1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau . Hak akan pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar dari warga negara Indonesia, sehingga pemerintah wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak. Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang disediakan adalah puskesmas. Puskesmas merupakan unit teknis pelayanan dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Puskesmas memiliki tiga fungsi yaitu sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi ujung tombak pembangunan bidang kesehatan (Muninjaya, 2004). Tuntutan masyarakat saat ini akan pelayanan kesehatan yang bermutu semakin meningkat. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya pendapatan dan tingkat pendidikan masyarakat. Puskesmas diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan memberikan kepuasan bagi masyarakat. Persaingan yang semakin ketat dengan fasilitas pelayanan primer lainnya juga
1
2
menuntut peningkatan mutu pelayanan di puskesmas. Upaya dalam meningkatkan mutu puskesmas harus dilakukan dari segala aspek seperti meningkatkan profesionalisme dari para pegawainya dan meningkatkan fasilitas kesehatannya. (Muninjaya, 2004). Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan yang meliputi lima dimensi yaitu bukti fisik (tangible) kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (emphaty) (Parasuraman dkk. dalam Muninjaya, 2014). Pelayanan kesehatan yang bermutu diselenggarakan sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan, sehingga dapat memberikan kepuasan kepada setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian Safrudin dkk. (2010) menyatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan berhubungan dengan kepuasan pasien. Masalah mutu pelayanan kesehatan di puskesmas semakin berkembang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Rendahnya mutu pelayanan di puskesmas sering menjadi keluhan dari masyarakat. Upaya kesehatan yang diselenggarakan di puskesmas terdiri dari upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Salah satu dari enam program wajib puskesmas adalah program pengobatan. Upaya pengobatan ini perlu mendapat perhatian, karena masyarakat cenderung melihat puskesmas pada mutu pelayanan upaya kuratif daripada program lain seperti upaya promotif, dan preventif. Masyarakat berpandangan bahwa puskesmas merupakan tempat pelayanan kesehatan
seperti rumah
sakit,
sehingga
masyarakat
sering
3
membanding-bandingkan kualitas pelayanan di puskesmas dengan rumah sakit. Program pengobatan dasar di puskesmas saat ini juga mendapat perhatian dari pengelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Puskesmas merupakan gate keeper dalam penerapan pelayanan rujukan berjenjang pada program JKN. Ada beberapa diagnosa pasien peserta JKN yang tidak dapat dirujuk langsung, namun harus ditangani di puskesmas sebagai pemberi layanan tingkat pertama. Berdasarkan situasi tersebut, puskesmas dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan pada upaya pengobatan dasar. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan termasuk pada pelayanan pengobatan di puskesmas adalah faktor input, lingkungan dan proses (Azwar, 1994 dalam Endarwati, 2012). Untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas perlu ditunjang oleh manajemen puskesmas yang baik dan tenaga yang profesional (Kemenkes, 2012). Penerapan manajemen puskesmas merupakan proses dalam rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk mencapai tujuan puskesmas (Kemenkes, 2012). Manajemen puskesmas terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramsar dkk. (2012) tentang penerapan fungsi manajemen puskesmas di Puskesmas Minasa Upa Makasar, dinyatakan bahwa sebelum melakukan kegiatan dan strategi, terlebih dahulu dilakukan perencanaan dan penetapan tujuan kegiatan, pembagian tugas dan wewenang, koordinasi dan pengarahan serta penilaian. Hal tersebut menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan.
4
Tenaga profesional merupakan faktor produksi utama untuk menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Berkenaan dengan hal ini, maka sumber daya manusia yang berkualitas mutlak diperlukan. Makna dari yang berkualitas merupakan tidak hanya terbatas pada pekerja yang mempunyai pendidikan dan keahlian saja, melainkan juga yang memiliki motivasi dan komitmen pada pekerjaan dan organisasi (Muninjaya, 2004). Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memilih keanggotaan dalam institusi pelayanan kesehatan (Robbins, 2006). Suatu puskesmas akan efektif bila memiliki pegawai yang mempunyai komitmen kerja yang kuat. Petugas dengan komitmen yang kuat akan rela mencurahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk kepentingan puskesmas dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dari beberapa penelitian tentang komitmen kerja, diketahui bahwa komitmen kerja dapat mengurangi adanya keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi (Aziza, 2010). Komitmen kerja juga berpengaruh terhadap prestasi kerja (Sudiro, 2011). Penelitian lain tentang komitmen perawat terhadap perilaku caring oleh Noyumala (2013) diketahui bahwa ada hubungan komitmen perawat dengan perilaku caring profesional. Karyawan yang memiliki komitmen kerja akan lebih bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan (Ping dalam Puspitawati, 2012). Komitmen kerja harus dimiliki oleh seluruh petugas puskesmas terutama oleh petugas yang memiliki waktu kontak lebih lama dengan pasien seperti dokter dan perawat. Petugas ini sangat berpotensi untuk pengembangan mutu dalam upaya peningkatan mutu pelayanan pada program pengobatan di puskesmas. Oleh
5
karena itu komitmen kerja dokter dan perawat harus ditingkatkan. Dalam upaya peningkatan komitmen tersebut, terlebih dahulu harus diketahui bagaimana komitmen kerja petugas dalam memberikan pelayanan pengobatan di puskesmas. Jumlah puskesmas saat ini di Indonesia adalah sebanyak 9.510 buah (Kemenkes, 2012), di Propinsi Bali sebanyak 120 buah (Dinkes Propinsi Bali, 2013). Dari seluruh jumlah puskesmas tersebut, 12 puskesmas terdapat di Kabupaten Karangasem yang terletak diujung timur Pulau Bali. Upaya program pengobatan telah berjalan di puskesmas Kabupaten Karangasem. Jumlah kunjungan pasien di puskesmas Kabupaten Karangasem
adalah tahun 2011
sebanyak 281.676 kunjungan (63,0%) , tahun 2012 sebanyak 243.916 kunjungan (53,5%) dan tahun
2013 sebesar 238.018 kunjungan (52,1%). Pencapaian
cakupan kunjungan pasien di puskesmas rata-rata sebesar 56,2 % (Dinkes Karangasem, 2014). Mengingat jumlah kunjungan pasien ke puskesmas mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir,
maka perlu diketahui bagaimana mutu pelayanan
pengobatan di puskesmas Kabupaten Karangasem. Berdasarkan hasil survei pendahuluan melalui wawancara dan observasi, diketahui bahwa masih ada beberapa permasalahan yang terkait dengan mutu pelayanan, komitmen petugas dan penerapan manajemen puskesmas. Hasil wawancara dengan pasien yang pernah berobat ke puskesmas, terdapat beberapa keluhan seperti 1) jam pelayanan belum tepat waktu sehingga pasien sering menunggu petugas, 2) petugas kurang ramah, 3) ketelitian dan kecepatan petugas dalam memberikan pelayanan masih kurang. Hasil wawancara dengan
6
petugas pelayanan pengobatan, diketahui bahwa petugas pada pelayanan pengobatan memiliki beban ganda, yaitu sebagai pelaksana program pengobatan dan bertanggungjawab terhadap program promotif dan preventif. Ketersediaan alat kesehatan yang sering digunakan seperti tensimeter masih kurang. Beberapa obat-obat yang diperlukan tidak tersedia di puskesmas.
Kegiatan pelatihan-
pelatihan terkait dengan program pengobatan hampir tidak pernah diadakan. Pasien peserta jaminan /asuransi kesehatan banyak yang tidak mengetahui prosedur pelayanan sehingga banyak pasien yang datang ke puskesmas hanya mencari surat rujukan untuk ke rumah sakit. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya sosialisasi prosedur pelayanan pengobatan kepada masyarakat atau ketidak puasan pasien terhadap pengobatan di puskesmas. Kondisi tersebut mengakibatkan angka rujukan di puskesmas melebihi dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 15%. Angka rujukan khususnya untuk puskesmas yang lokasinya dekat dengan rumah sakit umum daerah, rata-rata sebesar 20% (Dinkes Karangasem, 2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala puskesmas diketahui bahwa terdapat beberapa permasalahan yang terjadi berkaitan dengan pelayanan di puskemas. Permasalahan tersebut seperti masih adanya keluhan dari masyarakat terkait dengan mutu pegobatan di puskesmas, keluhan ini disampaikan secara langsung maupun dipublikasikan melalui media massa. Permasalahan lain yang disampaikan kepala puskesmas adalah kurangnya komitmen kerja dari pegawai di puskesmas. Hal ini dilihat dari beberapa hal seperti 1) terjadi kesulitan dalam membagi pekerjaan karena petugas sering
7
menolak tugas yang diberikan, 2) tempat pengobatan sering terlihat kosong terutama pada siang hari, 3) petugas tidak memiliki inisiatif dalam pengembangan program, 4) inovasi petugas di puskesmas masih kurang dimana petugas terlihat bekerja hanya melanjutkan yang sudah berjalan dan menjadi rutinitas. Beberapa petugas juga mempunyai keinginan pindah tugas dari puskesmas terutama yang berasal dari luar Kabupaten Karangasem. Kedisiplinan petugas juga masih menjadi masalah di puskesmas Kabupaten Karagasem. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan kepala puskesmas diketahui bahwa penerapan manajemen puskesmas di puskesmas Kabupaten Karangasem belum berjalan dengan optimal. Hal ini terlihat dalam pembuatan perencanaan tingkat puskesmas (PTP) belum dilakukan dengan baik. Pembuatan rencana kegiatan dari masing-masing program tidak dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan namun lebih banyak bersifat melaksanakan apa yang diinstruksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem. Penyampaian rencana usulan kegiatan (RUK) yang diajukan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem juga tidak tepat waktu, sehingga Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem mengalami kesulitan dalam mengajukan anggaran ke Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem. Hal ini mengakibatkan banyaknya kegiatan yang semestinya dibutuhkan di puskesmas tidak mendapatkan anggaran biaya. Terkait dengan penerapan manajemen puskesmas di Kabupaten Karangasem yaitu dalam hal pengawasan dan pertanggungjawaban juga belum berjalan optimal, hal ini terlihat dari 12 puskesmas yang ada di Kabupaten Karangasem hanya tiga puskemas yang menyusun laporan kinerja secara rutin. Pembinaan dan
8
pengawasan dari dinas kesehatan terkait pelaksanaan program pengobatan dan manajemen puskesmas dirasakan masih kurang oleh puskesmas. Hal ini mengakibatkan puskesmas mengalami kesulitan dalam melaksanakan kegiatan seperti dalam menyusun perencanaan kegiatan termasuk program pengobatan, penyusunan Standar Operational Prosedure (SOP), dan penyusunan laporan pengukuran kinerja puskesmas. Kepala puskesmas saat ini sebagian besar belum mendapatkan pelatihan terkait dengan manajemen puskesmas, yaitu dari 12 kepala puskesmas hanya tiga orang yang pernah mendapatkan pelatihan tentang manajemen puskesmas. Dilihat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya menunjukkan hasil yang beragam yaitu diantaranya ada yang menunjukkan hubungan dan ada pula penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara pelaksanaan fungsi manajemen dengan pencapaian program di puskesmas. Hasil penelitian tersebut adalah penelitian dari Kustiawan tahun
2014
menyatakan bahwa adanya hubungan fungsi manajemen dengan cakupan kegiatan pada program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Kabupaten Gerobogan. Terdapat pula hasil penelitian lain oleh Ningrum, S.F (2006) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan fungsi manajemen dengan keberhasilan program PMT di Puskesmas Kabupaten Tegal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas yang ada di Kabupaten Karangasem.
9
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah hubungan penerapan manajemen puskesmas dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se- Kabupaten Karangasem?
2.
Bagaimanakah hubungan komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se- Kabupaten Karangasem?
3.
Variabel manakah yang paling dominan berhubungan dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se- Kabupaten Karangasem?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se- Kabupaten Karangasem. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1.
hubungan penerapan manajemen puskesmas dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se-Kabupaten Karangasem
2.
hubungan komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se- Kabupaten Karangasem
10
3.
variabel yang paling
dominan berhubungan dengan mutu pelayanan
pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se- Kabupaten Karangasem.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk peneliti lain serta sebagai dokumen ilmiah untuk bahan penelitian selanjutnya. 1.4.2 Manfaat Praktis Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sebagai masukan untuk puskesmas dan dinas kesehatan terkait dengan intervensi pada penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas sebagai upaya peningkatan mutu pelayanan di puskesmas.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mutu Pelayanan Kesehatan Mutu pelayanan kesehatan merupakan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan yang ditetapkan, sehingga menimbulkan kepuasan bagi setiap pasien (Kemenkes dalam Muninjaya 2014). merupakan hak setiap
Pelayanan yang bermutu sangat diperlukan karena pelanggan, dan dapat
memberi peluang untuk
memenangkan persaingan dengan pemberi layanan kesehatan lainnya. Kualitas pelayanan dan nilai berdampak langsung terhadap pelanggan. Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang dirasakan (Kui Son Cui et al, 2002). Pelanggan insitusi pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua yaitu : 1.
Pelanggan internal (internal customer) yaitu mereka yang bekerja di dalam institusi kesehatan seperti staf medis, paramedis, teknisi, administrasi, pengelola dan lain sebagainya.
