9
BAB 2 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMILIK HAK ATAS TANAH DALAM HAL PENGAJUAN PERMOHONAN HAK ATAS TANAH (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 138/G/2007/PTUN.JKT)
2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Hak- Hak Atas Tanah Pengertian tanah secara yuridis menurut Boedi Harsono telah diberikan batasan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 1960 (UUPA), yang menyatakan bahwa : “ Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum ” Jadi tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.4 Tanah dipunyai dan dikuasai bertujuan untuk digunakan, maka untuk memenuhi segala keperluan penggunaan tidak hanya terbatas pada permukaan bumi. Pengertian Ruang diperluas, meliputi sebagian ruang udara diatasnya dan sebagian tubuh bumi dibawahnya. Penggunaan sebagian tubuh bumi misalnya dalam membangun rumah memerlukan pondasi bangunan, atau bangunan rumah dibuat bertingkat, merupakan penggunaan sebagian ruang udara. Wewenang penggunaan atau pemanfaatan yang bersumber hak-hak atas tanah menurut penjelasan Pasal 8 UUPA, dibatasi : 1. Sekedar diperlukan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan; 2. Penggunaan sebagian ruang udara dan atau/ ruang bawah tanah yang tidak termasuk wewenang pengambilan kekayaan alam dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. 4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Ed. Revisi. Cet.8, (Jakarta, Djambatan, 1999), hal.18.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
10
Jadi penggunaan atau pemanfaatan hak-hak atas tanah tidak boleh melanggar peraturan-peraturan pengambilan kekayaan alam dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa misalnya Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pengairan, Peraturan Tentang ruang udara. Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar PokokPokok Agraria Pasal 2, disebutkan : 1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi air, dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. 4. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah.
Pada pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pokok Agraria , disebutkan: 1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
11
2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum. 2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2), Hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yaitu : a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai e. Hak Sewa f. Hak membuka Tanah, g. Hak Memungut Hasil Hutan.
2.1.2 MENGENAI HAK MILIK, HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI 2.1.2.1 Hak Milik a. Pengertian dan Sifat Hak Milik Menurut Pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan Hak Milik adalah: “Hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Hak Milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak “mutlak”, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
12
sebagai Hak Eigendom. Dengan demikian, maka Hak Milik mempunyai ciriciri sebagai berikut: 5 1. Turun-temurun Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. 2. Terkuat Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara Hak-hak atas tanah yang lain. 3. Terpenuh Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan. 4. Dapat beralih dan dialihkan; 5. Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan; 6. Jangka waktu tidak terbatas.
b. Subyek dan Obyek Hak Milik Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat mempunyai Hak Milik adalah : •
Warga Negara Indonesia;
•
Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP No. 38 Tahun 1963 yang meliputi : 1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara; 2. Perkumpulan-perkumpulan
Koperasi
Pertanian
yang
didirikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958; 3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; 4. Badan Hukum Sosial.
5
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan: Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Sertipikat Dan Permasalahan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), Hal. 5-6.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
13
Sedangkan menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA, menentukan bahwa: “Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik, karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”. Khusus terhadap kewarganegaraan Indonesia, maka sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa : “Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 Pasal ini”. Dengan demikian yang berhak memiliki hak atas tanah dengan Hak Milik adalah hanya Warga Negara Indonesia tunggal dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah. c. Terjadinya Hak Milik Menurut Pasal 22 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa “Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa selain cara sebagaimana diatur dalam ayat (1), Hak Milik dapat terjadi karena : 1. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; 2. Ketentuan undang-undang. Hal ini bertujuan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan negara. Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa : “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undangundang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama “.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
14
d. Hapusnya Hak Milik Berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUPA Hak Milik dapat hapus oleh karena sesuatu hal, meliputi ; 1. Tanahnya jatuh kepada negara oleh karena: a. pencabutan hak (UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya); b. penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya (KEPPRES No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum); c. ditelantarkan (PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar); d. ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). 2. Tanahnya musnah.
2.1.2.2 Hak Guna Usaha (HGU) a. Pengertian Hak Guna Usaha Menurut ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA, Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 UUPA, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha itu terbatas, yaitu pada usaha pertanian, perikanan dan peternakan.
b. Subyek dan Obyek Hak Guna Usaha Disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) UUPA, yaitu yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah warganegara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Kemudian di dalam ayat (2) dijelaskan bahwa apabila orang atau badan hukum yang memiliki Hak Guna Usaha tersebut sudah tidak memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) maka haknya tersebut wajib dilepaskan dan dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat dalam jangka waktu
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
15
satu tahun. Jika dalam jangka waktu satu tahun tidak dialihkan maka haknya hapus karena hukum. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara dan Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan oleh negara (pemerintah).6 Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya, termasuk peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan Pasal 19 UUPA, karena merupakan alat pembuktian yang kuat (Pasal 32 UUPA). Selain itu, Hak Guna Usaha juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
c. Jangka Waktu Hak Guna Usaha Jangka waktu Hak Guna Usaha menurut Pasal 8 PP No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yaitu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya telah berakhir, maka kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.
d. Hapusnya Hak Guna Usaha Pasal 17 PP No.40 Tahun 1996 menyebutkan mengenai hapusnya Hak Guna Usaha, yaitu: 1. Berakhirnya jangka waktu; 2. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14, serta karena putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
6
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1989), hal.258.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
16
4. Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di atasnya. 5. Ditelantarkan; 6. Tanahnya musnah; 7. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) PP No.40 Tahun 1996. Hapusnya Hak Guna Usaha tersebut diatas mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara.
2.1.2.3 Hak Guna Bangunan (HGB) a. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pengertian Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi : “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”. Pernyataan Pasal 35 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa pemegang HGB bukanlah pemegang hak milik atas bidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan.7 Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 37 UUPA menyatakan bahwa HGB dapat terjadi terhadap tanah Negara yang dikarenakan penetapan pemerintah. Selain itu HGB dapat terjadi di atas sebidang tanah Hak Milik yang dikarenakan adanya perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan hutang. Dengan demikian, maka sifat-sifat dari Hak Guna Bangunan adalah: 8 1. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam arti dapat diatas Tanah Negara ataupun tanah milik orang lain. 2. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi. 7 8
Chomzah, Op.cit., hal.190. Ibid., hal.31.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
17
3. Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain; 4. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan b. Subyek dan Obyek Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia maupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa: “Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) Pasal ini, dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat”. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pihak lain yang memperoleh Hak Guna Bangunan jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Mengenai tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan telah diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Bila melihat pada Pasal 37 UUPA, maka dapat dimengerti bahwa HGB dapat diberikan di atas tanah Negara yang didasari penetapan dari pemerintah. Selain itu HGB juga dapat diberikan di atas tanah Hak Milik berdasar pada adanya kesepakatan yang berbentuk otentik antara pemilik tanah dengan pihak yang bermaksud menimbulkan atau memperoleh HGB tersebut. Melihat pada ketentuan Pasal 21 PP No.40 Tahun 1996, maka tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan; dan Tanah Hak Milik. Dengan demikian dapat diketahui pula bahwa obyek dari HGB adalah Tanah Negara, tanah hak pengelolaan dan tanah Hak Milik dari seseorang. Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan, diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 22
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
18
dan Pasal 23 PP No. 40 Tahun 1996, dan pada dasarnya HGB yang diberikan di atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan diberikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
c. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UUPA, Hak Guna Bangunan diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, selain itu HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Mengenai jangka waktu pemberian HGB juga diatur dalam UndangUndang No. 40 Tahun 1996, pada Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa : ”Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun”. Sedangkan pada ayat (2) menyatakan bahwa : “Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yag sama”. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 29, disebutkan bahwa: 1. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. 2. Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Maksud dari ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 tersebut yaitu bahwa HGB yang diberikan di atas Tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang selama 20 tahun kemudian, sedangkan HGB yang diberikan di
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
19
atas tanah Hak Milik tidak dapat diperpanjang melainkan hanya diperbaharui setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberiannya tersebut. Adapun syarat-syarat untuk dapat diperpanjang maupun diperbaharui hak guna bangunan tersebut antara lain, yaitu: a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b. Syarat-syarat pemberian hak, dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; d. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.
d. Hapusnya Hak Guna Bangunan Ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan di atur dalam Pasal 40 UUPA, yang menyatakan bahwa : Hak Guna Bangunan hapus karena: 1. Jangka waktunya telah berakhir; 2. Dihentikan sebelum waktu berakhir karena salah satu syarat tidak terpenuhi; 3. Dilepaskan oleh pemegangnya sebelum jangka waktu berakhir; 4. Dicabut untuk kepentingan umum; 5. Tanah tersebut ditelantarkan; 6. Tanah itu musnah; 7. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2). Ketentuan Pasal 40 UUPA tersebut selanjutnya juga di atur dalam Pasal 35 PP No.40 Tahun1996, yang menyebutkan : 1. Hak Guna Bangunan hapus karena : a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya; b. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena: 1). tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
20
Pasal 12, Pasal 13, dan/ atau Pasal 14; 2). putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961; e. ditelantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan Pasal 20 ayat (2). 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
2.1.2.4 Hak Pakai (HP) a. Pengertian Hak Pakai Pengertian yang diatur dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUPA adalah : “hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewamenyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. b. Subyek dan Obyek Hak Pakai Hak Pakai dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing termasuk badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia juga badan hukum asing, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 42 UUPA. Pengaturan subyek Hak Pakai diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996, yaitu yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah : a. Warga Negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
21
d. Badan-badan keagamaan dan sosial; e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional. Mengenai tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai telah diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, khususnya ketentuan Pasal 41 yang menyatakan, tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah : a. Tanah Negara; b. Tanah Hak Pengelolaan; c. Tanah Hak milik. Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 42 PP No. 40 Tahun 1996, Hak Pakai dapat diberikan atas : 1. Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 2. Hak Pakai atas Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. 3. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Pakai atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan diatur Iebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
c.
Jangka Waktu Hak Pakai Mengenai jangka waktu pemberian HP juga diatur dalam Undang-Undang
No. 40 Tahun 1996, pada Pasal 45 menyebutkan bahwa : 1. Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
22
2. Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama. 3. Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada : a. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; b. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; c. Badan keagamaan dan badan sosial.
