BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, secara adil dan merata. Hal ini dilakukan sebagai salah satu usaha untuk mengisi cita-cita perjuangan Bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang dan papan, yang merupakan kebutuhan pokok bagi setiap warga negara Indonesia. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Untuk melaksanakan kegiatan dalam sektor pertanian, masyarakat Indonesia memanfaatkan tanah sebagai media untuk bertani. Oleh karena tanah digunakan sebagai media bertani, maka tanah menjadi modal yang sangat penting bagi masyarakat. Bahkan bagi-bagian terbesar dari wilayah-wilayah tertentu merupakan satu-satunya modal.1 Selain itu, tanah bagi bangsa Indonesia memiliki berbagai macam arti bagi kehidupan manusia. Masalah ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Heru Nugraha yaitu:
1
Iman Sudiyat, 2000, Hukum Adat Sketsa Asas, cetakan keempat, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1
1
2
“Tanah bagi bangsa Indonesia memiliki makna yang multi dimensional. Pertama dari dimensi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua secara politis, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga dari dimensi sosial, tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat dari dimensi budaya, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan waris dan transcendental”.2 Begitu besarnya peranan tanah dalam kehidupan manusia, membawa konsekuensi bahwa orang tidak segan mengorbankan jiwa, raga, harga diri, demi mempertahankan tanah yang diyakini sebagai haknya. Oleh karena besarnya peranan tanah bagi kehidupan manusia, menjadikan para pendiri bangsa Indonesia memikirkan perlunya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan. Usaha tersebut baru dapat tercapai pada tahun 1960, yakni dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sejak awal berlakunya UUPA, Hukum Agraria Indonesia telah mengalami perombakan secara revolusioner, berupa perubahan Hukum Agraria lama ke suasana Hukum Agraria baru. Keberadaan UUPA berakibat hapusnya dasar-dasar
dan
peraturan-peraturan
Hukum
Agraria
kolonial
dan
terselenggaranya unifikasi hukum. Hukum Agraria baru tidak lagi terdiri dari peraturan-peraturan yang bersumber pada Hukum Barat. Oleh karena, Hukum Agraria nasional selanjutnya didasarkan pada sistem hukum asli Indonesia.3
2
Heru Nugraha, 1999, Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan Hak Hak Atas Tanah, Makalah, Dalam Seminar Nasional Pertanahan, Civitas Akademika, STPN, 25 Februari, STPN, Yogyakarta, hlm. 1 3 Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Cetakan Ketujuh, Jakarta, hlm. 1-2
3
Di dalam meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat, pemerintah mengeluarkan program reformasi agraria atau yang lebih dikenal dengan sebutan landreform. Tujuan landreform diselenggarakan pemerintah Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Adapun program landreform meliputi: 1. Larangan atau menguasai tanah pertanian yang melampaui batas; 2. Larangan pemilikan tanah secara absentee; 3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena absentee, tanah bekas swapraja, dan tanah negara lainnya; 4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; 5. Pengaturan perjanjian bagi hasil tanah pertanian; 6. Penetapan batas minimum pemilikan tanah-tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. Mengacu pada landreform yang mengharuskan pemilikan tanah yang mempunyai tanah pertanian yang luas bisa memanfatkan dan mengolah tanah pertaniannya, maka banyak para pemilik tanah pertanian menggarapkan tanah pertaniannya pada para petani penggarap, menyewakan dan sebagian menggadaikannya. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan
4
pemasukan tambahan. Selain mendapatkan hasil dari tanah dimilikinya dengan melakukan bagi hasil dari tanah pertanian, pemilik tanah pertanian merasa terbantu dalam mengolah dan merawat tanah pertaniannya melalui petani penggarap yang menyewa maupun melakukan bagi hasil terhadap tanah pertanian tersebut. Masalah tersebut banyak dilakukan oleh pemilik tanah yang luas dan tidak bisa merawat serta mengolah tanah pertaniannya, tetapi mereka ingin mendapatkan hasil dari tanah pertanian yang dimilikinya. Kebiasaan
melakukan
bagi
hasil
oleh
masyarakat
sangat
menguntungkan, karena petani penggarap tidak perlu mengeluarkan uang untuk memperoleh lahan garapan. Dalam masalah ini, petani penggarap hanya perlu mengeluarkan tenaga saja untuk mengolah tanah pertanian. Dengan demikian jika para petani penggarap melakukan bagi hasil dengan pemilik tanah, maka petani penggarap akan dapat terbantu kehidupannya, karena kebutuhan pangan akan tercukupi. Sebaliknya bagi pemilik tanah, maka akan mendapatkan hasil tanpa harus bersusah payah menggarap sendiri tanah pertaniannya.