2.
Pelanggan eksternal (external customer) yaitu pasien, keluarga pasien, pengunjung, pemerintah, perusahaan asuransi kesehatan, masyarakat umum, rekanan, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya (Muninjaya, 2014). Supardi (2008) berpendapat hampir sama dengan teori tersebut yaitu bahwa
mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat dari sudut pandang pengguna layanan, penyandang dana pelayanan, dan penyelenggara pelayanan.
11
12
2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan menurut Azwar, 1994 dalam Endarwati, 2012) adalah unsur masukan, lingkungan dan proses. 1.
Unsur Masukan Unsur masukan meliputi sumber daya manusia, dana dan sarana. Jika sumber daya manusia dan sarana tidak sesuai dengan standar dan kebutuhan, maka pelayanan kesehatan akan kurang bermutu. Upaya dalam meningkatkan mutu puskesmas diperlukan sumber daya manusia yang profesional (SDM) dan peningkatan fasilitas kesehatan (Muninjaya, 2004). SDM yang profesional harus mempunyai pendidikan dan keahlian serta memiliki motivasi, kompetensi dan komitmen kerja yang baik (Muninjaya, 2004).
2.
Unsur Lingkungan Unsur lingkungan meliputi kebijakan, organisasi dan manajemen.
3.
Unsur Proses Yang termasuk dalam unsur proses meliputi proses pelayanan baik tindakan medis maupun tindakan non-medis. Tindakan non medis adalah
salah satunya
penerapan manajemen puskesmas yang merupakan proses dalam
rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk mencapai tujuan puskesmas (Kemenkes, 2012). Hal ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Muninjaya (2014) bahwa mutu pelayanan kesehatan dapat dikaji berdasarkan output sistem pelayanan
13
kesehatan. Output sistem pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu masukan/input, proses dan lingkungan. Menurut Donabedian dalam Alwi, A. (2011) ada tiga pendekatan penilaian mutu yaitu : 1. Input Aspek struktur meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan berupa sumber daya manusia, dana dan sarana. Input fokus pada sistem yang dipersiapkan dalam organisasi, termasuk komitmen, prosedur serta kebijakan sarana dan prasarana fasilitas dimana pelayanan diberikan. 2. Proses Merupakan semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga profesi lain) dan interaksinya dengan pasien, meliputi metode atau tata cara pelayanan kesehatan dan pelaksanaan fungsi manajemen. 3. Output Aspek keluaran adalah mutu pelayanan yang diberikan melalui tindakan dokter, perawat yang dapat dirasakan oleh pasien dan memberikan perubahan ke arah tingkat kesehatan dan kepuasan yang diharapkan pasien. Berdasarkan hasil penelitian oleh Melinda (2011) diketahui bahwa faktor lingkungan yaitu iklim kerja organisasi dan komitmen organisasi dapat menjadi prediktor mutu pelayanan kesehatan. Penelitian lain oleh Hardianti dkk.(2013) menyatakan bahwa kenyamanan lingkungan kerja dan hubungan antar manusia
14
berhubungan dengan mutu pelayanan antenatal di Puskesmas Pattingallloang Kota Makasar dengan nilai p=0,001. 2.1.2 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam Muninjaya (2014), menganalisis dimensi mutu jasa berdasarkan lima aspek komponen mutu. Lima aspek komponen mutu pelayanan dikenal dengan nama Servqual (Service Quality). Servqual mempunyai kontribusi dalam mengidentifikasi masalah dan menentukan langkah awal pemberi layanan untuk mengevaluasi kualitas pelayanan (Emin Babakus, 1992). Dimensi mutu menurut Parasuraman dkk. terdiri dari lima dimensi. 1.
Bukti fisik (tangibles), mutu pelayanan dapat dirasakan langsung terhadap penampilan fasilitas fisik serta pendukung pendukung dalam pelayanan.
2.
Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditetapkan.
3.
Daya tanggap (responsiveness), yaitu kesediaan petugas untuk memberikan pelayanan yang cepat sesuai prosedur dan mampu memenuhi harapan pelanggan.
4.
Jaminan (assurance), yaitu berhubungan dengan rasa aman dan kenyamanan pasien
karena adanya kepercayaan terhadap petugas yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan ketrampilan yang tepat dalam memberikan pelayanan dan pasien memperoleh jaminan pelayanan yang aman dan nyaman.
15
5.
Empati (emphaty), yaitu berhubungan dengan kepedulian dan perhatian petugas kepada setiap pelanggan dengan mendengarkan keluhan dan memahami kebutuhan serta memberikan kemudahan bagi seluruh pelanggan dalam menghubungi petugas. Terkait dengan dimensi mutu pelayanan, terdapat beberapa pendapat dari
hasil penelitian. Melinda (2011) menyatakan bahwa kunci keberhasilan dari pelayanan kesehatan adalah kecepatan pelayanan, keramahan, efektifitas tindakan serta kenyamanan bagi pasien dan pengunjung lainya. Dukungan dan komitmen petugas menjadi faktor pendorong yang sangat efektif dalam tahap-tahap menuju kemajuan puskesmas. Noor, A. (2013) menyatakan bahwa
mutu pelayanan
kesehatan lebih terfokus pada dimensi daya tanggap petugas. membutuhkan
Pasien lebih
keramahan petugas dan komunikasi petugas dengan pasien.
Sedangkan pendapat Rosita dkk.(2011) adalah dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, empati atau perhatian tenaga kesehatan sangat diharapkan oleh pemakai jasa atau pasien. 2.1.3 Pengembangan Mutu Pelayanan Kesehatan Langkah-langkah pengembangan mutu pelayanan harus dimulai dari perencanaan, pengembangan jaminan mutu, penentuan standar hingga monitoring dan evaluasi hasil. Menurut Amchan dalam Muninjaya (2014) langkah-langkah pengembangan jaminan mutu terdiri dari tiga tahap. 1.
Tahap pengembangan strategi dimulai dengan membangkitkan kesadaran (awareness) akan perlunya pengembangan jaminan mutu pelayanan yang diikuti dengan berbagai upaya pelaksanaan, peningkatan, komitmen dan
16
pimpinan, merumuskan visi dan misi institusi diikuti dengan penyusunan rencana strategis, kebijakan dan rencana operasional, perbaikan infrastruktur agar kondusif dengan upaya pengembangan mutu. 2.
Tahap tranformasi yaitu membuat model-model percontohan di dalam institusi untuk peningkatan mutu secara berkesinambungan yang mencakup perbaikan proses perbaikan standar prosedur, dan pengukuran tingkat kepatuhan terhadap standar prosedur tersebut, pembentukan kelompok kerja (pokja) mutu yang trampil melakukan perbaikan mutu, pelatihan pemantauan, pemecahan masalah untuk selanjutnya dipakai sebagai dasar peningkatan mutu, monitoring dan evaluasinya. Rangkaian ini disingkat PDCA (Plan, Do, Check and Action).
3.
Tahap integrasi yaitu pengembangan pelaksanaan jaminan mutu diterapkan di seluruh jaringan (unit) institusi, tetapi tetap memperthanakan komitmen yang sudah tumbuh, optimalisasi proses pengembangan jaminan mutu secara berkesinambungan. Berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan, Josep Juran dalam PKMK
(2000) menyebutkan trilogi dalam perbaikan mutu yaitu perencanaan mutu, pengendalian mutu, dan peningkatan mutu. Perencanaan mutu menjamin bahwa tujuan mutu dapat dicapai melalui kegiatan operasional. Perencanaan mutu meliputi identifikasi pelanggan eksternal dan internal, pengembangan gambaran atau ciri produk, merumuskan tujuan mutu, dan merancang bangun proses untuk memproduksi produk atau jasa pelayanan sesuai dengan spesifikasi yang
17
ditentukan serta menunjukkan bahwa proses tersebut secara operasional mampu untuk mencapai tujuan mutu yang telah ditetapkan. Perbaikan atau peningkatan mutu bertujuan untuk mencapai kinerja yang optimal, proses operasional juga harus optimal. Kegiatan peningkatan mutu meliputi mengidentifikasi proses, membentuk tim untuk melakukan perbaikan proses tersebut, melakukan diagnosis dan analisis untuk mencari penyebab dan mengidentifikasi penyebab masalah yang utama dan mengembangkan kegiatankegiatan korektif dan preventif serta melakukan uji coba dan berikan rekomendasi untuk perbaikan yang efektif. Pengendalian mutu bertujuan untuk dokumentasi dan sertifikasi bahwa tujuan mutu tercapai. Dalam memilih metode dan menyusun instumen pengukuran yaitu melakukan pengukuran secara nyata, memahami dan menganalisis serta melakukan interpertasi antara kenyataan dibandingkan standar serta melakukan tindakan koreksi terhadap adanya kesenjangan antara kenyataan dan standar. Hasil penelitian tentang peningkatan mutu pelayanan disebutkan bahwa karyawan selalu memberikan layanan andal, konsisten, dan karyawan bersedia dan mampu memberikan layanan secara tepat waktu, karyawan mudah didekati dan mudah untuk dihubungi, sopan, hormat dapat dipercaya, dan jujur. Dalam peningkatan mutu pelayanan, fasilitas kesehatan pada umumnya menyediakan lingkungan yang bebas dari bahaya, risiko, atau keraguan (Joseph, C. 2000). Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, mutu pelayanan kesehatan dalam penelitian ini terdiri atas lima sub variabel yaitu bukti fisik (tangible)
18
kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (emphaty).
2.2 Komitmen Kerja Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam institusi pelayanan kesehatan (Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan, keterikatan, individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada dalam organisasinya (Mathis dan Jakson, 2001 dalam Wijaya, 2012). Komitmen petugas terhadap puskesmas ditunjukkan dengan prestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif melakukan asuhan pelayanan kesehatan (Luthans, 2006). Kesuksesan sebuah karir, dituntut adanya suatu komitmen, dimana komitmen seseorang terhadap karirnya terlihat dari kesabaran membangun karir yang dipilihnya. Seseorang yang berkomitmen terhadap karir tidak akan mudah kalah dengan tantangan yang menghadangnya di depan (Noordin et al, dalam Siswanto, 2012). Berdasarkan pandangan tersebut, faktor sumber daya manusia menjadi faktor yang penting untuk meningkatkan mutu pelayanan puskesmas. Penelitian tentang komitmen kerja dilaksanakan oleh Nursyahfitri (2011) pada karyawan Divisi Produksi PT. Marumitsu Indonesia, diketahui bahwa komitmen berpengaruh terhadap kinerja karyawan (t = 3,037 dan p = 0,001). Penelitian tentang pengaruh komitmen anggota dan budaya kerja terhadap kinerja Tim Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi Nasional yang dilakukan oleh Rois
19
(2010) menemukan pengaruh yang signifikan komitmen anggota dengan kinerja Tim Kormonev Nasional dengan nilai uji t 2,3 dan uji f 0,637. Penelitian lain tentang komitmen oleh Suparman (2007) menyatakan bahwa komitmen kerja secara nyata berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Penelitian lain oleh Karsh et al (2005) yang dilakukan pada perawat di panti jompo, menyatakan bahwa komitmen dan kepuasan kerja dipengaruhi oleh pekerjaan dan faktor organisasinya dan dengan kurangnya komitmen dan kepuasan kerja sehingga berimplikasi dengan adanya keinginan untuk pindah. Penelitian tentang komitmen juga dilakukan oleh Malhotra dan Mukherjee (2004) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen akan memberikan layanan yang optimal. Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi selalu akan berpihak dan memberikan yang terbaik kepada organisasi (Robbins dan Judge, 2008 dalam Sopiah, 2008). Komitmen kerja dapat ditingkatkan untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan cara sebagai berikut (Djati dalam Wijaya, 2012) . 1.
Menciptakan rasa aman, suasana kerja yang kondusif serta lakukan promosi secara reguler.
2.
Menempatkan petugas sesuai dengan kapasitas, minat dan motivasi kerjanya agar memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
3.
Meningkatkan keterampilan, kesempatan pengembangan diri, dan bimbingan perencanaan karier agar perawat dan bidan merasa mantap dalam pencapaian kariernya.
20
4.
Mengembangkan fleksibilitas dan otonomi pelaksanaan tugas tetapi tetap memegang teguh tanggung jawab.
5.
Mengembangkan sistem monitoring, peningkatan kinerja dan pemahaman terhadap nilai dan tujuan rumah sakit untuk menjaga kesesuaian visi dan misi.