2.1.3 PENDAFTARAN TANAH 2.1.3.1 PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH Pendaftaran berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin Capitastrum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam artian yang tegas Cadastre adalah record (rekaman dari lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan).9 Pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah : “Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.” 10 Rumusan pendaftaran tanah tersebut di atas mengandung beberapa unsur, yaitu : a. Suatu rangkaian kegiatan 9
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1999),
hal. 18. 10
Harsono, Op.Cit., hal.72.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
23
Kata-kata ini menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berkaitan satu dengan yang lain, berurutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat.11 b. Terus-menerus Kata-kata ini menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, hingga tetap dengan keadaan yang terakhir.12 c. Teratur Kata ini menunjukkan, bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah. Data yang dihimpun pada dasarnya meliputi dua bidang, yaitu: 13 1. Data fisik mengenai tanahnya: lokasinya, batas-batasnya, luasnya bangunan dan tanaman yang ada di atasnya; 2. Data yuridis mengenai haknya: haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak adanya hak pihak lain. Semua data tersebut dihimpun dalam buku tanah. d. Wilayah Maksudnya adalah wilayah kesatuan administrasi pendaftaran, yang dapat meliputi seluruh Negara dan dapat juga desa atau kelurahan. e. Tanah-tanah tertentu Kata-kata ini menunjuk kepada obyek pendaftaran tanah. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, selanjutnya disebut PP 24/1997, dijelaskan mengenai pengertian pendaftaran tanah, yaitu:
11
Ibid., hal.72. Ibid., hal.73. 13 Ibid., hal.73. 12
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
24
“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” Data Fisik menurut Pasal 1 angka 6 PP 24/1997 adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Sedangkan Data Yuridis menurut Pasal 1 angka 7 PP 24/1997 adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Berdasarkan pengertian menurut Pasal 1 angka 1 PP No.24/1997 tersebut, pendaftaran tanah dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pendaftaran Tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP No.10 tahun 1961 atau PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Jadi, kegiatan pendaftaran tanah meliputi : 1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan peta-peta pendaftaran dan surat ukur, dari peta dan pendaftaran surat ukur dapat diperoleh kepastian luas dan batas tanah yang bersangkutan; 2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut termasuk dalam hal ini pendaftaran atau pencatatan dari hak-hak lain (baik hak atas tanah maupun jaminan) serta beban-beban lainnya yang membebani hakhak atas tanah yang didaftarkan itu;
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
25
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang menurut Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Undang-Undang
Pokok
Agraria
dengan
seperangkat
peraturan
pelaksanaannya bertujuan untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Jika kita hubungkan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam rangka penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, maka pendaftaran tanah/ pendaftaran hak atas tanah adalah merupakan suatu sarana penting untuk terwujudnya kepastian hukum di seluruh wilayah Republik Indonesia dan sekaligus turut serta dalam penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. 14 Adanya jaminan kepastian hukum ini tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang berbunyi: Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 ayat 1 UUPA tersebut merupakan dasar hukum pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah untuk masyarakat sehingga terwujud kepastian hukum dalam kepemilikan tanah. Ketentuan lainnya ada pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya, yaitu: Pasal 23 ayat (1) UUPA berbunyi : “Hak Milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.” Pasal 32 ayat (1) UUPA berbunyi : “Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.”
14
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya, Cet.2, (Bandung: Alumni, 1993), hal.5.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
26
Pasal 38 ayat (1) UUPA berbunyi : “Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.” Pelaksanaan pendaftaran tanah diatur dengan PP No 10 Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Jaminan kepastian hukum hak atas tanah dapat diperoleh bagi pemegang hak dengan wajib dilakukan inventarisasi data-data yang berkenaan dengan setiap peralihannya. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.15
2.1.3.2 ASAS PENDAFTARAN TANAH Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas: 1. Asas sederhana Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. 2. Asas aman Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. 3. Asas terjangkau Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan
15
Harsono, Op.Cit., hal.474.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
27
ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan. 4. Asas mutakhir Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. 5. Asas terbuka Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.
2.1.3.3 TUJUAN PENDAFTARAN TANAH Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, tujuan pendaftaran tanah adalah sebagai berikut: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
2.1.3.4 OBJEK PENDAFTARAN TANAH Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, objek pendaftaran tanah adalah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai; b. Tanah Hak Pengelolaan;
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
28
c. Tanah wakaf; d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun; e. Hak Tanggungan; f. Tanah Negara. Berbeda dengan obyek pendaftaran tanah yang lain, dalam hal tanah Negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang bersangkutan dalam daftar tanah. Untuk Tanah Negara tidak disediakan Buku Tanah dan karenanya juga tidak diterbitkan sertipikat. Obyek pendaftaran tanah yang lain didaftar dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan Buku Tanah serta menerbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya.16
2.1.3.5 SISTEM PENDAFTARAN TANAH Pada dasarnya dalam sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan mengenai apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyampaian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.17 Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah terdapat dua sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registrastion of titles). Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, setiap pemberian atau penciptaan hak baru, peralihan serta pembebanannya dengan hak lain, harus dibuktikan dengan suatu akta. a. Sistem Pendaftaran Akta (Registration of deeds) Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta yang memuat data yuridis tanah yang bersangkutan tersebut yang didaftar oleh Pejabat Pendaftaran Tanah. Pejabat pendaftaran tanah bersifat pasif. Ia tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. Tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka dalam sistem ini, data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Cacat hukum dalam suatu akta bisa mengakibatkan tidak sahnya perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta yang dibuat kemudian. Untuk memperoleh data yuridis harus dilakukan dengan apa yang disebut “title 16 17
Ibid., hal.479-480. Ibid., hal.76.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
29
search”, yang bisa memakan waktu dan biaya, karena untuk tittle search diperlukan bantuan ahli. Oleh karena kesulitan tersebut, Robert Richard Torrens menciptakan sistem baru yang lebih sederhana dan memungkinkan orang memperoleh keterangan dengan cara yang mudah, tanpa harus mengadakan title search pada akta-akta yang ada. Sistem pendaftaran ini disebut “registration of titles”, yang kemudian dikenal dengan sistem Torrens.18 b. Sistem Pendaftaran Hak (Registration of Titles) Dalam sistem pendaftaran hak setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian, juga harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya yang terjadi tersebut disediakan suatu daftar isian yang disebut register atau buku tanah (menurut Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961). Akta pemberian hak berfungsi sebagai sumber data yuridis untuk mendaftar hak yang diberikan dalam buku tanah. Demikian juga akta pemindahan dan pembebanan hak berfungsi sebagai sumber data untuk mendaftar perubahan-perubahan pada haknya dalam buku tanah dan pencatatan perubahan, kemudian oleh pejabat pendaftaran tanah (PPT) dilakukan pengujian kebenaran data yang dimuat dalam akta yang bersangkutan, sehingga ia harus bersikap aktif. Sebagai tanda bukti hak, maka diterbitkan sertipikat, yang merupakan salinan register, yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur dijilid menjadi satu dalam sampul dokumen. Dalam sistem ini, buku tanah tersebut disimpan di kantor pejabat pendaftaran tanah (PPT) dan terbuka untuk umum. Oleh karena itu orang dapat mempercayai kebenaran data yang disajikan tersebut, tergantung dari sistem publikasi yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh tanah negara yang bersangkutan.19
18 19
Ibid., hal.76-77. Ibid., hal.77-78.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
30
2.1.3.6 SISTEM PUBLIKASI PENDAFTARAN TANAH Dalam penyelenggaraan suatu legal cadastre kepada para pemegang hak atas tanah diberikan surat tanda-bukti hak sehingga dapat dengan mudah membuktikan bahwa benar ia adalah yang berhak atas tanah yang bersangkutan. Data yang tersedia di Kantor Pejabat Pendaftaran Tanah adalah bersifat terbuka bagi masyarakat umum yang memerlukannya. Oleh sebab itu, diperlukan jaminan atas kebenaran data yang disajikan tersebut untuk melindungi kepentingan orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah didaftar. Untuk menjamin kebenarannya tersebut tergantung dari sistem publikasi apa yang digunakan oleh negara yang bersangkutan. Dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) macam sistem publikasi, yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. a. Sistem Publikasi Negatif Menurut Boedi Harsono, dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi negatif, negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa orang yang terdaftar sebagai pemegang hak benar-benar orang yang berhak karena menurut sistem ini bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membikin orang yang memperoleh hak dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang hak yang baru.20 Dalam sistem publikasi negatif berlaku asas nemo plus juris, artinya orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa yang dia sendiri punyai. Maka data yang disajikan dalam pendaftaran dengan sistem publikasi negatif tidak boleh begitu saja dipercaya kebenarannya. Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.21 Ciri-ciri sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu:22 1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deed). 2. Sertipikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat dianggap benar 20
Harsono, op.cit., hal.82. Ibid., hal.82. 22 Santoso, op.cit., hal.266. 21
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
31
sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sertipikat bukan sebagai satu-satunya tanda bukti hak. 3. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar. 4. Dalam sistem publikasi ini menggunakan
lembaga kedaluwarsa
(acquisitive verjaring atau adverse possessive). 5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertipikat ataupun gugatan ke pengadilan untuk meminta agar sertipikat dinyatakan tidak sah. 6. Petugas pendaftaran tanah bersifat pasif, yaitu hanya menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran tanah.
