BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bangsa Indonesia yang sedang berjalan sekarang ini, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Hal ini berarti meningkatkan kesejahteraan yang mengarah pada kualitas hidup manusianya. Tujuan nasional tersebut juga untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, seperti: pangan, sandang, perumahan dan lain-lain. Dalam hal pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, harus disadari adanya berbagai hambatan dalam pencapaiannya. Untuk itu keberhasilan pembangunan suatu negara tentunya harus di dukung dengan keikutsertaan penduduk itu sendiri dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini penduduk sangat diharapkan partisipasi aktifnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan. Dengan adanya partisipasi dari masyarakat maka sebuah pembangunan pun akan berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan dari masyarakat sendiri. Berbagai kendala tentunya banyak dihadapi oleh pelaku pembangunan itu sendiri yaitu pemerintah. Berbagai terobosan baru yang dilakukan oleh pemerintah dalam berbagai bidang telah dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari berbagai krisis yang terjadi di dunia dan lebih khususnya lagi di Indonesia. Salah satu krisis yang sekarang melanda negeri Indonesia adalah krisis energi. Ketersedian energi di Indonesia yang semakin hari semakin berkurang
telah menyebabkan terjadinya krisis. Saat ini Indonesia memang dikenal sebagai negara penghasil minyak, akan tetapi keanehan yang terjadi adalah kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Untuk itu pemerintah mengembangkan kebijakan baru untuk mengatasi krisis energi ini. Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah seperti pengembangan biodiesel, pengurangan pasokan, penarikan subsidi untuk BBM dan juga pengkonversian minyak tanah ke gas. Dalam pengkonversian minyak tanah ke gas ini dinilai sebagai suatu solusi dan inovasi baru. Hal ini berdasarkan ketersedian bahan bakar gas (BBG) yang lebih banyak dari pada bahan bakar minyak (BBM). Pengkonversian minyak tanah ke gas ini merupakan kebijakan yang dinilai tepat oleh pemerintah. Berbagai pertimbangan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti; ketersediaan bahan bakar gas yang lebih banyak, penghematan biaya dari minyak tanah dibandingkan dengan gas, keefisienan dan keefektifan gas dalam hal penggunaan gas. Untuk itu, kebijakan tersebut menjadi solusi bagi krisis yang dihadapi Negara. Lebih lanjut Dirjen Industri Mesin Logam Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian (Depperin), Ansari Bukhari, pada seminar "Peran Tabung Baja Dalam Mendukung Program Diversifikasi Minyak Tanah ke LPG", di Jakarta, Jumat (29/8) menjelaskan bahwa konsumsi minyak tanah per tahun mencapai 10 juta kilo liter (KL) dan jika harga per liter mencapai Rp 6.000 hingga Rp 7.000 maka pengeluaran untuk minyak tanah dapat mencapai 60 triliun. Oleh sebab itu, jika dihitung secara makro jumlah uang yang hilang sangat besar. Dengan
berbagai kekhawatiran itulah, maka pemerintah mengambil tindakan yang tegas dalam hal konversi minyak tanah ke gas (www.jurnalnasional.com). Namun, menurut Siswanto Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) program konversi minyak tanah ke gas seharusnya sudah selesai akhir tahun ini. Secara bertahap penyaluran minyak tanah dikurangi dan pada bulan Desember nanti agen tidak akan lagi mendapatkan pasokan. Siswanto juga menambahkan meski sudah tak menyalurkan lagi ke dua wilayah tersebut, yaitu di Sleman dan Yogyakarta, PT Pertamina diharapkan tetap menyediakan minyak tanah untuk melayani permintaan masyarakat kecil (www.jurnalnasional.com). Keberadaan
kebijakan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