2.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Kerja Komitmen merupakan kekuatan secara menyeluruh terhadap tugas dalam pelayanan dan kondisi lingkungan puskesmas. Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen kerja adalah keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi, kemauan berusaha dan bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, keyakinan dan kepercayaan terhadap nilai dan tujuan organisasi (Spector, 2000). Komitmen kerja ini sangat dipengaruhi oleh faktor lain seperti yang disebutkan dalam penelitian Siswanto (2012) yaitu komitmen kerja dipengaruhi oleh iklim kerja dan pengembangan karir. Kiesler dalam Siswanto (2012) berpendapat bahwa adanya komitmen akan memotivasi serta memaksa seseorang untuk bertindak lebih jauh, karena sifat ikatannya akan berpengaruh terhadap respon individu pada kekuatan yang memaksa mereka melakukan sesuatu. Menurut (Lokce et all, 1988 dalam Wijaya, 2012) tiga kategori utama penentu komitmen adalah faktor eksternal (otoritas, pengaruh teman sebaya, penghargaan eksternal), faktor interaktif (partisipasi dan kompetisi), dan faktor internal (harapan, penghargaan internal). Komitmen kerja petugas pelayanan dapat dilihat inisiatif, penghayatan terhadap visi misi puskesmas, dan peraturan-peraturan (Wijaya, 2012).
21
1.
Inisiatif Inisiatif merupakan kemampuan petugas pemberi pelayanan yaitu dokter, perawat dan bidan dalam melakukan tugas tanpa menunggu perintah. Hal ini terkait dengan hasil pekerjaan, menciptakan peluang untuk menghindari timbulnya masalah (Ubaydilah, 2009 dalam Wijaya, 2012). Inisiatif juga menyangkut kreativitas petugas untuk mengembangkan potensi diri dalam melaksanakan asuhan pelayanan dan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.
2.
Penghayatan terhadap visi misi puskesmas Visi merupakan suatu pernyataan yang berisi tentang cita-cita dari organisasi, sedangkan misi mencakup kegiatan jangka panjang dan jangka pendek yang akan dilaksanakan dalam mencapai visi (Mangkuprawira, 2009 dalam Wijaya, 2012). Pernyataan visi dan misi harus sesuai dengan kebutuhan puskemas dan kebutuhan pasien. Keduanya harus dapat mengantarkan puskesmas mencapai tujuan dengan menumbuhkan semangat kerja, keharmonisan dalam melaksanakan asuhan keperawatan sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO). Peningkatan komitmen kerja memerlukan penghayatan visi dan misi puskesmas.
3.
Peraturan-peraturan Peraturan dapat mengatur segala kegiatan yang dilaksanakan oleh petugas. Mereka harus mematuhi karena ada sanksi yang melanggar. Peraturan dapat berupa tata tertib yang mengikat petugas melaksanakan kegiatan pelayanan sehingga tidak menyimpang dari tujuan puskesmas. Ketaatan terhadap
22
peraturan puskesmas oleh petugas diperlukan untuk meningkatkan kinerja di puskesmas. Berdasarkan teori dan penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya. variabel komitmen kerja dalam penelitian ini, terdiri dari tiga sub variabel yaitu inisiatif, penghayatan visi misi dan ketaatan terhadap peraturan puskesmas.
2.3 Manajemen Puskesmas Berdasarkan Kepmenkes Nomor 128/ Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, dinyatakan bahwa puskesmas merupakan unit pelaksana teknis kegiatan yang bertanggungjawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Untuk dapat melaksanakan pembangunan kesehatan di puskesmas perlu ditunjang oleh manajemen yang baik. Manajemen puskesmas adalah rangkaian kegiatan yang bekerja secara sistematis untuk menghasilkan luaran puskesmas yang efektif dan efesien (Kemenkes, 2012). Manajemen diselenggarakan sebagai proses pencapaian tujuan, menselaraskan tujuan organisasi dan tujuan pegawai puskesmas, mengelola dan memberdayakan sumber daya dalam rangka efisiensi dan efektifitas puskesmas, sebagai proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, proses kerjasama dan kemitraan dalam pencapaian tujuan puskesmas (Alamsyah, 2011). Penelitian tentang penerapan fungsi manajemen dilakukan oleh Dewi (2011) pada 77 perawat RSUP Dr. Sardjito, diketahui bahwa penerapan lima fungsi manajemen oleh kepala ruangan berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,000-0,032). Faktor yang paling berpengaruh dalam penerapan
23
keselamatan pasien adalah fungsi pengendalian. Sedangkan fungsi perencanaan, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian berhubungan dengan penerapan keselamatan perawat (p=0,005-0,032) dan faktor yang paling berpengaruh adalah fungsi pengarahan. Manajemen
puskesmas
terdiri
dari
perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Semua fungsi manajemen tersebut berkaitan dan dilaksanakan secara berkesinambungan (Kemenkes, 2012). 2.3.1 Perencanaan Perencanaan merupakan langkah awal sebelum kegiatan dilaksanakan yang meliputi kegiatan merumuskan tujuan puskesmas sampai dengan menetapkan alternatif kegiatan. Tanpa ada perencanaan puskesmas, tidak akan ada kejelasan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh staf untuk mencapai tujuan puskesmas (Alamsyah, 2011). Perencanaan program wajib puskesmas salah satunya program pengobatan dilakukan sebagai berikut. 1.
Menyusun usulan kegiatan pada program pengobatan sesuai kondisi yang ada mulai dari perencanaan target capaian kegiatan seperti target kunjungan, tenaga, dana, obat-obatan, bahan habis pakai dan sarana dan prasarana lainnya terkait dengan pengembangan layanan pengobatan di puskesmas.
2.
Mengajukan usulan kegiatan yang direncanakan ke dinas kesehatan untuk mendapatkan persetujuan.
3.
Menyusun rencana pelaksanaan kegiatan (RPK).
24
Hasil penelitian
oleh Ulfayani dkk. (2012) menunjukkan bahwa dalam
perencanaan pada delapan bagian unit di puskesmas Minasa Upa Kota Makasar, selalu diawali dengan penentuan program kegiatan yang mencakup penyusunan rencana kegiatan, rencana tempat dan waktu pelaksanaan kegiatan, jadwal kegiatan, biaya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ningrum (2006) bahwa perencanaan selalu menjadi dasar dalam pelaksanaan kegiatan.
2.3.2. Pelaksanaan dan Pengendalian Pelaksanaan dan pengendalian merupakan proses penyelenggaraan, pemantauan serta penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan di puskesmas (Depkes R.I, 2004). Langkah-langkah pelaksanaan dan pengendalian pada upaya pengobatan di puskesmas adalah sebagai berikut. 1.
Pengorganisasian Pengorganisasian merupakan serangkaian kegiatan manajemen untuk menghimpun semua sumber daya yang ada di puskesmas dan dimanfaatkan secara efesien untuk program pengobatan. Pada program pengobatan ditetapkan penanggungjawab dan petugas pelaksana yang saling bekerjasama.
2.
Penyelenggaraan Langkah berikutnya adalah menyelenggarakan rencana kegiatan program pengobatan di puskesmas dan menunjuk penanggungjawab serta pelaksana program dan pelaksanaan lokakarya mini puskesmas, baik lintas program maupun lintas sektor.
25
3.
Pemantauan Pemantauan terhadap kegiatan dilakukan secara berkala seperti melakukan telaahan penyelenggaraan kegiatan dan hasil yang dicapai serta melakukan telaahan eksternal terkait hasil yang dicapai oleh fasilitas dan sektor lain yang terlibat di wilayah puskesmas.
4. Penilaian Penilaian kegiatan bisa dilakukan oleh pihak
eksternal dan internal
puskesmas. Kegiatan penilaian pada program pengobatan dilakukan setiap bulan, triwiulan maupun tahunan. Kegiatan penilaian mencakup penilaian terhadap cakupan jumlah kunjungan, survei kepuasan dan evaluasi dari dinas kesehatan.
Hasil penelitian di Puskesmas Minasa Upa Kota Makasar oleh Ramsar dkk. (2012) diketahui bahwa pengelompokan kelompok kerja sebelum pembagian tugas dilakukan agar rencana kegiatan akan lebih terarah pada tujuan. Dalam pergerakan dan pelaksanaan ada tiga komponen yang saling berhubungan yaitu komponen koordinasi, pengarahan dan pimpinan (Ramsar dkk, 2012). Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan (2010) dalam Ramsar dkk. (2012), yang menyatakan pimpinan selaku administrator memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dan mengarahkan seluruh komponen untuk mencapai tujuan.
26
2.3.3 Pengawasan dan Pertanggungjawaban Pengawasan dan pertanggungjawaban merupakan proses untuk mendapatkan kepastian atas kesesuaian penyelenggaraan dalam mencapai tujuan puskesmas (Depkes R.I, 2004). 1. Pengawasan Pengawasan merupakan kegiatan mengamati secara terus menerus terhadap pelaksanaan kegiatan puskesmas. Pengawasan dapat dilakukan oleh pihak internal (kepala puskesmas) dan eksternal (masyarakat, dinas kesehatan, serta institusi lainnya). 2. Pertanggungjawaban Untuk pertanggungjawaban kegiatan kepala puskesmas harus membuat laporan kinerja hasil dari pelaksanaan kegiatan. Bedasarkan hasil penelitian pada Puskesmas Batua Makassar oleh Mu’rifah (2012 menyatakan bahwa pelaksanaan evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan menyusun langkah perbaikan untuk mencapai tujuan.
2.4 Program Pengobatan di Puskesmas Puskesmas
bertanggungjawab
untuk
melaksanakan
upaya
kesehatan
perorangan dan upaya kesehatan masyarakat untuk mencapai visi pembangunan kesehatan.
Upaya kesehatan puskesmas terdiri dari upaya wajib dan
pengembangan. Salah satu upaya program wajib puskesmas dalam upaya kesehatan perorangan adalah program pengobatan. Program pengobatan
27
merupakan kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan pada masyarakat dalam rangka
menghentikan
proses
perjalanan
suatu
penyakit
untuk
dapat
menghilangkan penderitaan yang dirasakan (Depkes RI, 1990). Program pengobatan di puskesmas dilaksanakan dengan melakukan diagnosa, melaksanakan tindakan dan melakukan upaya rujukan bila dipandang perlu (Subekti, 2009). Tujuan dari pelayanan pengobatan di puskesmas adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan perorangan dan masyarakat. Dalam upaya pengobatan pasien, kegiatan yang dilakukan adalah mencari riwayat penyakit, mengadakan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, membuat diagnosa, memberikan pengobatan yang tepat dan melakukan rujukan bila diperlukan. Penelitian tentang upaya pengobatan di puskesmas dilakukan oleh Subekti tahun 2009 pada balai pengobatan umum puskesmas di Kabupaten Tasikmalaya. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi mutu pelayanan administrasi, dokter, perawat dan obat berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien. Sedangkan sarana dan fasilitas penunjang tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien.
2.4.1 Gambaran Umum Pengobatan di Puskesmas Kabupaten Karangasem Upaya pengobatan di puskesmas dapat dilakukan di luar gedung dan di dalam gedung
dan rawat jalan maupun rawat inap. Adapun unit-unit pelayanan
pengobatan yang ada di puskesmas seperti pelayanan poli umum, Unit Gawat Darurat (UGD), poli gigi dan mulut, pelayanan rawat inap maupun puskesmas keliling.
28
Poli umum merupakan salah satu unit program pengobatan di puskesmas yang melayani pasien rawat jalan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam pelayanan di poli umum adalah melakukan anamnesa terhadap keluhan dan riwayat penyakit pasien, melakukan pemeriksaan fisik, melakukan pemeriksaan laboratorium, mendiagnosa penyakit pasien, melakukan tindakan pengobatan dan melakukan upaya rujukan bila dianggap perlu. Petugas yang bertugas pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem adalah dokter dan perawat. Petugas tersebut selain bertugas pada poli umum juga bertugas di unit-unit pengobatan lain di puskesmas. Petugas tersebut juga mempunyai tugas sebagai pengelola program promotif dan preventif, sehingga diatur jadwal petugas yang mendapatkan tugas memberikan pelayanan pengobatan pada poli umum.