b. Sistem Publikasi Positif Menurut Effendi Perangin, yang dimaksud dengan sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah, yaitu apa yang terkandung di dalam buku tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Artinya pihak ketiga bertindak atas bukti-bukti tersebut di atas, mendapatkan perlindungan yang mutlak, biarpun di kemudian hari ternyata keterangan yang tercantum di dalamnya tidak benar. Bagi mereka yang dirugikan akan mendapat kompensasi dalam bentuk yang lain.23 Lebih lanjut, menurut Arie S. Hutagalung, dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi positif, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Dalam sistem ini, negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar.24 Ciri-ciri sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah, adalah:25
23
Perangin, op.cit., hal.97. Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal.81. 25 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.264. 24
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
32
1. Sistem
pendaftaran
tanah
menggunakan
sistem
pendaftaran
hak
(registration of titles). 2. Sertipikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat mutlak, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat tidak dapat diganggu gugat dan memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah. 3. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar. 4. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan perlindungan hukum yang mutlak. 5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat mendapatkan kompensasi dalam bentuk yang lain. 6. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah membutuhkan waktu yang lama, petugas pendaftaran tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti, dan biaya yang relative lebih besar. Sistem publikasi yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Agraria Dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Sistemnya bukan negatif murni, karena dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, bahwa pendaftaran menghasilkan surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dan dalam Pasal 23, 32 dan 38 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipikat dalam peraturan pemerintah ini, tampak jelas bahwa usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Artinya selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, maka data yang disajikan dalam buku tanah dan peta pendaftaran harus diterima sebagai data yang benar, demikian juga yang terdapat dalam sertipikat hak. Jadi data tersebut sebagai alat bukti yang kuat.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
33
Namun demikian sistem publikasinya juga bukan positif, seperti yang tercantum dalam penjelasan Umum C/7 Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1961 “pembukuan sesuatu hak dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan,bahwa orang yang sebenarnya berhak atas tanah itu, akan kehilangan haknya, orang tersebut masih dapat menggugat hak dari orang yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi cara pendaftaran yang diatur dalam peraturan ini tidaklah positif, tetapi negatif”. Meskipun sebagai alat bukti yang kuat, namun pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah tersebut. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga “acquisitieve verjaring atau adverse possession” adalah lampaunya waktu sebagai sarana untuk memperoleh hak atas tanah. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga “kedaluarsa” (rechtsverweerking) adalah lampaunya waktu yang menyebabkan orang menjadi kehilangan haknya atas tanah yang semula dimilikinya.26 Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah tersebut dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Dari hal di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa penggunaan sistem pendaftaran hak tidak selalu menunjukkan sistem publikasi yang positif. Sebaliknya sistem publikasi positif selalu memerlukan sistem pendaftaran hak pejabat pendaftaran tanah (PPT) mengadakan pengukuran kebenaran data sebelum membuat buku tanah serta melakukan pengukuran dan pembuatan peta.27 2.1.3.7 KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data yang tersedia. 26 27
Ibid., hal.325. Ibid., hal.82-83.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
34
Pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi tiga bidang kegiatan, yaitu:
28
1. Bidang fisik atau “teknis kadastral” Kegiatan ini mengenai tanahnya, yaitu untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas-batasnya, luasnya, bangunan-bangunan dan/ atau tanamantanaman penting yang ada di atasnya. Setelah dipastikan letak tanahnya, ditetapkan batas-batasnya serta diberikan tanda-tanda batas di tiap sudutnya. Diikuti dengan kegiatan pengukuran dan pembuatan petanya. Penetapan batas dilakukan oleh pejabat pendaftaran tanah yang ditunjuk oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan disetujui oleh pemegang hak atas tanah yang berbatasan. Kegiatan ini menghasilkan peta-pendaftaran yang melukiskan semua tanah yang ada di wilayah pendaftaran yang sudah diukur. Untuk tiap bidang tanah yang haknya didaftar dibuatkan surat ukur. 2. Bidang yuridis Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai haknya, siapa pemegang haknya dan ada atau tidak adanya hak pihak lain yang membebaninya. Pengumpulan datanya menggunakan alat pembuktian berupa dokumen dan lain-lainnya. 3. Penerbitan dokumen tanda-bukti hak Bentuk kegiatan pendaftaran dan hasilnya, termasuk apa yang merupakan surat tanda bukti hak, tergantung pada sistem pendaftaran yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh negara yang bersangkutan.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara sistematik dan secara sporadik. 29 Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. 30 28
Ibid., hal.74. Ibid., hal.75. 30 Ibid., hal.75. 29
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
35
Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri. 31 Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah yang bersangkutan. 32 Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan pemeliharaan datanya, yang produk akhirnya adalah sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya. Dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 ditegaskan mengenai kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang berbunyi: (1) Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: a. pengumpulan dan pengolahan data fisik; b. pembuktian hak dan pembukuannya; c. penerbitan sertipikat; d. penyajian data fisik dan data yuridis; e. penyimpanan daftar umum dan dokumen. (2) Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi: a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Berikut adalah rincian kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali: 1. Pengumpulan dan Pengolahan Data Fisik Dalam rangka pengumpulan dan pengolahan data fisik pertama-tama dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas bidang-bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah dan pembuatan surat ukur. Pembuatan peta dasar pendaftaran tersebut merupakan dasar untuk pembuatan peta pendaftaran. Pada pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik, peta dasar pendaftaran digunakan untuk memetakan bidang-bidang 31
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No.24 tahun 1997, Ps.13 ayat 2. 32 Harsono, op.cit., hal.76.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
36
tanah yang sebelumnya sudah didaftar. Sedangkan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara sporadik peta dasar pendaftaran tersebut disediakan agar bidang tanah yang yang didaftar dapat diketahui letaknya dalam kaitannya dengan bidang-bidang tanah yang lain dalam suatu wilayah, sehingga dapat dihindarkan terjadinya penerbitan sertipikat ganda atas satu bidang tanah. Penyiapan peta dasar pendaftaran diperlukan, agar setiap bidang tanah yang didaftar dijamin letaknya secara pasti, karena dapat direkonstruksi di lapangan setiap saat. Selanjutnya untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tandatanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997. Penetapan batas bidang tanah dilakukan berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak yang bersangkutan dan disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan guna memenuhi asas contradictoire delimitatie. Bidang-bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya, diukur dan dilakukan pemetaan dalam peta dasar pendaftaran untuk kemudian dibubuhkan nomor pendaftarannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997. Selanjutnya bidang-bidang tanah yang sudah dipetakan tersebut dibukukan dalam daftar tanah (Pasal 21 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997), dan untuk keperluan pendaftaran haknya, maka bidangbidang tanah tersebut dibuatkan surat ukur (Pasal 22 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997). 2. Pengumpulan dan Pengolahan Data Yuridis serta Pembukuan Haknya Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data yuridis bertujuan untuk memperoleh data mengenai haknya, siapa pemegang haknya dan ada atau tidak adanya hak pihak lain yang membebaninya. Pengumpulan data tersebut menggunakan alat pembuktian berupa dokumen dan lain-lainnya. 33
33
Harsono, op.cit., hal.75.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
37
Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis diadakan perbedaan antara pembuktian hak-hak baru dan hak lama. Hak-hak baru adalah hak-hak yang baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 dan untuk keperluan pendaftaran data yuridisnya dibuktikan antara lain dengan penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang atau asli akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang memuat pemberian hak tersebut, demikian menurut Pasal 23 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997. Sedangkan hak-hak lama yaitu hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak yang ada pada waktu mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria dan hak-hak yang belum didaftar menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961.
34
Data yuridis hak-hak lama dibuktikan dengan
alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, yang apabila bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, maka pembuktian pemilikan dapat dilakukan dengan keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi/ Kepala Kantor Pertanahan dianggap cukup sebagai dasar mendaftar hak, pemegang hak dan hakhak pihak lain yang membebaninya (Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997). Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, disebutkan bahwa bukti pemilikan pada dasarnya terdiri dari bukti pemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak yang bersangkutan yang dilakukan melalui penegasan konversi hak yang lama menjadi hak baru yang didaftar. Alat-alat bukti tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, antara lain adalah grosse akta hak eigendom, grosse akta hak eigendom, surat tanda bukti Hak Milik, petuk pajak bumi/ landrente, girik,pipil, kekitir, dan lain-lain.
34
Ibid., hal. 477.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
38
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian pemilikan yang tertulis, keterangan saksi ataupun pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya, maka pembukuan hak dapat dilakukan
berdasarkan
kenyataan
penguasaan
fisik
bidang tanah
yang
bersangkutan selama 20 (duapuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan dengan itikad baik, nyata dan terbuka, tidak diganggu gugat dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya serta telah diadakan penelitian mengenai kebenaran hal tersebut, kemudian telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman. Pada akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahn dalam pendaftaran tanah secara sporadik.35 Mengenai pembukuan hak diatur di dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997. Disebutkan bahwa hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan, dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan hak dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut Peraturan Pemerintah (Pasal 29 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997). 3. Penerbitan Sertipikat Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, adalah untuk memberikan
35
Indonesia, Penjelasan Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No.24 tahun 1997, Ps.24 ayat ( 2).
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
39
kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.36 Oleh karena itu, kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah. Pengertian sertipikat menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masingmasing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sertipikat terdiri atas salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang bersangkutan yang dijilid menjadi satu dalam suatu sampul dokumen (Pasal 13 Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961) kemudian diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Sertipikat
diterbitkan
oleh
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/
Kota.
Sedangkan pejabat yang menandatangani sertipikat, adalah:37 a. Dalam pendaftaran tanah secara sistematik, sertipikat ditandatangani oleh Ketua Panitia Ajudikasi atas nama Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota. b. Dalam pendaftaran tanah secara sporadik yang bersifat individual (perseorangan), sertipikat ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota. c. Dalam pendaftaran tanah secara sporadik yang bersifat massal, sertipikat ditandatangani oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atas nama Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota. Sertipikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain yang dikuasakan olehnya. Dalam hal pemegang hak sudah meninggal dunia, sertipikat diserahkan kepada ahli warisnya atau salah seorang ahli waris dengan persetujuan
36 37
Santoso, op.cit., hal.42. Ibid., hal.42.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
40
para ahli waris yang lain. Sedangkan sertipikat tanah wakaf diserahkan kepada nadzirnya. Di dalam Pasal 32 ayat (1) PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa : Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Dari Pasal 32 ayat (1) PP No.24 tahun 1997 tersebut diatas dapat dijelaskan berdasarkan penjelasan pasal tersebut, bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan seharihari maupun dalam berperkara di pengadilan.38 4. Penyajian Data Fisik dan Data Yuridis Penyajian data fisik dan data yuridis ditujukan untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Hal ini sesuai dengan asas pendaftaran tanah yaitu terbuka. 5. Penyimpanan Daftar Umum dan Dokumen Daftar umum dan dokumen-dokumen yang merupakan alat pembuktian hak, diberi tanda pengenal dan disimpan di Kantor Pertanahan untuk mencegah hilangnya dokumen yang sangat penting tersebut. Dokumen-dokumen tersebut harus tetap berada di Kantor Pertanahan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Apabila ada instansi yang menganggap perlu untuk memeriksanya, pemeriksaannya wajib dilakukan di Kantor Pertanahan dan hanya atas perintah pengadilan yang sedang mengadili suatu perkara, asli dokumen boleh dibawa oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuknya ke sidang pengadilan, untuk diperlihatkan kepada Majelis Hakim dan
38
Harsono, Op.cit., hal.464.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
41
para pihak yang bersangkutan. Kemudian dokumen tersebut harus disimpan kembali di Kantor Pertanahan yang semula.
