BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Energi merupakan hal krusial dalam kehidupan sehari-hari. Energi tidak hanya dibicarakan pada hal sains saja namun juga merambah ke arah politik, yang menjadi salah satu elemen penting untuk diatur melalui kebijakan suatu negara, tidak terkecuali bagi Jepang. Jepang merupakan salah satu negara yang mengkonsumsi energi terbesar di dunia. Konsumsi energi yang besar oleh Jepang ini tidak lepas dari usaha Jepang untuk memajukan perekonomiannya sebagai upaya modernisasi dan industrialisasi terbesar di dunia sejak Restorasi Meiji. Jepang yang gencar dengan usaha ‗catch up with the West‘ inilah yang menjadikan energi fundamental bagi perekonomian Jepang. Akan tetapi, kebutuhan energi Jepang yang sangat besar ini berkontradiksi dengan kekayaan alam terutama sumber energi yang dimiliki oleh Jepang. Keadaan Jepang tersebut menciptakan dinamika politik energi Jepang yang cukup panjang dalam sejarahnya. Banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh Jepang dalam perpolitikan energinya, terlebih lagi keadaan Jepang yang tidak kaya akan sumber energi seperti minyak. Sejarah dinamika energi Jepang dimulai dari upaya modernisasi dan industrialisasi Jepang. Sebagai penyokong industrialisasi, Jepang menggalakan pertambangan dan menggunakan batu bara sebagai sumber utama energinya. Akan tetapi, sebagai akibat penggunaan batu bara besar-besaran, pada 1950-an Jepang mengalami polusi yang luar biasa dengan banyaknya debu lebih dari 100 ton/km 2 per bulan, di kota-kota industri.1 Polusi yang terjadi membuat Jepang memutuskan untuk memasok energinya dengan minyak sebagai sumber energi utamanya, meskipun juga memberikan kontribusi polusi SOx. Minyak tersebut diimpor Jepang dari Timur Tengah. Akan tetapi, Perang Teluk 1973 dan 1979 mengantarkan Jepang pada krisis 1
H. Imura dan Miranda A. Schreurs (eds.), Environmental Policy in Japan, Edward Elgar Publishing Limited, Northampton, 2005, hlm 21.
1
energi. Jepang sebagai negara yang sangat bergantung pada pasokan energi dari impor minyak untuk memacu ekonominya, terancam mengalami krisis keamanan energi karena negara-negara Timur Tengah menghentikan pasokan minyaknya ke Jepang. Hal ini membuat Jepang mengalami krisis energi dan kembali menjadikan batu bara menjadi sumber energi utama bagi Jepang dan polusi tetap mewarnai permasalahan lingkungan di Jepang. Kondisi geografi Jepang juga menjadi salah satu tantangannya. Secara geologis, Jepang merupakan negara yang sangat seismik karena Jepang berada di empat lempengan tektonik, yaitu lempengan Pasifik, lempengan Filipina, lempengan Amurian, dan lempengan Laut Okhotsk.2 Selain itu, geografi Jepang membuat Jepang menjadi negara yang rentan terhadap gunung berapi dan gempa bumi, yang dapat diperparah dengan adanya tsunami. Hal ini jelas menjadi tantangan bagi Jepang. Misalnya, pada 11 Maret 2011 lalu, Jepang diguncang gempa berkekuatan sembilan skala Richter, yang disusul dengan tsunami. Bencana alam ini mengakibatkan rusaknya instalasi nuklir Jepang. Bahkan pada 5 Desember 2011, Tokyo Electric Power Company (TEPCO) mengumumkan bahwa adanya kebocoran setidaknya 45 metrik ton air radioaktif dari fasilitas nuklir Fukushima Daiichi, yang telah mencapai Samudra Pasifik 3 dan terus berlanjut. Hal ini jelas memperparah keadaan Jepang sebab dengan air radioaktif yang bocor terus menerus dapat mencemari air lautan, yang pada akhirnya berdampak pada bahayanya mengkonsumsi ikan laut. Dengan demikian, hal ini juga memperparah kehidupan para nelayan. Peristiwa ini mengantarkan Jepang pada kelangkaan energi untuk kesekian kalinya. Jepang yang mengandalkan salah satu sumber energinya yang berasal dari nuklir, membuat Jepang mengalami kekurangan pasokan energi. Di sisi lain, Jepang mendapatkan tekanan dari Amerika Serikat untuk menghentikan impor minyak dari Iran, terkait pengembangan nuklir Iran yang dicurigai sebagai proyek pembuatan 2
J. Rice, Behind the Japanese Mask: How to understand the Japanese culture…and work successfully with it, How To Books, Oxford, 2004, hlm 14. 3 CNN Library, ‘Japan Earthquake - Tsunami Fast Facts’, Cable News Network (daring), 20 September 2013, , diakses pada 4 Oktober 2013.