2.5
Hubungan Penerapan Manajemen dan Komitmen Kerja terhadap
Mutu Pelayanan di Puskesmas Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya diketahui bahwa ada beberapa penelitian yang menyatakan hubungan antara penerapan fungsi manajemen di puskesmas dengan pencapaian kinerja di puskesmas. Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan hubungan antara komitmen kerja dengan kualitas pelayanan. Hubungan karakteristik petugas juga ditunjukkan dari hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan kinerja dalam memberikan pelayanan yang berkualitas. Umur diatas 30 tahun mempunyai motivasi kerja lebih tinggi daripada petugas lebih dari 30 tahun, dan masa kerja yang lebih lama menggambarkan
29
kinerja organisasi yang baik. Makin tinggi pendidikan maka produktivitas kerjanya juga tinggi, serta jika berdasarkan jenis kelamin jenis petugas juga berpengaruh terhadap motivasi kerjanya (Naya, 2013). 2.5.1 Hubungan Penerapan Manajemen terhadap Mutu Pelayanan di Puskesmas Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya diketahui bahwa fungsi manajemen yang diterapkan di puskesmas memiliki hubungan dengan pencapaian program di puskesmas. Hasil penelitian oleh Kustiawan R.B (2004) menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan fungsi manajemen perencanaan ((p=0,042), pelaksanaan (p=0,001) dan penilaian (p=0,001) dengan program pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue ( P2DBD) di puskesmas Kabupaten Grobogan. Penelitian lain yang dilakukan pada program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita gizi buruk di Puskesmas Kabupaten Tegal yang dilakukan oleh Ningrum (2006). Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa penerapan fungsi perencanaan,
pergerakkan
dan
pengawasan
penilaian
serta
pencatatan
berhubungan dengan cakupan PMT di Puskesmas Kabupaten Tegal. Hasil yang sama terkait hubungan penerapan manajemen terhadap mutu pelayanan kesehatan pada puskesmas di Kota Semarang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Novianingrum (2007) bahwa perencanaan, pengorganisasian, pergerakkan dan pengawasan mempunyai hubungan dengan cakupan imunisasi di puskesmas Kota Semarang. Pada program lain di puskesmas juga dilakukan penelitian oleh Irmawati (2007) yaitu pada kegiatan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) balita dan anak prasekolah di
30
Puskesmas Kota Semarang disebutkan bahwa ada hubungan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dengan cakupan SDIDTK. 2.5.2 Hubungan Komitmen Kerja terhadap Mutu Pelayanan di Puskesmas Komitmen kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang harus ditumbuhkan pada petugas pemberi layanan kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2000) menyatakan bahwa komitmen kerja berhubungan dengan kualitas pelayanan. Dengan komitmen kerja yang tinggi, petugas pelayanan diantaranya dokter, perawat menjadi lebih giat bekerja dan mempunyai motivasi kuat untuk berprestasi (Wijaya,
2012). Karyawan yang
memiliki
komitmen akan memberikan layanan yang optimal (Malhotra dan Mukherjee, 2004). Penelitian lain tentang pengaruh komitmen dengan prestasi kerja dilakukan oleh Arisanty (2007), diketahui bahwa komitmen kerja berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan. Komitmen kerja juga dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap puskesmas karena ingin bertahan menjadi anggota dalam organisasinya yaitu puskesmas (Wijaya, 2012). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Fawzy (2010) bahwa komitmen karyawan memberikan pengaruh negatif terhadap keinginan meninggalkan organisasi. Adanya pengaruh tersebut menunjukkan bahwa sikap karyawan yang merasa memiliki dan menjadi bagian organisasi, merasa bahwa organisasi memiliki arti tersendiri bagi pribadi karyawan, sikap bangga terhadap organisasi dan loyalitas yang dimiliki karyawan membuat karyawan mau memberikan semua kemampuan yang dimiliki bagi kemajuan organisasi.
31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir Kesehatan merupakan hak asasi sekaligus investasi bagi setiap manusia. Untuk itu pemerintah Indonesia terus berupaya melaksanakan pembangunan di bidang kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Puskesmas merupakan salah satu unit pemberi layanan kesehatan yang disiapkan oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat. Upaya kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya kesehatan wajib dan pengembangan. Program pengobatan merupakan salah satu upaya program wajib puskesmas yang cukup mendapatkan sorotan dari masyarakat terkait dengan mutu pelayanananya. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan
pelanggan
baik
internal
maupun
eksternal.
Faktor
yang
mempengaruhi mutu pelayanan meliputi unsur masukan (input) dan proses atau aktivitas. Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur masukan dalam pengembangan mutu pelayanan. Baik buruknya pelayanan pengobatan tergantung dari komitmen kerja petugas dalam hal ini dokter dan perawat. Komitmen kerja merupakan kekuatan dokter dan perawat secara menyeluruh terhadap tugas dan kondisi lingkungan puskesmas. Komitmen kerja merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi sumber daya manusia disamping kompetensi, motivasi,
penghargaan yang diterima baik finansial maupun non finansial maupun status
31
32
dari kepegawaian. Masing-masing individu dalam melaksanakan pekerjaan juga terdapat beberapa faktor yang kemungkinan berpengaruh seperti umur, jenis kelamin, pendidikan maupun masa kerja. Faktor lain yang berpengaruh terhadap mutu pelayanan pengobatan di puskesmas adalah penerapan manajemen puskesmas. Penerapan manajemen puskesmas merupakan faktor penting dalam proses pelaksanaan pelayanan pengobatan di puskesmas. Manajemen puskesmas dalam upaya pengobatan terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban yang diberkaitan kegiatan pengobatan dasar di puskesmas. Perencanaan pada upaya pengobatan adalah proses penyusunan kegiatan pada program pengobatan di puskesmas yang dimulai dengan menyusun usulan kegiatan dalam bentuk RUK dan RPK. Usulan ini dituangkan dalam perencanaan tingkat puskesmas (PTP). Pelaksanaan dan pengendalian upaya program pengobatan merupakan proses penyelenggaraan, pemantauan serta penilaian terhadap penyelenggaraan rencana kegiatan pengobatan puskesmas. Kegiatan yang dilakukan adalah menyusun penanggung jawab dan pelaksana di setiap unit pengobatan. Permasalahan yang ada pada program pengobatan disampaikan dan dibahas pada lokakarya mini puskesmas. Pengawasan dan pertanggungjawaban merupakan proses dalam penyelenggaraan dan pencapaian tujuan puskesmas yang dapat berupa pengawasan internal dan eksternal. Laporan pertanggungjawaban kegiatan dibuat dalam laporan kinerja puskesmas. Kedua faktor tersebut dalam penelitian ini dihubungkan melalui komponen penilaian mutu yaitu dari komponen input, proses dan output.
33
3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir dapat disusun konsep
penelitian ini sebagai
berikut : INPUT SDM Karakteristik (Umur Jenis Kelamin, Profesi, Masa Kerja Komitmen Kerja (Inisiatif, Penghayatan Visi Misi, Ketaatan terhadap Peraturan Puskesmas) Motivasi, Kompetensi, Penhargaan, Status Kepegawaian
OUTPUT MUTU PELAYANAN PENGOBATAN (Bukti Fisik, Kehandalan, Daya Tanggap, Jaminan, Empati)
DANA SARANA
PROSES PELAYANAN MEDIS PENERAPAN MANAJEMEN PUSKESMAS (Perencanaan, Pelaksanaan dan
Pengendalian, Pengawasan dan Pertanggungjawaban)
Keterangan : : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
34
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep penelitian dapat disusun hipotesis sebagai berikut ini. 1.
Ada hubungan yang signifikan antara penerapan manajemen puskesmas dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas Kabupaten Karangasem.
2.
Ada hubungan yang signifikan antara komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas Kabupaten Karangasem.
35
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain survei analitik kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional yaitu peneliti melakukan pengukuran variabel pada waktu yang sama dan hanya dilakukan satu kali saja (Sudigdo, 2011). Penelitian ini tujuan untuk melihat hubungan penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan di puskesmas.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian Tempat yang diambil sebagai lokasi penelitian ini adalah salah satu unit pengobatan yaitu poli umum yang terdapat pada 12 puskesmas di Kabupaten Karangasem. Alasan diambilnya seluruh puskesmas yang ada di Kabupaten Karangasem adalah karena 12 puskesmas tersebut merupakan wilayah penelitian dan untuk representatif data yang diperoleh. 4.2.2 Waktu Penelitian Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Maret 2015. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian kesehatan masyarakat di bidang ilmu manajemen dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan
35
36
terhadap masyarakat. Penelitian ini terbatas pada upaya program pengobatan yang ada di puskesmas sebagai salah satu program wajib di puskesmas.
4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1 Populasi Populasi target penelitian ini adalah seluruh dokter dan perawat yang bertugas di puskesmas Kabupaten Karangasem. Sedangkan populasi terjangkau adalah dokter dan perawat yang terlibat dalam pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas yang berjumlah 191 orang. 4.4.2 Sampel Sampel diambil dari suatu populasi untuk menjadi subjek dalam penelitian. Berikut ini merupakan beberapa tahapan dalam menentukan sampel penelitian. 1.
Kriteria inklusi Kriteria inklusi yang digunakan adalah seperti diuraikan di bawah ini. a. Dokter dan perawat yang bertugas pada Poli Umum di Puskesmas seKabupaten Karangasem pada saat pengumpulan data. b. Dokter dan perawat di poli umum yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
2.
Kriteria ekslusi Kriteria eksklusi yang digunakan dapat diuraikan seperti dibawah ini. a. Dokter dan perawat di poli umum yang sedang mengikuti tugas belajar b. Dokter dan perawat di poli umum yang sedang cuti.
37
4.4.3 Besar Sampel Besar sampel digunakan rumus perhitungan sampel dengan besar sampel untuk proporsi tunggal karena N sudah diketahui, maka perhitungan besar sampelnya dihitung dengan rumus Lameshow, 1997 (Adiputri, 2014). α
Rumus :
𝑛=
Z²1−2. P.(1−P).N α
d2 (N−1)+Z² 1−2.P(1−P)
Keterangan : n
= Jumlah Sampel
Z1-α /2 = Standar deviasi dengan confidence level 95 % adalah 1,96 P
= Proporsi mutu pelayanan di puskesmas baik (65%) (Naya, 2014)
d
= Degree of precision yaitu sebesar 10 %
N
= Jumlah populasi dokter dan perawat di puskesmas Kabupaten Karangasem
Berdasarkan rumus tersebut didapat perhitungan sampel sebagai berikut : α
Z²1−2. P.(1−P).N
n=
d2 (N−1)+Z² 1−2.P(1−P)
n=
1,96².0,5.0,5.191
α
(0,1². (191-1))+ 1,96². 0,65.0,35 n = 60,17
Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 61 orang. Untuk jumlah sampel pada masing-masing puskesmas dan jumlah setiap profesi dokter dan perawat dihitung dengan teknik Proportional Stratified Random Sampling. Jumlah sampel setiap profesi dokter dan perawat dihitung pula secara proporsional berdasarkan jumlah tenaga yang ada pada masing-masing
38
puskesmas. Adapun jumlah populasi dan sampel pada masing-masing puskesmas di Kabupaten Karangasem adalah seperti tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 Jumlah Populasi dan Sampel Berdasarkan Puskesmas dan Jenis Petugas di Kabupaten Karangasem Populasi
Jumlah
Dokter
Puskesmas
Perawat
P
S
P
S
P
S
Manggis I Manggis II Sidemen Selat Rendang Bebandem Karangasem I Karangasem II Abang I Abang II Kubu I Kubu II
6 3 3 4 5 2 3 4 4 2 7 2
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1
12 9 11 16 10 15 11 14 14 12 14 8
4 3 3 5 3 5 3 4 5 4 5 3
18 12 14 20 15 17 14 18 18 14 21 10
6 4 4 6 5 6 4 5 6 4 7 4
Jumlah
45
14
146
47
191
61
Keterangan : P = Populasi S = Sampel
4.4.4 Teknik Pengambilan Sampel Teknik sampling yang digunakan untuk pengambilan sampel pada masingmasing profesi di puskesmas adalah
dengan teknik consecutive sampling,
sehingga dokter dan perawat yang sedang bertugas pada saat waktu pengumpulan data akan dijadikan sampel penelitian. Waktu pengumpulan data dilakukan secara bervariasi yaitu pada pagi dan siang hari.
39
4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas. Variabel penerapan manajemen puskesmas terdiri dari tiga sub variabel yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Variabel komitmen kerja petugas terdiri dari tiga sub variabel yaitu inisiatif, penghayatan visi misi dan ketaatan terhadap peraturan puskesmas. 4.5.2 Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah mutu pelayanan kesehatan pada program pengobatan di poli umum yang terdiri dari lima sub variabel yaitu bukti fisik (tangible) kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (emphaty). 4.5.3 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel pada penelitian ini adalah seperti berikut ini.
40
Tabel 4.2 Definisi Operasional Variabel dan Skala Data Variabel
Sub Variabel
Definisi Operasional
Skala Penguku ran
Cara dan Alat Ukur
Catatan tentang rencana analisis
1
2
3
4
5
6
Umur
Umur dalam tahun responden saat wawancara mengenai usia
Interval (dalam tahun)
Wawanca ra dengan kuesioner
Dalam analisis dikelompokkan dalam dua kategori yaitu: 1=Umur 20 -39 tahun 2=Umur ≥ 39 tahun
Jenis Kelamin
Pembagian jenis seksual yang ditentukan secara biologis dan anatomis yang dinyatakan dalam jenis kelamin lakilaki dan jenis kelamin perempuan.
Nominal
Wawanca ra dengan kuesioner
Diberikan skor 1 = laki-laki 2 = perempuan
Profesi
Profesi sesuai dengan ijazah dan jabatan fungsional di puskesmas Kabupaten Karangasem.
Ordinal
Wawanca ra dengan kuesioner
Diberikan skor 1= Perawat 2= Dokter
Masa Kerja
Lamanya bekerja di puskesmas diukur dalam tahun
Interval
Wawanca ra dengan kuesioner
Dalam analisis dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu: 1= Masa Kerja <15tahun 2= Masa Kerja ≥15 tahun
Karakteris tik
41 1
2
Penerapan Manajemen Puskesmas
3
5
6
Nominal
Wawanca ra dengan kuesioner
Rencana kegiatan yang disusun oleh penanggungjawab Nominal program pengobatan pada puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi perencanaan dalam hal target kunjungan, kebutuhan dana, tenaga, obat dan alat kesehatan, pembuatan rencana usulan kegiatan dan rencana pelaksanaan kegiatan. Penilaian menggunakan 7 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0). Pelaksanaan kegiatan program pengobatan di puskesmas Nominal Kabupaten Karangasem dengan pelaksanaan kegiatan loka karya mini, penyusunan tim pelaksana, dan penyusunan jadwal jaga. Penilaian menggunakan 6 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0).
