BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif dimana hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan
hukum.
Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
L.M.
Friedman,
menyebutkan bahwa: 1 “Hukum tersusun dari sub sistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, sementara budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.” Pada hakikatnya eksistensi Kejaksaan dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan. 2 Hal
tersebut
sejalan
dengan
yang
disebutkan
oleh
Mochtar
Kusumaatmadja mengenai tujuan hukum dimana menurutnya bahwa: 3 “Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum yang mengatur. Ketertiban merupakan syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh
1
L.M. Friedman, The Legal System; A Social Science Persfective, (New York, Russel Sage Foundation, 1975), hal. 11. 2 Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 151. 3 Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan objektif.” Sementara itu, para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”keadilan”. 4 Dalam perkembangan dan kenyataannya, keadilan bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum. Dalam suatu negara hukum modern (welfare state) tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”kesejahteraan”. 5 Berkenaan dengan tujuan hukum, Mochtar Kusumaatmadja juga menyebutkan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di samping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbedabeda isi dan ukurannya menurut masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat temapat ia hidup. 6 Tujuan hukum menurut B. Arief Sidharta, 7 merupakan cita hukum bangsa Indonesia yang berakar dalam Pancasila, yang dinyatakan dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan falsafah dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara. Dalam pengertian lain, tujuan hukum tersebut, ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme (logische geschlossenheit) yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan fungsionil (functionele rechtsleer) 4
Menurut teori etis (etische theory), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika”, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya. E. Utrecht., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20. 5 Mochtar Kusumaatmadja., Op. cit. 6 Ibid, hal. 6-7. 7 B. Arief Sidharta., ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
yang
menitikberatkan
pada
kemanfaatan
dan
pandangan
yang
kritis
(gesellschatsgebunden) yang menitikberatkan pada kepastian hukum. 8 Hukum selalu berubah-ubah sesuai mengikuti perkembangan masyarakat tertentu. Perubahan yang terjadi pada masyarakat itu disebut perubahan sosial. Dengan perubahan sosial, menyebabkan hukum pun harus dirubah sesuai dengan keadaan yang sepatutnya. Perubahan undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, yang sekarang berubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya dalam penelitian ini disebut UU Kejaksaan) mengatur tugas dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum diarahkan dan dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaaan agar lebih berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam Negara hukum yang berdasarkan Pancasila, sebagai Negara yang sedang membangun. Dengan eksistensi Kejaksaan, menunjukkan bahwa, keberadaan Negeri Republik Indonesia sebagai Negara hukum. Negara hukum yang dimaksudkan bukanlah sekedar Negara hukum dalam artian formal. Akan tetapi menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hukum dalam artian lebih luas. Yaitu negara hukum dalam arti materil yang berarti hukum ditinjau dari segi isinya, yang dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan dua kepentingan yaitu manfaat
hukum (doelmatigheid)
dan kepastian
hukum (rechmatigheid).
Sehubungan dengan itu, maka dapat dipastikan bahwa pada hakikat terhadap
8
Marwan Effendy., Op. cit, hal. 154.
