu menjaga kebersihan gigi dan mulutnya (Alkholani, 2011). Gingivitis sebagai salah satu penyakit gingiva ditandai inflamasi gingiva akibat akumulasi plak pada subgingiva dan supragingiva (Axelsson, 2002). Penyebab utama terjadinya gingivitis adalah plak (Wilson dan Kornman, 2003; Rose dkk., 2004). Plak adalah deposit lunak berupa lapisan tipis yang melekat pada permukaan gigi atau permukaan struktur keras lain di rongga mulut termasuk pada restorasi alat lepasan atau cekat (Carranza dkk., 1996). Pemeriksaan klinis pada gingivitis menunjukkan gingiva berwarna kemerahan, pembengkakan yang
1
2
bervariasi, perubahan kontur gingiva dan berdarah saat probing walaupun dengan tekanan ringan (Fedi dkk., 2005; Newman dkk., 2006). Indeks gingiva digunakan untuk mengetahui klasifikasi gingivitis dengan cara menilai inflamasi gingiva pada empat permukaan gigi yaitu bagian fasial, lingual, mesiobukal, dan distobukal (Burt dan Eklund, 2005; Hiremath, 2007). Plak gigi sebagai penyebab gingivitis dapat dikontrol perkembangannya (Pratiwi, 2005). Kontrol plak merupakan prosedur
pengambilan
plak,
pengurangan bakteri plak dan pencegahan akumulasinya pada gigi dan permukaan gingiva
yang
berdekatan,
serta
memperlambat
pembentukan
kalkulus
(Natamiharja, 2003; Sandira, 2009). Menyikat gigi merupakan kontrol plak yang sering digunakan, tetapi kurang efektif karena hanya berperan terhadap pembersihan plak supragingiva saja (Prijantojo, 1996; Pourabbas dkk., 2005). Kontrol
plak
menggunakan
bahan
kimiawi
menjadi
penunjang
dalam
pengendalian plak, baik dalam bentuk larutan kumur ataupun pasta gigi (Pistorius dkk., 2003; Pinnatu dkk., 2004). Berkumur merupakan salah satu metode dalam membersihkan gigi dan mulut. Hal tersebut sering dilakukan setelah menyikat gigi (Amtha, 1997). Obat kumur tidak hanya dianggap sebagai larutan penyegar napas yang memiliki aroma atau tanpa efek terhadap kesehatan rongga mulut (Fedi dkk., 2005). Fine dkk. (2000) menjelaskan bahwa dengan obat kumur bermakna dapat mengurangi plak pada gingivitis. Obat kumur banyak yang mengandung bahan antimikroba dan diantaranya dapat membantu mengendalikan pertumbuhan plak supragingiva dan gingivitis (Nield-Gehrig dan Willmann, 2007). Tetapi, terdapat beberapa obat
3
kumur berbahan kimia yang dapat menimbulkan efek samping seperti mengubah warna gigi, restorasi komposit, sensasi rasa dan sedikit meningkatkan akumulasi kalkulus supragingiva (Fedi dkk., 2005; Pourabbas dkk., 2005). Alternatif penggunaan bahan alam sebagai pengganti obat kumur berbahan kimiawi masih menjadi pilihan masyarakat karena harganya murah dan memiliki efek samping yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan bahan sintetik (Rukmana, 2001; Ceuller dan Yunus, 2009). Penggunaan obat tradisional herbal sudah sering digunakan untuk pengobatan atau penyakit infeksi lainnya (Lee dkk., 2003). World Health Organization (WHO) telah memberikan kebijakan kepada negara berkembang untuk menggunakan obat tradisional herbal sebagai pengobatan atau perawatan pertama ketika sakit (Hoque dkk., 2011). Indonesia merupakan negara kedua terkaya di dunia setelah Brazilia untuk keaneka-ragaman hayati. Pemakaian tanaman obat menjadi alternatif untuk pengobatan di daerah, seperti ramuan buah sirih, daun mayana, madu dan telur yang telah dimanfaatkan masyarakat di daerah terpencil di Sulawesi Utara (Nugroho, 2009). Usaha pengembangan herbal sebagai bahan obat perlu ditunjang oleh penelitian sehingga khasiatnya dapat dipastikan dan dipertanggungjawabkan. Salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai obat herbal adalah daun sirih (Soemiati dan Elya, 2002; Nugroho, 2009). Sirih memiliki banyak spesies dan jenis yang beragam, seperti gading, sirih hijau, sirih hitam, sirih kuning, dan sirih merah (Pradasura, 2009). Daun sirih banyak digunakan untuk pengobatan beberapa penyakit maupun perawatan