2.1.4 KONVERSI HAK ATAS TANAH Konversi hak-hak atas tanah adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam Pasal 16 UUPA. Sebelum berlakunya UUPA, dalam hukum tanah dikenal dua kelompok hak atas tanah, yaitu: 1. hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum barat, yang lazim disebut Hak Barat. 2. hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Hukum Adat, yang lazim disebut Hak Indonesia. Setiap hak atas tanah yang ada sebelum UUPA berlaku, baik Hak Barat maupun Hak Indonesia, oleh ketentuan-ketentuan konversi UUPA diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang disebut dalam hukum tanah yang baru. Prinsipnya ialah, bahwa hak yang lama diubah menjadi hak yang baru yang sama atau hampir sama wewenang pemegang haknya. Dengan adanya ketentuan tentang konversi maka UUPA bukan saja mengadakan unifikasi hukum agraria, tetapi juga unifikasi hak-hak atas tanah.39 Konversi diatur di dalam UUPA Bagian Kedua mengenai Ketentuanketentuan Konversi kemudian diatur pelaksanaannya di dalam Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan UndangUndang Pokok Agraria dan ditegaskan lagi pada Keputusan Presiden No.32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat serta dipertegas lagi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi HakHak Barat. Ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atau peri kemanusiaan atas masalah hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA, 39
Perangin, op.cit., hal.145-146.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
42
yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada BW (KUH Perdata) maupun kepada Hukum Adat. Kesemua hak tersebut akan masuk melalui lembaga konversi ke dalam sistem dari UUPA. 40 Ketentuan mengenai konversi menurut ketentuan-ketentuan Konversi UUPA adalah sebagai berikut:41 a. Hak Eigendom menjadi Hak Milik, jika pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, konversinya menjadi Hak Guna Bangunan, dengan jangka waktu 20 tahun (Pasal I ayat (1) dan ayat (3) UUPA). Hak Eigendom kepunyaan pemerintah negara asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, dikonversi menjadi Hak Pakai, yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut (Pasal I ayat (2) UUPA). Hak Eigendom kepunyaan Pemerintah Negara asing yang diperuntukkan bagi keperluan lain, misalnya untuk tempat peristirahatan, konversinya menjadi Hak Guna Bangunan. b. Hak Milik Adat, Hak Agrarisch Eigendom, Hak Grant Sultan dan yang sejenis menjadi Hak Milik, jika pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, konversinya menjadi Hak Guna Usaha, kalau tanahnya merupakan tanah pertanian dan menjadi Hak Guna Bangunan, kalau tanahnya bukan tanah pertanian. Keduanya dengan berjangka waktu 20 tahun (Pasal II UUPA). c. Hak Erfpacht untuk perkebunan besar menjadi Hak Guna Usaha yang berlangsung selama sisa waktunya, tetapi selama-lamanya 20 tahun (Pasal III ayat (1) UUPA). d. Hak Erfpacht untuk perumahan dan Hak Opstal menjadi Hak Guna Bangunan, yang berlangsung selama sisa waktunya, tetapi selama-lamanya 20 tahun (Pasal V UUPA).
40
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 1990),
hal.17. 41
Harsono, op.cit., hal.311-312.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
43
e. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan Hak Pakai yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA, menjadi Hak Pakai, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana dipunyai oleh pemegang haknya pada tanggal 24 September 1960, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA (Pasal VI). f. Hak gogolan yang bersifat tetap menjadi Hak Milik, sedang yang tidak tetap menjadi Hak Pakai (Pasal VII). Perubahan atau konversi tersebut terjadi karena hukum pada tanggal 24 September 1960. Karenanya sejak tanggal tersebut tidak ada lagi hak-hak atas tanah yang lama. Apabila belum ditegaskan konversinya maka penegasannya akan dapat dilakukan pada saat pemiliknya meminta haknya untuk didaftar menurut PP No.10 Tahun 1961 atau sejak tanggal 8 Oktober 1997 menurut PP No.24 Tahun 1997. Selanjutnya penyelesaian dari tanah-tanah ex BW (bekas KUH Perdata) telah berakhir dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No.32 Tahun 1979, yang menyatakan bahwa tanah-tanah tersebut telah berakhir masa konversinya dan bagi tanah-tanah yang tidak diselesaikan haknya menjadi kembali tanah yang dikuasai oleh negara. 42 Keputusan Presiden No.32 Tahun 1979 tersebut telah menetapkan ketentuan sebagai berikut : 43 1. Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang berasal dari konversi Hak Barat, yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 1 ayat (1)). 2. Kepada pemilik lama yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/bangunan tersebut akan diberikan hak baru atas tanah tersebut, kecuali apabila tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum, dan dalam hal
42 43
Parlindungan, op.cit., hal.17. Ibid., hal.18.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
44
demikian pemiliknya diberi ganti rugi yang besarnya ditetapkan oleh suatu Panitia Penaksir (Pasal 2 dan Pasal 3). 3. Tanah HGU asal konversi Hak Barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat dipergunakan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya (Pasal 4). 4. Tanah-tanah perkampungan bekas HGB dan HP asal konversi Hak Barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat, akan diberikan prioritas kepada rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya persyaratanpersyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah (Pasal 5). 5. HGU, HGB, HP asal konversi Hak Barat yang dimiliki oleh perusahaan milik negara, perusahaan daerah serta badan-badan negara diberi pembaharuan hak atas tanah tersebut (Pasal 6). Kemudian Keputusan Presiden No.32 Tahun 1979 ini diberikan penjelasan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 1979. 2.1.5 BADAN PERTANAHAN NASIONAL Instansi pemerintah yang diberikan kewenangan mengurusi administrasi pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Semula Badan Pertanahan Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No.26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional, kemudian ditambahkan dengan Keputusan Presiden No.154 Tahun 1999, diubah dengan Keputusan Presiden No.95 Tahun 2000, dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No.10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.44 Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden No.10 Tahun 2006, yang dimaksud dengan Badan Pertanahan Nasional adalah Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh Kepala.
44
Santoso, op.cit., hal.213.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
45
Di dalam Pasal 2 Peraturan Presiden No.10 Tahun 2006 disebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Selanjutnya dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi : 45 1. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; 2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; 3. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; 4. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; 5. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; 6. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; 7. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; 8. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahWilayah khusus; 9. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik Negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan; 10. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; 11. Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain; 12. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; 13. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; 14. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan; 15. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; 16. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; 17. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; 18. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; 19. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
45
Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Pasal 3.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
46
pertanahan; 20. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 21. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, Pasal 28 ayat (1) Peraturan Presiden No.10 Tahun 2006 menyatakan bahwa untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi di Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Kabupaten/Kota. Salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional adalah pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah. Pelaksanaan fungsi pengaturan dan penetapan hakhak atas tanah dapat dilaksanakan sendiri oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, atau dapat juga dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.46 Selanjutnya mengenai kewenangan pemberian atau pembatalan hak atas tanah diatur di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
2.1.6 TATA CARA PERMOHONAN HAK ATAS TANAH Secara garis besar menurut Hukum Tanah Nasional dikenal 3 macam status tanah, yaitu:47 1. Tanah Negara, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh Negara; 2. Tanah hak, yaitu tanah yang dipunyai oleh perorangan atau badan hukum, artinya sudah terdapat hubungan hukum yang kongkrit antara subyek tertentu dengan tanahnya;
46 47
Santoso, op.cit., hal.215. Hutagalung, op.cit., hal.174.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
47
3. Tanah Ulayat, yaitu tanah dalam penguasaan suatu masyarakat hukum adat. Tata cara memperoleh tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah sebagai berikut: 48 1. Permohonan dan Pemberian Hak atas tanah, jika tanah yang diperlukan berstatus Tanah Negara. 2. Pemindahan Hak, jika: a. tanah yang diperlukan berstatus tanah hak; b. Pihak yang memerlukan tanah boleh memiliki hak yang sudah ada; c. Pemilik bersedia menyerahkan tanah. 3. Pelepasan Hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika : a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak atau tanah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat; b. Pihak yang memerlukan tanah tidak boleh memiliki hak yang sudah ada; c. Pemilik bersedia menyerahkan tanahnya. 4. Pencabutan Hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika : a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak; b. Pemilik tanah tidak bersedia melepaskan haknya; c. Tanah tersebut diperuntukkan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Permohonan hak atas tanah adalah suatu proses, yang dimulai dari masuknya permohonan kepada instansi yang berwenang sampai lahirnya hak atas tanah yang dimohon itu. Sebelum permohonan hak atas tanah masuk ke instansi yang berwenang, ada proses persiapan. Demikian juga setelah lahirnya hak atas
48
Ibid., hal.174-175.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
48
tanah yang dimohon itu, masih ada lagi tindak lanjut yang wajib dilakukan agar si pemohon memiliki bukti yang kuat tentang hak atas tanah yang diperolehnya itu.49 Menurut Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Tahun 1999, pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah Negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak di atas Hak Pengelolaan. Hak-hak atas tanah yang dapat diperoleh oleh pemohon atau yang diberikan oleh Pemerintah meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Pemberian hak tersebut dapat dilakukan dengan keputusan pemberian hak secara individual atau kolektif atau secara umum.50 Pemberian dan pembatalan Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri dimana kewenangan tersebut dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk. Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Hal ini tercantum sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 (Permenag/Ka.BPN No.9 Tahun 1999). Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka seseorang yang ingin mengajukan permohonan hak atas tanah selain harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik maka harus pula memenuhi ketentuan dalam Permenag/Ka.BPN No.9 Tahun 1999, terutama mengenai Pemberian Hak Guna Bangunan.
49
Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Rajawali, 1991),
hal.1. 50
Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
49
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah pemohon haruslah seorang Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Kemudian permohonan Hak Guna Bangunan diajukan secara tertulis dan memuat: 1. Keterangan mengenai pemohon: a. Apabila perorangan, memuat mengenai nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya. Dilampirkan pula foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia; b. Apabila badan hukum, memuat mengenai nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dilampirkan pula foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik: a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya; b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi disebutkan tanggal dan nomornya serta dilampirkan Surat Ukur atau Gambar Situasi dan IMB, apabila ada); c. Jenis tanah (pertanian, non pertanian); d. Rencana penggunaan tanah; e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara); 3. Lain-lain : a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah
yang dimohon.
