perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Secara jelas Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang desentralisasi dan satuan pemerintahan daerah di Indonesia, yaitu selain menganut model desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula desentralisasi asimetris (beragam). Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan (2). Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.” Sedangkam isi dari Pasal 18B ayat (1) adalah, “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, yang diatur dengan undang-undang.” Secara etimologis, istilah “desentralisasi berasal dari bahasa Latin, ‘de’ berarti lepas dan ‘centrum’ berarti pusat. Oleh karena itu, dari pengertian asal katanya desentralisasi berarti melepaskan dari pusat.”1 Otonomi dan desentralisasi menegaskan bahwa terdapat dua elemen pengertian pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum. History reminds us how numerous decentralization initiatives, far from having served the cause of democracy, have led to a subordination of the power of citizens or even to the strengthening of local nepotism. show clearly that the mechanisms of decentralization of local governments do not necessarily engender participatory democracy; on the contrary, some of these may encourage participation only at the neighborhood level or in
1
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, Dan commit to user Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2002, Hal 74.
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a public-private partnership and thus fall short of the objectives of participatory democracy.2 Sejarah mengingatkan kita betapa banyak inisiatif desentralisasi, jauh dari setelah menjabat penyebab demokrasi, telah menyebabkan subordinasi kekuatan warga atau bahkan untuk penguatan nepotisme lokal menunjukkan dengan jelas bahwa mekanisme desentralisasi lokal pemerintah tidak selalu menimbulkan
demokrasi
partisipatif,
sebaliknya,
beberapa
hal
ini
memungkinkan dorongan partisipasi hanya ada di tingkat lingkungan atau di wilayah publik swasta dalam hal kemitraan dan dengan demikian jatuh dari tujuan demokrasi yang bersifat partisipasi. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan penjelasan bahwa negara menghormati prinsip masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional. Yang dimaksud “masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) yang berdasarkan sistem adat atau adat istiadat seperti desa, marga, nagari, gampoeng, meusanah, huta, negorij dan lain-lain.”3 Awalnya
komunitas-komunitas
tersebut
terbentuk
atas
kebutuhan
masyarakatnya sendiri, untuk menjaga eksistensinya dan kelangsungan hidupnya mereka membuat lembaga yang diperlukan. Lembaga yang dibentuk mencakup “lembaga politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.”4 Dalam konteks berkelanjutan satuan-satuan komunitas tersebut dimasukkan di dalam sistem administrasi negara dari suatu negara yang berdaulat. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dari tahun 1945 sampai dengan 2016 ini telah mengalami 8 (delapan) kali peruahan yang mana pada awalnya ditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang 2
Caroline Patsias, Anne Latendreses and Laurence Bherer, Participatory Democracy, Decentralization and Local Governance: the Montreal Participatory Budget in the light of “Empowered Participatory Governance”, International Journal of Urban and Regional Research 10.1111/j.1468-2427.2012.01171.x, USA, 2012, Hal 2. 3
Ni’Matul Huda, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus, Nusa Media, Bandung,2014, Hal 106.