2
senjata pemusnah masal. Hal ini jelas membuat Jepang semakin terhimpit oleh kesukaran pasokan energi untuk memenuhi konsumsinya. Di setiap dinamika perubahan politik energi Jepang, tidak terlepas aktor yang memberikan kontribusi pada perkembangan kebijakan energi dan penerapannya, terutama energi terbarukan Jepang. Koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan mempunyai peran dalam mendorong kebijakan energi Jepang serta implementasi dari kebijakan energi ini. Oleh sebab itu, skripsi ini akan membahas bagaimana koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan berperan dalam dinamika politik energi terbarukan Jepang dalam merespon bencana Fukushima 2011, di mana bencana menjadi momentum utamanya. Dinamika yang dimaksud dalam skripsi ini melingkupi pada dua hal utama. Pertama, dinamika politik energi terbarukan di sini mengacu pada bagaimana peran koalisi energi terbarukan dalam mengadvokasi penggunaan energi terbarukan, khususnya pada ranah mempengaruhi kebijakan energi Jepang yang mengarah pada energi terbarukan. Kedua, dinamika ini tidak hanya fokus pada peran koalisi dalam mengadvokasi penggunaan energi terbarukan namun juga berfokus penerapan kebijakan energi terbarukan, khususnya pada jumlah energi terbarukan yang dihasilkan. Dengan demikian, perkembangan energi terbarukan Jepang dapat dilihat tidak hanya dari sisi politisnya, yaitu berupa kebijakan energi terbarukan dari hasil peran koalisi energi terbarukan namun juga perkembangan fasilitas dan penggunaan energi terbarukan Jepang khususnya pasca bencana Fukushima 2011. I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, skripsi ini akan menjawab rumusan masalah, bagaimana peran koalisi energi terbarukan dalam dinamika kebijakan energi terbarukan di Jepang sebagai respon bencana Fukushima 2011? I.3 Landasan Konseptual Dalam skripsi ini, penulis akan menjawab rumusan masalah dengan menggunakan Advocacy Coalition Framework (ACF) sebagai landasan konseptual. Teori ACF pertama kali dikembangkan pada awal 1980-an oleh Paul Sabatier dan 3
Hank Jenkins-Smith.4 ACF dirancang untuk menjelaskan pengembangan kebijakan dan
perubahan.
Dalam
ACF,
koalisi
advokasi
mempunyai
peran
dalam
mempengaruhi kebijakan. Koalisi advokasi (advocacy coalitions) didefinisikan sebagai ―orang-orang dari berbagai posisi (terpilih dan pejabat instansi, pemimpin kelompok kepentingan, peneliti) yang (1) mempunyai sistem keyakinan (belief system) tertentu—yaitu seperangkat nilai-nilai dasar, asumsi kausal, dan persepsi permasalahan—dan yang (2) menunjukkan tingkat penting dari waktu ke waktu‖. 5 Koalisi advokasi (advocacy coalitions) ini terdiri dari dua "lapisan", yaitu keyakinan (beliefs) dan koordinasi (coordination).6 Dalam suatu kebijakan, keyakinan (beliefs) menjadi pedoman mengenai bagaimana masalah publik terstruktur dan bagaimana hal ini dihadapi. Oleh karena itu, tingkah laku koalisi berpedoman pada sistem kepercayaan yang mereka anut.7 Sistem kepercayaan koalisi berkaitan dengan inti dalam (deep core), inti kebijakan (policy core), dan aspek sekunder (secondary aspect). Keyakinan inti dalam termasuk ―dasar ontologis dan normatif keyakinan‖ yang sangat resisten terhadap perubahan. Keyakinan inti kebijakan adalah ―lem‖ yang melekatkan koalisi advokasi menjadi satu dan mencerminkan komitmen normatif koalisi dan persepsi kausal. Aspek sekunder dari sistem kepercayaan mencerminkan masalah operasional dan kelembagaan yang terkait dengan perancangan dan pelaksanaan kebijakan.