4
kecantikan, sebagai obat kumur, sariawan, asma, batuk, encok, hidung berdarah, kepala pusing, radang selaput lendir mata, batuk kering, mulut berbau, dan radang tenggorokan. Daun sirih tersebut bersifat astringen, diuretik, antiinflamasi, dan mengatasi atau mengontrol perdarahan (Hariana, 2007). Sirih hijau (Piper betle Linn.) telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional seperti obat kumur jika dibandingkan dengan herbal lainnya (Sari dan Isadiartuti, 2006). Pemanfaatan daun sirih hijau sebagai obat kumur karena adanya kandungan antibakteri (Poeloengan dkk., 2006). Daun sirih hijau mengandung minyak atsiri yang terdiri atas fenol, kavikol, betol, cineol methyleugenol, dan karyovilen (seskuiterpen), hidroksikavikol, kavibetol, estragol, eugenol, dan karvakrol (Moeljanti dan Moelyono, 2006; Hasim, 2012). Selain minyak atsiri, daun sirih hijau juga mengandung tanin, enzim diastase, alkaloid dan gula (Moeljanti dan Moelyono, 2006). Merebus tanaman obat merupakan cara yang lazim dan mudah dilakukan oleh masyarakat (Mahendra, 2008). Rebusan berbahan dasar daun sirih hijau ini lebih mudah dalam pembuatannya jika dibandingkan dengan pembuatan ekstrak yang lebih rumit dan mahal (Suranto, 2004; Dhika, 2007). Air rebusan tersebut digunakan untuk berkumur ketika mengalami gingivitis atau membersihkan bagian tubuh lainnya (Dalimartha, 2006; Sari dan Isadiartuti, 2006). Santosa (1985) memperlihatkan rebusan daun sirih hijau konsentrasi 25% secara in vitro menghentikan pertumbuhan Streptococcus α dari plak gigi. Pada penelitian ini akan digunakan konsentrasi 25% rebusan daun sirih hijau sebagai bahan kumur pada penderita gingivitis.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas timbul suatu permasalahan: Bagaimana status gingiva setelah berkumur rebusan daun sirih hijau (Piper betle Linn.) konsentrasi 25% pada penderita gingivitis kategori sedang?
C. Keaslian Penelitian Agustin (2005) menyatakan bahwa khasiat antibakteri infusa daun sirih 20% lebih baik dari hidrogen peroksida 3% terhadap bakteri penyebab infeksi saluran akar. Nalina dan Rahim (2007) melaporkan daya antibakteri ekstrak 5% daun sirih hijau mampu mengurangi produksi asam secara signifikan dan mampu mengubah ultrastruktur membran sel bakteri S. mutans. Santosa (1985) menyatakan bahwa rebusan daun sirih hijau konsentrasi 25% secara in vitro mampu menghentikan pertumbuhan bakteri Streptococcus α pada plak gigi, sedangkan konsentrasi 6,25%, maupun 12,5% hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Selain itu, Poeloengan dkk. (2005) menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih hijau dengan konsentrasi 50%; 25%; 12,5% dan 6,25% in vitro memiliki efektivitas sebagai antibakteri terhadap S. epidermidis, S. aureus dan S. agalactiae yang diisolasi dari susu sapi penderita masitis subklinis. Efek berkumur rebusan daun sirih hijau konsentrasi 25% terhadap status gingiva penderita gingivitis kategori sedang, sejauh dilaporkan.
penulis ketahui belum pernah
6
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status gingiva setelah berkumur rebusan daun sirih hijau (Piper betle Linn.) konsentrasi 25% pada penderita gingivitis kategori sedang.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Memberikan informasi ilmiah khususnya di bidang kedokteran gigi mengenai status gingiva penderita gingivitis kategori sedang setelah berkumur rebusan daun sirih hijau konsentrasi 25% b. Menjadi sumber informasi mengenai khasiat rebusan daun sirih hijau konsentrasi 25% sebagai obat kumur alami untuk penyembuhan gingivitis. c. Memperluas pemanfaatan bahan herbal di dalam bidang kesehatan khususnya kesehatan gigi dan mulut. d. Menjadi dasar acuan untuk penelitian lebih lanjut.