tanpa
memperhatikan apa yang dirasakan oleh masyarakat dengan pemaksaan kebijakan, telah berdampak kepada masyarakat. Baik itu secara material maupun inmaterial seperti perubahan budaya dan respon/tanggapan masyarakat tentang diberlakukannya kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas. Dengan lahirnya kebijakan baru maka berbagai kendala yang dihadapi dalam pengkonversian minyak tanah ke gas, saat ini menimbulkan berbagai masalah budaya yang disebabkan oleh konversi tersebut. Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa ada beberapa kasus yang muncul akibat dari program konversi minyak tanah ke gas elpiji. Dalam hal ini kasus yang terlihat adalah menghilangnya tabung gas dari masyarakat yang disebabkan karena kurangnya pasokan yang diberikan oleh pihak pertamina. Hal tersebut terjadi karena, banyaknya permintaan dari konsumen atau pun distributor
sehingga dalam pembuatan tabung gas tersebut pun belum bisa memadai dari permintaan pasar (www.okezone.com). Demikian halnya yang terjadi di daerah Jakarta. Persoalan distribusi kompor dan tabung gas menjadi sebuah masalah yang belum terpecahkan. Hal ini dikarenakan, kurangnya koordinasi terhadap masyarakat penerima kompor dan tabung gas yang diakibatkan oleh kurangnya kerjasama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setempat, sehingga distribusi kompor dan tabung gas menjadi tidak maksimal atau tidak tepat sasaran. Berkenaan dengan hal tersebut Ketua Tim Terpadu Distribusi BBM. Slamet Singgih mengatakan kelangkaan itu sebagai akibat tidak adanya penelitian terlebih dahulu dari BP Migas mengenai kebutuhan nyata di masyarakat. Beliau juga mengatakan PT Pertamina tidak melakukan pengawasan pendistribusian secara semestinya. Sementara itu, ketua BP Migas sendiri mengatakan bahwa kelangkaan itu diakibatkan oleh penggunaan di luar fungsinnya yaitu untuk penerangan, pompa air di musim kemarau, campuran BBM untuk transportasi, penjualan ke industri dan penyelundupan (Acara “Wanted” yang ditayangkan Anteve pada hari Senin 23 April 2007). Selain kasus di atas beberapa kasus yang muncul di berbagai media massa seperti; meledaknya tabung gas elpiji hasil dari subsidi di Jakarta Utara, kelangkaan gas isi ulang sehingga tabung-tabung gas dibuang oleh masyarakat, adanya kerugian pedagang minyak keliling dan pangkalan minyak tanah akibat konversi tersebut dan berubahnya sebuah kebiasaan baru atau budaya baru di masyarakat yang di wujudkan melalui kompor dan tabung gas. Hal tersebut
menyebabkan munculnya berbagai masalah yang timbul di masyarakat, ini merupakan pengaruh dari kebijakan pemerintah. Pengaruh ini ditimbulkan oleh ketidaksesuaian budaya, karena kebijakan pemerintah belum tentu mendapat respon yang positif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan belum tentu sesuai dengan yang sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Berdasarkan kenyataan di atas penting kiranya mengkaji respon masyarakat, dalam hal ini respon budaya, khususnya dalam hal konversi minyak tanah ke gas elpiji. Hal ini dapat menunjukkan kebijakan pemerintah yang sesuai ataupun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan juga apakah sudah sesuai dengan budaya masyarakat jika diterapkannya konversi minyak tanah ke gas elpiji.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka masalah penelitian yang diajukan adalah bagaimana respon budaya masyarakat, khususnya masyarakat Betawi, atas penerapan kompor gas dalam program konversi minyak tanah ke gas elpiji ? Perumusan masalah tersebut diuraikan ke dalam 5 (lima) pertanyaan penelitian yakni: 1. Apa dasar dan tujuan diberlakukannya program konversi minyak tanah ke gas elpiji ? 2. Apa Kriteria masyarakat penerima kompor gas ?