8
Keyakinan ini paling mudah berubah seiring waktu sebagai ―keyakinan sekunder lebih substantif dan geografis sempit dalam lingkup, dan lebih didasarkan empiris‖. 9
4
S. Chaparro, Digitization of the Academic Library in Brazil: A Proposed Advocacy Model for Successful Formulation of Information Legislation and Policy in Developing Countries, ProQuest, Ann Arbor, 2008, hlm 10. 5 P.A. Sabatier dan H.C Jenkins-Smith, hlm 138. 6 P. Leifeld, ‘Reconceptualizing Major Policy Change in the Advocacy Coalition Framework: A Discourse Network Analysis of German Pension Politics’, The Policy Studies Journal, vol. 41, no. 1, 2013, hlm 172. 7 M. Sotirov dan Michael Memmler, hlm 4. 8 Ellison, Brian A, hlm 3-4. 9 M.E. Lyons, ‘Using the Advocacy Coalition Framework and Q methodology to Analyse Public Policy Change in the Policy Area of Social Inclusion in Ireland’, Political Studies Association Annual Conference, Cardiff March 2013, University of Limerick, hlm 3.
4
Dalam rangka mewujudkan tujuan yang dihasilkan oleh keyakinan mereka, koalisi advokasi mencoba untuk membuat lembaga pemerintah untuk berperilaku sesuai dengan inti kebijakan mereka. Dalam hal ini, mereka diasumsikan sebagai instrumental rasional, yaitu menggunakan tempat-tempat (venues) yang disediakan oleh struktur konstitusional, di mana mereka dapat menggunakan pengaruhnya secara efisien.10 ACF beranggapan bahwa perubahan kebijakan tidak hanya hasil dari kompetisi antara berbagai kepentingan, di mana sumber daya keuangan dan aturan kelembagaan sangat penting. Akan tetapi, ―pembelajaran berorientasi kebijakan (policy-oriented learning)‖ di dalam dan di antara koalisi merupakan aspek penting dari perubahan kebijakan.11 Menurut Heclo, policy-oriented learning mengacu pada perubahan yang relatif abadi dari pikiran atau perilaku niat yang dihasilkan dari pengalaman dan/atau informasi baru yang berkaitan dengan pencapaian atau revisi tujuan kebijakan. 12 Policy-oriented learning meliputi bertambahnya pengetahuan mengenai parameter permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pembelajaran yang berorientasi kebijakan mempengaruhi keyakinan aktor dalam subsistem kebijakan, yang juga dapat menyebabkan perubahan kebijakan utama. Pembelajaran berorientasi kebijakan memiliki efek yang lebih besar pada keyakinan sekunder.13 Akan tetapi, pembelajaran tentang topik, bagaimanapun juga disaring melalui keyakinan yang sudah ada sebelumnya.14 Hipotesis Pembelajaran 5: ―meskipun ketika informasi yang telah terakumulasi
tidak
mengubah
pandangan
koalisi
lawan,
namun
mempunyai pengaruh penting terhadap kebijakan—setidaknya dalam
10
D. K¨ubler, hlm 624. P.A. Sabatier dan H.C Jenkins-Smith, hlm 123. 12 P.A. Sabatier dan H.C Jenkins-Smith, hlm 123. 13 C.M. Weible, ‘An Advocacy Coalition Framework Approach to Stakeholder Analysis: Understanding the Political Context of California Marine Protected Area Policy’, Oxford Journal, JPART 17:95–117, Oxford University Press, April 26, 2006, hlm 101-102. 14 P.A. Sabatier dan H.C Jenkins-Smith, hlm 145. 11
5
jangka pendek— yaitu dengan cara mengubah pandangan policy broker atau pejabat pemerintah penting lainnya.‖15 Dalam mempengaruhi suatu kebijakan, keyakinan-keyakinan suatu koalisi berkompetisi dengan keyakinan-keyakinan koalisi lain. Oleh karena itu, konflik politis yang disebabkan oleh keyakinan dan strategi koalisi saingannya dimediasi oleh policy brokers. Policy brokers ini berada pada posisi otoritas formal (seperti kepala negara, komisi, pengadilan, dan lain-lain) dan umumnya tertarik dalam mencari kompromi di antara koalisi-koalisi yang dapat mengarah pada konflik pengurangan konflik.16 Meskipun demikian, perubahan dalam aspek inti kebijakan (policy core) program pemerintah memerlukan gangguan faktor eksternal nonkognitif ke subsistem. Hipotesis 5/Hipotesis Perubahan Kebijakan 2: ―atribut inti kebijakan program aksi pemerintah tampaknya tidak akan berubah tanpa adanya gangguan eksternal yang signifikan terhadap subsistem, yaitu perubahan kondisi sosio-ekonomi, opini publik, seluruh sistem koalisi pemerintahan, atau hasil kebijakan dari subsistem lainnya.