17
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam
bentuk peningkatan pendapatan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, siklus ekonomi merupakan fenomena ekonomi yang tidak dapat dihindarkan, berupa fase booming, kontraksi, normal maupun dalam keadaan melesuh (depressi). Untuk mengantisipasi fluktuasi yang berlebihan pada siklus ekonomi, dikenal ada dua kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah (Rahardja dan Manurung, 2001). Sedangkan kebijakan moneter adalah kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter (antara lain dapat berupa uang beredar, uang primer, tingkat bunga, atau kredit perbankan) untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan (Warjiyo dan Solikin, 2003) Teori baru tentang kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan siklus ekonomi diangkat oleh peraih nobel ekonomi tahun 2004, yaitu: Finn Kydland dan Edward Prescott. Teori ini merupakan jawaban atas kegagalan–kegagalan yang dialami pengambil kebijakan di berbagai negara setelah teori ekonomi makro tidak mampu mengatasi permasalahan perekonomian pasca decade tahun 1960-an. Inti dari teori ini adalah harus dimasukkannya efek ekspektasi (perkiraan dan harapan tentang masa depan) sebagai faktor yang 1 Universitas Sumatera Utara
18
mempengaruhi sukses atau tidaknya kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter). Ekspektasi masyarakat (rumah tangga dan perusahaaan) tentang kebijakan ekonomi yang di lakukan pemerintah pada masa akan datang menyebabkan masyarakat mengantisipasi pengaruh kebijakan tersebut sebelum kebijakan tersebut dilakukan, sehingga terjadi ketidak konsistenan waktu. Efek kejadian yang seharusnya terjadi pada masa yang akan datang pada saat kebijakan tersebut diterapkan, justru terjadi sebelum kebijakan tersebut benarbenar dilaksanakan. Dalam kebijakan fiskal, indikator utama kebijakan ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Raharja dan Manurung, 2001). Selama tahun anggaran 1997/1998 peningkatan pengeluaran pemerintah cukup tinggi yaitu 63 % dari tahun sebelumnya merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang disaat itu merupakan awal krisis ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada tahun anggaran yang berbeda yaitu tahun 2002/2003 mencapai 85 % dari tahun sebelumnya. Peningkatan anggaran pengeluaran pemerintah tersebut akan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi, akan tetapi ancaman ketidak stabilan pada ekonomi berupa ancaman inflasi mungkin sullit dihindari. APBN yang dianggap sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi sangat dimungkinkan, karena APBN dilaksanakan berdasarkan kepercayaan bahwa sektor ekonomi pemerintah sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan trilogi pembangunan yaitu: Pertumbuhan, pemerataan, dan stabilisasi. Trilogi pembangunan ini merupakan realisasi dari teori tentang fungsi fiskal, yaitu alokasi barang publik (allocation), distribusi pendapatan (distribution), dan stabilisasi perekonomian (stabilization).
Universitas Sumatera Utara
19
Dalam kebijakan anggaran, pada APBN PJP I hingga APBN periode 1994/1995 hingga 1997/1998, Indonesia menerapkan anggaran berimbang. Namun banyak kalangan berpendapat bahwa APBN Indonesia merupakan anggaran defisit, karena adanya komponen penerimaan pembangunan yang bersumber dari Hutang. Oleh sebab itu, APBN Indonesia tergolong anggaran berimbang semu (quasy balance budget). Dalam implikasi kebijakan defisit anggaran, Alesina dan Peroti menemukan bahwa defisit kebijakan fiskal akan lebih efisien ketika pengeluaran pemerintah dikurangi dibandingkan dengan peningkatan pajak. Pajak dapat menjadi fungsi stabilitas yang baik, pajak juga dapat mempengaruhi output dan inflasi. Hal ini merupakan akibat yang sering kali ditolak oleh pengambil kebijakan fiskal dalam fungsinya memberikan feedback terhadap kebijakan moneter (Creel, 2002). Kebijkan pemerintah yang kedua adalah kebijakan moneter. Di Indonesia, kebijakan moneter diserahkan sepenuhnya pada Bank Indonesia yang merupakan badan independen. Indonesia telah membuat perubahan fundamental dalam kebijakan moneternya seiring dengan dikeluarkannya UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pertama, kebijakan moneter difokuskan untuk memelihara dan menjaga stabilitas rupiah. Kedua, pemberian independensi yang lebih besar kepada Bank Indonesia dalam menentukan target inflasi dan arah kebijakan moneternya. Ketiga, keputusan pemilihan kebijakan diserahkan pada Gubernur Bank Indonesia tanpa intervensi dari pemerintah dan lembaga lain. Empat, adanya akuntabilitas dan transparansi kebijakan moneter yang mewajibkan Bank Indonesia mengumumkan target inflasi dan rencana kebijakan moneter pada setiap permulaan tahun.
