BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Fungsi tanah begitu penting dan mempunyai arti sendiri, sebab tanah merupakan modal bagi kehidupan suatu keluarga. Selain itu, tanah juga digunakan untuk berbagai kegiatan manusia, seperti tempat tinggal, mendirikan bangunan, bahkan sampai manusia meninggal dunia membutuhkan tanah. Sejak di undangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria, peraturan tersebut merupakan perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional tunggal yang menghapus dualisme hukum pertanahan yang pernah ada dan dibuat untuk memenuhi kepentingan masyarakat dalam negara yang modern. Agar pelaksanaan peralihan hak atas tanah dari negara atau masyarakat di Indonesia tidak menimbulkan berbagai masalah atau sengketa, maka diperlukan adanya pengaturan yang tegas di bidang pertanahan bagi pemilik tanah yang bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum yang kuat. Status hukum, kepastian hukum dari tanah serta kepemilikan secara hukum atas tanah dibutuhkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria ayat 1 yaitu bahwa1 “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.“ Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undangundang Pokok Agraria tersebut, pendaftaran hak atas tanah sangat penting, sebab tanah yang telah didaftarkan akan mendapatkan Surat Tanda Bukti Pemilikan Tanah yang disebut sertipikat. Sertipikat ini merupakan hak atas tanah yang mempunyai kekuatan dan kepastian hukum yang tetap. Sertipikat tanah yang diberikan itu akan memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak yang bersangkutan yang berfungsi sebagai alat bukti atas tanah, terutama jika terjadi persengketaan terhadap tanah. Tanpa bukti tersebut seseorang dapat kehilangan haknya, apalagi jika bahwa tanah itu adalah miliknya dan berhasil membuktikan kebenaran klaimnya. Pendaftaran tanah disamping untuk memberikan kepastian hukum bagi status tanah tersebut, juga untuk melindungi para pemegang hak atas tanah agar kepemilikan haknya
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 560
tidak terganggu oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanahnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c Undang-Undang Pokok Agraria,bahwa
2
“Pendaftaran tanah dalam pasal ini meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” Alat pembuktian diberikan berupa sertipikat sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu 3 Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sertipikat hak atas tanah sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria merupakan alat bukti yang kuat, artinya selama tidak ada alat bukti yang lain yang menyatakan (membuktikan) ketidak benarannya, maka keterangan yang ada dalam sertipikat harus dianggap benar dan tidak perlu alat bukti tambahan. Sebagai alat bukti yang kuat sertifikat mempunyai arti yang sangat penting bagi perlindungan kepastian hukum pemegang hak atas tanah. Pendaftaran Tanah menurut ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria mewajibkan dilakukan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia, dengan tujuan untuk adanya kepastian hukum. Kewajiban pendaftaran tanah ini ditugaskan pada Pemerintah maupun masyarakat, sehingga dikenal pendaftaran untuk pertama kali, maupun pendaftaran pemeliharaan. Kabupaten Sukoharjo sebagai daerah dengan wilayah administrasi yang luas dan dengan jenis tanah baik sawah maupun non sawah tidak terhindarkan adanya transaksi atau peralihan hak atas tanah, baik yang sudah terdaftar / mempunyai sertifikat maupun belum. baik melalui jual beli maupun bentuk lain misal hibah dan lain- lain. Peralihan hak atas tanah tersebut haruslah dilakukan melalui mekanisme pencatatan adanya peralihan hak dengan suatu akta pejabat dan dilanjutkan kewajiban untuk mendaftarkan adanya peralihan hak tersebut. Salah satu pelayanan yang diberikan Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo kepada masyarakat di bidang pertanahan adalah pencatatan peralihan hak terus menerus berusaha memberikan informasi agar tahap-tahap pelaksanaan kegiatan baik yang
2 3
Ibid, hlm. 558 BPN, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Koperasi Bumi Bhakti BPN, Jakarta, 1998, hlm.5
menyangkut dari aspek teknis, administrasi dan yuridis dapat berjalan dengan baik, lancar dan memuaskan. Meskipun telah diatur dalam Pasal 63 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tetapi praktek pensertipikatan tanah masih mengalami beberapa kendala. Kendala tersebut terlihat dari adanya masyarakat yang masih belum mematuhi peraturan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendaftaran/ pensertipikatan hak atas tanah masih rendah. Hal ini berhubungan dengan budaya masyarakat setempat dalam hal pemahaman akan pentingnya bukti hak atas tanah maupun praktek peralihan hak atas tanah dengan jual beli yang masih dilakukan dibawah tangan. Jika bidang tanah belum pernah didaftar atau tidak dilakukan pendaftaran perubahan pemilikan atas tanah, maka akan menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan oleh para pihak yang bersangkutan. Pada kenyataannya terdapat warga Kabupaten Sukoharjo yang belum mendaftarkan peralihannya ke pelayanan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah merumuskan Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah selain didasarkan pada akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat juga dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa: “ Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa: “Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang
dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Adanya peraturan-peraturan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahanperubahan mengenai tata cara pendaftaran tanah, tata cara peralihan hak atas tanah serta peran PPAT dalam masalah hukum yang timbul berkaitan dengan peralihan hak. Salah satu misal adalah kurangnya kesadaran dalam melakukan perbuatan hukum contohnya melakukan perjanjian jual beli tanah di depan PPAT namun tidak segera melakukan balik nama yang merupakan suatu kerawanan pada masa yang akan datang dengan menimbulkan sengketa. Sering dengan perkembangan jaman masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Sukoharjo pada khususnya masih belum memahami benar tentang peralihan hak milik atas tanah. Hal tersebut terbukti masih banyak masalah hukum yang timbul yang berkaitan dengan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah. Itulah yang melatar belakangi penulis mengangkat penelitian tentang peran PPAT di dalam peralihan hak atas tanah di Kabupaten Sukoharjo. Penelitian hukum yang sejenis yaitu : Pertama, penelitian hukum dari tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang dan disusun oleh Eka Puji Setiyarini dengan judul “Akibat hukum peralihan hak atas tanah karena pewarisan yang tidak didaftarkan pada kantor pertanahan menurut Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”. Penelitian hukum tersebut merumuskan tentang akibat hukum peralihan hak atas tanah. Isu hukum yang diangkat oleh peneliti adalah akibat hokum peralihan hak atas tanah karena sebab perwarisan yang tidak didaftarkan. Penelitian menunjukan bahwa akibat Hukum dari peralihan hak atas tanah karena perwarisan yang tidak didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Menurut Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dikaitkan dengan teori kepastian hukum, yaitu: 1) ahli waris sebagai pemegang hak atas tanah tidak mendapat jaminan kepastian hukum karena ahli waris tersebut tidak mempunyai sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang tertulis atas nama ahli waris; 2) ahli waris tidak dapat melakukan perbuatan hukum,
misalnya seperti : Jual Beli, Hibah, Tukar Menukar,
Pembagian Hak Bersama dan Pemasukan dalam perusahaan. Wujud perlindungan hukum bagi ahli waris yang peralihan hak atas tanah karena perwarisannya tidak didaftarkan pada kantor pertanahan berupa perlindungan hukum represif. Untuk perlindungan hukum preventif dalam permasalahan ini tidak ada karena dalam system hukum pertanahan di
Indonesia mengamanatkan adanya kepastian hukum atas tanah dengan adanya pendaftaran tanah. Kedua, penelitian hukum dari Jurnal Independent Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan yang dibuat oleh Bambang Eko Mulyono dengan judul “Pelaksanaan Peralihan Hak atas Tanah Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Untuk Menjual yang Dibuat oleh Notaris”. Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan Notaris dalam pelaksanaannya sebagai perjanjian awal sebelum dilaksanakannya pembuatan akta jual beli mempunyai kekuatan hukum yang sangat kuat, karena merupakan akta notariil yang bersifat akta otentik. Perjanjian pengikatan jual beli sebagai sarana untuk mengikat keinginan para pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta jual beli namun masih terkendala dengan adanya kekurangan syarat-syarat administratif.
Dalam pembuatan
perjanjian pengikatan jual beli biasanya diikuti dengan pemberian kuasa, dimana pemberian kuasa yang lebih dikenal dengan kuasa untuk menjual,dimaksudkan untuk memberikan kuasa kepada pihak pembeli oleh pihak penjual untuk mewakili atas nama pihak penjual seandainya dikemudian hari pihak penjual berhalangan hadir. Pemberian kuasa untuk menjual sebagai pendamping dari perjanjian pengikatan jual beli bukan termasuk dalam kuasa mutlak yang dilarang oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, sehingga kuasa untuk menjual status hukumnya sah untuk dilakukan. Ketiga, penelitian hukum dari tesis Program Hukum Pertanahan dan Lingkungan Hidup.Atmajaya Yogyakarta dan disusun oleh Oktavianus Tabuni dengan judul “pemberian sertipikat hak milik atas tanah karena peralihan hak (hibah) dalam mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah di kabupaten Sleman”. Penelitian hukum tersebut menganalisa Pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah karena (hibah) di Kabupaten Sleman sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pemberian sertipikat hak milik atas tanah yang diperoleh karena hibah telah mewujudkan kapastian hukum dan perlindungan hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah di Kabupaten Sleman. Hal ini terbukti sesuai dengan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa selama jangka waktu diperoleh sertipikat (sebelum dan sesudah 5 tahun) ternyata tidak ada gugatan dari pihak lain, sehingga pemberian sertipikat hak milik atas tanah yang diperoleh karena peralihan hak (hibah) telah mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah penulis tidak membeda-bedakan antara sebab-sebab tersebut, tetapi penulis mengulas semua sebab-sebab, kemudian fokus melihat tentang kendala yang dihadapi secara umum dalam peralihan hak atas tanah di Kabupaten Sukoharjo. Bahwa pada prinsipnya semua sebab-sebab peralihan itu sama, dilakukan berdasarkan proses yang sama, berdasarkan pada naskah otentik notariat, dan melalui mekanisme sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang. Namun demikian dalam pengurusan peralihan hak atas tanah, kesemuanya mengalami kendala eksternal dan internal yang serupa, dan perlu mendapatkan penanganan yang serupa pula. Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan tersebut, maka penulis perlu untuk mengkaji tentang " Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo”. Adanya kajian tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya untuk mengetahui pelaksanaan pendaftaran peralihan Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo dan mengetahui kendala yang ada serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka penulis membuat rumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kabupaten Sukoharjo? 2. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kabupaten Sukoharjo dan
bagaimana upaya yang dilakukan untuk
mengatasinya?
C. Tujuan Penelitian Sebagaimana rumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kabupaten Sukoharjo. b. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kabupaten Sukoharjo dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.
2. Tujuan Subjektif a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah. b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan dua manfaat, yaitu : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini memberikan banyak manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum agraria pada khususnya mengenai pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah, dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai materi pembelajaran pada mata kuliah Hukum Agraria pada program Kenotariatan. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian lainnya yang sejenis. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini memberikan manfaat bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan tantang prosedur di dalam pengurusan peralihan hak atas tanah, serta hak-hak yang diperoleh sebagai Warga Negara.