Dilampirkan pula dengan surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
50
b. Keterangan lain yang dianggap perlu. Permohonan Hak Guna Bagunan tersebut diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Setelah berkas pemohon diterima, Kepala Kantor Pertanahan kemudian memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, mencatat pada formulir isian, memberitahukan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian dan memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya dan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku untuk menyelesaikan permohonan tersebut. Kewajiban tersebut sebagaimana yang ditetapkan dalam 103 ayat (1) Permenag/Ka.BPN No.9 Tahun 1999, yaitu : a. Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan uang pemasukan kepada negara sesuai dengan ketentuan Undang-undang No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Uang Pemasukan Dalam Pemberian Hak Atas Tanah Negara. b. Memelihara tanda-tanda batas. c. Menggunakan tanah secara optimal. d. Mencegah kerusakan-kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah. e. Menggunakan tanah sesuai dengan kondisi lingkungan hidup. f. Kewajiban yang tercantum dalam sertipikatnya. Apabila kewajiban-kewajiban tersebut diatas tidak dipenuhi, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat membatalkan haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.51 Kepala Kantor Pertanahan kemudian meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan Hak Guna Bangunan tersebut dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 51
Santoso, op.cit., hal.242.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
51
Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk mempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran. Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada: a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah
yang sudah terdaftar, peningkatan,
perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah dan terhadap tanah yang data yuridis atau data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah, atau; b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara, atau; c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah. Jika data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya. Kemudian setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, maka Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya (Pasal 37 Permenag/Ka.BPN No.9 tahun 1999). Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan tersebut, Kepala Kantor Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk mencatat dalam formulir isian, memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap segera
meminta
Kepala
Kantor
Pertanahan
yang
bersangkutan
untuk
melengkapinya. Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) dan memeriksa kelayakan permohonan Hak Guna Bangunan tersebut dapat atau tidaknya
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
52
dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah dan setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya. Menteri juga dapat menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan, dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tersebut tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Kewajiban yang harus dipenuhi oleh penerima hak atas tanah, dalam hal ini Hak Guna Bangunan, setelah menerima keputusan pemberian hak atas tanah adalah mendaftarkan keputusan pemberian hak atas tanah tersebut kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Pendaftaran keputusan pemberian hak atas tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tersebut menandai lahirnya hak atas tanah, dalam hal ini Hak Guna Bangunan. Maksud pendaftaran keputusan pemberian hak atas tanah tersebut adalah untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dterbitkan sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti haknya. Sertipikat hak atas tanah tersebut diserahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan kepada pemohon atau kuasanya.52 Berdasarkan gugatan yang diajukan oleh Penggugat dalam perkara No. 138/G/2007/PTUN.JKT, yaitu menyangkut pembatalan surat keputusan dari kepala kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat tentang pemberian Hak Guna Bangunan, Penggugat telah menyatakan bahwa ia telah mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Permenag/Ka.BPN No.9 Tahun 1999. Semua persyaratan dan kelengkapan lainnya telah dilengkapi oleh Penggugat sesuai yang dipersyaratkan.
52
Ibid., hal.245.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
53
2.2 SENGKETA TANAH 2.2.1 RIWAYAT TANAH Bahwa sebidang tanah seluas 459 m2 (tanah fisik obyek sengketa) tersebut adalah bagian dari tanah negara Eigendom Verponding No.6389 seluas 44 Ha milik Gunawan Kurniadi yang pada tahun 1981 merupakan tanah sengketa yang terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. Dimana kepemilikannya telah diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap yakni dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1917 K/Pdt/1984 tanggal 14 Desember 1985 jo. putusan Pengadilan Tinggi No.534/1983/PT.Perdata tanggal 15 Desember 1983 jo. putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.161/1981.G tanggal 9 Juni 1982 dan berdasarkan putusan perkara tersebut diatas, tanah sengketa yang seluas 44 Ha, termasuk tanah yang terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat, dinyatakan milik Gunawan Kurniadi. Pada tanggal 3 Juni 1988, telah dilakukan eksekusi pengosongan dan telah diserahkan kepada Gunawan Kasim, sebagai kuasa hukum dari Gunawan Kurniadi pada tanggal 11 Agustus 1989 terhadap tanah sengketa tersebut diatas, sesuai dengan Berita Acara Lanjutan Pengosongan dan Pembongkaran No.44/1986 Eks. tanggal 3 Juni 1988, sesuai Berita Acara Penyerahan Hasil Eksekusi Pengosongan, Daftar Nomor 44/1986 eksekusi tanggal 11 Agustus 1989. Bahwa tanah tersebut kemudian dilepaskan haknya oleh Gunawan Kurniadi kepada Robert Tjos Tjoary, sesuai dengan Akta Pemindahan Dan Penyerahan Hak No.32, tanggal 11 Desember 1986, yang dibuat dihadapan Lukman Kirana, S.H., Notaris/PPAT di Jakarta. Kemudian tanah tersebut dilepaskan haknya oleh Robert Tjos Tjoary kepada Penggugat, sesuai dengan Akta Jual Beli Rumah Dengan Pengoperan Hak No.203, tanggal 24 Mei 1994, yang dibuat dihadapan John Leonard Wawworuntu, S.H, Notaris di Jakarta. Sejak tanah tersebut beralih kepada Penggugat pada tanggal 24 Mei 1994, tanah tersebut langsung dikuasai oleh Penggugat hingga sengketa ini berlangsung, dimana Penggugat selaku pemilik tanah tersebut telah memenuhi kewajiban-
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
54
kewajibannya, termasuk memohonkan ijin-ijin yang berkaitan dengan Peraturan Pemerintah. 2.2.2 POSISI KASUS Kasus
sengketa
kepemilikan
tanah
yang
akan
dibahas
perkara
No.138/G/2007/PTUN.JKT, yaitu menyangkut pembatalan surat keputusan dari kepala kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat tentang pemberian Hak Guna Bangunan yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Para pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah: a. Isman Belia, selanjutnya disebut Penggugat. b. Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, selanjutnya disebut Tergugat. Kasus ini diawali dengan pengajuan gugatan oleh Penggugat dalam surat gugatannya tertanggal 2 Oktober 2007 yang didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 2 Oktober 2007, dan telah diperbaiki pada tahap Pemeriksaan Persiapan tanggal 14 Nopember 2007, berkaitan dengan penerbitan Surat Keputusan pemberian Hak Guna Bangunan yang kemudian dibatalkan dan Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang nantinya dalam penelitian ini akan disebut sebagai objek gugatan. Bahwa yang menjadi obyek gugatan dalam perkara ini adalah : 1. Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 7 April 2005, Nomor : 007 Tahun 2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala
Kantor
Pertanahan
Kotamadya
Jakarta
Barat
Nomor
:
1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. 2. Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 25 Pebruari 2005, Nomor : 1.711.2/353/09-03/02/323/HGB/2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat Nomor : 1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004,
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
55
tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. 3. Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar, tanggal 2 Oktober 1982, atas nama Usman Halim (Liem Bien Ek), dengan Gambar Situasi No.249/4308/1982, tanggal 15 September 1982, seluas 459 M2, terletak di Jelambar Blok TT Kav. No.13, Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
DALIL-DALIL PENGGUGAT Penggugat adalah pemilik atas sebidang tanah seluas 459 m2, yang terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. Selanjutnya disebut sebagai tanah sengketa. Penggugat memperoleh tanah sengketa tersebut dari Robert Tjos Tjoary, sesuai dengan Akta Jual Beli Rumah Dan Pengoperan Hak No.203 tanggal 24 Mei 1994, yang dibuat dihadapan John Leonard Wawworuntu, Notaris di Jakarta. Sejak tanah tersebut beralih kepada Penggugat pada tanggal 24 Mei 1994, tanah tersebut langsung dikuasai oleh Penggugat hingga sengketa ini berlangsung, dimana Penggugat selaku pemilik tanah tersebut telah memenuhi kewajibankewajibannya, termasuk memohonkan ijin-ijin yang berkaitan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu sebagai berikut: a. Membayar Pajak Bumi dan Bangunan sejak tanah tersebut diperoleh Penggugat sejak tahun 1994 hingga saat ini; b. Dinas Perumahan DKI Jakarta telah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan Rumah pada tanah sengketa dan telah mengeluarkan ijin kepada Penggugat untuk menempati tanah dan bangunan tersebut. c. Surat Keterangan Domisili dari Kelurahan Wijaya Kusuma. d. Pembayaran listrk setiap bulan hingga saat ini; e. Pembayaran iuran keamanan dan kebersihan lingkungan setiap bulan hingga saat ini.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
56
Untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap tanah milik Penggugat tersebut, maka Penggugat telah mengajukan permohonan hak atas tanah Penggugat yang terletak pada tanah sengketa tersebut kepada Tergugat. Dimana untuk itu Tergugat telah melakukan pemeriksaan secara yuridis maupun fisik atas tanah milik Penggugat tersebut dan Tergugat telah berpendapat bahwa Penggugat berhak memperoleh hak atas tanah dimaksud. Kemudian Tergugat telah memerintahkan kepada Penggugat untuk memenuhi persyaratan dan membayar biaya-biaya yang diperlukan untuk dapat diterbitkannya sertipikat hak atas tanah Penggugat tersebut. Sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Tergugat maka Penggugat telah memohonkan pengukuran atas tanah dan telah dilaksanakan pengukuran sesuai dengan Hasil Pengukuran Kadasteral tanggal 25 Pebruari 2003 NIB 09.03.02.07.02001 dan Panitia A Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, dalam hal ini Tergugat, telah melakukan pemeriksaan secara yuridis dan fisik, sesuai dengan hasil Risalah Pemeriksaan Tanah tanggal 17 Maret 2003 Nomor 436/RPT/B/2003. Selanjutnya Tergugat telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 1.711.2/953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Nama Isman Belia (Penggugat) atas tanah seluas 459 m2, terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat dan sebagai proses akhir untuk penerbitan Sertipikat, Penggugat telah membayar yang menjadi kewajibannya, yaitu berupa: -
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sesuai dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SSB) tanggal 31 Maret 2003 No.5338.
-
Uang pemasukan kepada Negara melalui Bendahara Khusus/ Penerimaan Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat setempat sebesar Rp 4.413.500,- (empat juta empat ratus tiga belas ribu lima ratus rupiah), tanggal 17 Mei 2004.
