1
BAB I PENDAHULUAN
1. 1. LATAR BELAKANG Pertambahan jumlah penduduk di kota-kota besar seperti halnya yang terjadi di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, mengakibatkan adanya keterbatasan tanah untuk perumahan dan pemukiman. Salah satu alternatif pemecahan masalah keterbatasan
perumahan
dan
pemukiman
tersebut
adalah
diadakannya
pembangunan rumah susun atau kondominium, yang mana tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, dengan meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah-daerah berpenduduk padat dan hanya tersedia luas tanah yang terbatas.13 Di samping itu, pembangunan rumah susun juga bertujuan untuk mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega, dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah kumuh.14 Penyelenggaraan pembangunan rumah susun di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (untuk selanjutnya disebut sebagai UU No. 16 Tahun 1985), yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1985. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (untuk selanjutnya disebut PP No. 4 Tahun 1988), yang diundangkan pada tanggal 26 April 1988, juga diatur mengenai persyaratan teknis dan administratif pembangunan Rumah Susun, izin layak huni, pemilikan Rumah Susun, penghunian, pengelolaan, dan tata cara pengawasannya.
13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cet. 9, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 358. 14
Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, cet. 3, (Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 3.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
2
Dalam pasal 500 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata15 (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata), diatur bahwa tanah dan bangunan yang berada di atasnya merupakan satu kesatuan, dimana bangunan merupakan bagian dari tanah sehingga atas bangunan itu berlaku ketentuan hukum tanah (asas accessie atau asas natrekking). Namun demikian, sejak tanggal 24 September 1960, Undang-Undang Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA) mengadakan unifikasi Hukum Tanah dan hak-hak penguasaan atas tanah. Hal ini mencabut ketentuan yang diatur sebelumnya dalam Buku II KUHPerdata tentang agraria, kecuali pasal-pasal yang mengatur tentang hipotik.16 Dengan demikian, pasalpasal yang mengandung penerapan atas asas accessie tidak berlaku lagi. Selanjutnya, asas yang berlaku atas bangunan adalah asas Hukum Adat, yaitu asas pemisahan horizontal dimana bangunan harus dianggap terpisah dengan tanahnya.17 Di dalam sistem kondominium yang dipakai dalam rumah susun, sesuai dengan yang diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985, diperkenalkan suatu lembaga baru sebagai suatu hak kebendaan, yaitu Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang terdiri atas hak perorangan atas unit Satuan Rumah Susun (SRS) dan hak bersama atas tanah, benda dan bagian bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan-satuan yang bersangkutan. Oleh karena itu, kepemilikan rumah susun merupakan suatu hal yang berbeda dengan kepemilikan rumah yang pada umumnya dikenal dalam masyarakat. Pada kepemilikan rumah susun, terdapat pemilikan individual dan pemilikan bersama, dimana yang dapat dimiliki secara individual adalah satuan rumah susun yang pada hakikatnya adalah bangunan. Akan tetapi, pemilikan secara individual atas bangunan ini tidak terlepas dari penggunaan bersama atas bagian, benda dan tanahnya. 15
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.
Soebekti dan R. Tjitrosudibio. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994). 16
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 Tahun 1960, TLN
No. 2043. 17
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi
Kenikmatan, cet. 2, (Jakarta: Ind-Hill. Co, 2002), hal. 99.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
3
Satuan rumah susun yang merupakan milik perseorangan dikelola sendiri oleh pemiliknya, sedangkan yang merupakan hak bersama harus digunakan dan dikelola secara bersama karena menyangkut kepentingan dan kehidupan orang banyak.18 Oleh karena itu, penghuni rumah susun wajib membentuk suatu Perhimpunan Penghuni yang berkedudukan sebagai badan hukum yang mempunyai tugas dan wewenang mengelola dan memelihara rumah susun beserta lingkungan
dan
menetapkan
peraturan-peraturan
mengenai
tata
tertib
19
penghunian. Sehubungan dengan Rumah Susun Klender yang akan dibahas oleh Penulis, berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 723/1990, dibentuk Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Klender (PPRSK). PPRSK ini berfungsi untuk membina terciptanya kehidupan lingkungan Rumah Susun Klender yang sehat, aman, tertib dan serasi; mengatur dan membina kepentingan penghuni dengan menerapkan keseimbangan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama sesama penghuni Rumah Susun Klender; serta mengelola Rumah Susun Klender dan lingkungannya. Hal ini didasarkan atas Anggaran Dasar PPRSK, yang mana juga menyebutkan tentang tugas pokok PPRSK yang antara lain adalah mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSK; membina para penghuni ke arah kesadaran hidup bersama yang selaras serasi dan seimbang; menyelenggarakan tugas-tugas administratif penghunian Rumah Susun Klender; membentuk dan atau menunjuk serta mengawasi Badan Pengelola dalam rangka pengelolaan Rumah Susun Klender dan lingkungannya; menyelenggarakan pembukuan dan administrasi keuangan secara terpisah terhadap kekayaan PPRSK; serta menetapkan dan menerapkan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditentukan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRSK. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 1985, rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara, serta Hak Pengelolaan. Jadi, secara yuridis rumah 18