commit to user Dan Otonomi Daerah, PT Grasindo, Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan Jakarta, 2005, Hal 1. 4
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemerintahan Daerah dan sampai dengan Undang-Undang (UU) yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada Perubahan kedua, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Susunan Pemerintahan Daerah Yang Demokratis, secara jelas pengakuan oleh Pemeritah Pusat mengenai Daerah Istimewa (DI) pada bagian penjelasan umum UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948 dipertegas mengenai kedudukan dan tingkatan Daerah-daerah istimewa ini pada bagian X butir 29 dan bagian XI butir 30, yaitu sebagai berikut: X. Daerah Istimewa. 29. Daerah-daerah istimewa sebagaimana termasuk dalam UndangUndang Dasar, Pasal 18, diatur juga tentang pemerintahanya dalam undang-undang Pokok ini. Tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda di pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan pemerintah ada di tangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)). XI. Tingkatan Daerah Istimewa 30. Tingkatan Daerah Istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Untuk menentukan tingkatan Daerah Istimewa, diselidiki terlebih dahulu keadaan daerah itu. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakan Daerah Istimewa itu masuk dalam tingkat Propinsi, Kabupaten ataupun desa. Jikalau masuk tingkat Kabupaten, maka Daerah Istimewa itu masuk kedalam lingkungan Propinsi biasa.5 Berdasarkan pemahaman penulis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 secara tertulis mengakui Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang berkedudukan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Michael Malley sebagai mana yang dikutip didalam Donald K. Emmerson menyebutkan bahwa “rezim orde baru (orbar)
commitAsimetris to user Dalam Negara Kesatuan Republik Anthon Raharusu, Desentralisasi Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014, Hal 142. 5
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah).”6 Setelah jatuhnya orbar dibawah kepemimpinan Soeharto yang digantikan oleh B.J. Habibi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 digantikan dengan Undnag-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dengan terbitnya undang-undang ini “daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Maluku dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia.”7 Conceptually broader and more contested is the term autonomy referring simultaneously to the specific territorial status of an entity within an otherwise unitary state and the functional status of a particular level of government within a multi layered system (e.g., the autonomy of a federal state to make certain decisions independent of the federal government).8 Konseptual yang lebih luas dan lebih diperebutkan adalah istilah otonomi-mengacu secara bersamaan untuk status wilayah tertentu dari suatu entitas dalam suatu sebaliknya negara kesatuan dan status fungsional dari tingkat tertentu pemerintah dalam sistem multi-layered (misalnya, otonomi federal negara untuk membuat keputusan tertentu independen dari pemerintah federal). Perubahan dalam UU ini pasca reformasi membawa perubahan yang sangat drastis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, di mana istilah “urusan” di ganti dengan istilah “kewenangan”. Dengan adanya “kewenangan berarti daerah mempunyai otoritas dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi atau urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah (local
6
Michael Malley, Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan dalam Donald K. Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, PT Gramedia, Jakarta, 2001, Hal 122. 7
Budi Agustono, Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara” dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, LP3ES, Jakarta, 2005, Hal163. 8
Wolff, S. (2013), Conflict Management in Divided Societies: The Many Uses of Territorial Self governance, International Journal on Minority and Group Rights, 20 (2013) 1, commit to user pp.27-50, Hal 3-4.
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
government).”9 Secara umum terdapat 4 (empat) provinsi yang mendapat pengakuan dan pengaturan secara khusus dan istimewa selain DIY, daerahdaerah yang mendapat status tersebut, seperti Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Nanggroe Aceh Darusalla (NAD) dan Papua dan Papua Barat. Keempat daerah tersebut mendapat julukan desentralisasi asimetris. Isharyanto menulis dalam akun blognya mengenai desentralisasi asimetris, yaitu: Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) bukanlah pelimpahan kewenangan biasa. Ia berbentuk pelimpahan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik, ia merupakan strategi komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali daerah yang hendak memisahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Melalui kebijakan desentralisasi asimetris dicoba diakomodasi tuntutan dan identitas lokal ke dalam suatu sistem pemerintahan lokal yang khas.10 Masa presiden keenam Indonesia, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyinggung masalah status keistimewaan pemerintah DIY khususnya masalah wacana pemilihan gubernur secara demokratis, dengan alasan bahwa tidak ada sistem monarki dalam NKRI. Hal ini merupakan salah satu masalah desentralisasi yang paling menarik perhatian semua kalangan khususnya bagi rakyat Yogyakarta. Spontan, “puluhan ribu warga Yogyakarta lantang memprotes dan mengumandangkan
Amanat
05
September
1945
untuk
mengigatkan
pemerintah terkait perjanjian integrasi Negara Ngayogyakarta Hadiningrat ke NKRI.”11 Padahal hakikatnya, asas desentralisasi itu diimplementasikan adalah dimaksudkan untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan sehingga upaya percepatan proses pembangunan di daerah khususnya dapat terealisasi
yaitu dalam rangka untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 9
Hanif Nurcholis, op. cit., Hal 24.