Universitas Sumatera Utara
eksistensi Kejaksaan dalam proses penegakan hukum dalam melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara pidana di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan. 9 Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan sebahagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapakan. 10 Dalam melakukan penegakan hukum tersebut, maka perlu kiranya mendudukkan Kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional agar mandiri dan independen dalam melakukan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, penegakan hukum dilaksanakan secara tegas, lugas dan manusiawi didasari oleh asas keadilan dan kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum. Karenanya dituntut adanya kerja sama yang baik antara penegak hukum dalam
melakukan
prapenuntutan
antara
peuntut
(Kejaksaan)
dengan
penyidik/penyelidik (Kepolisian). Dalam UU Kejaksaan menetapkan kedudukan, organsiasi, jabatan, tugas dan wewenang Kejaksaan. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah kekuasaan Negara di bidang penuntutan. Salah satu tugas dan wewenang Kejaksaan itu adalah kewenangannya dalam prapenuntutan. Pengaturan mengenai prapenuntutan tidak ditemukan di dalam pasal-pasal UU Kejaksaan akan tetapi secara tersirat, istilah prapenuntutan tersebut terangkum dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e UU 9
Ibid, hal. 151. Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 5. 10
Universitas Sumatera Utara
Kejaksaan dimana disebutkan bahwa, ”Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang, melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.” Namun, dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan terdapat istilah prapenuntutan, selengkapnya berbunyi: ”Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.” Kemudian, penjelasan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e UU Kejaksaan tersebut, dipertegas mengenai prapenuntutan itu, dengan kalimat ”melengkapi berkas perkara”, selengkapnya disebutkan bahwa: Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Tidak dilakukan terhadap tersangka; 2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara; 3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; dan 4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik. Dapat dipahami bahwa, prapenuntutan menurut Pasal 30 UU Kejaksaan itu adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan permintaan supaya perkara tersebut oleh hakim diperiksa di sidang pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, dikenal istilah prapenuntutan ini, sebagaimana bunyinya adalah ”Penuntut umum mempunyai wewenang, mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuranagn pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.” Dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik dalam hal ini memberitahukan kepada penuntut umum. Kemudian pengaturan mengenai prapenuntutan itu, juga terdapat pengaturannya dalam Pasal 109, Pasal 110, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, dan Pasal 144 KUHAP. Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik yang dibuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Jika penuntut umum setelah memeriksa BAP tersebut merasa perlu dan sesuai dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) harus mengembalikan BAP tersebut selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dinyatakan penuntut bahwa BAP tersebut tidak lengkap. Sedangkan ketentuan di dalam Pasal 144 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan, pengubahan itu dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
Universitas Sumatera Utara
Hal tersebut berbeda dengan yang dikatakan Herbet, bahwa ketika ditanyakan berapa lama prapenuntutan itu dilakukan karena BAP tidak lengkap? Herbet menjawab selama 7 (tujuh) hari. 11 Berkenaan dengan itu, hubungan antara penyidikan dan penuntutan akan lebih jelas lagi apabila dikaitkan dengan ketetntuan Pasal 139 KUHAP yang menentukan bahwa, ”Setelah penuntut menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.” berdasarkan pasal ini, Kejaksaan sangat menentukan apakah berkas perkara sudah dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Adanya kaitan erat antara penyidik dan penuntut umum sebagai pelaksana penegakan hukum mengenai prapenuntutan ini menurut KUHAP antara lain dapat ditonjolkan dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP penyidik memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidikan telah mulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana. 2. Bilamana dikaitkan dengan ketentuan pasal 137 KUHAP maka penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Materi Pasal 137 tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa penuntut umum ditetapkan oleh peraturan perundangan dengan memindah dan menuntut segala perbuatan 11
Hasil wawancara dengan Pak Herbet, SH (Kasubsipratut Kejaksaan Negeri Medan) pada hari Selasa, Tanggal 16 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
yang tergolong tindak pidana. Dengan demikian penuntutan umum adalah satu-satunya alat Negara yang berwenang melakukan penuntutan. Berdasarkan uraian diatas, nyatalah hubungan antara penyidikan dengan penuntutan, karena hasil penyidikan merupakan dasar bagi penyusunan surat dakwaan. Kebenaran bagi hasil penyidikan menjadi dasar bagi penyusunan surat dakwaan oleh Kejaksaan. Hal ini juga membawa konsekuensi logis yaitu merupakan suatu kewajiban mutlak bagi penuntut umum untuk senantiasa mengikuti perkembangan setiap pemeriksaan yang dilakukan penyidik dalam hal seorang disangka melakukan tindak pidana. Apabila penyidikan telah selesai maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Jika setelah menerima hasil penyidikan penuntut umum menilai masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk
yang diberikan penuntut
umum,
dan penyidik wajib segera
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum apabla sudah lengkap. Pengembalian BAP yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Medan adalah untuk memenuhi kesempurnaan dalam pembuatan BAP karena BAP merupakan faktor penentu dalam penuntutan. Akan tetapi apabila hasil dari BAP tersebut tidak lengkap akan menimbulkan konsekwensi berupa dibebaskannya terdakwa dari dakwaan. Tentunya harus ada kerja sama antara penyidik dengan jaksa
Universitas Sumatera Utara
peneliti/penuntut umum, sehingga apa yang dimaksudkan dalam penuntutan menjadi terlaksana. Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk memilih dan meneliti mengenai, ”Dasar Pertimbangan Jaksa Dalam Melakukan Prapenuntutan Di Kejaksaan Negeri Medan”, sebagai judul dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut d atas, maka dapat dirumuskan beberpa permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berkut: 1. Bagaimanakah kedudukan dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Sistem Peradilan Pidana? 2. Apakah dasar pertimbangan jaksa dalam melakukan prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Medan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka penulis dalam penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mendalami kedudukan dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Sistem Peradilan Pidana. 2. Untuk mengetahui dan mendalami dasar pertimbangan jaksa dalam melakukan prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Medan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan manfaat dari penelitian ini dikategorikan dalam dua dimensi yakni secara teoritis dan secara praktis. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna sebagai berikut: 1. Secara Teoritis. Penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana terutama pembaharuan hukum dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia. 2. Secara Praktis. Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan kepada penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan, serta kepada masyarakat
umumnya
untuk
mengetahui
masalah-masalah
pada
prapenuntutan oleh Kejaksaaan khusunya di Kejaksaan Negeri Medan.
D. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan ide atau gagasan peneliti sendiri dengan masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian yang dimaksud. Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian yang berjudul tentang, “Dasar Pertimbangan Jaksa Dalam Melakukan Prapenuntutan Di Kejaksaan Negeri Medan”, bahwa judul tersebut dan permasalahan yang disebutkan di atas belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikatakan merupakan karya ilmiah yang asli, jauh dari unsur plagiat, dan dapat dipertanggungjawabkan pada sidang terbuka.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Kepustakaan Berikut ini, peneliti melakukan tinjauan kepustakaan untuk mempertajam analisis penelitian sesuai dengan permasalahan yang dimaksud tersebut di atas. Hal yang dapat memepertajam analisis penelitian ini adalah diangkat dari prapenuntutan oleh penuntut umum dan penyidik. Institusi Kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum dilegalkan dengan UU Kejaksaan. Dalam tugas dan wewenangnya di antaranya menegakkan keadilan, dan menciptakan perlakukan yang sama pula bagi tersangka sebagai pencari keadilan. Berkenaan dengan itu, Jaksa sebagai penuntut umum semestinya menjaga dan menjunjung tinggi harkat dan martabatnya yang terangkum di dalam Kode Etik Kejaksaan. Hal tersebut sejalan dengan kutipan berikut, ”Salah satu prinsip terpenting dari negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 12 Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap hukum, maka hukum akan bertindak melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum akan memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pada proses pemeriksaan di pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran materil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana.
12
Supriadi., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya untuk mencari keadilan dan kebenaran materiil terhadap suatu perkara pidana maka diperlukan kinerja yang optimal dari para penegak hukum. Kinerja yang optimal dimulai dari proses pemeriksaan pada tingkat prapenuntutan sangat diperlukan dalam mewujudkan keadilan serta kepastian hukum. Prapenuntutan dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang pengadilan
dan
menentukan
keberhasilan
penuntutan,
artinya
tindakan
prapenuntutan sangat penting guna mencari kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan. Defenisi parpenuntutan menurut Andi Hamzah, adalah, ”Tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyelidikan oleh penyidik. Inilah yang terasa janggal, karena memberi petunjuk kepada penyidik untuk menyempurnakan penyidikan disebut prapenuntutan. Hal seperti ini dalam aturan lama (HIR), termasuk penyidikan lanjutan.” 13 Pembuat undang-undang (DPR) terlihat hendak menghindari kesan seakan-akan jaksa atau penuntut umum itu mempunyai wewenang penyidikan lanjutan, sehingga hal itu disebut sebagai prapenuntutan. Andi Hamzah sependapat dengan ketentuan di dalam HIR, dimana petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan pada hakekatnya merupakan bagian
13
Andi Hamzah., Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal.
161.
Universitas Sumatera Utara
dari penyidikan lanjutan. Oleh sebab itu, antara penyidikan dan penuntutan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara tajam. 14 Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. 15 Menurut M. Yahya Harahap, mengenai prapenuntutan ini, beliau tidak menggunakan istilah prapenuntutan akan tetapi menggunakan istilah ”hubungan antara penyidik dengan penuntut umum”. Dimana terdapat titik-titik hubungan itu adalah: 16 1. Pemberitahuan dimualinya tindakan penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1)); 2. Pemberitahuan penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat (2)); dan 3. Perpanjangan penahanan. Akan teapi, jika ditelaah secara tersirat maksud tersebut di atas adalah mengarah kepada tahapan prapenuntutan juga sesuai dengan yang dibicarakan, namun saja tidak menggunakan istilah prapenuntutan. Lilik Mulyadi, cenderung berpendapat bahwa keadaan pada tahapan antara penyidik dengan penuntut umum itu dipergunakan istilah prapenuntutan. Beliau juga merujuk kepada ketentuan di dalam Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP. 14
Ibid.