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan 2 kategori: 1= Baik (jika terdapat 2 atau 3 sub variabel penerapan manajemen puskesmas dalam kategori baik. 2 = Kurang (jika terdapat 0 atau 1 subvariabel penerapan manajemen puskesmas dalam kategori baik. Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥55% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 55% dari skor total)
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥55% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 55% dari skor total)
Kegiatan evaluasi dan pelaporan yang dilaksanakan oleh Nominal pihak internal dan eksternal puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi pengawasan kepala puskesmas, dinas kesehatan, pembuatan laporan kinerja. Penilaian menggunakan 5 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0).
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥55% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 55% dari skor total)
Pelaksanaan manajemen puskesmas yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban yang dipersepsikan oleh petugas pada poli umum di puskesmas se-Kabupaten Karangasem
Perencanaan
Pelaksanaan dan Pengendalian
Pengawasan dan Pertanggung jawaban
4
42 1
2
Komitmen Kerja
Insiatif
Penghayatan Visi Misi
3
4
5
6
Komitmen dari petugas poli umum di Puskesmas se- Nominal Kabupaten Karangasem dalam memberikan pelayanan pengobatan yang meliputi subvariabel inisiatif, penghayatan visi misi dan ketaatan terhadap peraturan puskesmas.
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu : 1= Baik (jika terdapat 2 atau 3 sub variabel komitmen kerja petugas dalam kategori baik). 2 = Kurang (jika terdapat 0 atau 1 subvariabel komitmen kerja petugas dalam kategori baik).
Kreatifitas dokter dan perawat untuk mengembangkan Nominal potensinya dalam memberikan pelayanan pengobatan di puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi inovasi untuk mengembangkan pelayanan, pengembangan kompetensi dan semangat dalam dalam memberi kepuasan pasien. Penilaian menggunakan 4 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya, dan tidak , skor dilakukan sebagai berikut: pertanyaan positif : Ya (skor 1) dan tidak (skor 0). pertanyaan negatif: Ya (skor 0) dan tidak (skor 1).
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥65% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 65% dari skor total)
Pemahaman dan pelaksanaan cita-cita bersama untuk Nominal pengembangan program pengobatan di puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi pengetahuan visi misi, sosialisasi visi misi, dan melakukan pelayanan sesuai visi misi. Penilaian menggunakan 3 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0)
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥65% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 65% dari skor total)
43 1
2
Ketaatan terhadap Peraturan Puskesmas
Mutu Pelayanan Pengobatan
Bukti Fisik/ Tangible
Kehandalan/ Reliability
3
4
5
6
Ketaatan terhadap pelaksanaan dari peraturan yang dibuat Nominal di puskesmas untuk mengatur pelaksanaan kegiatan program pengobatan dan untuk kepentingan petugas di puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi kepatuhan terhadap jam pelayanan, tata tertib pembagian tugas dan pembagian jasa pelayanan. Penilaian menggunakan 4 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0). Persepsi dokter dan perawat terhadap pelayanan Nominal pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi lima dimensi yaitu bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian sub variabel : 1= Baik (≥65% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 65% dari skor total)
Wawanca ra dengan kuesioner
Persepsi dokter dan perawat terhadap pelayanan Nominal pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi kesediaan dokumen perencanaan kegiatan, uraian tugas dan jadwal jaga petugas, ketersediaan SOP dan tempat cuci tangan, ketersediaan alat kesehatan dan obat, ruang tunggu pasien dan parkir yang cukup. Penilaian menggunakan 9 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0). Persepsi dokter dan perawat terhadap pelayanan Nominal pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi ketepatan waktu pelayanan, tanggung jawab, pemberian informasi dan pelatihan terkait program pengobatan.Penilaian menggunakan 4 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0).
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu : 1=Baik (jika terdapat 4 atau 5 subvariabel mutu pelayanan pengobatan dalam kategori baik. 2 =Kurang (jika terdapat 0 sampai 3 subvariabel mutu pelayanan pengobatan dalam kategori baik. Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥65% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 65% dari skor total)
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥65% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 65% dari skor total)
44 1
2
DayaTanggap/ Responsiveness
Jaminan/ Assurance
Empati/ Empathy
3
4
5
6
Persepsi dokter dan perawat dalam melayani pasien pada Nominal Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi pelayanan sesuai prosedur, kecepatan pelayanan. Penilaian menggunakan 4 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya, dan tidak , skor dilakukan sebagai berikut: pertanyaan positif : Ya (skor 1) dan tidak (skor 0). pertanyaan negatif: Ya (skor 0) dan tidak (skor 1).
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥65% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 65% dari skor total)
Persepsi dokter dan perawat terhadap pelayanan Nominal pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi bekerja berpedoman pada SOP, kesopanan, keramahan, dan keselamatan yang meliputi informed consent dan penggunaan alat pelindung diri. Penilaian menggunakan 4 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0).
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥65% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 65% dari skor total)
Persepsi dokter dan perawat terhadap pelayanan Nominal pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem yang meliputi waktu untuk mendengarkan keluhan, pemahaman terhadap kebutuhan, kemudahan untuk dihubungi dan fokus dalam memberikan pelayanan. Penilaian menggunakan 4 item pertanyaan diukur dengan 2 tingkatan skala yaitu Ya (skor 1), dan tidak (skor 0).
Wawanca ra dengan kuesioner
Dikelompokkan berdasarkan persentase skor penilaian 1= Baik (≥65% dari skor total) 2= Kurang (dibawah 65% dari skor total)
45
4.6 Instrumen Penelitian Untuk mendapatkan data mengenai variabel bebas dan variabel tergantung, instrumen yang digunakan penelitian ini menggunakan kuesioner yang berkaitan dengan penerapan manajemen puskesmas, komitmen kerja petugas dan lima dimensi mutu pelayanan pada program pengobatan di puskesmas. Sebelum digunakan kepada responden, kuesioner ini telah dilakukan uji coba kepada perawat dan bidan yang bekerja pada puskesmas pembantu di Kabupaten Karangasem.
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer. Data primer yang dikumpulkan meliputi hasil wawancara terhadap responden mengenai penerapan manajemen puskesmas, komitmen kerja petugas dan mutu pelayanan pengobatan. 4.7.2 Cara Pengumpulan Data Cara pengambilan dan pengumpulan data primer pada penelitian ini adalah dengan wawancara menggunakan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan langsung oleh peneliti sendiri. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah seperti di bawah ini. 1. Peneliti meminta izin kepada kepala puskesmas dan responden agar dapat melakukan penelitian dengan cara menjelaskan tujuan penelitian. 2. Peneliti memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden dalam penelitian kepada calon responden. 3. Peneliti melakukan wawancara kepada responden berdasarkan keusioner. 4. Peneliti melakukan pengecekan kembali pada semua item pertanyaan sebelum mengakhiri pengumpulan data.
46
4.7.3 Etika Penelitian Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi penelitian di Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali dengan nomor 070/24764/IV/BPMP dan
surat ijin penelitian dari
Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan
Masyarakat (Kesbang Pol dan Linmas) Kabupaten Karangasem dengan nomor 070/198/KBPPM/2015. Penelitian ini juga dilaksanakan setelah mendapatkan Ethical Clearance dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan nomor 183/UN.14.2/Litbang/2015. Sebelum responden bersedia menjadi responden, responden diberikan lembar persetujuan dan mendapatkan penjelasan mengenai tujuan dan manfaat penelitian serta informasi yang diperoleh hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam penelitian ini tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data namun hanya berisi kode-kode tertentu untuk menjamin kerahasiaan responden.
4.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 4.8.1 Teknik Pengolahan Data Sebelum analisis data, dilakukan tahapan-tahapan kegiatan pengecekan ulang setelah selesai pengumpulan data tentang kelengkapan dan kebenaran data. Tahapantahapan kegiatan berikutnya adalah seperti diuraikan di bawah ini. 1.
Editing Data Data yang dilakukan editing adalah data berdasarkan jawaban responden tentang
karakteristik dokter dan perawat. 2.
Coding Data Data yang dilakukan koding adalah data berdasarkan jawaban responden tentang
penerapan manajemen puskesmas, komitmen kerja dan mutu pelayanan puskesmas.
47
3.
Entry Data Entry data yaitu memasukan data dalam variabel sheet dengan menggunakan
computer. 4.
Cleaning Data Cleaning data yaitu pembersihan data untuk mencegah kesalahan yang mungkin
terjadi. 5.
Scoring Hasil pengisian kuesioner oleh responden dilakukan scoring untuk keperluan
analisis. Penilaian pada penelitian ini menggunakan 2 tingkatan jawaban yaitu Ya dan Tidak. Pemberian skor untuk masing-masing pertanyaan adalah sama untuk semua pertanyaan pada masing-masing sub variabel yaitu untuk pertanyaan positif jawaban “Ya” diberi skor 1, dan untuk jawaban “Tidak” diberi skor 0. Sedangkan untuk pertanyaan negatif jawaban “Ya” diberi skor 0, dan untuk jawaban “Tidak”diberi skor 1. 4.8.2 Analisis data 4.8.2.1 Analisis Univariat Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran distribusi frekuensi dan
proporsi dari karakteristik responden, variabel bebas yaitu penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas, serta variabel terikat yaitu mutu pelayanan kesehatan. 4.8.2.2 Analisis Bivariat Untuk mengetahui adanya hubungan yang signifikan antara variabel manajemen puskesmas dengan mutu pelayanan pengobatan dan komitmen kerja dengan mutu pelayanan pengobatan dengan menggunakan uji chi-square.
48
4.8.2.3 Analisa Multivariat Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan secara independen antara beberapa variabel bebas dengan variabel terikat serta mencari manakah variabel independen yang mempunyai hubungan paling besar dengan variabel dependen dengan uji analisis regresi logistik. Analisa multivariat dapat dilihat dari nilai p dimana dikatakan signifikan jika nilai p < 0.05.
49
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Karangasem merupakan kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Bali.
Batas wilayah Kabupaten Karangasem adalah di sebelah timur adalah Selat
Lombok, di sebelah selatan adalah Samudra Indonesia dan sebelah barat adalah Kabupaten Klungkung, Bangli dan Buleleng. Ibukota Kabupaten Karangasem adalah Amlapura yang terletak ± 84 km dari ibu kota Provinsi Bali (Denpasar). Secara administratif
Kabupaten Karangasem terdiri atas
delapan kecamatan, 78
desa/kelurahan yang terdiri dari 75 desa dan tiga kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Karangasem
adalah 839,54 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 406.600 jiwa
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem, 2015). Kabupaten
Karangasem mempunyai 12 puskesmas yang tersebar di delapan
kecamatan. Puskesmas tersebut enam diantaranya adalah puskesmas dengan fasilitas rawat inap. Selain puskesmas induk terdapat juga puskesmas pembantu sebanyak 70 buah, polindes/poskesdes sebanyak 80 buah dan posyandu sebanyak 673 buah. Pencapaian visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas, yakni terwujudnya Kecamatan
Sehat
Menuju
Indonesia
Sehat,
puskesmas
bertanggungjawab
menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Kedua upaya tersebut jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Salah satu upaya program wajib puskesmas adalah Program Pengobatan.
49
50
Program pengobatan di puskesmas Kabupaten Karangasem dilaksanakan dengan melakukan diagnosa, melaksanakan tindakan dan melakukan upaya rujukan bila dipandang perlu. Upaya pengobatan pasien meliputi seperti menggali riwayat penyakit, mengadakan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, membuat diagnosa, memberikan pengobatan yang tepat dan melakukan rujukan bila diperlukan. Upaya pengobatan di puskesmas Kabupaten Karangasem dilakukan di luar gedung dan di dalam gedung, terdiri dari rawat jalan maupun rawat inap. Adapun unit-unit pelayanan pengobatan yang ada di puskesmas seperti Poli Umum, Unit Gawat Darurat (UGD), Poli Gigi dan Mulut, Poli KIA, Pelayanan Rawat Inap maupun Puskesmas Keliling. Penelitian ini dilakukan pada salah satu unit pelayanan dalam gedung yaitu pada Poli Umum. Poli Umum puskesmas di Kabupaten Karangasem di koordinir oleh salah satu penanggungjawab yang dipegang oleh seorang dokter. Dokter penanggungjawab bertugas mengkoordinir pelaksanaan pelayanan. Pelayanan di poli umum dilaksanakan oleh dokter dan perawat, namun ada juga sebagian puskesmas yang melibatkan bidan. Pasien yang berkunjung ke puskemas terdiri dari pasien umum, maupun pasien sebagai peserta jaminan kesehatan seperti JKBM maupun JKN. Kunjungan pasien baru ke puskesmas pada tahun 2014 sebesar 20,14% dari jumlah penduduk, dengan diagnosa penyakit ISPA yang memiliki peringkat tertinggi. (Dinas Kesehatan, 2015).
