BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan titik awal dari mata rantai kehidupan baru. Sejak seorang laki-laki dan seorang perempuan bersepakat untuk menikah, maka kedua individu tersebut sebenarnya telah sepakat untuk menjalani peran baru, bukan lagi sebagai individu yang bebas dan tunggal tetapi sebagai suami dan istri yang terkait dan terikat satu sama lain. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Perkawinan atau pernikahan merupakan satu-satunya sarana yang sah untuk membangun sebuah rumah tangga dan melahirkan keturunan, sejalan dengan fitrah manusia. Kehidupan dan peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa 1
Paradnya Paramida, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan dan Pelaksanaannya, cet. 8 (Jakarta: Prima Karsa Utama, 1983), h. 6. 1
2
adanya kesinambungan perkawinan dari generasi umat manusia. Ajaran Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk menikah bagi mereka yang telah sanggup untuk melakukannya. Melalui pernikahan akan terbina suatu kehidupan keluarga yang baik. Ajaran Islam juga sangat menganjurkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menikah bila telah tiba saatnya, siapa pun orangnya dan apapun profesinya.2 Tujuan perkawinan sendiri antara lain adalah untuk melahirkan anak keturunan sebagai generasi penerus dari orang tuanya.3 Tujuan perkawinan dalam al-Quran terdapat dalam surah al-Rûm ayat 21, Allah berfirman: 2
Hasbi Indra. dkk, Potret Wanita Shalehah, cet.2 (Jakarta: PENAMADANI, 2004), h. 72-73. 3 Hasbi, Potret Wanita Shalehah, h. 81.
3
“Dan di antara tanda-tanda kebesaranNya adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, supaya kamu tenang kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa salah satu bukti yang menunjukkan keagungan, kebesaran, dan kelayakan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk disembah adalah Dia telah menciptakan pria dan wanita dari jenis kalian sendiri untuk menjadi istri-istri bagi kalian, sehingga jiwa-jiwa kalian merasa tenang hidup bersama mereka. Selain itu, Allah menjadikan rasa cinta dan kasih sayang antara suami dan istrinya. Sesungguhnya penciptaan oleh Allah tersebut mengandung bukti terang atas keesaan-Nya dalam ketuhanan dan menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah bagi orang yang berpikir serta merenungi tandatanda dan petunjuk-petunjuk tersebut. 4 Tujuan perkawinan dalam al-Quran di atas bersesuaian dengan tujuan perkawinan dalam 4
„Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar,jilid 4, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 349.
4
Kompilasi Hukum Islam Bab II tentang DasarDasar Perkawinan. Pada pasal 3 dinyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.5 Tujuan perkawinan seperti ini bersifat psikologis. Di Indonesia, UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 3 (1) menyebutkan bahwa: Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. Pada pasal 3(2) dinyatakan bahwa: pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pasal 4 (1) berbunyi: dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 (2) UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pasal (2) tentang pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. 5
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1991/1992), h. 13.
5
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.6 Selanjutnya, dalam pasal 5 UU perkawinan dinyatakan bahwa syarat-syarat yang secara komulatif harus dipenuhi seorang laki-laki untuk beristeri lebih dari satu adalah: a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri. b. Adanya kepastian mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anakanaknya. c. Adanya jaminan berlaku adil.7 Dari segi hukum Islam, seorang suami tidak perlu meminta izin kepada siapapun untuk menikah lagi. Tetapi hal ini bertentangan konsep al-mua’syarah bi al-ma’ruf (memperlakukan isteri dengan baik) seperti yang dinyatakan Allah dalam QS. al-Nisa ayat 19. Maka meminta persetujuan isteri untuk menikah lagi adalah sesuai dengan petunjuk Allah untuk memperlakukan isteri dengan baik. Landasan berpoligini dalam Islam terdapat dalam QS. al-Nisa ayat 3: 6
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 230. 7 Summa, Hukum Keluarga Islam, h. 230.