15
http://www.modusaceh.com/html/konsultasi-hukum-read/41/pra_penun,
Diakses terakhir tanggal 15 Maret 2010. 16 M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 369.
Universitas Sumatera Utara
Dimana bahwa setelah penyidik menyerahkan BAP kepada penuntut umum, maka penuntut umum mempelajarinya selama 7 (tujuh) hari, jika BAP tersebut tidak lengkap, maka harus dikembalikan kepada penyidik untuk diperbaiki selama 7 (tujuh) haru pula disertai dengan petunjuk dari penuntut umum. 17 Dalam prapenuntutan ini sering mengalami kendala, sehingga istilah prapenuntutan itu sendiri selayaknya untuk tidak digunakan dalam prosedur. Karena hal ini sependapat dengan yang dikatakan Al. Wisnubroto dan G. Widiartana yang menyebutkan bahwa: 18 ”Berkaitan dengan hal tersebut, ada pemikiran dalam Rancangan UndangUndang KUHAP (draf 2002) untuk menghapus prosedur prapenuntutan ini. Sebagai gantinya apabila BAP dikembalikan kepada penyidik untuk disempurnakan, ternyata tidak ada respon dari penyidik untuk menindaklanjuti pengembalian BAP dari penuntut umum tersebut, maka penuntut umum dapat melakukan pemeriksaan tambahan.” Oleh karena dasar pemeriksaan tambahan dilakukan penuntut umum yang disebabkan BAP tidak direspon penyidik untuk diperbaiki tersebut, maka hubungan antara penyidik dengan penuntut umum tadi menjadi renggang dan kurang dapat dipertahankan dengan menggunakan istilah ”hubungan antara penyidik dengan penuntut umum”. Menurut penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan disebutkan defenisi mengenai prapenuntutan dimana bahwa, “Prapenuntutan adalah tindakan jaksa
untuk
memantau
perkembangan
penyidikan
setelah
menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi
17
Lilik Mulyadi., Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 25-26. 18 Al. Wisnubroto., dan G. Widiartana., Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.” 19 KUHAP memperkenalkan istilah baru, tetapi KUHAP tidak memberi batasan pengertian prapenuntutan itu, di dalam Pasal 1 KUHAP pun tidak ditemukan istilah prapenuntutan, melainkan prapenuntutan itu merupakan istilah baru ciptaan sendiri yang jelas tidak dapat dicari pengertiannya dala doktrin. Akan tetapi jika ditelaah pada pasal-pasal dalam KUHAP itu sendiri, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa prapenuntutan terletak antara dimulainya penuntutan dalam arti sempit (BAP dikirim kep pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Sesuai dalam pengertian lain, bahwa wewenang penuntut umum mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuranagn pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), KUHAP dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.” 20 Berdasarkan pengertian prapenuntutan di atas, maka prapenunututan itu merupakan pengembalian berkas perkara disertai permintaan kepada penyidik untuk melengkapi dengan melakukan tambahan penyidikan menurut ketentuan di dalam perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dinamakan penuntutan didasarkan kepada Pasal 1 butir 3 UU Kejaksaan yaitu, “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
19
Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). 20 Pasal 14 huruf b, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Universitas Sumatera Utara
menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.” 21 Rangkaian prapenuntutan itu dapat dipahami dari ketentuan beberapa pasal di dalam KUHAP misalnya menurut ketentuan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, “Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.” Kemudian ditentukan pula kepada penyidik agar memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa tindak pidana berdasarkan pasal 109 ayat (9) KUHAP. Pada pasal 137 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Menurut Pasal 14 KUHAP bahwa Jaksa selaku penuntut umum tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara pidana umum. Penyidikan yang hasilnya kurang lengkap, jaksa diberi wewenang untuk mengadakan prapenuntutan dengan cara mengembalikan berkas perkara disertai permintaan kepada penyidik untuk melengkapi dengan melakukan tambahan penyidikan. Berdasarkan paparan beberapa bunyi ketentuan di dalam KUHAP tersebut, dengan demikian harus ada kerja sama antara penyidik dengan jaksa peneliti/ calon penuntut umum agar terlaksananya penuntutan. Hal inilah yang dikenal
21
Pasal 1 ayat (3), UU Kejaksaan.