Universitas Sumatera Utara
20
Semua reformasi tersebut diharapkan mampu untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis (Wahyu dan Agung, 2002). Pada perkembangan teoritis terdapat pula dua aliran makro ekonomi baru yang memperdebatkan permasalahan dampak kebijakan moneter yaitu, Neo Klassik dan neo Keynesian. Aliran Neo Klasik berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya akan memiliki pengaruh jika kebijakan tersebut tidak diantisipasi oleh masyarakat. Inti dari aliran ini menyatakan bahwa kebijakan moneter tidak memiliki pengaruh terhadap perekonomian ( tidak dapat meningkatkan output ataupun mengurangi pengangguran ). Sedangkan aliran Neo Keynesian berpendapat bahwa kebijakan moneter dapat digunakan untuk mempengaruhi perekonomian riil atau yang terjadi di sini adalah money non-neutrality. Berkembangnya kedua aliran pemikiran tersebut semakin menimbulkan minat untuk membuktikan keberadaan teori mana yang sesuai pada tataran empiris. Bank Indonesia mendefinisikan Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang dapat ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. ITF bukanlah suatu kaidah yang kakuh (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan “Inflation Targetting Life Countries). Kebijakan ini diilhami oleh keberhasilan negaranegara maju dalam meningkatkan volatilitas output dengan menekan laju inflasi seperti negara New Zealand (1990), Israel(1991), Kanada (1991), United Kingdom (1992), Swedia
Universitas Sumatera Utara
21
(1993), Australia (1993), Switzerland dan beberapa negara berkembang seperti Republik Czech, Polandia, Hungaria, dengan menerapkan kebijakan target inflasi (Mishkin, 2001). Persoalan
penting
dalam
setting
kebijakan
Bank
Indonesia
adalah
mengidentifikasikan variabel informasi yang secara hubungan teoritis menjadi penyebab inflasi, dan dapat digunakan sebagai indikator utama signal inflasi sekaligus sebagai penentu besaran inflasi. Variabel yang dimaksud hendaknya dalam kendali kebijakan Bank Indonesia agar pencapaian tujuan kebijakan dapat efektif. Analisis transmisi kebijakan moneter bank Indonesia sangat penting dengan alasan: pertama, menentukan variabel ekonomi dan keuangan mana yang paling kuat dijadikan leading indicators terhadap pergerakan inflasi kedepan serta variabel mana untuk penentuan sasaran operasional kebijakan moneter. Kedua, untuk mengetahui seberapa kuat dan lamanya tenggang waktu masing-masing saluran transmisi bekerja, baik sejak tindakan moneter dilakukan Bank sentral sampai ke perubahan masing-masing saluran dan saluran transmisi ke perubahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pelaksanaannya, efektivitas kebijakan moneter tergantung pada hubungan antara jumlah uang beredar dengan variabel ekonomi utama seperti output dan inflasi. Dari sejumlah literatur, temuan utama yang menarik mengenai hubungan antara jumlah uang beredar, inflasi, dan output adalah bahwa dalam jangka panjang, hubungan antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi sangat tinggi (memiliki hubungan erat), sementara hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi dengan pertumbuhan output riil mungkin mendekati nol (hampir bisa dikatakan tidak memiliki hubungan). Temuan ini menunjukkan adanya suatu konsensus bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berdampak
Universitas Sumatera Utara
22
pada inflasi, dan tidak banyak pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi riil. Terlepas dari perbedaan sudut pandang diatas, umumnya kalangan praktisi maupun akademisi yakin bahwa dalam jangka pendek kebijakan moneter ekspansif dapat mendorong kegiatan ekonomi yang sedang mengalami resesi yang berkepanjangan. Sebaliknya kebijakan moneter kontraktif dapat memperlambat laju inflasi yang umumnya terjadi pada saat kegiatan perekonomian sedang mengalami peningkatan (Warjiyo dan Solikin, 2003). Untuk mencapai tujuan kebijakan makro secara optimal, biasanya diterapkan policy mix atau bauran kebijakan yang terkoordinasi antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya (Warjiyo dan Solikin 2003). Pengertian optimal di sini adalah pencapaian tujuan antar kebijakan dapat terkoordinasi sehingga tidak menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi pencapaian tujuan kebijakan ekonomi makro secara keseluruhan. Salah satu contoh penerapan bauran kebijakan yang banyak dikenal adalah bauran kebijakan fiskal-Moneter (monetary–fiscal policy mix). Secara konseptual, koordinasi bauran kebijakan fiskal-moneter dapat dilakukan melalui beberapa scenario, yaitu: (1) Kebijakan moneter ekspansif/kebijakan fiskal ekspansif, (2) Kebijakan moneter kontraktif/kebijakan fiskal ekspansif, (3) Kebijakan moneter ekspansif/kebijakan fiskal kontraktif, (4) kebijakan moneter kontraktif/kebijakan fiskal kontraktif. Sebagai contoh, apabila bauran kebijakan fiskal-moneter dapat dilakukan secara terkoordinasi, maka scenario kebijakan 1 dan 4 merupakan scenario kebijakan yang paling efektif diterapkan untuk mengatasi fluktuasi ekonomi yang berlebihan. Model yang memperlihatkan adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter diantaranya adalah Leith anden-Lewis model (LWL). Dalam kesimpulan model LWL