3. Bagaimana sosialisasi dan pendistribusian kompor gas oleh pemerintah atas program konversi minyak tanah ke gas pada masyarakat ? 4. Bagaimana pengetahuan dan nilai-nilai budaya masyarakat Betawi atas penerapan kompor gas ? 5. Bagaimana hubungan sosial dan struktur sosial yang terjalin dalam masyarakat Betawi setelah adanya penerapan kompor gas dimasyarakat ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang respon budaya masyarakat atas konversi minyak tanah ke gas elpiji sebagai suatu program pembangunan untuk penghematan energi (sumber daya alam). Secara akademis, penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan, khususnya Antropologi, tentang penerapan salah satu program pemerintah dalam hal konversi minyak tanah ke gas elpiji dalam rumah tangga. Secara praktis dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak berkepentingan khususnya pemerintah dalam hal mensosialisasikan dan menerapkan suatu program pembangunan bagi masyarakat.
1.4. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Bekasi Barat tepatnya di Kelurahan Bintara. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena Daerah ini merupakan salah satu daerah yang menjadi sasaran program pemerintah atas konversi minyak tanah ke gas elpiji. Selain itu juga, daerah Kelurahan Bintara dihuni oleh masyarakat
dengan dari berbagai macam status sosialnya. Lokasi penelitian merupakan daerah yang didominasi oleh mayoritas orang Betawi asli atau Kampung Betawi.
1.5. Tinjauan Pustaka Setiap negara tentunya akan menjalankan berbagai program pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Kebanyakan dari program pembangunan yang dijalankan pemerintah, seperti halnya pemerataan kompor gas tentunya bersifat top-down. Bagi pemerintah sendiri, hal tersebut dijalankan dengan berbagai pertimbangan tertentu. Dalam hal ini berbagai program pembangunan dapat diwujudkan melalui inovasi yang diperluas melalui difusi, untuk keperluan seluruh masyarakatnya. Suatu gejala penting yang seringkali menyebabkan terjadinya inovasi adalah penemuan baru dalam bidang teknologi. Untuk itu kita perlu mengerti dahulu arti dari kata inovasi tersebut. Secara universal kata inovasi dapat diartikan sebagai “proses” atau “hasil” pengembangan, pemanfaatan pengetahuan keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk (barang atau jasa), proses atau sistem yang baru, yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan (terutama ekonomi dan sosial) (http://id.wikipedia.org/wiki/Inovasi). Dengan demikian inovasi tersebut merupakan sebuah penemuan baru yang dapat berupa sebuah kompor dan tabung gas elpiji ataupun sebuah gagasan atau ide-ide baru, yang dapat menyebabkan sebuah perubahan pada masyarakat.
Pada masyarakat khususnya di negara berkembang, penyebarluasan inovasi terjadi terus menerus dari suatu tempat ke tempat lain, dari bidang tertentu ke bidang lain. Penyebarluasan inovasi menyebabkan masyarakat menjadi berubah, menimbulkan berbagai respon sosial budaya dan merangsang orang untuk menemukan dan menyebarkan hal-hal baru. Masuknya inovasi ke tengahtengah masyarakat disebabkan terjadinya interaksi antar anggota masyarakat. Sebelum inovasi tersebut diterima masyarakat, baik inovasi itu berupa alat atau ide yang diciptakan dalam masyarakat maka disebut dengan discovery. Setelah diterima dan diakui penemuan baru tersebut barulah disebut dengan inovasi (Linton dalam Koentjaraningrat 1990:109). Salah satu inovasi yang dapat dijadikan contoh di atas adalah program pemerintah tentang konversi minyak tanah ke gas elpiji di Indonesia saat ini. Inovasi tersebut sebenarnya sudah ada akan tetapi baru diterapkan dan disebarkan saat ini, yang dikarenakan oleh pasokan minyak bumi yang sudah mulai menipis dan tingginya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan perekonomian