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal. 285. 19
Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi, cet. 1,
(Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 172.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
4
susun dapat dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan, di mana yang berwenang membangunan rumah susun tersebut hanyalah subyek Hak Pengelolaan yang bersangkutan. Akan tetapi, pembangunan rumah susun dapat pula dilaksanakan di atas bagian-bagian dari tanah Hak Pengelolaan, dan bagian-bagian itu dapat dikuasai dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai oleh pihak pengembang (developer). Bagian-bagian dari tanah Hak Pengelolaan yang diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada pengembang sebagai pihak penyelenggara pembangunan rumah susun wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak pengembang yang bersangkutan. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (untuk selanjutnya disebut PMNA/Ka.BPN No. 9 Tahun 1999). Pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak di bidang pembangunan dan swadaya masyarakat, hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UU No. 16 Tahun 1985. Penyelenggara pembangunan rumah susun yang mendirikan bangunan rumah susun di atas bagian tanah Hak Pengelolaan mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan terlebih dahulu status tanah hak bersama menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelum menjual satuansatuan rumah susun tersebut (Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 1985). Ketentuan tersebut dimaksudkan agar calon pembeli rumah susun mengetahui bahwa tanah hak bersama yang berstatus Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut di bawahnya terdapat Hak Pengelolaan. Hal ini sangat penting, karena berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi atas Permohonan Sesuatu Hak di atas Bidang Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Desa dan Tanah Eks Kota Praja Milik/Dikuasai Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, yang menetapkan bahwa pihak yang memegang Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai diwajibkan untuk meminta persetujuan pemegang Hak Pengelolaan terlebih dahulu dan membayar Uang Pemasukan kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam rangka perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang telah berakhir. Dengan kata lain,
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
5
setelah jangka waktu Hak Guna Bangunan yang diberikan kepada pihak ketiga berakhir maka tanah yang bersangkutan kembali ke dalam penguasaan sepenuhnya dari pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan, namun dapat diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan dari pemegang Hak Guna Bangunan yang bersangkutan dengan memperoleh persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Jika persetujuan tersebut tidak diperoleh, proses perpanjangan ataupun pembaharuan Hak Guna Bangunan tidak dapat dilaksanakan dan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. Pihak penyelenggaraan pembangunan rumah susun Klender adalah PERUM PERUMNAS. Pada saat penjualan unit satuan rumah susun, pihak penyelenggara memberitahukan secara lisan dan tulisan kepada calon pembeli bahwa hak atas tanah bersamanya berada di atas tanah Hak Pengelolaan milik Pemerintah Daerah yang diberikan kepada PERUM PERUMNAS. Hal ini termuat di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat antara pembeli satuan rumah susun dengan pihak developer, bahwa Hak Guna Bangunannya berada di atas tanah Hak Pengelolaan, begitu pula di dalam Akta Jual Beli dan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 2834 sebagai tanah bersama berakhir jangka waktunya pada tanggal 20 Februari 2010, oleh karena itu pada tahun 2007 pengurus dari Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Klender (PPRSK) mengajukan permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan seluas 61.110 M² (enam puluh satu ribu seratus sepuluh Meter persegi) kepada Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Timur. Karena Hak Guna Bangunan tersebut terletak di atas Hak Pengelolaan, maka PPRSK memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari pemegang Hak Pengelolaan, yang dipegang oleh PERUM PERUMNAS. Namun demikian proses pemberian rekomendasi tersebut tidak berlangsung mudah, karena PERUM PERUMNAS beralasan bahwa sertipikat induk dari tanah tempat Rumah Susun Klender berdiri, telah hilang di Kantor Pertanahan dan untuk itu PERUM PERUMNAS tidak dapat memberikan rekomendasi perpanjangan Hak Guna Bangunan. Setelah melalui proses yang panjang, Kantor Pertanahan
Jakarta
Timur
mengeluarkan
Surat
Keputusan
Nomor
41/17/HGB/BPN.31.75-2010 tentang Pemberian Perpanjangan Hak Guna Bangunan kepada Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
6