-
Biaya permohonan Sertipikat, sesuai dengan Surat Perintah Setor Nomor : 15024/2004, tanggal 17 Mei 2004.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
57
Meskipun Penggugat telah melaksanakan kewajibannya untuk penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut dan Tergugat sendiri telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor : 1.711.2/953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia (Penggugat) tersebut, namun Tergugat tidak menerbitkan Sertipikat hak atas tanah milik Penggugat dimaksud. Setelah Penggugat menanyakan kepada Tergugat sesuai dengan surat Penggugat berturut-turut tertanggal 31 Januari 2007 dan 16 Maret 2007, ternyata Tergugat telah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat tanggal 7 April 2005 Nomor 007 tahun 2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamdya Jakarta Barat nomor 1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 m2 tersebut, yang diketahui oleh Penggugat pada tanggal 16 Juni 2007 berdasarkan surat Tergugat tanggal 16 Juli 2007, No.1227/09/03-HT&PT. Sebelum Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat tanggal 7 April 2005 Nomor 007 tahun 2005 terbit, Tergugat telah menerbitkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat tanggal 25 Pebruari 2005, Nomor : 1.711.2/353/09-03/02/323/HGB/2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat Nomor : 1.711.2/953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah sengketa tersebut, dimana isi dari surat keputusan tersebut diatas sama dengan isi dari Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat tanggal 7 April 2005 Nomor : 007 Tahun 2005, yang menyangkut pembatalan terhadap Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat Nomor : 1.711.2/953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah sengketa tersebut. Salah satu dasar diterbitkannya surat Keputusan Tergugat tersebut adalah tidak dipenuhinya surat bukti peralihan dari Usman Halim (Liem Bien Ek) selaku pemegang Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar kepada Isman Belia (Penggugat) selaku Pemohon.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
58
Menurut Penggugat, permintaan Tergugat tersebut tidak berdasarkan hukum sama sekali karena tanah tersebut telah dinyatakan dan dikukuhkan berdasarkan keputusan
Mahkamah Agung Republik
Indonesia No.1917
K/Pdt/1984 tanggal 14 Desember 1985 jo. putusan Pengadilan Tinggi No.534/1983/PT.Perdata tanggal 15 Desember 1983 jo. putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.161/1981.G tanggal 9 Juni 1982 , adalah milik Gunawan Kurniadi dan bukan milik Usman Halim (Liem Bien Ek) lagi berdasarkan Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar. Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah menerbitkan surat No.W7.Db.Um.04.053037/V/1987 tanggal 22 Mei 1987 memberitahukan kepada Lurah Wijaya Kusuma, Jakarta Barat mengenai Permohonan untuk pencegahan dan penarikan kembali IMB serta pembatalan kartu perpetakan/ Sertipikat atas tanah di daerah Jelambar seluas 44 Ha yang dinyatakan status quo. Pengadilan
Negeri
Jakarta
Barat
dengan
suratnya
No.W7.Db.Ht.04.05.5574/XII/1994, tanggal 20 Desember 1994 juga telah memberikan penjelasan tentang Putusan Mahkamah Agung RI No.1917 K/Pdt/1984 tanggal 14 Desember 1985 tersebut kepada Walikota Jakarta Barat dan ditembuskan kepada Tergugat, dimana dalam surat tersebut telah dijelaskan bahwa yang berhak atas tanah seluas 44 Ha, termasuk tanah sengketa tersebut, dinyatakan milik Gunawan Kurniadi. Oleh karenanya Tergugat tidak memiliki dasar hukum untuk meminta Penggugat melampirkan surat bukti peralihan dari Usman Halim kepada Isman Belia (Penggugat) dan berdasarkan keputusan Mahkamah Agung RI tersebut seharusnya sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar dengan gambar situasi No.259/4308/1982 tanggal 15 September 1982 tersebut sudah tidak berlaku dan harus ditarik oleh Tergugat dan selain itu juga haknya telah berakhir sejak tanggal 15 September 2002. Sehingga berdasarkan Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hak Usman Haim (Liem Bien Ek) berdasarkan Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar telah hapus serta antara Usman Halim (Liem Bien Ek) dengan Penggugat tidak ada hubungan hukum sama sekali.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
59
Atas penerbitan Surat Keputusan yang menjadi objek gugatan tersebut, yang bertanggung jawab adalah Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, sehingga yang dijadikan Tergugat dalam perkara ini adalah Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat.
PERMOHONAN PENUNDAAN/PENANGGUHAN Untuk menjamin bahwa selama pemeriksaan perkara ini di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Sertipikat HGB No.1490/Jelambar seluas 459 M2 atas nama Usman Halim (Liem Bien Ek) tidak diperpanjang oleh Tergugat atau adanya pihak lain yang akan menyalahgunakan objek gugatan, maka Penggugat memohon untuk menunda terlebih dahulu pelaksanaan lebih lanjut dari objek gugatan tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam perkara a quo mempunyai kekuatan hukum tetap.
JAWABAN TERGUGAT Bahwa atas gugatan Penggugat tersebut, pihak Tergugat telah mengajukan jawaban tertulis pada persidangan tanggal 12 Desember 2007 yang berisi bahwa gugatan Penggugat kurang pihak. Seharusnya Gubernur DKI Jakarta dijadikan pihak karena Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar diterbitkan berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Jakarta tanggal 14 Agustus 1982 Nomor 2620/996/I/HGB/I/1982, sedangkan Gubenur DKI Jakarta tidak dijadikan pihak, dengan demikian gugatan Penggugat kurang pihak. Jawaban Tergugat dalam pokok perkara, yaitu bahwa Tergugat menolak dan menyangkal seluruh dalil Penggugat kecuali yang dengan tegas diakui dan dibenarkan oleh Tergugat dan pada hakekatnya Penggugat mempermasalahkan keberadaan Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar atas nama Usman Halim (Lim Bien Ek). Tergugat menyatakan bahwa keberadaan Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 14 Agustus 1982 Nomor: 259/4308/1982, sesuai dengan Gambar Situasi tanggal 15 September 1982 No.259/4308/1982 diterbitkan pada tanggal 16 September 1982.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
60
Tergugat juga menyatakan bahwa Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar berasal dari tanah Negara bekas Eigendom No.6389-seb/ Blok TT Kav. No.13. Bahwa Penggugat mempermasalahkan keluarnya Surat Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Barat tanggal 16 Juli 2007 Nomor 1227/09-03-HT&PT yang isinya tentang membatalkan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat Nomor 1.711.2/1953/09-03/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia (Penggugat) atas tanah sengketa seluas 459 M2 dan dengan keluarnya surat tersebut dijelaskan bahwa usulan pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia (Penggugat) berasal dari tanah Negara bekas Eigendom No.6389 seb, adapun Sertipikat HGB No.1490/Jelambar berasal dari tanah Negara bekas Eigendom No.6389, sehingga terdapat kesalahan/ kekeliruan dalam penerapannya. Dalam pemeriksaan perkara ini oleh Pengadilan telah dipanggil secara patut dan sah pihak ketiga yaitu Usman Halim, pemegang Sertipikat HGB No.1490/Jelambar tanggal 2 Oktober 1982, namun yang bersangkutan tidak pernah hadir dan tidak menanggapi surat panggilan tersebut. Untuk menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat dan dalil-dalil jawaban Tergugat dalam perkara ini, maka baik Penggugat maupun Tergugat telah mengajukan bukti tertulis berupa fotocopy surat-surat yang telah dimateraikan dengan cukup dan dicocokan dengan aslinya. Dengan adanya permasalahan seperti tersebut diatas, pihak Penggugat sebagai pemilik hak atas tanah yang sudah beritikad baik dirugikan karena tidak mempunyai jaminan atas kepastian hak yang dimilikinya.
2.2.3 PUTUSAN
PENGADILAN
TATA
USAHA
NEGARA
NO.138/G/2007/PTUN.JKT 2.2.3.1 PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam putusannya perkara No.138/G/2007/PTUN.JKT memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum yang akan dijadikan dasar untuk mengambil keputusan.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
61
Majelis Hakim menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana yang telah diuraikan dalam duduk pokok sengketa tersebut di atas. Demikian pula dengan objek gugatan telah disebutkan dalam pokok perkara diatas. Menimbang, bahwa dasar Penggugat mengajukan gugatan terhadap terbitnya obyek gugatan tersebut oleh karena Penggugat selaku pemilik yang menguasai, mengelola secara fisik atas tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat (selanjutnya disebut tanah sengketa) sejak tahun 1994 hingga sekarang. Majelis Hakim juga telah melaksanakan pemeriksaan setempat (sidang di lokasi) di tanah sengketa tersebut pada tanggal 29 Pebruari 2008 dan mendapat fakta bahwa tanah dari obyek sengketa memang secara fisik dikuasai dan berdiri bangunan rumah setengah permanen diatasnya yang digunakan Penggugat sebagai gudang. Sehingga berdasarkan uraian pertimbangan diatas, maka Penggugat mempunyai kepentingan langsung yang dirugikan dengan terbitnya obyek gugatan tersebut. Dengan demikian gugatan Penggugat telah memenuhi Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Menimbang, bahwa Penggugat mengetahui obyek gugatan pada tanggal 16 Juli 2007 dari surat Tergugat No.1227.09.03-HT.8.PT tanggal 16 Juli 2007 yang ditujukan kepada Penggugat yang tidak dibantah oleh Tergugat sedangkan Penggugat mengajukan gugatan ini di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta adalah pada tanggal 2 Oktober 2007, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat dalam megajukan gugatan ini masih dalam tenggang waktu yang diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang No.5 Tahun 1986.. Sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986, dengan tidak hadirnya pihak ketiga saudara Usman Halim selaku pemegang Sertipikat HGB No.1490/Jelambar tanggal 2 Oktober 1982 berkaitan dengan terbitnya keputusan tata usaha negara obyek gugatan, sedangkan oleh pengadilan telah dipanggil secara patut dan sah, namun tidak pernah hadir untuk menanggapinya baik secara lisan ataupun secara tulisan, maka Majelis Hakim
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
62