5.2 Karakteristik Responden dan Distribusi Variabel Penelitian Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri dari dokter dan perawat yang bertugas di Poli Umum pada 12 puskesmas di Kabupaten Karangasem. Karakteristik responden adalah seperti tabel di bawah ini.
51
Tabel 5.1 Distribusi Frekwensi Karakteristik Responden pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Karakteristik Umur, Median (IQR) 20 - 39 tahun ≥ 39 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Profesi Perawat Dokter Masa Kerja, Median (IQR) <15 tahun ≥15 tahun
n=61
%
39 (31-45) 26 35
42,6 57,4
29 32
47,5 52,5
47 14 15 (5-18) 26 35
77,1 22,9 42,6 57,4
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan kelompok umur terlihat bahwa sebagian besar berada pada kelompok umur ≥39 tahun yaitu sebanyak 35 orang (57,4%), berdasarkan distribusi jenis kelamin terdapat lebih banyak perempuan (52,5%). Dilihat dari jenis profesi responden sebagian besar berprofesi sebagai perawat (77,1%), dan dilihat dari masa kerja, responden lebih banyak berada pada kelompok masa kerja ≥15 tahun yaitu sebanyak 35 orang (57,4%). Distribusi dari variabel penelitian ini yang terdiri dari penerapan manajemen puskesmas, komitmen kerja petugas dan mutu pelayanan pengobatan diketahui bahwa penerapan manajemen puskesmas kurang sebesar 52,8 %, komitmen kerja petugas kurang sebesar 50,8 % dan mutu pelayanan pengobatan kategori kurang sebesar 75,4%. Lebih lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
52
Tabel 5.2 Distribusi Frekwensi Variabel Penelitian pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Variabel Penerapan Manajemen Puskesmas Kurang Baik Komitmen Kerja Petugas Kurang Baik Mutu Pelayanan Pengobatan Kurang Baik
n=61
%
32 29
52,5 47,5
31 30
50,8 49,2
46 15
75,4 24,6
5.3 Penerapan Manajemen Puskesmas di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Variabel penerapan manajemen puskesmas pada penelitian ini terdiri dari tiga sub variabel
yaitu perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan
pertanggungjawaban. Distribusi penerapan manajemen puskesmas di puskesmas seKabupaten Karangasem adalah seperti tabel di bawah ini. Tabel 5.3 Distribusi Frekwensi Penerapan Manajemen Puskesmas pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Sub variabel
f
%
31 30
50,8 49,2
33 28
54,1 45,9
33
54,1
28
45,9
Perencanaan Kurang Baik Pelaksanaan dan Pengendalian Kurang Baik Pengawasan dan Pertanggungjawaban Kurang Baik
53
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari tiga sub variabel dari penerapan manajemen puskesmas terlihat dominan termasuk dalam kategori kurang yaitu perencanaan kurang sebesar 50,8%, pelaksanaan dan pengendalian kurang sebesar 54,1% dan pengawasan dan pertanggungjawaban kurang sebesar 54,1%.
5.3.1 Penerapan Manajemen Puskesmas (Perencanaan) pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Perencanaan dalam penelitian ini diukur menggunakan tujuh pertanyaan yang berkaitan dengan penyusunan rencana target kunjungan, kebutuhan dana, tenaga, obat habis pakai, alat kesehatan maupun penyusunan RUK dan RPK.
Hasil penilaian
terhadap perencanaan secara rinci diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 5.4 Distribusi Penerapan Manajemen Puskesmas (Perencanaan) pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Penilaian Perencanaan 1 2 3
Menyusun rencana target kunjungan Menyusun rencana kebutuhan dana Menyusun rencana tenaga Menyusun rencana obat dan bahan habis 4 pakai 5 Menyusun rencana alat kesehatan Yang direncanakan dimasukkan dalam 6 Rencana Usulan Kegiatan (RUK) 7
Rencana usulan kegiatan dimasukkan dalam Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)
f
%
0 0 61
0 0 100
61 61
100 100
25
40,9
28
45,9
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perencanaan mengenai target kunjungan dan kebutuan dana tidak ada (0%). Perencanaan tenaga, obat dan bahan habis pakai serta alat kesehatan 100%. Rencana usulan kegiatan program pengobatan di puskesmas
54
Kabupaten Karangasem dimasukkan ke dalam RUK 40,9%, serta pembuatan RPK untuk program pengobatan sebesar 45,9%.
5.3.2 Penerapan Manajemen Puskesmas (Pelaksanaan dan Pengendalian) pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Penilaian terhadap sub variabel pelaksanaan dan pengendalian diukur dengan enam pertanyaan yang berkaitan dengan pelaksanaan lokakarya mini puskesmas, maupun pelaksanaan survei kepuasan baik oleh pihak internal maupun eksternal. Secara rinci diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 5.5 Distribusi Manajemen Puskesmas (Pelaksanaan dan Pengendalian) pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Penilaian Pelaksanaan dan Pengendalian 1 2 3 4 5 6
Dilakukan lokakarya mini (Lokmin) lintas program Dalam lokmin tersebut membahas program pengobatan Dilakukan lokakarya mini lintas sektor membahas program pengobatan Dibuat jadwal petugas di Poli Umum Dilakukan survei kepuasan oleh pihak internal Dilakukan survei kepuasan oleh pihak eksternal
f
%
61
100
61
100
35 46
57,4 75,4
12
19,7
2
3,3
Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa untuk pelaksanaan dan pengendalian sebagian besar termasuk kategori kurang yaitu sebesar 54,1 % (33 orang), sedangkan pelaksanaan dan pengendalian baik sebesar 45,9% (28 orang). Berdasarkan jawaban responden terhadap enam pertanyaan terkait pelaksanaan dan pengendalian, diketahui bahwa semua responden menjawab bahwa dilakukan lokakarya mini lintas
55
program di puskesmas dan membahas kegiatan program pengobatan. Lokakarya mini lintas sektor yang dilaksanakan telah membahas program pengobatan sebesar 57,4%. Jadwal petugas jaga lebih banyak dibuat yaitu sebesar 75,4%. Hampir semua puskesmas kurang melakukan survei kepuasan yaitu dilakukan survei kepuasan oleh pihak internal sebesar 19,7% dan oleh pihak eksternal sebesar 3,3%.
5.3.3 Penerapan Manajemen Puskesmas (Pengawasan dan Pertanggungjawaban) pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Penilaian pengawasan dan pertanggungjawaban diukur dengan lima pertanyaan yang berkaitan dengan pengawasan oleh kepala puskesmas dan pihak dinas kesehatan. Hasil penilaian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.6 Distribusi Penerapan Manajemen Puskesmas (Pengawasan dan Pertanggungjawaban) pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Penilaian Pengawasan dan Pertanggungjawaban 1 2 3 4 5
Kepala puskesmas selalu memantau keberadaan petugas Selalu ada pengawasan kepala puskesmas terkait ketepatan waktu pelayanan Selalu ada pengawasan kepala puskesmas terkait pencatatan dan pelaporan Ada monitoring dinas kesehatan terkait penggunaan obat-obatan Ada monitoring dinas kesehatan terkait ketersediaan SOP di Poli Umum
f
%
35
57,4
37
60,7
34
55,7
60
98,4
6
9,8
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebesar 57,4% telah dilakukan pengawasan terhadap keberadaan petugas, sebesar 60,7%
ada pengawasan kepala
puskesmas terkait ketepatan waktu pelayanan, sebesar 98,4% ada monitoring dinas
56
kesehatan terkait penggunaan obat-obatan, dan sebesar 9,8% monitoring ketersediaan SOP di Poli Umum.
5.4 Komitmen Kerja Petugas pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Variabel komitmen kerja terdiri dari tiga sub variabel yaitu inisiatif, penghayatan visi misi dan peraturan puskesmas. Distribusi komitmen kerja petugas di puskesmas seKabupaten Karangasem adalah seperti tabel di bawah ini. Tabel 5.7 Distribusi Komitmen Kerja Petugas pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Komitmen Kerja Petugas
f
%
33 28
54,1 45,9
41 20
67,2 32,8
21 40
34,4 65,6
Inisiatif Kurang Baik Penghayatan Visi Misi Kurang Baik Ketaatan terhadap Peraturan Puskesmas Kurang Baik
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sub variabel inisiatif dan penghayatan visi misi puskesmas lebih besar termasuk kategori kurang. Inisiatif kurang sebesar 54,1% sedangkan inisiatif baik 45,9%. Penghayatan visi misi kurang sebesar 67,2% dan penghayatan visi misi baik sebesar 32,8%. Ketaatan terhadap peraturan puskesmas sebagian besar termasuk kategori baik yaitu 65,6% sedangkan ketaatan terhadap peraturan puskesmas kurang sebanyak 21 orang (34,4%).
57
5.4.1 Komitmen Kerja Petugas (Inisiatif) pada Poli
Umum di Puskesmas se-
Kabupaten Karangasem Penilaian inisiatif menggunakan empat pertanyaan berkaitan dengan keinginan ber inovasi, keinginan meningkatkan ikompetensi, adanya kerjasama dan keinginan pindah tugas. Hasil penilaian inisiatif dapat digambarkan seperti di bawah ini. Tabel 5.8 Distribusi Komitmen Kerja Petugas (Inisiatif) pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Pertanyaan Penilaian Inisiatif
f
%
1
Adanya keinginan berinovasi
28
54,1
2
Adanya upaya meningkatkan kompetensi
39
63,9
3
Terjalinnya kerjasama tim di Poli Umum
59
96,7
4
Adanya keinginan pindah tempat tugas
30
49,2
Berdasarkan tabel 5.7 diketahui responden yang memiliki keinginan berinovasi sebanyak 28 orang (54,1%). Sebagian besar dari responden memiliki keinginan untuk meningkatkan kompetensi yaitu sebanyak 39 orang (63,9%). Sebesar 96,7% ada kerjasama yang baik di Poli Umum dalam melaksanakan tugas. Responden yang memiliki keinginan untuk pindah tugas yaitu sebesar 30 orang (49,2%).
5.4.2 Komitmen Kerja Petugas (Penghayatan Visi Misi) (pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Hasil penilaian untuk penghayatan visi misi diketahui dari hasil jawaban responden terhadap tiga pertanyaan yang meliputi pengetahuan terhadap visi misi, sosialisasi visi misi dan pelayanan berdasarkan visi misi seperti pada tabel di bawah ini.
58
Tabel 5.9 Distribusi Komitmen Kerja Petugas (Penghayatan Visi Misi) pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Penilaian Penghayatan Visi Misi
f
%
1
Mengetahui visi misi puskesmas
19
31,2
2
Visi misi disosialisasikan kepada seluruh staf
21
34,5
3
Melaksanakan pelayanan pengobatan berdasarkan visi misi
18
29,5
Berdasarkan tabel diatas, hanya 31,2% yang mengetahui visi misi puskesmasnya masing-masing. Menurut jawaban responden yaitu sebesar 21 responden (34,5%) menyatakan bahwa visi misi puskemas disosialisasikan ke seluruh staf. Hanya 18 orang atau 29,5% responden yang melaksanakan pelayanan pengobatan berdasarkan visi misi.
5.4.3 Komitmen Kerja Petugas (Ketaatan terhadap Peraturan Puskesmas) pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Hasil penilaian untuk ketaatan terhadap peraturan puskesmas diukur dengan empat pertanyaan seperti yang tercantum dalam tabel di bawah ini. Tabel 5.10 Distribusi Komitmen Kerja Petugas (Ketaatan terhadap Peraturan Puskesmas) pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Penilaian Peraturan Puskesmas 1 2 3 4
Selalu mengikuti aturan jam pelayanan Selalu mengikuti tata tertib puskesmass Puas terhadap aturan tata tertib Puas terhadap aturan pembagian tugas
f
%
51
83,6
57 47
93,4 77,1
44
72,1
59
Berdasarkan tabel diatas, hampir sebagian besar dari jumlah responden mengikuti aturan jam pelayanan yaitu sebesar 51 orang (83,6%). Menurut jawaban responden yaitu sebesar 47 responden (77,1%) menyatakan bahwa puas dengan aturan tata tertib di puskesmas dan 72,1% puas dengan aturan pembagian tugas.
5.5 Mutu Pelayanan Pengobatan di Puskesmas Kabupaten Karangasem Mutu pelayanan pengobatan pada poli umum puskesmas di Kabupaten Karangasem diperoleh dari hasil penilaian terhadap lima dimensi mutu pelayanan. Mutu pelayanan pengobatan secara umum termasuk kategori kurang yaitu sebesar 75,4% dan mutu pelayanan pengobatan baik sebesar 24,6%. Kategori mutu berdasarkan masing-masing dimensi dari mutu pelayanan yang meliputi bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Mutu Pelayanan Pengobatan di Puskesmas Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Gambaran Mutu Pelayanan Pengobatan Bukti Fisik Kurang Baik
f
%
46 15
75,4 24,6
12 49
19,7 80,3
40 21
65,6 34,4
31 30
50,8 49,2
12 49
19,7 80,3
Kehandalan Kurang Baik Daya Tanggap Kurang Baik Jaminan Kurang Baik Empati Kurang Baik
60
Tabel 5.11 dari masing-masing dimensi, bukti fisik kurang sebesar 75,4 %, bukti fisik baik sebesar 24,6 %. Dimensi kehandalan lebih besar termasuk dalam katagori baik yaitu 80,3%, dan sisanya kategori kurang yaitu sebesar 21,3%. Penilaian dimensi daya tanggap yang termasuk kategori kurang lebih besar dari daya tanggap baik, yaitu daya tanggap kurang sebesar 65,6%, dan daya tanggap baik 34,4%. Dimensi yang keempat yaitu jaminan, pada penelitian ini diperoleh hasil untuk kategori kurang sebesar 50,8% dan baik sebesar 49,2%, sedangkan dimensi empati lebih besar kategori baik yaitu 80,3% dan kategori kurang sebesar 19,7%.