Indonesia saat ini merosot dan mengharuskan masyarakat untuk dapat menerima inovasi tersebut untuk keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah membuat sebuah kebijakan tentang konversi minyak tanah ke gas. Rogers dan Shoemaker (1981) mengatakan bahwa penerapan inovasi kepada suatu masyarakat tentunya tidak dapat berjalan mulus. Hal ini dikarenakan masyarakat juga memiliki nilai-nilai tersendiri di dalam hal yang baru. Berbagai alasan akan lahir dari masyarakat yang menjadi objek dari penerapan inovasi tersebut. Ada masyarakat yang setuju dengan inovasi yang baru dikarenakan
cocok dengan nilai yang dianutnya pada saat itu. Ada juga masyarakat yang masih meragukan akan inovasi baru yang dikarenakan sebagian nilainya cocok dengan inovasi tersebut dan sebagian nilai lagi tidak. Ada pula masyarakat yang benarbenar menolak inovasi tersebut dikarenakan inovasi tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Kesuksesan dan kegagalan terhadap penerapan inovasi yang berhubungan dengan konversi minyak tanah ke gas telah banyak dipublikasikan di media massa. Tidak hanya itu berbagai kasus yang adapun telah banyak ditulis oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu maupun pemerintah. Baik itu mengenai kegagalan konversi, perubahan budaya, respon masyarakat, keberhasilan konversi, dan masalah-masalah lain yang ditimbulkannya. Sebagai contoh, keberhasilan konversi minyak tanah ke gas yang terjadi di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam pemberitaan tersebut dikatakan bahwa Pemerintah Kota Pekalongan, Jawa Tengah, meminta agar konversi minyak tanah ke gas segera dilaksanakan. Mengingat kelangkaan minyak tanah di Kota Pekalongan dan sekitarnya kerap terjadi hingga menyulitkan warga, terutama warga miskin yang mencapai 22.000 keluarga. Jadi dengan adanya konversi minyak tanah ke gas ini telah memberikan kemudahan bagi warga miskin dalam memperoleh bahan bakar. Selain itu masyarakat juga mengusulkan kepada pemerintah
dapat
menambah
daerah
gerak
konversi
yang
telah
ada
(http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=20571). Selain itu, keberhasilan ini juga dirasakan oleh pemerintahan Kota Tambun, Jawa Barat. Hasjim mengatakan seiring digulirkannnya kebijakan
pemerintah yaitu pengembangan energi alternatif, telah membuat berbagai fasilitasi pendukungan untuk kelangsungan program tersebut. Fasilitas tersebut baik berupa program-program unggulan maupun rekomendasi teknis atas langkah pengembangan energi alternatif1. Kebijakan tersebut, dari sisi bahan baku yang dikembangkan yaitu gas sangat relevan karena potensi gas di Indonesia tersebar di beberapa daerah dan jumlahnya cukup besar. Keadaan tersebut juga nampak di Jawa Barat sebab mempunyai potensi gas alam dalam jumlah yang cukup besar. Perhatian Jawa Barat terhadap kebutuhan energi bagi masyarakat miskin sudah direalisasikan melalui berbagai program pengembangan energi alternatif. Di beberapa tempat telah dikembangkan beberapa jenis energi alternatif antara lain: biogas, mikro hidro dan energi surya. Program-program tersebut diharapkan secara bertahap dapat membantu memenuhi kebutuhan energi masyarakat miskin yang jumlahnya di Jawa Barat mencapai lebih dari 10 juta orang. Program tersebut, di sisi lain diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan BBM (www.jabar.go.id). Di samping adanya keberhasilan pemerintah dalam pengembangan konversi minyak tanah ke gas, terdapat juga banyak kegagalan pemerintah dalam penyaluran konversi minyak tanah ke gas. Banyak masyarakat yang tidak mau menerima perubahan tersebut sehubungan dengan budaya yang mereka miliki. Berbagai alasan terlontar dari mulut masyarakat Indonesia, seperti beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
1
. http://www.jabar.go.id/public/0/berita_detail.htm?id=79652.
Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Jawa Tengah Kabupaten Kendal. Pemerintah diminta meninjau ulang program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas atau LPG (liquefied petroleum gas). Hal ini dikarenakan masyarakatnya yang belum sepenuhnya menerima program konversi minyak tanah ke gas elpiji yang disebabkan karena, masyarakatnya masih ragu, takut dan kurangnya sosialisasi untuk menggunakan kompor dan tabung gas yang diberikan secara gratis. Hal tersebut karena, tingkat kualitas keamanan kompor gas yang diberikan pada masyarakat kurang menjamin pada masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan karena pengetahuan masyarakat hanya baru sebatas penggunaan kompor minyak tanah, sehingga pemerintah perlu lagi menerapkan cara penggunaan kompor gas elpiji (http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=141801). Kasus yang lain juga terjadi di Jakarta. Konversi minyak tanah ke LPG (liquefied petroleum gas) ternyata justru jadi polemik tersendiri bagi warga, karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Sementara minyak tanah masih sangat dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas. Memang masyarakat telah mendapatkan tabung gas gratis dalam kemasan 3 kilogram, namun pemerintah seharusnya mengetahui bahwa masyarakat Indonesia tidak semuanya siap untuk menggunakan gas elpiji dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi dalam kenyataan, pasokan gas LPG di beberapa wilayah yang jadi target konversi justru pengirimannya tidak lancar, sehingga banyak agen LPG yang mengalami kekosongan dan sudah bisa dipastikan hal ini tentunya sangat menyulitkan bagi warga yang akan membeli atau mendapatkan gas LPG.
Rencana konversi dari minyak tanah ke gas LPG terkesan terburu-buru dan tidak terencana. Padahal konversi tersebut melibatkan Pertamina, Departemen Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lembaga pelaksana di daerah,"
ungkap
Suharto,
Direktur
Pusat
Pengkajian
Ekonomi
(PPE)
(http://www.jawapos.co.id). Untuk itu pemerintah tidak cukup dalam melakukan sosialisasi. Demikian juga dalam penyiapan kondisi masyarakat untuk siap kepada budaya baru dalam menggunakan energi. Suharto juga mengatakan bahwa Pemerintah belum dapat menjamin jika terjadi konversi minyak tanah ke gas tersebut tidak ada kelangkaan gas, ternyata pemerintah pun belum dapat menjaminnya. Kenyataan di lapangan memperlihatkan kelangkaan BBM mengakibatkan terjadinya praktik pengoplosan, penimbunan BBM oleh oknum pedagang atau distributor serta naiknya harga secara prematur (terlalu dini) dan kenaikan juga terjadi sebelum waktu yang diprediksikan, seperti lebaran, tahun baru dan natal. Implikasi atau kesimpulan yang muncul dari adanya kebijakan terburuburu ini akan menimbulkan problem sosial-ekonomi yang tinggi. Penolakan oleh masyarakat dimungkinkan karena secara teknis tidak mudah mengubah budaya memakai kompor minyak tanah ke kompor gas. Semestinya pemerintah menunda dulu dan membutuhkan waktu untuk transisi. Kenyataannya pemerintah hanya menghitung nilai konversi subsidi yang terkurangi tanpa memperhitungkan resiko intangible (hal-hal yang tidak dapat diraba) seperti hilangnya pekerjaan pedagang minyak tanah dan lainnya.