Universitas Sumatera Utara
23
dikatakan bahwa, jika kebijakan fiskal relatif aktif dimana hutang dikendalikan secara perlahan, apapun kasus kebijakan fiskal yang dipilih, ini akan sangat sensitive terhadap kebijakan moneter yang sedang dilakukan. Jika kebijakan moneter sedang merespon perubahan inflasi dengan meningkatkan tingkat bunga riil, ini akan meningkatkan ketidak stabilan dalam pergerakan output seperti hutang pemerintah yang akan sangat terpengaruh. Bagaimanapun, jika kebijakan fiskal adalah pasif, maka bank sentral akan leluasa meningkatkan tingkat bunga sebanyak yang mereka inginkan (Creel, 2002). Di Indonesia, dalam aktivitasnya kadangkala dua kebijakan ini (kebijakan moneter dan fiskal) berjalan tanpa terkoordinasi dengan baik sehingga menyebabkan adanya ketidak seimbangan dalam perekonomian. Contoh kasus yang terjadi pasca kemerdekaan RI, misalnya: adanya hyperinflasi pada tahun 1965 yang disebabkan ekspansi fiskal dan ekspansi moneter yang tidak terkendali, kesenjangan antara peran sektor pemerintah dan peran sektor swasta pada saat boom minyak pada era 1970-an, dan terakhir adalah kesenjangan antara pertumbuhan sektor riil dan sektor moneter pada kurun tahun 1980-an pasca liberalisasi sektor keuangan hingga pasca krisis moneter tahun 1997. Dua kebijakan ini juga kadangkala cenderung tidak sejalan. Pada kondisi krisis misalnya, Bank Indonesia pada suatu ketika hendak menekan inflasi dengan kebijakan tight money policy nya, namun pada saat itu juga pemerintah terus melakukan kebijakan anggaran defisitnya untuk meningkatkan kinerja sektor riil dan untuk mengurangi angka pengangguran. Begitu juga sebaliknya pada saat Bank Indonesia hendak menstimulus pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan moneter yang ekspansif, pemerintah justru membuat kebijakan fiskal yang kontraktif.
Universitas Sumatera Utara
24
Fenomena ini menjadi isu utama penelitian ini, yaitu apakah kedua kebijakan ekonomi tersebut telah mampu mencapai tujuannya yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang tinggi dan apakah instrumen kebijakan ekonomi tersebut yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi memiliki kontribusi satu sama lainnya. Lebih jauh, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap PDB Indonesia baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. 1.2. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah selisih antara penerimaan pajak dengan konsumsi pemerintah mempunyai pengaruh terhadap PDB Indonesia?
2.
Apakah kurs atau nilai tukar mempunyai pengaruh terhadap PDB Indonesia?
3.
Apakah indeks harga konsumen mempunyai pengaruh terhadap suku bunga pasar uang di Indonesia?
4.
Apakah jumlah uang beredar dalam arti sempit mempunyai pengaruh terhadap suku bunga pasar uang di Indonesia?
5.
Apakah suku bunga pasar uang berpengaruh secara timbal balik dengan PDB
di
Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah terdahulu,tujuan dari penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1.
25
Untuk menganalisis pengaruh selisih antara penerimaan pajak dengan konsumsi pemerintah terhadap PDB Indonesia.
2.
Untuk menganalisis pengaruh kurs atau nilai tukar terhadap PDB Indonesia.
3.
Untuk menganalisis pengaruh indeks harga konsumen terhadap suku bunga pasar uang di Indonesia.
4.
Untuk menganalisis pengaruh jumlah uang beredar dalam arti sempit terhadap suku bunga pasar uang di Indonesia.
5.
Untuk menganalisis pengaruh timbal balik suku bunga pasar uang dengan
PDB di
Indonesia. 6.
Untuk menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap PDB riil dan suku bunga pasar uang di Indonesia.
1.4.
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat: 1.
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.
2.
Bahan pertimbangan dan masukan bagi pengambil kebijakan di Indonesia, dalam hal ini Otoritas Moneter Bank Indonesia dan Pemerintah dengan kebijakan fiskal.
Universitas Sumatera Utara
3.
26
Sebagai bahan acuan untuk peneliti selanjutnya terutama yang berminat untuk meneliti tentang kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dengan cara yang lebih bervariasi.
Universitas Sumatera Utara