Dengan
demikian,
perjanjian
bagi
hasil
ini
sangat
menguntungkan bagi para petani. Di Desa Sidomulyo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun, terdapat suatu perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang disebut oleh masyarakat dengan istilah “maro” yang mana perjanjian ini sudah ada sejak dulu dan sudah turun temurun ada di masyarakat. Dalam perjanjian maro ini, pemilik tanah menyerahkan penggarapan tanah pertanian kepada petani penggarap, yang dikarenakan pemilik tanah tidak memiliki waktu untuk menggarap tanah
5
pertaniannya. Di samping itu, juga disebabkan karena pemilik tanah tidak mau mengerjakan tanahnya tetapi ingin mendapatkan hasil dari tanah pertanian tersebut atau karena ingin membantu petani penggarap untuk mendapatkan hasil dari tanah pertanian dengan cara menggarap tanah pertanian. Mengenai perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini, undang-undang sudah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang diterbitkan pada tanggal 7 Januari 1960 tentang Undang-Undang Bagi Hasil. Meskipun dalam Pasal 53 UUPA mengisyaratkan bahwa peraturan mengenai perjanjian bagi hasil untuk segera dihapus akan tetapi hal itu sampai sekarang peraturan tersebut belum dihapus. Bahkan kemudian, untuk melaksanakan Undang Undang Nomor 2 tahun 1960, diterbitkanlah Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang Undang Perjanjian Bagi Hasil. Dalam perjanjian bagi hasil menurut Pasal 4 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1960, ditentukan jangka waktu perjanjian untuk tanah sawah adalah 3 tahun dan untuk tanah-kering adalah 5 tahun. Berdasarkan Penjelasan Pasal 7 UU No. 2 Tahun 1960 cara pembagian hasilnya antara pemilik dan penggarap adalah 1(satu) bagian untuk pemilik dan 1(satu) bagian untuk penggarap untuk padi tanaman sawah dan hal ini dipertegas lagi dalam pasal 4 ayat (1) Inpres No. 13 tahun 1980.
6
Cara pembagian perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam Hukum Adat adalah bermacam-macam seperti “maro”, “mertelu”, dan seterusnya.4 Pembagian “maro” yaitu untuk pemilik (1)satu bagian dan untuk penggarap (1) satu bagian, sedangkan “mertelu” yaitu 1 (satu) bagian untuk penggarap dan 2 (dua) bagian untuk pemilik tanah. Hal ini semua tergantung dari kebiasaan masyarakat setempat. Dalam pembuatan perjanjian bagai hasil tanah pertanian, menurut Pasal 3 ayat (1) UU no. 2 Tahun 1960 ditentukan bahwa semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis di hadapan kepala desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari fihak pemilik dan penggarap. Menurut Pasal 3 ayat (2) UU No. 2 Tahun 1960, perjanjian bagi-hasil yang dibuat oleh pemillik tanah dan penggarap memerlukan pengesahan dari Camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan itu. Berkaitan dengan perjanjian maro yang terdapat di Desa Sidomulyo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun berdasarkan pra-riset dapat diketahui bahwa pada saat panen pembagian hasil dari panen tersebut tidak sesuai dengan yang diperjanjikan pada saat awal kesepakatan. Akan tetapi, pada saat dilakukan pembagian hasil oleh pemilik tanah pada saat panen, terdapat pengurangan-pengurangan bagian yang harus diterima penggarap oleh pemilik tanah. Oleh karena itu, maka muncul pertanyaan yaitu faktor apakah yang 4
Sudikno Mertokusumo, 1988, Perundang-Undangan Agraria Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 25
7
menyebabkan terjadinya pengurangan dari bagian yang harus diterima oleh petani penggarap dalam perjanjian maro tersebut. Adapun kebiasaan masyarakat desa yang melakukan perjanjian maro sebagaimana dalam uraian di atas, menarik bagi penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “SENGKETA PERJANJIAN MARO DI BIDANG PERTANIAN DI DESA SIDOMULYO KECAMATAN WONOASRI KABUPATEN MADIUN”, sehingga perjanjian yang didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat menjadi jelas.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di muka, maka rumusan masalah yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya sengketa antara pemilik tanah dengan petani penggarap pada perjanjian maro di Desa Sidomulyo Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun? 2. Bagaimanakah solusi dalam menyelesaikan perjanjian maro (bagi hasil) jika terjadi perbedaan pendapat?