(PERUM PERUMNAS) tanggal 10 Februari 2010. Sebagai kewajiban bersama dari penerima hak, Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Klender diwajibkan untuk membayar uang pemasukan kepada Kas Negara sebesar Rp 478.910.000,(empat ratus tujuh puluh delapan juta sembilan ratus sepuluh ribu Rupiah. Sulitnya meminta persetujuan atau rekomendasi dari PERUM PERUMNAS merupakan hal yang paling menghambat terjadinya proses perpanjangan Hak Guna Bangunan di Rumah Susun Klender. Namun demikian, hal tersebut juga mengungkap ada hal-hal signifikan lain yang perlu diperhatikan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pihak penghuni Rumah Susun. PERUM PERUMNAS sebagai pemegang Hak Pengelolaan yang ada di atas tanah bersama para penghuni Rumah Susun Klender tersebut, menyatakan bahwa Sertipikat Induk yang asli dan masih keseluruhan dan belum dipecah-pecah telah hilang di Kantor Pertanahan. Pada dasarnya, keseluruhan tanah yang ada di lingkungan Rumah Susun Klender tersebut merupakan tanah bersama, bagian bersama, dan benda bersama dari Rumah Susun Klender. Namun demikian, Perum Perumnas tidak mengakui bahwa 2 (dua) buah lapangan olahraga yang ada di lingkungan Rumah Susun Klender termasuk di dalam fasilitas yang disediakan Rumah Susun Klender. Perum Perumnas juga berdalih, bahwa fakta tidak termasuknya 2 (dua) lapangan tersebut ada di dalam Sertipikat Induk yang telah hilang di Kantor Pertanahan tersebut. Hal ini kemudian menjadi semakin runyam ketika Perum Perumnas menyatakan kepada publik bahwa di atas kedua lapangan Rumah Susun Klender tersebut akan dibangun Apartemen. Hal ini tidak diterima dengan baik oleh Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Klender, karena bagi PPRSK, kedua lapangan tersebut masih termasuk dalam bagian bersama Rumah Susun Klender, sebagai fasilitas untuk digunakan bersama. Sehubungan dengan uraian di atas penulis mencoba untuk meneliti dan membahas mengenai tinjauan yuridis terhadap proses perpanjangan Hak Guna Bangunan bersama di atas tanah Hak Pengelolaan di Rumah Susun Klender.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
7
1. 2. POKOK PERMASALAHAN Dalam tesis ini, permasalahan yang akan dikaji antara lain adalah: 1. Hal apa saja yang harus diperhatikan dalam rangka proses perpanjangan Hak Guna Bangunan bersama yang berada di atas tanah Hak Pengelolaan? 2. Permasalahan apa saja yang terdapat di dalam proses perpanjangan Hak Guna Bangunan bersama di Rumah Susun Klender? 3. Bagaimana cara penyelesaian dari permasalahan yang timbul dalam perpanjangan Hak Guna Bangunan bersama di Rumah Susun Klender?
1. 3. METODE PENELITIAN Penulisan tesis sebagai salah satu jenis karya tulis ilmiah membutuhkan datadata yang mempunyai nilai kebenaran yang dapat dipercaya. Oleh karena itu, penulis memilih menggunakan metode kepustakaan20 dengan menggunakan bahan sekunder21.
hukum
Untuk
pelaksanaaannya,
penulis
akan
berusaha
mengumpulkannya melalui bahan-bahan pustaka dan dibantu melalui wawancara. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan pustaka dalam keadaan siap terbuat dan dapat digunakan dengan segera. Metode penelitian yang dipakai dalam pembuatan tulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif karena penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa bahan-bahan pustaka di bidang hukum yang norma-normanya tertulis. Tipe penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti Penulis dapat ditinjau dari berbagai segi. Dari segi sifatnya, penelitian yang sesuai adalah 20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 68.
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta (RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 13.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
8
penelitian eksplanatoris, yang menggambarkan dan menjelaskan lebih dalam tentang suatu gejala untuk mempertegas hipotesa yang ada.. Dari segi tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian problem identification, karena permasalahan yang ada diklasifikasi sehingga memudahkan dalam proses analisa dan pengambilan kesimpulan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan-bahan pustaka. Berdasarkan kekuatan mengikat, bahan pustaka yang diperoleh meliputi22: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat, seperti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, serta makalah/hasil karya yang berhubungan dengan materi penulisan tesis ini. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen atau bahan pustaka dengan melakukan penelusuran literatur baik berupa buku-buku, makalah, makalah, literatur dari situs jaringan melalui internet, perundang-undangan dan peraturan lainnya. Selain itu, Penulis melakukan studi lapangan melalui wawancara untuk dapat melengkapi data-data yang kurang, kepada narasumber atau informan yang dalam hal ini adalah pengurus dari Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Klender. Narasumber atau informan merupakan pihak yang diwawancara karena jabatan atau keahliannya. Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, dimana Penulis meneliti dengan berfokus atas fakta atau sebab terjadinya gejala sosial tertentu, bukan memahami perilaku dari sudut pandangan Penulis sendiri.
yang
tidak dapat dihitung. Dengan pendekatan kualitatif, data yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh 22
Ibid, hal 12.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
9
sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata23.
1. 4. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan tesis ini akan terdiri dari 3 (tiga) bab yaitu: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang tinjauan umum mengenai latar belakang permasalahan penulisan tesis ini, pokok permasalahan, metode penelitian, dan diakhiri dengan uraian sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN BERSAMA ATAS RUMAH SUSUN KLENDER Dalam bab ini akan diberikan gambaran secara teoritis mengenai Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan, pengertian rumah susun, serta permasalahan yang timbul dalam proses perpanjangan Hak Guna Bangunan di Rumah Susun Klender.
BAB III
PENUTUP Dalam bab ini diuraikan tentang jawaban atas permasalahan sebagaimana diuraikan dalam BAB I yang dimaksud, dan memberikan saran-saran yang dianggap perlu.
23
Sri Mamudji, et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 67.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.