6
“Dan jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain) dua, tiga atau empat. Lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Dalam memasuki lembaga perkawinan, seorang perempuan dapat dihadapkan pada dua pilihan, memasuki perkawinan secara monogami atau poligini. Walaupun secara umum, perempuan selalu berharap menikah dengan
7
seorang laki-laki dan menjadi isteri satu-satunya dari laki-laki tersebut sampai maut memisahkan mereka. Namun harapan tersebut terkadang tidak sejalan dengan kenyataan. Di mana suami berkeinginan untuk menghadirkan “madu” bagi isterinya dan isteri dihadapkan pada keputusan suami untuk menikah lagi atau berpoligini. Dalam keadaan demikian, ada isteri yang meminta atau bahkan menggugat cerai suaminya, namun tidak sedikit dari mereka yang tetap bertahan dengan berbagai pertimbangan. Bercerai karena tidak mampu dimadu atau bertahan dalam perkawinan poligini sama-sama pahit. Banyak pertanyaan besar penulis dalam hal ini, antara lain adalah: adakah isteri yang mencintai dan menyayangi suaminya dengan tulus dan ikhlas bersedia mengizinkan suaminya menikah lagi, bagaimana imbasnya bagi keluarga, bagaimana psikhis isteri dan perkembangan jiwa anak-anaknya? Banyak faktor yang menyebabkan seorang isteri bertahan dalam perkawinan poligini. Apakah pertimbangan masalah anak menjadi utama di samping faktor lainnya. Untuk itulah seorang isteri yang dimadu oleh suaminya harus mengembangkan pertahanan diri yang kokoh
8
agar rumah tangganya tetap bertahan, sebab perasaan cemas dan gelisah yang selalu membayangi setiap saat akan selalu menjadi beban yang teramat berat untuk diterima oleh istri. Masalah semakin rumit apabila keluarga bahkan masyarakat mengetahui, akan banyak stigma negatif yang ditujukan kepada isteri. Sehingga membuat kondisi semakin tidak nyaman yang pada akhirnya menimbulkan stres bagi istri. Stres merupakan suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis. 8 Disadari atau tidak, istri akan berusaha mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber konflik yang memicu stres. Oleh karena itu, intervensi untuk mengurangi atau menghilangkan sumber stres bisa datang dari individu itu sendiri antara lain dengan strategi coping. Coping stress merupakan pemikiran atau prilaku adaptif dalam mengurangi atau meringankan stres yang bersumber dari kondisi yang menyakitkan seseorang, berbahaya atau menantang.9 Poligini, bagaimanapun ia dibenci dan dimusuhi, praktek poligini selalu ada. Pada masyarakat Barat yang melarang poligini secara 8
J.P Chalpin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 488. 9 Diane E. Papalia, Human Development (Psikologi Perkembangan), cet. 1 (Jakarta: Kencana, 2008), h. 904.
9
hukum, ternyata dalam prakteknya banyak suami yang mempunyai perempuan selingkuhan. Pada perempuan-perempuan yang memiliki seterotip kepada laki-laki yang berpoligini, isteri muda dari laki-laki tersebut adalah perempuan juga. Ini maksudnya adalah bahwa pada sebagian perempuan, isteri kedua merupakan jalan keluar. Dalam hidup tidak semua yang diterima itu sesuai dengan yang diinginkan. Di Indonesia, pemberitaan mengenai poligini banyak menimbulkan kekhawatiran kaum perempuan. Poligini banyak dilakoni oleh masyarakat mulai dari selebritis, masyarakat biasa, pejabat pemerintah hingga pemuka agama dan lain-lain profesi. Di Banjarmasin Kalimantan Selatan keadaan demikian juga terjadi. Bahkan ada ungkapan yang berupa guyunan orang Banjar yang menggelitik tapi mengkhawatirkan bagi perempuan, yaitu: “bini satu belajar, bini dua wajar, bini tiga kurang ajar, bini empat orang Banjar”. Dalam pengamatan dan wawancara awal penulis dengan beberapa perempuan/isteri yang dipoligini diketahui bahwa tidak semua keluarga berpoligini tidak harmonis, tidak rukun dan tidak bahagia. Dalam pengamatan penulis, beberapa keluarga yang berpoligini justru terlihat