10
Isharyanto.wordpress.com/denyut-otonomi/desentralisasi-asimetris-peluang-atauketiadagunaan, di akses Pada Tanggal 06 November 2015.
commit to user Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Wasiat HB IX Yogyakarta Kota Republik, GalangPress, Yogyakarta, 2011, Hal 11. 11
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fokus penelitian pada tesis ini adalah mengenai DIY, dalam penjelsan umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan bahwa, status istimewa yang melekat pada DIY merupakan bagian integral dalam sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia. Kewenangan keistimewaan meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan penmerintah DIY, kebudayaan, ketahanan dan tata ruang. Dengan demikian, pemerinath DIY mempunyai kewenangan yang meliputi kewenangan istimewa berdasarkan undang-undang ini dan undang-undang pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, terdiri dari 16 bab dan 51 pasal, yang mana terbagi atas 5 (lima) aspek kewenangan dan ruang lingkup kewenangan DIY diatur dalam Pasal 7 ayat (2), yaitu sebagai berikut: 1. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; 2. Kelembagaan pemerintah DIY; 3. Kebudayaan; 4. Pertanahan; dan 5. Tata ruang. Kewenangan dari segi kelembagaan DIY mengenai penetapan dan penataan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) sebagai mana yang terdapat dalam Pasal 30 ayat (2). Penataan kelembagaan pemerintahan daerah bertujuan untuk mencapai efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli. Salah satu yang kita ketahui dari keistimewaan DIY adalah mengenai aspek budaya yang sangat melekat, dari segi tersebut ada 3 (tiga) elemen yang melekat pada keistimewaan Yogyakarta, yaitu: 1. Kraton sebagai institusi adat yang melukiskan karya adiluhur (court cultura); 2. Unsur transformasi nilai-nilai modernitas melalui jalur pendidikan; dan commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Fungsi sultas sebagai mediator kosmologis antara misi kerajaan Islam dengan realitas masyarakat yang pluralis.12 Faktor kebudayaan merupakan suatu kewenangan yang di miliki oleh DIY. Yogyakarta merupakan daerah setingkat provinsi yang dikepalai oleh Sri Sultan Hemeng Kubuono sebagai kepala daerah DIY dan Sri Paku Alam sebagai wakil kepala daerah DIY. Terbentuknya DIY berdasarkan UndangUndang Dasar 1945 dengan dikeluarkanya Amanat kedua 30 Oktober 1945, berdasarkan amanat tersebut telah dibentuk suatu badan pekerja yang bertugas menjalani fungi legislatif di wilayah DIY. Melalui tata pemerintahan yang seperti ini semua dekrit yang dikeluarkan oleh Kasultanan dan Paku Alam yang ditandatangani oleh Badan Pekerja sebagai wakil atas nama rakyat. Nama resmi DIY mulai digunakan dalam urusan pemerintahan yang menggabungkan dua kerajaan besar menjadi satu daerah istimewa dari negara Indonesia, pada tanggal 18 Mei 1946. Berdasarkan bentuk pemerintahan berdasarkan pengamatan dan pemahaman penulis DIY mempunyai dua bentuk pemerintahan, yaitu: 1. Berdasarkan bentuk pemerintahan kerajaan yang sesuai dengan kebudayaan lokal; dan 2. Bentuk pemerintahan yang sesuai dengan pemerintahan yang moderen. Melalui pembahasan akan Pemerintahan DIY kita juga harus mengamati dari segi implementasi dari segi pemberlakuan undang-undang keistimewaan. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik, sebuah program kebijakan haruslah di implementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang di inginkan. Untuk membuat suatu kebijakan yang rasional maka para pembuat kebijakan harus : 1. 2. 3. 4.