5.6 Hubungan Karakteristik Responden dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem Hasil uji bivariat pada penelitian hubungan karakteristik responden dengan mutu pelayanan dapat dilihat pada tabel 5.12 Tabel 5.12 Hubungan Karakteristik Responden dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Mutu Pelayanan Pengobatan Karakteristik
Kurang f (%)
Baik f (%)
OR
95% CI
Nilai p
Umur 20- 39 tahun ≥ 39 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Profesi Dokter Perawat Masa kerja < 15 tahun ≥15 tahun
19 27
(41,3) (58,7)
7 (46,7) 8 (53,3)
0,8
0,24-2,59
0,72
23 23
(50,0) (50,0)
6 (40,0) 9 (60,0)
1,5
0,46-4,89
0,50
11 35
(23,9) (76,1)
3 (20,0) 12 (80,0)
1,3
0,29-5,28
0,76
17 29
(36,9) (63,1)
9 (60,0) 6 (40,0)
0,39
0,12-1,29
0,12
61
Tabel 5.12 menunjukan bahwa karakteristik reponden yang meliputi kelompok umur, jenis kelamin, profesi dan masa kerja dengan mutu pelayanan pengobatan secara statistik tidak berhubungan secara bermakna dengan mutu pelayanan pengobatan pada poli umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem. Hal tersebut terlihat dari nilai p seluruhnya lebih dari 0,05 dan 95%CI dari masing-masing variabel mencakup angka 1 di dalamnya.
5.7 Hubungan Penerapan Manajemen Puskesmas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Hasil analisis untuk mengetahui hubungan
penerapan manajemen puskesmas
dengan mutu pelayanan pengobatan dapat dilihat seperti tabel di bawah ini. Tabel 5.13 Hubungan Penerapan Manajemen Puskesmas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Mutu Pelayanan Pengobatan Variabel
Penerapan Manajemen Puskesmas
Kategori
Baik f (%)
Kurang f (%)
Baik
11 (73,3))
18 (39,1)
Kurang
4 (26,7)
28 (60,9)
OR
95%CI
4,3
1,03-20,81
Nilai p
0,02
Berdasarkan tabel 5.13 diketahui bahwa pada mutu pelayanan pengobatan baik 73,3% memiliki penerapan manajemen yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 39,1% memiliki penerapan manajemen puskesmas yang baik. Perbedaan tersebut menghasilkan OR sebesar 4,3 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada penerapan manajemen baik 4,3 kali
62
dibandingkan penerapan manajemen puskesmas yang kurang. Setelah diuji statistik hubungan tersebut bermakna dengan 95% CI dari OR: 1,03-20,81 dan nilai p =0,02. Hubungan masing-masing sub variabel penerapan manajemen puskesmas dengan mutu pelayanan pengobatan adalah sebagai berikut : Tabel 5.14 Hubungan Sub Variabel Penerapan Manajemen Puskesmas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Sub Variabel Penerapan Manajemen Puskesmas Perencanaan Baik Kurang Pelaksanaan dan Pengendalian Baik Kurang Pengawasan dan Pertanggungjawaban Baik Kurang
Mutu Pelayanan Pengobatan
OR
95% CI
Nilai p
3,9
0,94-19,0
0,03
Baik f (%)
Kurang f (%)
11 (73,3) 4 (26,7)
19 (41,3) 27 (58,7)
9 (60,0) 6 (40,0)
19 (41,3) 27 (58,7)
2,1
0,55-8,51
0,20
11 (73,3) 4 (26,7)
17 (36,9) 29 (63,0)
4,7
1,13-22,86
0,01
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa pada mutu pelayanan pengobatan baik 73,3% memiliki perencanaan yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 41,3% memiliki perencanaan yang baik. Perbedaan tersebut menghasilkan OR sebesar 3,9 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada perencanaan baik 3,9 kali dibandingkan perencanaan yang kurang. Setelah diuji statistik hubungan tersebut tidak bermakna karena ada angka 1 dalam nilai 95% CI dari OR yaitu 0,94-19,0 dan walaupun nilai p lebih kecil dari 0,05 (p = 0,03). Dilihat dari pelaksanaan dan pengendalian, diketahui bahwa pada mutu pelayanan pengobatan baik 60,0% memiliki pelaksanaan dan pengendalian yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 41,3% memiliki pelaksanaan dan
63
pengendalian yang baik. Perbedaan tersebut menghasilkan OR sebesar 2,1 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada pelaksanaan dan pengendalian baik 2,1 kali dibandingkan pelaksanaan dan pengendalian yang kurang. Setelah diuji statistik hubungan tersebut tidak bermakna dengan 95% CI dari OR: 00,55-8,51 dan nilai p = 0,20. Dilihat dari pengawasan dan pertanggungjawaban, terlihat bahwa pada mutu pelayanan pengobatan baik 73,3% memiliki pengawasan dan pertanggungjawaban yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki pengawasan dan pertanggungjawaban yang baik. Perbedaan tersebut menghasilkan OR sebesar 4,7 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada pengawasan dan pertanggungjawaban baik 4,7 kali dibandingkan pengawasan dan pertanggungjawaban yang kurang. Setelah diuji statistik hubungan tersebut bermakna dengan 95% CI dari OR: 1,13-22,86 dan nilai p = 0,01.
5.8 Hubungan Komitmen Kerja Petugas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Hasil analisis untuk mengetahui hubungan komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan dapat dilihat seperti tabel di bawah ini. Tabel 5.15 Hubungan Komitmen Kerja Petugas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Mutu Pelayanan Pengobatan Variabel
Komitmen Kerja Petugas
Kategori
Baik
Kurang
Baik f (%) 13 (86,7) 2 (13,3)
Kurang f (%) 17 (36,9) 29 (63,0)
OR
95%CI
11,1
2,04-108,5
Nilai p
0,001
64
Berdasarkan tabel 5.15 diketahui bahwa pada mutu pelayanan pengobatan baik 86,7% memiliki komitmen kerja petugas yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki komitmen kerja petugas yang baik. Perbedaan tersebut menghasilkan OR sebesar 11,1 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada komitmen kerja petugas baik 11,1 kali dibandingkan komitmen kerja yang kurang. Setelah diuji statistik hubungan tersebut bermakna dengan 95% CI dari OR: 2,04-108,5 dan nilai p = 0,001. Hubungan masing-masing sub variabel komitmen kerja petugas yang terdiri dari inisiatif, penghayatan visi misi dan ketaatan terhadap peraturan puskesmas dengan mutu pelayanan pengobatan adalah seperti tabel berikut ini : Tabel 5.16 Hubungan Sub Variabel Komitmen Kerja Petugas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Sub Variabel Komitmen Kerja Petugas Inisiatif Baik Kurang Penghayatan Visi Misi Baik Kurang Ketaatan terhadap Peraturan Puskesmas Baik Kurang
Mutu Pelayanan Pengobatan Baik f (%)
Kurang f (%)
OR
95% CI
Nilai p
11 (73,3) 4 (26,7)
17 (36,9) 29 (63,0)
4,7
1,13-22,86
0,01
8 (53,3) 7 (46,7)
12 (26,1) 34 (73,9)
3,2
0,81-12,89
0,05
13 (86,7) 2 (13,3)
27 (58,7) 19 (41,3)
4,5
0,85-45,3
0,05
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa pada mutu pelayanan pengobatan baik 73,3% memiliki inisiatif yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki inisiatif yang baik. Perbedaan tersebut menghasilkan OR sebesar 4,7 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada
65
inisiatif
baik 4,7 kali dibandingkan inisiatif
yang kurang. Setelah diuji statistik
hubungan tersebut bermakna dengan 95% CI dari OR: 1,13-22,86 dan nilai p= 0,01. Dilihat dari penghayatan visi misi, menunjukkan bahwa pada mutu pelayanan pengobatan baik 53,3% memiliki penghayatan visi misi yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 26,1% memiliki penghayatan visi misi yang baik. Perbedaan tersebut menghasilkan OR sebesar 3,2 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada penghayatan visi misi baik 3,2 kali dibandingkan penghayatan visi misi yang kurang. Setelah diuji statistik hubungan tersebut tidak bermakna dengan nilai 95% CI dari OR: 0,81-12,89 dan nilai p= 0,05. Dilihat dari ketaatan terhadap peraturan puskesmas menunjukkan bahwa pada mutu pelayanan pengobatan baik 86,7% memiliki ketaatan terhadap peraturan puskesmas yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 58,7% memiliki ketaatan terhadap peraturan puskesmas
yang baik. Perbedaan tersebut
menghasilkan OR sebesar 4,5 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada ketaatan terhadap peraturan puskesmas
baik 4,5 kali
dibandingkan ketaatan terhadap peraturan puskesmas yang kurang. Namun setelah diuji statistik hubungan tersebut tidak bermakna dengan 95% CI: 0,85-45,3 dan nilai p= 0,05.
5.9 Hasil Analisis Multivariat Analisis mutivariat yang di gunakan pada penelitian ini adalah regresi logistik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
secara independen dari variabel dependen
dengan variabel terikat. Metode eleminasi yang digunakan dalam analisis ini adalah
66
Enter yaitu memasukkan semua variabel sekaligus ke dalam model. Variabel yang dimasukkan adalah variabel yang mempunyai pengaruh yang bermakna secara statitik dan variabel karakteristik responden yang mempunyai nilai p hasil uji Chi square < 0,25. Hasil analisis multivariat tersebut seperti tabel di bawah ini. Tabel 5.17 Hasil Analisis Multivariat Variabel Penerapan Manajemen Puskesmas Komitmen Kerja Petugas dan Karakteristik Responden di Kabupaten Karangasem Tahun 2015 95% Confident Interval Variabel
OR
batas bawah
batas atas
Nilai p
Penerapan Manajemen Puskesmas
0,9
0,18
5,24
0,98
Komitmen Kerja
11,3
1,75
73,06
0,01
Masa Kerja
0,3
0,09
1,59
0,19
Berdasarkan model tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa variabel yang secara mandiri (independent) berhubungan dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem
adalah variabel komitmen kerja
petugas. Komitmen kerja petugas yang baik akan meningkatkan peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik sebesar 11,3 kali dibandingkan komitmen kerja petugas yang kurang dan secara statistik hubungan tersebut bermakna dengan 95% CI dari OR 1,75-73,06 dan nilai p=0,01.
5.10
Analisis Lanjutan Hubungan Komitmen Kerja dan Penerapan Manajemen Puskesmas
Analisis lanjutan pasca analisis multivariat dilakukan untuk lebih memperdalam hasil penelitian dengan mengidentifikasi apakah ada hubungan antar variabel yang
67
membentuk suatu mekanisme tertentu. Analisis lanjutan ini bertujuan untuk mencoba mengidentifikasi apakah ada hubungan variabel komitmen kerja terhadap penerapan manajemen puskesmas . Hasil analisis lanjutan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.18 Hubungan Komitmen Kerja Petugas dengan Penerapan Manajemen Puskesmas pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Tahun 2015
Variabel
Komitmen Kerja Petugas
Kategori
Baik
Kurang
Penerapan Manajemen Puskesmas Baik Kurang f (%) f (%) 23 (79,31) 6 (20,69)
OR
95%CI
Nilai p
13,7
3,5-56,6
<0,001
7 (21,88) 25 (78,13)
Tabel 5.18 merupakan hasil analisis hubungan variabel komitmen kerja petugas dengan penerapan manajemen puskesmas. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan adanya hubungan komitmen kerja dengan penerapan manajemen puskemas dengan nilai OR 13,7 dan secara statistik dinyatakan bermakna dengan 95% CI dari OR 3,5-56,6 dan nilai p<0,001.