10
harmonis, rukun dan bahagia. Ada yang satu rumah dan ada yang berdekatan rumah. Bila suami bepergian, kedua isterinya selalu mendampinginya. Namun ada pula keluarga yang berpoligini yang menampilkan ketidakharmonisan dan pertengkaran. Sementara yang lain ada keluarga yang dipoligini yang menyembunyikan isteri keduanya karena tidak mendapatkan izin dan takut ketahuan isteri pertamanya. Menurut MZ, ketika suaminya melakukan perkawinan poligini pertama dan kedua ia sangat kecewa, sedih, terpukul dan merasa dihianati, akibatnya ia sering sakit, marah-marah dan tidak dapat dapat mengontrol emosi. Hidup terasa tidak berarti dan berbagai perasaan lain yang negative, namun setelah dimadu untuk ketiga kalinya ia sudah mampu untuk bangkit dari keterpurukannya. Ia kembali bersemangat demi melanjutkan kehidupannya dan anak-anak mereka. Ia juga dapat sabar dan ikhlas serta pasrah atas pernikahan poligini suaminya. Hal demikian juga terjadi SL yang juga mengalami tiga kali dipoligini oleh suaminya. Pada kedua subjek di atas mereka baru berhasil melakukan coping stress pada perkawinan poligini ketiga suami mereka.
11
Seorang subjek lain yang berinisial RM mengaku tetap harmonis, rukun dan bahagia dalam perkawinan poligini pertama suaminya, Ia bahkan mengaku lebih bahagia sekarang dibandingkan dulu sebelum suaminya berpoligini. Ini berarti ia berhasil dalam coping stress karena dipoligini oleh suaminya. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini sangat penting dilakukan, untuk itu penulis ingin mengkaji lebih jauh dan mendalam dengan mengadakan sebuah penelitian ilmiah berkenaan dengan masalah tersebut dengan judul ”Coping Stres Isteri dalam Perkawinan poligini di Kota Banjarmasin”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana strategi coping stress isteri dalam perkawinan poligini? 2. Apa saja faktor-faktor penyebab isteri melakukan coping stress dalam perkawinan poligini?
12
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang dilakukan penulis adalah untuk mengetahui: 1. Strategi coping stress isteri dalam perkawinan poligini. 2. Faktor-faktor penyebab isteri melakukan coping stress dalam perkawinan poligini.
D. Signifikansi Penelitian Signifikansi penelitian terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut: 1. Secara Teoritis a. Sebagai sumbangsih literatur bagi khazanah studi Psikologi Islam mengenai kajian tentang prilaku coping stress. Khususnya coping stress perempuan dalam perkawinan poligini. b. Sebagai bahan informasi awal bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengadakan penelitian dari perspektif yang berbeda. 2. Secara Praktis a. Penelitian ini bisa dijadikan bahan masukan yang bermanfaat khususnya
13
bagi subjek penelitian yaitu perempuan dalam perkawinan poligini. b. Menjadi masukan bagi masyarakat untuk lebih mengetahui coping stress isteri dalam perkawinan poligini.
E. Definisi Operasional Definisi operasional adalah penjelasan mengenai pengertian yang terkandung dalam judul agar orang-orang yang berkepentingan dengan penelitian tersebut memiliki persepsi yang sama dengan peneliti. Selain itu definisi operasional juga berguna untuk para pembaca agar merekapun mengerti apa yang dimaksudkan oleh peneliti. Untuk menghindari kesalahpahaman atau kesalahan penafsiran mengenai judul penelitian di atas, maka penulis merasa perlu menegaskan definisi operasional judul, yaitu : 1. Coping stress Coping stress berasal dari dua kata yaitu coping dan stress. Coping dan stress adalah kata benda yang berasal dari Bahasa Inggeris Coping diartikan dengan kepala
14
dinding/tembok,10 sedang stress adalah satu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis.11 Menurut Laura A. King, coping adalah salah satu jenis pemecahan masalah. Prosesnya melibatkan pengelolaan situasi yang berlebihan, meningkatkan usaha untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kehidupan, dan mencari cara untuk mengalahkan stres atau menguranginya.12 Laura A. King menjelaskan bahwa Richard Lazarus membedakan dua tipe strategi coping, yaitu13 a. Coping yang berfokus pada Emosi (Emotional-focused coping) b. Coping yang berfokus pada aspek masalah (Problem-focused coping). Yang dimaksud coping stress dalam penelitian ini adalah usaha-usaha untuk mengatasi, mengurangi, atau mengelola stres yang dialami yang disebabkan 10
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. xxi, (Jakarta: PT. Gramedia, 1995), h. 147. 11 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia , h. 489 12 Laura A. King, Psikologi Umum: Sebuah Aspresiatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 51. 13 Laura A. King, Psikologi Umum, h. 52.
15
masalah yang dihadapi oleh isteri dalam perkawinan poligini. 2. Isteri Isteri adalah wanita (perempuan) yang telah nikah atau yang bersuami.14 Isteri dalam penelitian ini adalah perempuan yang telah menikah sebagai isteri pertama. Isteri pertama mengalami permasalahan psikologis yang menyangkut bagaimana komitmen awal perkawinan mereka, proses awal permintaan suami untuk mengambil isteri kedua atau ketiga, mengizinkan sampai menghadapi dan mengalami sendiri dipoligini/dimadu. Maka usaha-usaha untuk mengatasi, mengurangi, atau mengelola stres yang dialami yang disebabkan masalah tersebut tentu lebih berat dibandingkan isteri yang kedua, ketiga dan keempat. Lama perkawinan poligini minimal dua tahun. 3. Poligini Kita lebih mengenal istilah poligami dibandingkan dengan poligini karena istilah 14
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 341.
16
poligami memang lumrah digunakan di masyarakat, Poligami berasal dari bahasa Inggeris poligymy yang artinya 15 beristeri/bersuami lebih dari seorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia poligami adalah adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.16 Lawan dari poligami adalah monogami, di mana seorang laki-laki hanya memiliki satu orang isteri atau seorang isteri hanya memiliki satu orang suami.17 Istilah poligami terbagi dua, yaitu poligini dan poliandri. Poligini berasal dari Bahasa Inggeris polygyny yaitu peristerian lebih dari seorang, permaduan.18 Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama (dimadu).19 Lawan dari poligini adalah 15
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, h. 438. 16 Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa…, h.693 17 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa, h. 491. 18 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, h. 438. 19 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa. h. 693.
17
poliandri, poliandri dari kata Inggeri polyandry. Poliandri adalah wanita yang memiliki suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan.20 Dilihat dari beberapa istilah di atas, maka istilah poligini adalah istilah yang tepat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligini yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini lebih dari satu/beberapa wanita dalam waktu yang sama. Sangat disayangkan masyarakat dan literatur yang membicarakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini lebih dari satu/beberapa wanita dalam waktu yang sama terlanjur menggunakan istilah poligami. Padahal yang tepat adalah istilah poligini. Dengan demikian yang dimaksud coping stress isteri dalam perkawinan poligini (studi di Kota Banjarmasin) dalam penelitian ini adalah usaha-usaha untuk mengatasi, mengurangi, atau mengelola stres yang dialami oleh isteri pertama dalam perkawinan mereka dengan seorang laki20
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa, h. 693.