‖ 17 Perubahan kebijakan juga didorong adanya guncangan eksternal (external shock), yaitu peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar dari subsistem kebijakan. Guncangan eksternal dapat menjadi jendela kesempatan untuk mempelajari kebijakan dan perubahan kebijakan. Contohnya termasuk perubahan kondisi sosial ekonomi, perubahan dalam koalisi pemerintahan, dan dampak dari subsistem lainnya. 18 Mekanisme ketiga perubahan kebijakan adalah hurting stalemate. Hurting stalemate adalah situasi di mana semua pihak yang terlibat dalam sengketa melihat kelanjutan dari status quo tidak dapat diterima dan kehabisan tempat alternatif untuk 15
P.A. Sabatier dan H.C Jenkins-Smith, hlm 145. Metodi Sotirov 5 & Michael Memmler, hlm 5. 17 P.A. Sabatier dan Hank C. Jenkins-Smith, hlm 124. 18 C.M. Weible, ‘An Advocacy Coalition Framework Approach to Stakeholder Analysis: Understanding the Political Context of California Marine Protected Area Policy’, Oxford Journal, JPART 17:95–117, Oxford University Press, April 26, 2006, hlm 101-102. 16
6
mencapai tujuan. 19 Hanya ketika kedua koalisi keluar dari pilihan dan tidak puas dengan situasi saat ini mereka bersedia untuk berkompromi dan bernegosiasi untuk pergeseran besar dari status quo. 20 Untuk mengubah keyakinan koalisi tandingannya, oleh sebab itu, lapisan ACF selanjutnya yang harus dilakukan adalah koordinasi (coordination). Koordinasi merupakan tindakan yang terkoordinasi sebagai strategi yang melibatkan penggunaan instrument pedoman sebagai alat untuk mengubah tingkah laku berbagai otoritas pemerintahan dalam suatu usaha untuk merealisasikan tujuan kebijakan.21Koordinasi dikondisikan dan terstruktur oleh sistem kepercayaan aktor. Koordinasi dan sistem kepercayaan aktor ini berkaitan erat. Misalnya ketika aktor mengungkapkan preferensi mereka di media atau arena lain, dan aktor lainnya sehingga merasa didorong untuk mendukung mereka atau mengungkapkan oposisi mereka.22 Sabatier dan Weible mengidentifikasi enam kategori sumber koalisi yang digunakan untuk melakukan koordinasi, yaitu akses ke otoritas atau lembaga-lembaga resmi, opini publik, informasi, mobilisasi massa, sumber daya keuangan, dan kepemimpinan yang terampil.23 Dalam kompetisi untuk mempengaruhi suatu kebijakan, ACF melihat proses kebijakan sebagai persaingan antara koalisi aktor yang mendukung keyakinan tentang masalah kebijakan dan solusi. Kompetisi ini berlangsung dalam subsistem kebijakan (policy subsystem).
24
Subsistem kebijakan dikonseptualisasikan sebagai arena
interaksi bersaing di antara beberapa—biasanya dua atau tiga—koalisi advokasi. 25 Suatu subsistem terdiri dari aktor-aktor berbagai organisasi publik maupun swasta, 19
C.M. Weible, ‘An Advocacy Coalition Framework Approach to Stakeholder Analysis: Understanding the Political Context of California Marine Protected Area Policy’, Oxford Journal, JPART 17:95–117, Oxford University Press, April 26, 2006, hlm 101-102. 20 C.M. Weible, hlm 102. 21 P.A. Sabatier dan H.C Jenkins-Smith, hlm 122. 22 P. Leifeld, hlm 173. 23 C.M. Weible, dkk., ‘A Quarter Century of the Advocacy Coalition Framework: An Introduction to the Special Issue’, The Policy Studies Journal, vol. 39, no. 3, 2011, hlm 356. 24 D. K¨ubler, ‘Understanding policy change with the advocacy coalition framework: an application to Swiss drug policy’, Journal of European Public Policy, 8:4 August 2001, hlm 624. 25 Ellison, Brian A., ‘The advocacy coalition framework and implementation of the Endangered Species Act: a case study in Western water politics’, Policy Studies Journal, vol. 26, no 1, 1998, p.11(19), hlm 4.