C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang “Sengketa Perjanjian Maro di Bidang Pertanian di Desa Sidomulyo Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun”, sepanjang pengetahuan belum pernah dilakukan penelitian oleh mahasiswa lainnya dan
8
belum pernah diajukan sebagai tesis. Namun demikian, penulis temukan beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan memiliki obyek penelitian serupa, meskipun demikian di dalamnya tidak terdapat kesamaan. Dalam hal ini, penulis jadikan hasil-hasil penelitian tersebut sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan penelitian. Adapun hasil penelitian tersebut adalah: 1. Ermina Sulaiman, Pelaksanaan Perjanjian (Massima Galung) antara Pemilik Tanah dan Petani Penggarap dalam Masyarakat Bugis di Desa Rompegading
Kecamatan
Liliriaja
Kabupaten
Soppeng,
Magister
Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, 2006; Permasalahan: a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian bagi hasil/massima galung antara petani penggarap dan pemilik tanah dalam masyarakat Bugis di Desa Rompegading Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng? b. Bagaimana
upaya
penyelesaian
konflik
dalam
perjanjian
bagi
hasil/massima galung antara petani penggarap dan pemilik tanah dalam masyarakat Bugis di Desa Rompegading Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng 2. Agusly Rasyid, Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Garam Rakyat di Kecamatan Pragaan Kabupaten Daerah Tingkat II Sumenep Madura, Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, 2006; Permasalahan:
9
a. Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Garam Rakyat di Kecamatan Pragaan jika dibandingkan dengan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, khususnya Pasal 7? b. Bagaimana bentuk perjanjian bagi hasil garam rakyat di Kecamatan Pragaan? c. Bagaimana penyelesaiannya apabila terjadi suatu sengketa antara kedua belah pihak? Berdasarkan kedua judul penelitian di atas, pada umumnya peneliti hanya menggunakan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Adapun peraturan pelaksana UU No. 2 Tahun 1960 tidak digunakan dalam analisis. Di samping itu, dalam penulisan di atas hanya menjelaskan mengenai upaya penyelesaian masalah yang tejadi dalam perjanjian bagi hasil yang terjadi dalam perjanjian bagi hasil. Oleh karena itu penelitian tersebut berbeda dengan yang penulis lakukan. Hal ini karena penelitian yang penulis lakukan mengenai faktor terjadinya sengketa antara pemilik tanah dengan petani penggarap dalam perjanjian maro (bagi hasil) tanah pertanian. Di samping itu juga mengenai solusi penyelesaian perjanjian maro dalam hal terjadi perbedaan pendapat. Berdasarkan perbedaan judul dan obyek penelitian, maka penulis menjamin keaslian penelitian. Tetapi jika terdapat penelitian dengan tema serupa, penulis berharap penelitian ini dapat saling melengkapi
10
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah menjadi harapan dari setiap peneliti, baik manfaat bagi ilmu pengetahuan maupun bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1. Secara Teoritis. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya wawasan mengenai ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan hukum kebiasaan (tidak tertulis) yang ada di masyarakat pada umumnya dan Kenotariatan khususnya. 2. Secara Praktis Pada lingkungan praktis secara umum diharapkan bagi pihak-pihak yang terkait diharapkan dapat menjadi masukan dalam melaksanakan perjanjian maro.
E. TUJUAN PENELITIAN Berkenaan dengan permasalahan penelitian yang telah diuraikan di atas maka, tujuan penelitian adalah untuk: 1. Mengetahui dan mengkaji terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa antara pemilik tanah dengan petani penggarap pada perjanjian maro. 2. Mengetahui dan mengkaji terhadap solusi dalam menyelesaikan perjanjian maro (bagi hasil) jika terjadi perbedaan pendapat.