Selain itu, bagi penerima kompor dan gas elpiji pun memunculkan sebuah respon yang bersifat kultural atau yang disebut sebagai respon budaya. Untuk menjelaskan pengertian respon budaya maka terlebih dahulu didefinisikan apa yang dimaksud dengan respon dan budaya. Respon adalah tanggapan atau perilaku yang muncul dikarenakan adanya rangsang dari lingkungan, seperti halnya yang terjadi saat ini tentang inovasi yaitu pemakaian kompor dan gas elpiji yang telah menimbulkan banyaknya tanggapan masyarakat baik berupa ekonomi maupun budaya. Jika rangsangan dan respon dipasangkan atau dikondisikan maka akan membentuk tingkah laku baru terhadap rangsang yang dikondisikan (http://id.wikipedia.org/wiki/Respon). Sedangkan budaya atau kebudayaan adalah merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta hasil karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Hal tersebut karena, jumlah kegiatan dalam kehidupan masyarakat yang dibiasakannya dengan belajar tidak terbatas (Koentjaraningrat, 1996). Lebih lanjut dijelaskan Koentjaraningrat bahwa kebudayaan menempati posisi sentral dalam sebuah tatanan hidup manusia. Tidak ada manusia yang dapat hidup di luar ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaanlah yang memberi nilai dan makna pada hidup manusia. Seluruh bangunan hidup manusia dan masyarakat berdiri diatas landasan kebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya akan mengatur perilaku mereka dalam hubungan dengan lingkungan dan interaksi
sosial. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi dari kepribadian suatu masyarakat. Kebudayaan terwujud dalam tiga bentuk yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud Ideel dari kebudayaan bersifat abstrak, karena tidak dapat diraba dan difoto sehingga hanya dapat dipahami oleh masyarakat karena berada dalam alam pikiran manusia. Lapisan paling abstrak adalah sistem nilai budaya karena terdiri dari konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang dinilai penting oleh masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan lapisan yang konkret adalah sistem norma atau hukum, seperti pendidikan, kesenian, ekonomi dan sebagainya. Wujud tindakan masyarakat bersifat konkret, bisa dilihat dan difoto, karena terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berhubungan dan saling berinteraksi satu dengan yang lain berdasarkan tata kelakuan. Wujud yang terakhir adalah hasil karya manusia yang bersifat konkret, karena merupakan hasil karya manusia dari aktivitasnya sehingga dapat dilihat, diraba dan difoto. Ketiga wujud kebudayaan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lainnya, sehingga tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan ideel dan adat istiadatlah yang mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia.
Berkenaan dengan definisi respon dan budaya yang dijelaskan di atas maka respon budaya adalah tanggapan terhadap perubahan yang terkait dengan wujud ideel, aktivitas dan artefak pada suatu kebudayaan masyarakat. Respon budaya yang terkait dengan wujud ideel dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai budaya, ide-ide atau gagasan serta pandangan masyarakat yang bersifat abstrak dan dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat jika wujud ideel itu berubah di dalam masyarakat. Respon budaya yang terkait dengan aktifitas dapat berupa pola perilaku masyarakat, hubungan sosial dan struktur sosial masyarakat yang dapat dilihat dari kebiasaan yang masyarakat lakukan sehari-hari. Hal tersebut dapat menimbulkan tanggapan jika terjadi suatu perubahan dari kebiasaan mereka sehari-hari. Sedangkan respon budaya yang terkait dengan artefak dapat berupa penggunaan kompor gas pada masyarakat yang menyebabkan perubahan dalam pola pengetahuan mereka yang sebelumnya masyarakat masih menggunakan kompor minyak tanah lalu digantikan dengan kompor gas, sehingga hal ini dapat menimbulkan tanggapan atau pun respon masyarakat yang menjadi sasaran program. Dari berbagai respon budaya tersebut maka, yang menjadi kajian penelitian adalah respon budaya yang terkait dengan wujud ideel dan wujud aktifitas dimana dari kedua wujud budaya tersebut memiliki cakupan yang berbeda-beda. Wujud ideel sendiri mencakup pengetahuan, nilai-nilai budaya masyarakat. Sedangkan, wujud aktifitas yang terkait dengan hubungan sosial dan struktur sosial masyarakat setelah diberlakukannya konversi minyak tanah ke gas elpiji.