7
yang secara aktif memperhatikan permasalahan kebijakan atau isu, dan secara reguler berusaha mempengaruhi kebijakan publik di domain tersebut.26Aktor-aktor tersebut dapat diagregasikan ke dalam suatu koalisi advokasi tertentu berdasarkan keyakinannya. I.4 Argumentasi Utama Kebijakan energi Jepang telah melalui dinamika yang panjang. Peran koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan pasca bencana Fukushima 2011 dalam mempengaruhi dan mendorong para pengambil keputusan publik mengenai kebijakan energi Jepang dilakukan dengan berbagai macam cara. Meskipun peran koalisi tersebut tidak selalu berjalan dengan lancar, namun usahanya memberikan kontribusi terhadap kebijakan energi terbarukan Jepang. Aktor-aktor koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan, baik dari kalangan pemerintah maupun non-pemerintah, seperti administratif, komite legislatif, dan kelompok kepentingan di tiap-tiap tingkat pemerintah, jurnalis, peneliti, dan penganalis kebijakan, akademisi, bisnis, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat memainkan
peran
di
ranah
masing-masing
bahkan
berkolaborasi
dalam
memperjuangkan kepentingan mereka yang sama. Kepentingan tersebut bersumber dari keyakinan mereka yang sama untuk mendorong pemerintah Jepang mengeluarkan
kebijakan
yang
lebih
pro-energi
terbarukan
dan
mengimplementasikannya. Koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan menjadikan bencana Fukushima 2011, yang mengakibatkan rusaknya instalasi-instalasi nuklir dan bocornya radio aktif, untuk memfasilitasi policy-oriented learning. Sarana yang digunakan oleh koalisi energi terbarukan dalam memfasilitasi policy-oriented learning meliputi kegiatan penelitian, publikasi, seminar, konferensi, dan diskusi publik untuk sesama anggota koalisi maupun beda koalisi. Dengan adanya 26
P.A. Sabatier dan H.C Jenkins-Smith, The Advocacy Coalition Framework: An Assessment, diunduh melalui , hlm 119.
8
kesempatan policy-oriented learning tersebut mereka dapat mempengaruhi beliefs system koalisi advokasi penggunaan energi nuklir yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kebijakan energi Jepang menuju ke arah energi terbarukan. Koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan juga melakukan koordinasi yang memberikan kekuatan tambahan dalam perannya. Koordinasi yang dilakukan mereka dilakukan mulai dari kalangan bawah hingga memanfaatkan jaringan-jaringan formal maupun informal dengan pemerintah. Dalam melakukan koordinasi tersebut, koalisi energi terbarukan menggunakan sumber-sumber koalisinya. Kemampuan kepemimpinan koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan penting untuk mengorganisir kegiatan-kegiatan promosi energi terbarukan. Informasi-informasi mengenai energi terbarukan dan bahaya energi nuklir juga digunakan untuk mengubah keyakinan masyarakat dan pemerintah agar mereka meyakini bahwa Jepang harus segera meninggalkan energi nuklir dan menggantikanya dengan energi terbarukan. Dengan demikian, sumber informasi tersebut dapat menarik opini publik untuk mendukung mereka. Mayoritas opini publik yang menolak energi nuklir dan mendukung energi terbarukan ini dimanfaatkan untuk melobi pemerintah dengan meyakinkan bahwa hal ini merupakan kepentingan rakyat Jepang. Tidak hanya itu, mobilisasi massa seperti kampanye, demonstrasi, dan aksi protes dapat dengan mudah dibentuk dari hasil dari mayoritas opini publik yang menolak energi nuklir tersebut. Sumber-sumber koalisi tersebut kemudian dibawa ke pihak-pihak yang lebih mempunyai otoritas dalam pengambil kebijakan. Dengan memanfaatkan akses ke otoritas dan lembaga resmi, koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan melakukan lobi-lobi kepada pemerintah bahkan mereka juga menuntut dan melawan koalisi energi nuklir melalui pengadilan dengan dibantu sumber-sumber yang telah dimanfaatkan sebelumnya. Selain itu, modal finansial dari berbagai kalangan, seperti dari organisasi sosial dan kelompok bisnis juga memberikan kekuatan dalam melakukan