berkesimpulan bahwa saudara Usman Halim tidak berkehendak hadir untuk ikut sebagai pihak dalam perkara ini. Sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan tentang pokok perkara dalam sengketa tata usaha ini terlebih dahulu akan mempertimbangkan tentang eksepsi Tergugat yang diajukan pada tanggal 12 Desember 2007, yaitu : Atas eksepsi yang diajukan oleh Tergugat tersebut diatas maka Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum yaitu Majelis Hakim menimbang bahwa mengenai pihak yang dapat menjadi Tergugat dalam sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-undang No.5 Tahun 1986 yaitu Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang/badan hukum perdata. Menimbang, bahwa berpedoman kepada ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan keputusan-keputusan yang dijadikan obyek gugatan tersebut, maka menurut Majelis Hakim didudukannya Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat sebagai satu-satunya Tergugat dalam sengketa ini sudah tepat dan benar karena hanya dialah yang bertanggung jawab atas diterbitkannya keputusan tata usaha negara tersebut, dia pulalah badan/pejabat tata usaha negara yang diberikan wewenang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan keputusan yang diterbitkan oleh Gubernur DKI Jakarta hanyalah keputusan-keputusan yang harus menjadi pertimbangan bagi Tergugat sebelum menerbitkan keputusan tersebut. Sehingga eksepsi Tergugat tersebut tidak cukup beralasan hukum dan dinyatakan ditolak. Dalam pokok sengketa, Majelis Hakim menimbang bahwa yang menjadi objek gugatan dalam gugatan Penggugat adalah : 1. Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 7 April 2005, Nomor : 007 Tahun 2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala
Kantor
Pertanahan
Kotamadya
Jakarta
Barat
Nomor
:
1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
63
2. Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 25 Pebruari 2005, Nomor : 1.711.2/353/09-03/02/323/HGB/2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat Nomor : 1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. 3. Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar, tanggal 2 Oktober 1982, atas nama Usman Halim (Liem Bien Ek), dengan Gambar Situasi No.249/4308/1982, tanggal 15 September 1982, seluas 459 M2, terletak di Jelambar Blok TT Kav. No.13, Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Menimbang, bahwa setelah mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat dan Tergugat, maka menurut Majelis Hakim pokok persoalan yang perlu dibahas dan dipecahkan adalah apakah penerbitan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat dan Sertipikat Hak Guna Bangunan yang menjadi objek gugatan tersebut diatas, mengandung cacat hukum sehingga ada cukup alasan hukum menyatakan batal atau tidak sah dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang telah diajukan oleh Penggugat dan Tergugat serta dari bukti-bukti yang diserahkan di persidangan dapat diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut : a. bahwa bidang tanah yang dibeli oleh Penggugat tersebut adalah merupakan bagian dari tanah sengketa seluas 44 Ha milik Gunawan Kurniadi yang dijualnya kepada Robert Tjos Tjoary sebagaimana telah dijelaskan dalam gugatan Penggugat tersebut diatas. b. bahwa sejak tahun 1994 tanah fisik obyek sengketa telah dikuasai oleh Penggugat dimana Penggugatlah yang membayar iuran-iuran atas tanah sengketa seluas 459 M2 tersebut, yang berupa Pajak Bumi dan Bangunan, rekening listrik, dan iuran keamanan lingkungan dan oleh Pemda DKI Jakarta telah diberikan izin menempati tanah dan bangunan atas nama Penggugat
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
64
terhadap tanah tersebut. Demikian pula dari hasil pemeriksaan setempat Majelis Hakim dilokasi fisik tanah sengketa pada tanggal 29 Pebruari 2008 yang memperkuat fakta hukum bahwa tanah sengketa telah dikuasai oleh Penggugat. c. Terdapat perbedaan tanah negara yang menjadi dasar terbitnya sertipikat HGB No.1490/Jelambar dengan tanah yang diukur oleh Tergugat dengan gambar situasi No.259/4308/1982, maka Sertipikat HGB No.1490/Jelambar tersebut adalah cacat yuridis dan hal ini tidak diteliti secara cermat oleh Tergugat sehingga mengakibatkan tumpang tindih antara tanah obyek Sertipikat HGB No.1490/Jelambar dengan tanah milik Penggugat. Bahwa tindakan tergugat yang tidak cermat tersebut menyebabkan tidak ada kepastian hukum atas tanah obyek sengketa bagi Penggugat sehingga Tergugat menerbitkan keputusan tata usaha negara obyek gugatan. d. Bahwa bidang tanah yang dimohon Penggugat adalah tanah negara Eigendom Verponding No.6389 seb yang berasal dari bagian tanah Eigendom Verponding No.6389 milik Gunawan Kurniadi yang kepemilikannya telah mendapat putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga Keputusan Terguat tentang pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Penggugat seluas 459 M2 tersebut adalah diatas tanah milik dan dikuasai oleh Penggugat dan bukan diatas tanah Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar yang cacat yuridis dan haknya telah berakhir. e. Bahwa terbitnya keputusan tata usaha negara yang menjadi objek gugatan adalah berdasarkan kesimpulan tidak dapat melampirkan surat bukti peralihan Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar dan adanya perbedaan penyebutan asal tanah yang dimohon oleh Pemohon adalah tidak beralasan hukum, oleh karena Sertipikat HGB No.1490/Jelambar telah berakhir haknya pada tanggal 15 September 2002 dan cacat yuridis. Maka menurut Majelis Hakim, Tergugat telah menyalahi prosedur pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 55 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, seharusnya Tergugat memproses permohonan Penggugat dan menerbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia (Penggugat).
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
65
Berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa ketidakcermatan Tergugat saat pemrosesan untuk penerbitan sebuah sertipikat atau keputusan tata usaha negara menyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas tanah obyek sengketa bagi Penggugat sehingga penerbitan keputusan tata usaha negara obyek gugatan oleh Tergugat adalah bertentangan dengan asas kecermatan dan asas kepastian hukum dari asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai dengan Pasal 53 ayat (2) b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan paragraf 6 tentang perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi : (1) Panitera Pengadilan wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai isi semua putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan penetapan Ketua Pengadilan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada data mengenai bidang tanah yang sudah didaftar atau satuan rumah susun untuk dicatat pada buku tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin pada sertipikatnya dan daftar-daftar lainnya. (2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan juga atas permintaan pihak yang berkepentingan, berdasarkan salinan resmi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau salinan penetapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan yang diserahkan olehnya kepada Kepala Kantor Pertanahan. Mengacu pada Pasal 55 Peraturan Pemerintah tersebut diatas, menurut Majelis Hakim Tergugat telah menyalahi prosedur pendaftaran tanah, seharusnya Tergugat memproses permohonan Penggugat dan menerbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia (Penggugat). Oleh karena itu, penerbitan keputusan tata usaha negara obyek gugatan telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibat hukumnya adalah tindakan penolakan yang dilakukan Tergugat atas permohonan Penggugat untuk menerbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan atas tanah obyek sengketa adalah cacat hukum.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
66
Berdasarkan uraian fakta hukum dan pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa : Terhadap permohonan penundaan obyek gugatan oleh Penggugat, menurut Majelis Hakim dengan adanya gugatan sengketa tata usaha negara ini di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, maka dalam buku tanah sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar atas nama Usman Halim dicatatkan dalam sengketa dan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.318 K/TUN/2000 tanggal 19 Maret 2002 yang isinya bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Kepala Kantor Pertanahan tidak berhak melakukan pendaftaran peralihan hak, jika tanah yang bersangkutan menjadi obyek sengketa di pengadilan. Oleh karena itu, permohonan penundaan obyek gugatan harus dikesampingkan. Dalam pokok perkara, gugatan Penggugat beralasan untuk dikabulkan seluruhnya dan kepada Tergugat dibebankan untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam pemeriksaan dalam sengketa ini.
2.2.3.2 PUTUSAN HAKIM a. Dalam Penundaan Menolak permohonan Penggugat untuk menunda pelaksanaan lebih lanjut dari Keputusan tata usaha negara obyek gugatan ini.
b. Dalam Eksepsi Menolak eksepsi Tergugat.
c. Dalam Pokok Perkara 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. 2. Menyatakan batal Keputusan Tergugat berupa : a) Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 7 April 2005, Nomor : 007 Tahun 2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat Nomor : 1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
67
tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. b) Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, tanggal
25
Pebruari
2005,
Nomor:
1.711.2/353/09-
03/02/323/HGB/2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat Nomor : 1.711.2/1953/0903/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. c) Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar, tanggal 2 Oktober 1982, atas nama Usman Halim (Liem Bien Ek), dengan Gambar Situasi No.249/4308/1982, tanggal 15 September 1982, seluas 459 M2, terletak di Jelambar Blok TT Kav. No.13, Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. 3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut : a) Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 7 April 2005, Nomor : 007 Tahun 2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat Nomor : 1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. b) Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 25 Pebruari 2005, Nomor: 1.711.2/353/09-03/02/323/HGB/2005, tentang Pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya
Jakarta
Barat
Nomor:
1.711.2/1953/09-
03/02/1932/HGB/2004, tanggal 13 Mei 2004, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 terletak
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
68
di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. c) Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar, tanggal 2 Oktober 1982, atas nama Usman Halim (Liem Bien Ek), dengan Gambar Situasi No.249/4308/1982, tanggal 15 September 1982, seluas 459 M2, terletak di Jelambar Blok TT Kav. No.13, Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. 4. Mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia (Penggugat) yang dimohon oleh Penggugat atas tanah sengketa seluas 459 M2 sesuai dengan Surat Keputusan Tergugat No.1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. 5. Membebankan kepada Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp 2.809.000,- (dua juta delapan ratus sembilan ribu rupiah).