12
Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat; Mengetahui semua alternatif kebijakan yang tersedia; Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan; Mengetahui rasio antara tujuan dan nilai-nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan; dan
commit to user Pustaka Fahim, Yogyakarta, 2007, Hal Jawahir Thontowi, Apa Istimewa Yogyakarta?,
7.
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.13 Proses pembuatan kebijakan ini bila telah melalui rasional dan penilaian terhadap aspek-aspek tersebut tentulah akan melahirkan kebijakan yang tidak hanya berpihak kepada penguasa dan bukan atas kepentingan penguasa pengeluaran kebijakan tersebut. Hal ini berhubungan dengan kebijakan publik merupakan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam mengendalikan pemerintahannya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kebijakan publik dan hukum mempunyai peranan yang penting. Pembahasan mengenai hukum dapat meliputi dua aspek, yaitu: 1. Aspek keadilan menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil di tengah sekian banyak dinamika dan konflik di tengah masyarakat. 2. Aspek legalitas ini menyangkut apayang disebut dengan hukum positif yaitusebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuahkekuasaan negara yang sah dan dalampemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum.14 Berdasarkan kedua aspek tersebut, seringkali terjadi perbenturan di mana terkadang hukum positif ternyata tidak menjamin terpenuhinya rasa keadilan dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak mempunyai kepastian hukum. Berdasarkal latar belakang yang telah penulis paparkan di atas penulis tertarik
untuk
menyusun
DESENTRALISASI
tesis
dengan
ASIMETRIS
DI
judul
“IMPLEMENTASI
DAERAH
ISTIMEWA
YOGYAKARTA.”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut pokok masalah yang ingin penulis angkat pada tesis ini adalah: 1. Bagaimanakah implementasi desentralisasi asimetris di DIY? 2. Apa sajakah kendala yang dihadapi pemerintah DIY dalam mengimplementasikan desentralisasi asimetris? 13
Jamal Wiwoho, Model-Model Kebijakan Publik, Surakarta, Jamalwiwoho.com/materi-kuliah, Pada Tanggal 03 November 2015.
Diakses dari:
commit to user Wibowo dan Eddi, Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004, Hal 30-31. 14
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Apa sajakah solusi yang telah dilakukan dalam mengimplementasi desentralisasi asimetris di DIY?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Ada tiga tujuan umum dalam penelitian tesis ini, yaitu: a) Menganalisis implementasi desentralisasi asimetris di DIY. b) Menganalisis kendala yang dihadapi oleh Pemerintahan DIY dalam mengimplementasikan desentralisasi asimetris di DIY. c) Memberikian penjelasan tentang solusi yang telah dilakukan oleh DIY dalam mengimplementasikan desentralisasi asimetris. 2. Tujuan Khusus a) Menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman penulis terhadap pemberlakuan desentralisasi asimetris di DIY. b) Memahami dan mengetahui kendala yang dihadapi dan solusi-solusi yang telah dilakukan oleh pemerintah DIY dalam mengimplementasikan desentralisasi asimetris. c) Memperoleh data yang lengkap guna menyusun tesis sebagai syarat untuk memperoleh derajat magister Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian tesis ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a) Memberikan sumbangan pengetahuan dalam pengetahuan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Kebijakan Publik pada khususnya. b) Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti. commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c) Dapat digunakan untuk menambah referensi sebagai acuan bagi peneliti yang akan datang apabila sama bidang penelitian dengan yang penulis teliti. 2. Manfaat Praktis a) Memberikan
sumbangan
penelitian
bagi
para
pihak
yang
berkepentingan dalam penelitian ini. b) Untuk melengkapi syarat akademik guna mencapai jenjang magister bidang ilmu hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. c) Melatih penulis dalam mengungkapkan, mengkaji dan meneliti permasalahan tertentu secara sistematis dan berusaha memecahkan permasalahan yang ada tersebut dengan metode ilmiah sehingga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah penulis terima selama masa perkuliahan.
commit to user
10