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Tipe Penelitan Penelitian
ini
menggunakan
tipe
eksploratif
deskriptif
dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan bagaimana respon atau tanggapan masyarakat penerima program tersebut. Dalam hal ini mengkaji pengetahuan, nilai-nilai budaya dan pola perilaku yang terjalin dalam masyarakat setelah adanya konversi minyak tanah ke gas. Selain itu juga, untuk melihat bagaimana proses pendistribusian dan pembagian kompor gas sebagai sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemeintah.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data Data dapat dikategorikan atas 2 (dua) bentuk yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari lapangan dan berbagai buku, jurnal dan lainnya sebagai kelengkapan data primer. Buku, jurnal dan yang lainnya diarahkan untuk mendapatkan gambaran-gambaran mengenai data kependudukan yang menjadi sasaran porgram, teori-teori yang mendukung masalah penelitian, dan lainnya. Adapun hal yang diobservasi adalah proses pendistribusian kompor gas kepada masyarakat, pola tingkah laku atau hubungan sosial masyarakat setelah dijalankannya konversi minyak tanah ke gas elpiji dan cara masyarakat dalam mengggunakan kompor gas yang telah dibagikan. Observasi juga dilengkapi
dengan kamera foto digunakan sebagai bukti dari penelitian dan untuk mengabadikan hal-hal yang tidak terobservasi peneliti di lapangan Wawancara mendalam dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan informan biasa. Informan kunci merupakan orang-orang yang berperan dan memahami masalah penelitian. Dalam hal ini informan kunci adalah pihak Pertamina, Lurah, Ketua RT (rukun tetangga) / RW (rukun warga), tokoh masyarakat dan lainnya. Sedangkan, informan biasa merupakan orang-orang yang memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan ahlinya. Dalam penelitian ini yang menjadi informan biasa adalah masyarakat penerima program konversi yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan kompor dan gas elpiji tersebut di sekitar lokasi penelitian. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposif atau bertujuan dalam arti bahwa orang-orang yang akan dipilih menjadi informan sudah diketahui oleh peneliti. Penentuan informan biasa didasarkan atas kriteria masyarakat penerima program yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan kompor gas, jenis kelamin, status sosial, lama tinggal dan lainnya. Dalam penelitian ini jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan data. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci yaitu mengenai dasar diberlakukannya program konversi minyak tanah ke gas, proses pendistribusian, sosialisasi pemerintah kepada masyarakat atas program konversi tersebut, dan kriteria masyarakat yang patut mendapatkan kompor dan gas elpiji dari pemerintah. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan biasa
yaitu mengenai pengetahuan, nilai-nilai budaya masyarakat atas penerapan dalam penggunaan kompor gas, struktur dan hubungan sosial dalam hal ini pola perilaku masyarakat yang terjalin serta pandangan masyarakat dengan adanya penerapan kompor gas. Wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan Tape Recorder sebagai alat bantu karena daya ingat peneliti yang terbatas, sehingga hal-hal yang terlupakan dapat dicatat kembali oleh peneliti.
1.7. Analisa Data Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan kualitatif. Data dan informasi yang didapat dari lapangan nantinya akan diteliti kembali. Hal tersebut dilakukan untuk melihat kelengkapan hasil dari observasi dan wawancara kepada informan ( sesuai daftar interview guide yang dibuat peneliti). Setelah semua selesai lalu disusun menurut kelompoknya dan secara sistematis berdasarkan kategori yang dibuat peneliti. Akhirnya seluruh data dilihat kaitannya satu dengan yang lain dan diinterpretasikan secara kualitatif. Sedangkan, data yang bersifat kuantitatif2 hanya melengkapi analisa data kualitatif. Analisa data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga penulisan laporan penelitian.
2
Kuantitatif adalah data angka statistik, dan data ini diperoleh dari kelurahan ataupun perangkat desa diwilayah tersebut.