2.3 ANALISA KASUS 2.3.1 Perlindungan Hukum Kepada Pemilik Hak Atas Tanah Yang Beritikad Baik Dalam Pengajuan Permohonan Sertipikat Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No.138/G/2007/PTUN.JKT Di dalam Hukum Benda, itikad baik diartikan dengan kejujuran atau bersih. Jika disebut “si pembeli yang beritikad baik”, maka diartikan sebagai orang yang jujur, orang yang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacatcacat yang melekat pada barang yang dibelinya. Artinya cacat mengenai asal-usul barang yang dibelinya.53 Demikian pula jika dikaitkan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Pemilik hak atas tanah yang beritikad baik harus dianggap sebagai pemilik hak atas tanah yang jujur. Ia dianggap tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada tanah yang dimilikinya tersebut. 53
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.12, (Jakarta: Intermasa, 1990), hal.41.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
69
Ketika pemilik hak atas tanah tersebut, dalam hal ini Penggugat, mengajukan permohonan sertipikat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, dalam hal ini Tergugat, ia dianggap tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada tanah yang dimiliki oleh Penggugat. Itikad baik tersebut akan menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim. Dalam perkara Pengadilan Tata Usaha Negara No.138/G/2007/PTUN.JKT tersebut, Penggugat mengajukan permohonan sertipikat atas sebidang tanah yang dimilikinya demi mendapatkan kepastian hukum. Kepastian hukum ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, yang berbunyi : (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini : a. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Tanah yang disengketakan dalam perkara ini adalah tanah negara bekas Eigendom Verponding No.6389 seb dan sebagaimana ketentuan mengenai Konversi dalam UUPA Pasal I ayat (1) dan ayat (3) UUPA disebutkan bahwa hak Eigendom menjadi Hak Milik, jika pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, konversinya menjadi Hak Guna Bangunan, dengan jangka waktu 20 tahun. Menurut salah satu ketentuan dalam Keputusan Presiden No.32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, disebutkan bahwa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang berasal dari konversi hak barat, yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Oleh karena itu untuk pendaftaran hak atas tanah diperlukan adanya pembuktian atas hak lama. Ketentuan yang harus diperhatikan adalah ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi :
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
70
(1) Untuk keperluan pendaftaran hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. (2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih atau secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat: a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pun pihak lainnya. Dalam pengajuan permohonan hak atas tanah tersebut terdapat ketentuanketentuan yang harus diperhatikan menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Tahun 1999, salah satunya dalam ayat (1) yaitu bahwa sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggugat sebagai pemilik hak atas tanah sengketa tersebut diperoleh dari Robert Tjos Tjoary, sesuai dengan Akta Jual Beli Rumah dan Pengoperan Hak No.203 tanggal 24 Mei 1994, yang dibuat dihadapan John Leonard Waworuntu, Notaris di Jakarta dan sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian riwayat tanah tersebut diatas, ternyata bahwa tanah sengketa tersebut beralas hak tanah Negara bekas Eigendom Verponding No.6389 seb seluas 459 M2. Dari uraian pokok perkara tersebut diatas, telah dibuktikan bahwa Penggugat sejak tahun 1994 telah menguasai tanah sengketa dan telah membayar iuran Pajak Bumi dan Bangunan, rekening listrik, iuran keamanan dan kebersihan
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
71
lingkungan yang menjadi kewajibannya, serta ada surat keterangan domisili Penggugat dari Lurah Wijaya Kusuma. Penguasaan tanah oleh Penggugat tersebut juga dikuatkan dengan adanya pemeriksaan di lokasi fisik oleh Majelis Hakim dan adanya keterangan dari Wakil Lurah Wijaya Kusuma Bapak Asmara bahwa di tanah tersebut tidak pernah ada orang yang bernama Usman Halim yang bertempat tinggal di atas tanah sengketa tersebut kecuali Isman Belia (Penggugat). Selain itu juga diatas tanah tersebut berdiri sebuah bangunan rumah semi permanen yang dibangun dan dipagar oleh Penggugat sejak tahun 1995 dan hingga sekarang digunakan sebagai gudang. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka Penggugat telah memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Tahun 1999. Dilihat dari bukti secara data yuridis yaitu adanya bukti peralihan hak antara Robert Tjos Tjoary dengan Penggugat, yaitu berupa Akta Jual Beli Rumah dan Pengoperan Hak No.203 tanggal 24 Mei 1994, yang dibuat dihadapan John Leonard Waworuntu, Notaris di Jakarta, bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, rekening listrik dan bukti lain sebagaimana yang diajukan dalam persidangan perkara di pengadilan. Penggugat kemudian mengajukan permohonan hak atas tanah Penggugat yang terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat (tanah sengketa) kepada Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat, dalam hal ini Tergugat, dan oleh Tergugat telah dilakukan pemeriksaan secara yuridis maupun fisik atas tanah tersebut dan Tergugat telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 1.711.2/953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2. Sebagai proses akhir untuk penerbitan sertipikat, Penggugat telah membayar biaya-biaya yang diperlukan sebagaimana ternyata dari bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Namun hingga tahun 2007, setelah Penggugat menanyakan kepada Tergugat melalui surat Penggugat, ternyata Tergugat telah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat tanggal 7 April
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
72
2005 Nomor 007 tahun 2005 tentang Pembatalan Surat Keputusan Nomor: 1.711.2/953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2. Alasan pembatalan tersebut adalah adanya surat bukti yang belum terpenuhi, yaitu surat bukti peralihan dari Usman Halim (Liem Bien Ek) selaku pemegang Sertipikat HGB No.1490/Jelambar kepada Isman Belia (Penggugat) selaku Pemohon. Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam putusannya perkara No.138/G/2007/PTUN.JKT, diterbitkannya Surat Keputusan mengenai pembatalan pemberian Hak Guna Bangunan oleh Tergugat adalah tidak berdasarkan hukum, karena berdasarkan bukti-bukti yang diajukan dan fakta-fakta hukum yang diperoleh, diketahui bahwa adanya perbedaan tanah negara yang menjadi dasar terbitnya Sertipikat Hak Guna Bangunan No.1490/Jelambar dengan tanah yang diukur oleh Tergugat dengan Gambar Situasi No.259/4308/1982. Sehingga ada kesalahan dalam penetapannya dan mengakibatkan
tumpang
tindih
antara
tanah
obyek
sertipikat
HGB
No,1490/Jelambar dengan tanah milik Penggugat. Oleh karena itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa Tergugat telah bertindak tidak cermat yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas tanah obyek sengketa bagi Penggugat akibat diterbitkannya Sertipikat HGB No.1490/Jelambar. Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat tanggal 7 April 2005 Nomor 007 tahun 2005 tentang Pembatalan Surat Keputusan Nomor: 1.711.2/953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 adalah termasuk Keputusan Tata Usaha Negara. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
73
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Menurut ketentuan Pasal 53 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi : (1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. (2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Patut diperhatikan juga ketentuan Pasal 104 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, pada ayat (1) disebutkan bahwa pembatalan hak atas tanah meliputi pembatalan keputusan pemberian hak, sertipikat hak atas tanah dan keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah. Pada ayat (2) disebutkan bahwa pembatalan tersebut dilakukan karena adanya cacat hukum administratif dalam penerbitan keputusan pemberian dan/ atau sertipikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 107 disebutkan yang dimaksud dengan cacat hukum administratif tersebut adalah: a. kesalahan prosedur; b. kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan; c. kesalahan subjek hak; d. kesalahan objek hak; e. kesalahan jenis hak; f. kesalahan perhitungan luas;
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
74
g. terdapat tumpang tindih hak atas tanah; h. data yuridis atau data fisik tidak benar; i. kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif. Dari ketentuan Pasal 53 tersebut diatas dapat diketahui bahwa Penggugat, sebagai pemilik hak atas tanah, mempunyai hak untuk mengajukan gugatan agar suatu Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak sah, apabila dengan diterbitkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan. Dengan syarat bahwa alasan diajukannya gugatan tersebut adalah sesuai dengan Pasal 53 ayat (2). Kemudian yang menjadi objek gugatan juga memenuhi ketentuan dalam Pasal 104 dan Pasal 107 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan diatas dan dengan dikuatkan dengan bukti-bukti yang secara nyata ada dan diterima sebagai bukti yang sah, maka dapat disimpulkan bahwa Penggugat sebagai pemilik hak atas tanah sengketa tetap mendapatkan perlindungan hukum atas haknya untuk mengajukan permohonan hak atas tanah miliknya.
2.3.2 Pertanggungjawaban Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sebagai Pihak Yang Menerbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan, Kemudian Hak Tersebut Dibatalkan Instansi pemerintah yang diberikan kewenangan mengurusi administrasi pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Semula Badan Pertanahan Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No.26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional, kemudian ditambahkan dengan Keputusan Presiden No.154 Tahun 1999, diubah dengan Keputusan Presiden No.95 Tahun 2000, dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No.10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.54
54
Santoso, op.cit., hal.213.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
75
Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden No.10 Tahun 2006, yang dimaksud dengan Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah NonDepartemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh Kepala. Adapun tugas BPN dinyatakan dalam Pasal 2 Perpres 10/2006 yaitu melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugas tersebut BPN menyelenggarakan fungsi:55 1. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; 2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; 3. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; 4. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; 5. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; 6. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; 7. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; 8. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahWilayah khusus; 9. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik Negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan; 10. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; 11. Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain; 12. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; 13. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; 14. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan; 15. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; 16. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; 17. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
55
Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Pasal 3.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
76
pertanahan; 18. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; 19. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan; 20. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 21. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara Nomor 3 Tahun 1999 (Permenag/Ka.BPN No.3 Tahun 1999), maka kewenangan pemberian hak atas tanah secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional
Propinsi
atau
Kepala
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya. Pelimpahan kewenangan ini juga meliputi kewenangan untuk menegaskan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah adalah tanah negara.56 Sedangkan di dalam pokok perkara persidangan tersebut diatas, Majelis Hakim memberikan pertimbangan mengenai pihak yang dapat menjadi Tergugat dalam sengketa ini. Majelis Hakim mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang/ badan hukum perdata. Karena Badan Pertanahan Nasional adalah termasuk salah satu dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Atas pertimbangan tersebut dan dikaitkan dengan keputusan-keputusan yang telah diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat,
56
Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011
77
maka Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat adalah satu-satunya yang menjadi Tergugat dan yang harus bertanggung jawab atas penerbitan keputusan tata usaha negara tersebut. Karena berdasarkan ketentuan Pasal 2 Permenag/Ka.BPN No.3 Tahun 1999, Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat (Tergugat) adalah badan/pejabat tata usaha negara yang diberikan wewenang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan keputusan yang diterbitkan oleh Gubernur DKI Jakarta hanyalah keputusankeputusan yang harus menjadi pertimbangan Tergugat sebelum menerbitkan keputusan tersebut. Majelis Hakim setelah meneliti dari bukti-bukti yang ada dalam persidangan mengenai penerbitan Sertipikat HGB No.1490/Jelambar atas nama Usman Halim (Liem Bien Ek) terdapat perbedaan tanah Negara yang menjadi dasar terbitnya Sertipikat HGB No.1490/Jelambar tersebut, sehingga menurut Majelis Hakim Tergugat telah bertindak tidak cermat yang mengakibatkan merugikan kepentingan Penggugat. Dari hasil uraian tersebut diatas maka pantaslah jika Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat selaku Tergugat bertanggung jawab atas penerbitan surat Keputusan tata usaha negara tersebut. Pertanggungjawaban Tergugat yaitu mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diterbitkan termasuk Sertipikat HGB No.1490/Jelambar atas nama Usman Halim (Liem Bien Ek), serta menerbitkan Sertipikat HGB atas nama Isman Belia yang dimohon oleh Penggugat atas tanah seluas 459 M2 sesuai dengan Surat Keputusan Tergugat No.1.711.2/1953/09-03/02/1932/HGB/2004 tanggal 13 Mei 2004 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Isman Belia atas tanah seluas 459 M2 yang terletak di Komplek BNI Blok TT No.13, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Kotamadya Jakarta Barat. Dengan adanya pertanggungjawaban dari Tergugat maka kepastian hukum atas hak atas tanah milik Penggugat terjamin.
Universitas Indonesia Perlindungan hukum ..., Yulianti Ayu Rahmadani, FH UI, 2011