18
laki yang mengawini lagi satu/beberapa perempuan dalam waktu yang sama (dimadu) minimal dua tahun di Kota Banjarmasin. F. Tinjauan Pustaka Berdasarkan kajian pustaka, penulis menemukan penelitian terdahulu tentang perempuan dan coping stress yang berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan antara lain yang dilakukan oleh Fitri Yuliantini, Zainal Abidin dan Retno Setyaningsih dengan judul: “Konflik Marital pada Perempuan dalam Pernikahan Poligami yang Dilakukan Karena Alasan Agama” pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang diterbitkan dalam Jurnal Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.21 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya konflik marital pada perempuan dalam pernikahan poligami yang dilakukan berdasarkan agama. Hasil temuan 21
Fitri Yuliantini, Zainal Abidin dan Retno Setyaningsih, Konflik Marital pada Perempuan dalam Pernikahan Poligami yang Dilakukan Karena Alasan Agama dalam Jurnal Psikologi, volume I, Nomor 2,(Yogyakarta: Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Sunan Kalijaga, 2008, h. 133.
19
menyatakan perempuan yang bersedia dipoligami karena alasan agama berpotensi mengalami konflik marital, baik sebagai isteri pertama atau isteri kedua. Penelitian tentang Stres dan Coping stres pada pecandu narkoba dewasa awal yang sedang menjalani rehabilitasi yang dilakukan oleh Sara Sahrazad Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta.22 Penelitian tentang Pengaruh Coping stres terhadap Penyesuaian diri Pecandu Narkoba yang sedang Menjalani Proses Rehabilitasi. Yang dilakukan oleh Ratna Sari Wibawanti Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, 2011.23 Titik permasalahan penelitian Ratna Sari Wibawanti tertuju pada pengaruh coping stres terhadap penyesuaian diri pada proses rahabilitasi. 22
Sara Sahrazad, Stres dan Coping Stres pada Pecandu Narkoba Dewasa Awal yang sedang menjalani Rehabilitasi, (Skripsi, Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta, 2007). http://www.scribd.com/doc/61982306/33/Coping-Stress-yangDipakai (09 Mei 2014). 23 Ratna Sari Wibawanti, Pengaruh Coping Stres terhadap Penyesuaian diri Pecandu narkoba yang sedang menjalani proses Rehabilitas, (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, 2011). http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/8742836710_abs.pdf (27 Mei 2015).
20
Ketiga penelitian di atas berbeda dengan penelitian penulis karena penelitian penulis bertujuan untuk mengetahui coping stress isteri dalam perkawinan poligini dan faktor-faktor yang menyebabkan isteri melakukan coping stress di Kota Banjarmasin. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dalam arti semua sumber datanya langsung diperoleh di lapangan yaitu mengenai coping stress istri dalam perkawinan poligini. Sedangkan pendekatan yang digunakan ialah pendekatan studi kasus. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini di Kota Banjarmasin. Penulis memilih tempat tersebut karena penulis mengenal beberapa istri pertama yang bertahan dalam perkawinan poligini minimal dua tahun. 3. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini ialah istri pertama yang bertahan dalam perkawinan
21
poligini yang berjumlah 3 orang. Sedangkan objeknya ialah coping stress istri yang bertahan dalam perkawinan poligini. 4. Data dan Sumber Data a. Data 1) Data Pokok Data pokok berupa data-data dari observasi dan wawancara dengan subjek dan informan mengenai: a) Strategi coping stres istri yang bertahan dalam perkawinan poligini. Data tersebut mengenai: (1) Strategi coping yang dilakukan istri, terdiri dari: coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) yang terdiri atas: distancing, self control, accepting res-ponsibility, escape avoidancedan positive reappraisal. (2) Coping yang berfokus pada aspek masalah (problemfocused coping), terdiri atas: planful problem solving,
22
confrontative copin dan seeking social support. b) Faktor penyebab coping stres istri yang bertahan dalam perkawinan poligini terdiri dari: (1) Faktor ekonomi (2) Faktor anak (3) Faktor cinta/kasih sayang (4) Faktor agama 2) Data Pelengkap Adapun sebagai data pelengkap adalah data-data yang diperoleh berupa gambaran lokasi yaitu kota Banjarmasin. b. Sumber Data 1) Subyek, yaitu penjawab atas pertanyaan yang diajukan untuk kepentingan penelitian. Dalam penelitian ini responden adalah istri yang bertahan dalam perkawinan poligini. 2) Informan, yaitu orang yang memberikan data tambahan. Informan dalam penelitian ini adalah keluarga dari istri maupun keluarga dari suami, tetangga, dan pihak-pihak yang dianggap penting dan diperlukan.