kegiatan-kegiatan
energi
terbarukan
dan
mendorong
realisasi
pembangunan fasilitas dan penggunaan energi terbarukan Jepang. Meskipun demikian, koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan tetap menemui hambatan dan tantangan dalam memperjuangkan kepentingannya, terlebih 9
dalam melobi kelompok-kelompok kepentingan energi nuklir, yang mempunyai ‗akar kuat‘ dalam politik Jepang. Meskipun Jepang sempat dipimpin dari partai politik yang mendukung energi terbarukan, hambatan seringkali terjadi karena partai oposisi selalu menentangnya dalam berbagai perdebatan. Terlebih lagi, koalisi advokasi energi terbarukan menghadapi tantangan yang lebih besar lagi sejak terpilihnya Shinzo Abe dari partai konservatif Liberal Democratic Party (LDP) yang sangat proenergi nuklir dan mempunyai hubungan erat dengan perusahaan energi nuklir. I.5 Metode Penelitian Dalam pembahasan guna menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah dengan studi literatur. Data kualitatif dan data kuantitatif akan digunakan untuk memperkuat argumen-argumen disusun. Data tersebut terdiri dari data primer dan data sekunder yang akan diambil dari buku, jurnal, artikel online, koran online, dan dari situs-situs terpercaya lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Data-data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan landasan konseptual untuk menjawab pertanyaan riset skripsi ini. I.6 Susunan Penulisan Pembahasan dalam skripsi ini akan dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan dari skripsi ini. Dalam pendahuluan ini, penulis akan menjelaskan latar belakang dari bahasan yang diangkat dalam skripsi ini. Penduhuluan ini juga mencakup rumusan masalah yang menjadi sorotan utama dalam skripsi ini. Selain itu, penulis juga akan menjelaskan landasan konseptual yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah tersebut, yang disusul dengan argumentasi utama penulis. Kemudian dalam pendahuluan ini juga akan dibahas secara ringkas mengenai metode penelitian dan susunan penulisan. Selanjutnya, dalam bab kedua akan dibahas mengenai energi Jepang dan kebijakannya serta bencana Fukushima 2011. Penulis akan menguraikan energi Jepang secara general, baik sumber, konsumsi, impor dan ekspor Jepang. Tidak hanya energi Jepang, kebijakan mengenai energi di Jepang juga dibahas dalam bab ini. 10
Selain itu, di bab ini juga akan dibahas mengenai signifikansi energi terbarukan Jepang. Signifikansi energi terbarukan Jepang ini tidak terlepas dari faktor letak geografis dan kondisi sumber daya alamnya. Selain itu, peristiwa-peristiwa krisis energi yang juga akan dibahas di bab kedua ini, terutama bencana Fukushima 2011 yang menjadi momentum utama dalam mengubah konstelasi perpolitikan energi di Jepang. Bab ketiga akan dijelaskan mengenai koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan. Dalam bab ini akan disebutkan siapa yang terlibat dalam koalisi ini. Selain itu dalam bab ini juga akan dibahas bagaimana peran koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan dalam kerangka Advocacy Coalition Framework (ACF).
Peran mereka akan dibagi menjadi kedua bahasan, yaitu beliefs dan
coordination. Dalam bab keempat akan dijelaskan mengenai capaian-capaian dari peran koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan dalam mempengaruhi kebijakan energi Jepang. Selanjutnya, hambatan dan tantangan yang dihadapi koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan dalam memperjuangkan kepentingannya juga akan dijelaskan dalam bab ini. Terakhir, dalam bab kelima penulis akan memberikan kesimpulan dari keseluruhan penjelasan. Selain itu, penulis juga akan memberikan pandangan terakhir mengenai peran koalisi advokasi penggunaan energi terbarukan dalam mempengaruhi kebijakan energi terbarukan di Jepang.
11