Universitas Sumatera Utara
dengan “prapenuntutan” atau “hubungan antara penyidik dengan penuntut umum”, yang digunakan dalam penelitian ini.
F. Metodologi Penelitian Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 22 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 23 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. 24 Upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu dalam penelitian ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam praktik. Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis yaitu menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi objek penelitian di lapangan dan kemudian dilakukan analisis. 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
22
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 23 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1. 24 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
a. Metode utama: Yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian kepustakaan yaitu mempergunakan data sekunder. b. Metode pendukung: Yuridis empirik atau penelitian hukum sosiologis yaitu penelitian hukum yang memperoleh data dari sumber data primer. 2. Tahap-Tahap Penelitian Penelitian ini meliputi 2 (dua) tahap yaitu: a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu mempelajari literaturliteratur untuk memperoleh data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti. b. Penelitian lapangan (field research) yaitu untuk memperoleh data primer dengan cara mengadakan penelitian di lapangan guna mendapat faktafakta yang berkaitan dengan objek penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dipergunakan melalui penelitian kepustakaan (library research), penelitian ini dirumuskan mencari bahan-bahan atau data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan cara membaca, menafsirkan atau mentransfer buku-buku atau literatur, berupa undang-undang. Di samping itu, peneliti juga melakukan teknik pengumpulan data penelitian lapangan (field research), dilakukan dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana teori, pedoman yang telah tersedia dapat diterapkan dilapangan ataupun apakah praktek yang terdapat dilapangan telah sesuai dengan ketentuan yang ada atau terhadap kenyataan yang ada. Misalnya dengan melakukan wawancara ataupun membuat daftar pertanyaaan. Wawancara yang dilakukan penulis terhadap para jaksa di
Universitas Sumatera Utara
Kejaksaan Negeri Medan. Selanjutnya data yang diperoleh akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk
sampai
pada
kesimpulan,
sehingga
pokok
permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab. 25 Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data dimaksud adalah: a. Data Primer yakni dengan melakukan wawancara, yaitu mengumpulkan data dengan cara tanya jawab dengan jaksa-jaksa di Kejaksaan Negeri Medan. Teknik wawancara yang digunakan adalah tidak terstruktur artinya pertanyaan wawancara tidak didasarkan pada suatu daftar pertanyaan yang disusun terlebih dahulu, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan dalam penelitian ini. b. Data Sekunder adalah dengan menggunakan penelitian kepustakaan yaitu dengan mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian dengan cara pencatatan atau inventarisasi, pengklasifikasian, data-data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 4. Lokasi Penelitian Dalam Penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di: a. Perpustakaan: yaitu Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara Medan dan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. b. Instansi: instansi yang digunanakan adalah Kejaksaan Negeri Medan.
25
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
Universitas Sumatera Utara
5. Analisis Data Terhadap seluruh data yang telah diperoleh kemudian disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis yuridis kualitatif tanpa menggunakan rumus dan angka. Adapun alat analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan interprestasi hukum, yaitu penafsiran hukum otentik yang merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang kongkrit. Selain itu juga menggunakan konstruksi hukum analogi, yaitu penerapan sesuatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tersebut tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya lain.
G. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan dalam penelitian dengan judul ”Dasar Pertimbangan Jaksa Dalam Melakukan Prapenuntutan Di Kejaksaan Negeri Medan”, penulis membaginya dalam 4 (empat) bagian yaitu: BAB I
: PENDAHULUAN Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian yang digunakan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : KEDUDUKAN DAN WEWENANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Universitas Sumatera Utara
Merupakan bab yang memapaparkan mengenai Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kedudukan dan Wewenang Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia
,
Kedudukan Penuntut Umum Menurut Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, dan Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia BAB III : DASAR PERTIMBANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PRAPENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN Merupakan bab yang memaparkan tentang Proses Penyelesaian Perkara Pidana Sejak Diserahkan oleh Penyidik Kepada Penuntut Umum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Dasar Hukum Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum Dalam Melakukan Prapenuntutan, dan Kendala-Kendala Dalam Prapenuntutan BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bab yang memuat tentang Kesimpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara