1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Permasalahan praktek outsourcing yang saat ini yang terus terjadinya salah satunya adalah tidak dilaksanakannya ketentuan di mana pekerjaan yang boleh dioutsource-kan adalah pekerjaan penunjang. Tetapi di dalam kenyataan, banyak pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan utama. Beban kerja yang sama beratnya dengan pekerja tetap, tetapi gaji dan juga perlindungan kerjanya jauh berbeda. Hal ini tentu saja merugikan pekerja dan hanya menguntungkan pihak perusahaan. Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas secara mendetail mengenai praktek outsourcing yang menyalahi aturan yang berlaku. Peneliti akan membahas berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya di dalam kehidupan nyata. Mengamati perusahaan sebagai simbol dari sistem ekonomi dominan, selalu dijumpai kesenjangan antara das sollen (keharusan) dan das sein (kenyataan). Kesenjangan antara das sollen dengan das sein ini disebabkan adanya
perbedaan
pandangan
dan
prinsip
antara
kepentingan
hukum
(perlindungan terhadap pekerja) dan kepentingan ekonomi (keuntungan perusahaan), sementara hukum menghendaki terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh
2
secara maksimal, bagi perusahaan hal tersebut justru dirasakan sebagai suatu rintangan karena akan mengurangi laba atau keuntungan. Kehadiran Negara yang semula diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh, malah justru terjadi sebaliknya, kehadiran Negara lebih terkesan represif bahkan eksploitatif terhadap kepentingan pekerja. Peran Negara dalam hubungan industrial terkesan fasilitatif dan akomodatif terhadap kepentingan pemodal. Indikasi lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja dapat terlihat dari problematika outsourcing yang akhir-akhir ini menjadi isu nasional. Problematika outsourcing memang cukup bervariasi seiring akselerasi penggunaannya yang semakin marak dalam dunia usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur outsourcing yang telah berjalan ditengah kehidupan ekonomi, yang tidak memandang pekerja sebagai subjek produksi yang patut dilindungi, melainkan sebagai objek yang bisa dieksploitasi. Problematika
outsourcing
di
Indonesia
semakin
parah
seiring
dilegalkannya praktek outsourcing dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi itu. Kekhawatiran masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme ini, pemerintah justru melegalkan praktek outsourcing yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerja. Kontroversi itu berdasarkan kepentingan yang melatar belakangi konsep pemikiran dari masing-masing subjek, bagi yang setuju berdalih bahwa
3
outsourcing bermanfaat dalam pengembangan usaha, memacu tumbuhnya bentukbentuk usaha baru (kontraktor) yang secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja, dan bahkan di berbagai negara praktek seperti ini bermanfaat dalam hal peningkatan pajak, pertumbuhan dunia usaha, pengentasan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan daya beli masyarakat. Hal ini, bagi perusahaan sudah pasti, karena setiap kebijakan bisnis tetap berorientasi pada keuntungan. Aksi menolak legalisasi sistem outsourcing dilatar belakangi pemikiran bahwa sistem ini merupakan corak kapitalisme modern yang akan membawa kesengsaraan bagi pekerja dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pengusaha mendominasi hubungan industrial dengan perlakuan-perlakuan kapitalis yang oleh Karl Marx dikatakan mengeksploitasi pekerja.1 Dalam konteks yang sangat paradoks inilah perlu dilakukan kajian mendasar dalam tataran implementasi hak-hak dasar buruh kemudian dicarikan solusinya. Legalisasi outsourcing memang bermasalah jika ditinjau dari hal berlakunya hukum secara sosiologis yang berintikan pada efektivitas hukum, dimana berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa hukum tadi tertuju. Legalisasi sistem outsourcing ditolak oleh sebagian besar masyarakat, karena bertentangan dengan progesivitas gerakan pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang selama ini 1
George Ritzer, 2009, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembaangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hlm 23.
4
menghendaki perbaikan kualitas secara signifikan terhadap pemenuhan standar hak-hak dasar mereka. Pasca dilegalkannya sistem outsourcing yang banyak menuai kontroversi, pemerintah justru mereduksi tanggung jawabnya dalam memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh. Kebijakan dibidang ketenagakerjaan (employment policy) baik pada tingkat lokal maupun nasional dirasakan kurang mengarah pada upaya-upaya proteksi (social protection). Employment policy justru mengarah pada upaya menjadikan pekerja/buruh sebagai bagian dari mekanisme pasar dan komponen produksi yang memiliki nilai jual (terkait upah murah) untuk para investor. Era reformasi yang semula diharapkan mampu membangun sebuah kondisi hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang lebih transparan dan demokratis ternyata sampai saat ini manfaatnya belum dirasakan oleh kalangan pekerja/buruh. Penghalang dari semua harapan itu tentu saja berawal dari adanya kepincangan dalam sistem hukum ketenagakerjaan, yaitu adanya hambatan yang bersifat struktural, kultural, substansi perundang-undangan atau kebijakan, maupun hambatan finansial yang berimplikasi pada lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan dari pemerintah dan minimnya perlindungan kerja maupun syarat-syarat kerja dari pengusaha terhadap pekerja/buruh secara keseluruhan. Sikap, tindakan, dan kebijakan pengusaha dan pemerintah seperti ini mencerminkan adanya kesalahan dalam menempatkan posisi buruh/pekerja. Tekanan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuat pemerintah Indonesia
5
lebih mengutamakan pengusaha ketimbang buruh/pekerja. Dalam sistem perekonomian Indonesia yang kapitalistik, pengusaha lebih diposisikan sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi, karena itu pemerintah lebih banyak memfasilitasi kelompok pengusaha ketimbang kelompok buruh, akibatnya buruh dibayar sangat murah, bahkan termurah di antara negara-negara di Asia.2 Indikasi lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, utamanya pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourcing ini dapat dilihat dari banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja dan norma Keselamtan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam menjalankan bisnis outsourcing. Penyimpangan dan/atau pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya), sehingga dalam prakteknya yang di-outsource-kan adalah sifat dan jenis pekerjaan utama perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap sifat dan jenis pekerjaan
yang
di-outsource-kan
mengakibatkan
pekerja/buruh
dipekerjakan untuk jenis-jenis pekerjaan pokok, bukan kegiatan penunjang sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang.
2
Rachmad Syafa‟at, 2008, Gerakan Buruh dan Pemenuhan Hak Dasarnya: Strategi Buruh Dalam Melakukan Advokasi, In-Trans Publising, Malang, hlm 93.
6
2.Perlindungan
kerja
dan
syarat-syarat
kerja
bagi
pekerja/buruh
outsourcing sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja/buruh lainnya yang bekerja langsung pada perusahaan principal. Kesenjangan antara das sollen (keharusan) dan das sein (kenyataan) dalam praktek outsourcing ini disamping menimbulkan penderitaan bagi kaum pekerja/buruh juga berdampak pada kemajuan produktivitas perusahaan, menurut Robert Owen
rangkaian sikap pekerja/buruh dalam hubungan kerja sangat
berpengaruh terhadap produktivitas karena terkait dengan motivasi untuk meningkatkan prestasi kerja.3 Pekerja/buruh akan bekerja lebih keras apabila mereka percaya bahwa perusahaan memperhatikan kesejahteraan mereka, fenomena inilah yang disebut sebagai Hawthorne effect. Stigmatisasi atas praktek outsourcing selain berdampak pada rendahnya komitmen, motivasi, dan loyalitas pekerja/buruh terhadap perusahaan dan penurunan tingkat produktifitas kerja, juga menimbulkan eskalasi perselisihan hubungan industrial yang dapat menjurus pada aksi mogok kerja dan demontrasi, padahal untuk menciptakan hubungan kerja yang harmonis, segala bentuk gejala yang mengarah pada perselisihan harus dihindari. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dunia usaha sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi hubungan industrial, utamanya peranan pihak-pihak yang berkepentingan dalam dunia usaha tersebut (stake holders), semakin baik hubungan industrial maka semakin baik perkembangan dunia 3
James A.F.Stoner, 1990, Manajemen Tenaga Kerja, Erlangga, Jakarta, hlm 36.
7
usaha.4 Keharmonisan dalam hubungan industrial tergantung bagaimana para pihak memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain sehingga pihak yang lain itu mendapatkan hak-haknya. Dalam konteks ini pemerintah harus segera mencari solusi bagaimana meminimalisir dampak negatif dari praktek outsorcing. Dalam waktu yang lama memang telah terjadi persepsi yang keliru bahwa perusahaan termasuk perusahaan yang bergerak dibidang outsourcing hanyalah kepentingan pengusaha dan pemilik modal saja. Pada kenyataannya, masyarakat mempunyai kepentingan atas kinerja perusahaan dalam hal menyediakan produk dan jasa, menciptakan kesempatan kerja dan menyerap pencari kerja. Pemerintah sendiri berkepentingan agar masyarakat dapat sejahtera sehingga ada rasa damai dan aman.5 Kompleksitas outsourcing memerlukan perhatian yang seimbang antara kebutuhan akan investor dan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, karena fungsi intervensi pemerintah dalam masalah ketenagakerjaan bukan sebagai instrument nilai yang otonom dan independen saja, melainkan harus tampil dalam sosoknya sebagai bagian dari upaya rekayasa sosial (law is a tool of social engineering). Penulis percaya bahwa hasil dari penelitian ini akan bermanfaat bagi pengambilan kebijakan publik untuk meninjau kembali atau bahkan mereformasi sistem hukum ketenagakerjaan yang ada karena kepincangan-
4 5
Ibid, hlm 40. Ibid, hlm 43.
8
kepincangan dalam komponen substansi, struktur dan kulturalnya menimbulkan dampak yang cukup luas bagi masyarakat khususnya masyarakat pekerja dan dunia usaha serta upaya penegakan hukum ketenagakerjaan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana implementasi syarat-syarat pekerjaan yang dapat di-outsource-kan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk Yogyakarta? 2. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing di PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari Penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji implementasi syarat-syarat pekerjaan yang dapat di-outsource-kan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing di PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Yogyakarta.
9
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Memberikan kontribusi yang berguna bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan hukum pada khususnya, terutama terkait dengan perlindungan pekerja outsourcing. 2. Bagi Pembangunan Hukum Pedoman bagi lahirmya hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur secara lebih jelas dan tegas mengenai perlindungan terhadap pekerja outsourcing. 3. Bagi Pelaku Hubungan Industrial Memberikan masukan apabila akan mengadakan perjanjian outsourcing agar tidak bermasalah.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang outsourcing bukan yang pertama kali dilakukan. Berdasarkan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, ditemukan penelitian yang mengambil permasalahan seputar outsourcing, di antaranya :
10
1. Tesis berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus di Kabupaten Ketapang)” oleh Uti Ilmu Royen, S.H., mahasiswa pascasarjana Hukum.6
Universitas Diponegoro Magister Ilmu
Tesis
ini
menekankan
pada
penerapan
outsourcing pada pekerja/buruh secara umum di Kabupaten Ketapang, serta peran pemerintah Kabupaten Ketapang dalam melindungi pekerja/buruh tsb. 2. Skripsi
berjudul
Outsourcing
“Perlindungan
Cleaning
Service
Hukum Dalam
Pekerja Perjanjian
Outsourcing Antara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Dengan PT. Judin Makmur Sejahtera Pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011” oleh Nafzia Ulfah Nur Elyta, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini lebih menekankan pada perlindungan outsourcing berdasarkan Putusan MK Nomor 27/PUUIX/2011.7 Penelitian ini lebih menekankan pada hal mengenai pekerja outsourcing di lingkungan bank, khususnya di PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk Yogyakarta 6
Uti Ilmu Royen, 2009, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus di Kabupaten Ketapang)”, thesis, UNDIP, Semarang. 7 Nafzia Ulfah Nur Elyta, 2013,”Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Cleaning Service Dalam Perjanjian Outsourcing Antara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Dengan PT. Judin Makmur Sejahtera (JMS) Pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011”, skripsi, UGM, Yogyakarta.
11
dilihat
berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan memenuhi kaedah keaslian penelitian.