23
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data yang diperlukan untuk membantu penyelesaian penelitian ini adalah: a. Observasi Nonpartisipan Peneliti tidak terlibat secara langsung berada dengan kehidupan dan aktivitas orang yang diamati. Peneliti bertindak sebagai pengamat independen dan menjaga jarak dengan objek pengamatan.24 Adapun observasi dalam penelitian ini mengenai: 1) Kesan umum, gambaran fisik dan penilaian kondisi psikis subjek. 2) Ringkasan subjek selama proses wawancara (kegiatan atau prilaku yang dimunculkan selama wawancara). 3) Ringkasan awal hingga akhir selama proses wawancara (suara, bahasa, tubuh, antusiasme selama proses wawancara). 4) Lingkungan tempat tinggal subjek b. Wawancara Mendalam 24
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian, (Banjarmasin: Antasari Press, 2011), h. 73.
24
Teknik wawancara merupakan pengumpulan data melalui pengajuan sejumlah pertanyaan secara lisan kepada subjek yang diwawancarai.25 Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam yakni pengumpulan data melalui tanya jawab secara langsung dan mendetail dengan para responden dan informan dalam penelitian. Adapun data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dalam penelitian ini adalah: 1) Gambaran Umum Subjek Penelitian 2) Coping Stress yang dilakukan Isteri dalam Perkawinan Poligini yang berfokus pada emosi (Emotionfocused coping) dan coping yang berfokus pada aspek masalah (Problem-focused coping). 3) Faktor penyebab istri melakukan coping stress dalam perkawinan poligini. 6. Teknik Pengolahan Data Ada empat cara yang dilakukan peneliti dalam pengelolaan data yakni: 25
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian, h. 67.
25
a. Koleksi data, yaitu mengumpulkan data yang diperlukan baik yang berkenaan dengan data pokok maupun data pelengkap. b. Editing data, yaitu menyeleksi data yang sudah didapat. Termasuk memperbaiki sampai penyempurnaan agar sesuai dengan tujuan penelitian. c. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan permasalahannya agar mudah menguraikan data dalam laporan hasil penelitian. d. Interpretasi data, yaitu menafsirkan data dan menjelaskan data yang telah diolah agar mudah dipahami. 7. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif artinya peneliti berupaya menggambarkan kembali data yang telah terkumpul mengenai coping stress istri dalam perkawinan poligini dan faktor-faktor yang menyebabkan isteri melakukan coping stress dalam perkawinan poligini. Analisis data menggunakan teori coping stress yang berfokus pada emosi dan masalah serta
26
faktor-faktor yang mempengaruhi dalam Psikologi Umum dan Psikologi Islam.
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan terdiri dari 5 bab sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang dari penelitian yang terkait dengan coping stress istri dalam perkawinan poligini. Kemudian dirumuskan permasalahannya dan tujuan penelitian, signifikansi penelitian dan definisi operasional. Selanjutnya dikemukakan tinjauan pustaka yang menjelaskan mengenai keaslian penelitian yang penulis lakukan ini dan menguraikan perbedaannya dengan penelitian yang terdahulu dilanjutkan dengan penjelasan tentang metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi landasan teori terdiri dari pengertian coping stres, strategi coping stress dan cara mengelola stres perspektif Islam. Dilanjutkan dengan pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, peran dan fungsi istri, komitmen dalam perkawinan serta uraian tentang monogamy dan poligami.
27
Bab III adalah paparan tentang gambaran umum subjek penelitian, coping stress isteri dalam perkawinan poligini dan faktor faktor yang menyebabkan isteri bertahan dalam perkawinan poligini. Bab IV berisi tentang analisis data mengenai coping stress isteri dalam perkawinan poligini. dan faktor faktor yang menyebabkan isteri bertahan dalam perkawinan poligini. Bab V Penutup terdiri dari kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.