68
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Mutu pelayanan memegang peranan penting untuk meningkatkan daya saing dari organisasi dalam merebut pasar. Mutu pelayanan merupakan kesesuaian antara pelayanan yang diberikan dengan kebutuhan yang diharapkan. Mutu pelayanan juga mengandung arti kesesuaian dengan standar pelayanan yang dapat dilihat dari dimensi bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati. Penelitian ini memberikan gambaran bagaimana petugas pada poli umum di puskesmas Kabupaten Karangasem dalam memberikan mutu pelayanan pengobatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mutu pelayanan pengobatan pada poli umum puskesmas di Kabupaten Karangasem masih kurang yaitu sebesar 75,41 % dan sudah baik sebesar 24,59%. Mutu pelayanan pengobatan diperoleh dari penilaian terhadap lima dimensi mutu yaitu bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan kepastian dan empati. Dimensi mutu yang dominan masih kurang pada hasil penelitian ini adalah bukti fisik, daya tanggap, jaminan kepastian dan empati. Bukti fisik yang terlihat masih kurang berdasarkan jawaban responden adalah mengenai keterbatasan ruang tunggu pasien dan tempat parkir. Hampir semua puskesmas memiliki keterbatasan ruang tunggu dan tempat parkir karena kondisi lahan puskesmas yang masih kurang luas. Dokumen perencanaan untuk program pengobatan hampir tidak ada pada penanggungjawab program namun menurut keterangan yang disampaikan oleh responden, dokumen perencanaan di puskesmas sudah dibuat dalam dokumen Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP). Dalam PTP yang dibuat puskesmas
68
69
program pengobatan hanya yang dibuat adalah rencana tenaga, obat dan alat kesehatan yang dituangkan. PTP puskesmas lebih banyak memuat program preventif dan promotif. Program inovasi untuk pengobatan tidak ada dituangkan dalam PTP. Jadwal terlihat lebih banyak sudah tertempel dan mudah dilihat. Puskesmas yang tidak membuat dan menempel jadwal jaga petugas di poli umum, berdasarkan keterangan responden karena hanya satu sampai dua orang yang ditunjuk untuk bertugas di poli umum dan lebih banyak terlibat di pelayanan pengobatan. Tempat cuci tangan sudah tersedia di poli umum, tetapi saat ini ada beberapa yang sedang rusak. Alat kesehatan dan obat sebagian besar sudah terpenuhi walaupun ada beberapa obat yang masih kurang karena tidak masuk dalam perencanaan. Bukti fisik merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang kesembuhan pasien (Dwidyantini, 2014). Senada dengan yang disampaikan oleh Hala, S. (2013) yaitu salah satu indikator penilaian pelayanan yang berkualitas adalah kenyamanan pelayanan, ruangan yang nyaman serta peralatan yang lengkap. Dilihat dari dimensi kehandalan, hasil penilaian berdasarkan jawaban responden diketahui sudah baik. Kehandalan dalam hal ini meliputi pelayanan tepat waktu, melaksanakan tugas sesuai kewenangan, memberikan informasi yang dibutuhkan. Pelatihan terkait pengobatan di puskesmas masih kurang. Berdasarkan alasan dari responden karena kurang adanya penyelenggaraan dari dinas kesehatan dan karena keterbatasan dana. Kehandalan berkaitan dengan kepuasan pasien, seperti hasil dari penelitian dari Dwidyaniti (2014) bahwa ada hubungan yang bermakna antara persepsi kehandalan dengan kepuasan pasien dan penelitian dari Ester (2009) bahwa kehandalan perawat berhubungan dengan kepuasan.
70
Dilihat dari dimensi daya tanggap yang dominan masih kurang dan perlu mendapat perhatian pada pelayanan pengobatan di puskesmas Kabupaten Karangasem adalah kecepatan dan ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan. Daya tanggap yang kurang terlihat dari hasil jawaban responden yang mengatakan pasien sering mengeluh karena lama menunggu petugas sedang keluar atau istirahat makan. Pasien juga sering mengeluh terkait dengan kecepatan dalam pelayanan pengobatan terutama saat pendaftaran di loket. Daya tanggap mencerminkan kualitas pelayanan yang diberikan sesuai dengan pendapat James (2013) yang menyatakan bahwa ketanggapan dan kepekaan terhadap kebutuhan pasien akan meningkatkan mutu pelayanan. Wijono (2011) juga berpendapat berdasarkan sudut pandang pengguna jasa pelayanan, mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang dapat memenuhi segala kebutuhan pasien melalui pelayanan yang sopan, menghargai, tanggap, dan ramah. Dilihat dari dimensi jaminan, menurut Wathek (2012) jaminan pada mutu pelayanan meliputi pengetahuan, kemampuan dari petugas dalam menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan dari pelanggan. Jaminan pada penelitian ini yang perlu mendapat perhatian adalah terkait dengan penggunaan alat pelindung diri dan keteraturan menggunakan informed consent setiap pelayanan yang akan diberikan kepada pasien. Penggunaan alat pelindung diri dan penggunaan informed consent adalah mencerminkan pelayanan yang sesuai prosedur dan memperlihatkan profesionalisme dalam memberikan pelayanan, sehingga mampu memberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan. Sesuai dengan hasil penelitian oleh yang menyatakan bahwa persepsi jaminan dengan kepuasan pasien (Dwidyantini, 2014). Penelitian
Mastiur
(2012) juga menunjukkan pengaruh signifikan dengan kepuasan dan serupa dengan
71
penelitian Nor, K. (2013) di Malaysia bahwa jaminan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien. Dilihat dari dimensi empati yang meliputi kesediaan petugas dalam meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan pasien dan kemudahan untuk dihubungi jika ada permasalahan yang dihadapi setelah mendapatkan
pelayanan, serta fokus dalam
memberikan pelayanan. Penilaian terhadap empati pada penelitian ini diketahui petugas pada poli umum di puskesmas Kabupaten Karangasem sudah termasuk dalam kategori baik. Menurut asumsi peneliti bahwa dengan empati yang baik akan meningkatkan kepuasan pasien pada Poli Umum di puskesmas Kabupaten Karangasem, sesuai dengan hasil penelitian oleh Dwidyantini (2014) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara persepsi empati dengan kepuasan pasien. Sejalan dengan hasil penelitian oleh Manimaran (2010) di Rumah Sakit Dindigul India, mempunyai hubungan signifikan dengan kepuasan pasien.
bahwa empati
Senada pula apa yang
dinyatakan oleh Wathek dkk (2012) bahwa empati berhubungan dengan kepuasan pasien. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Chendkk.(2007) yaitu respon atau daya tanggap dan empati merupakan faktor yang sangat penting dalam kualitas asuhan keperawatan, sehingga nantinya perawat mampu memberikan pelayanan yang bermutu dan memuaskan pasien serta dapat menumbuhkan rasa percaya pasien. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan mutu pelayanan pengobatan berdasarkan hasil analisis bivariat dalam penelitian ini adalah komitmen kerja dan penerapan manajemen. Mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem secara langsung tidak dipengaruhi oleh karakteristik individu petugas seperti umur, jenis kelamin, profesi dan masa kerja.
72
Hasil penelitian ini sesuai jika dikaitkan dengan konsep dari Azwar (1994) dalam Endarwati (2012) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan adalah unsur masukan, lingkungan dan proses.
Serupa dengan yang
disampaikan oleh Muninjaya (2014) bahwa output dari sistem pelayanan dipengaruhi oleh input, proses dan lingkungan. Hal tersebut dikatakan sesuai karena dalam penelitian ini menunjukkan bahwa unsur masukan salah satunya yang berpengaruh adalah unsur input dalam hal ini sumber daya manusia. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian oleh Rai (2005) yang dilaksanakan di Puskesmas Kabupaten Bangli yang menunjukkan 3% mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh karyawan. Penelitian ini juga sejalan yang disampaikan oleh Irawan (2004) dalam Naya (2013) menunjukkan bahwa perusaahan terhambat dalam memberikan mutu pelayanan karena faktor karyawan. Penelitian ini mengambil dari sisi petugas dengan meneliti salah satu unsur yang mempengaruhi petugas
yaitu komitmen kerja. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa salah satu dari sub variabel komitmen kerja petugas yaitu inisiatif berhubungan dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se Kabupaten Karangasem. Penelitian ini juga meneliti dari unsur proses, dalam hal ini yang dilihat dalam unsur proses dari mutu salah satunya adalah penerapan manajemen puskesmas yang termasuk dalam kegiatan non medis yang dilakukan oleh puskesmas.
Penerapan
manajemen puskesmas dalam hal ini meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan pertanggung jawaban. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa mutu pelayanan pengobatan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas di Kabupaten Karangasem berhubungan dengan penerapan manajemen puskesmas terutama pada pengawasan dan pertanggungjawaban.
73
Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik responden pada penelitian ini tidak mempengaruhi mutu pelayanan pengobatan di puskesmas Kabupaten Karangasem. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Naya, A. tahun 2013 bahwa umur dan masa kerja mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas Mengwi I Badung, dimana umur petugas diatas 30 tahun dan masa kerja yang lebih lama
memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan.
6.2 Penerapan Manajemen Puskesmas pada Poli Umum di Puskesmas seKabupaten Karangasem Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa penerapan manajemen puskesmas pada pada program pengobatan di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem termasuk dalam kategori kurang
yaitu sebesar 52,5% dan penerapan manajemen
puskesmas kategori baik sebesar 47,5%.
Penerapan manajemen kurang karena
dipengaruhi oleh perencanaan yang kurang (50,8%), pelaksanaaan dan pengendalian kurang (54,1%) dan pengawasan dan pertanggung jawaban juga kurang (54,1%). Dilihat dari subvariabel perencanaan, perencanaan pada program pengobatan di puskesmas se-Kabupaten Karangasem termasuk dalam kategori kurang. Hal ini ditunjukkan dengan jawaban responden dimana hampir seluruh puskesmas tidak membuat target dari jumlah kunjungan dan dana yang dibutuhkan untuk kegiatan pengobatan. Target kunjungan tidak dibuat, karena menurut alasan responden adalah ada yang menyatakan bahwa tidak tahu cara menghitung target.
Dana tidak
direncanakan karena perencanaan terkait dana di lakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem. Dana yang direncanakan di buat berdasarkan usulan alat-alat
74
dan obat yang dibutuhkan oleh puskesmas. Perencanaan terkait dengan program pengobatan tidak semua dimasukkan dalam rencana usulan kegiatan dan rencana pelaksanaan kegiatan. Berdasarkan hasil jawaban responden diketahui bahwa perencanaan khusus di program pengobatan masih kurang, karena sampai saat ini yang dimasukkan dalam usulan perencanaan puskesmas masih memprioritaskan kegiatankegiatan yang termasuk dalam program promotif dan preventif. Program pengobatan di puskesmas tidak kegiatan inovasi yang direncanakan dalam PTP. Seluruh program yang ada di puskesmas baik program pengobatan maupun program promotif dan preventif semestinya dibuatkan perencanaan yang baik untuk mendapatkan hasil yang baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan manajemen puskesmas dilakukan oleh Ramsar, U. dkk (2012), menunjukkan bahwa dalam perencanaan pada delapan
bagian unit di puskesmas
Minasa Upa Kota Makassar tersebut selalu dimulai dengan penentuan program kegiatan yang akan dilakukan selama kegiatan akan berjalan. Hasil penelitian tersebut menerangkan bahwa perencanaan kegiatan itu mencakup penyusunan rencana kegiatan, rencana tempat dan waktu pelaksanaan kegiatan, jadwal kegiatan, biaya, manajemen pelaksanaan kegiatannya bagaimana dan semua hal yang menyangkut dari perencanaan pelaksanaan kegiatan. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Ningrum (2006) yaitu
perencanaan selalu menjadi pondasi utama dalam pelaksanaan kegiatan guna mendapatkan hasil yang telah ditetapkan. Menurut hasil penelitian Ramsar dkk. (2012), menunjukkan bahwa langkah awal dalam
menjalankan apa
yang telah direncanakan yaitu dengan melakukan
pengelompokkan kelompok kerja terlebih dahulu sebelum pembagian tugas dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kegiatan yang direncanakan akan
75
dilaksanakan dengan lebih terarah, seperti dalam melaksanakan perencanaan UKGS hal yang dilakukan yaitu mengetahui jumlah sekolah, meminta data murid dari tiap sekolah, mengatur tenaga dan mengatur jadwal pelaksanaan UKGS. Petugas juga melaksanakan penyusunan RKO seperti mengatur tenaga, jadwal pelaksanaan UKGS, dan penentuan sumber dana yang berasal dari BOK. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Richard, B. dkk. (2006) bahwa perencanaan strategis dalam suatu organisasi adalah untuk memperoleh keuntungan melalui penggunaan misi dan identifikasi tujuan. Dilihat dari sub variabel pelaksanaan dan pengendalian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan dan pengendalian puskesmas pada program pengobatantermasuk kategori kurang. Hasil tersebut diperoleh dari enam pertanyaan yang diajukan kepada responden. Berdasarkan jawaban responden diketahui bahwa telah dilakukan lokakarya mini lintas program di puskesmas se Kabupaten Karangasem dan telah membahas kegiatan program pengobatan. Sebagian besar puskesmas membuat jadwal petugas jaga di Poli Umum dan ditempel pada tempat yang mudah dilihat seperti ditempel pada tembok dekat pintu masuk Poli Umum. Hal ini bertujuan untuk memudahkan melihat petugas yang sedang bertugas di poli umum dan memudahkan koordinator dalam berkoordinasi. Survei kepuasan kepada pelanggan baik oleh pihak internal dan eksternal sampai saat ini hampir tidak pernah dilaksanakan oleh sebagian besar puskesmas di Kabupaten Karangasem. Menurut alasan responden adalah karena tidak ada format kuesioner yang akan diberikan kepada pelanggan dan tidak ada yang memerintahkan untuk melakukan survei kepuasan pelanggan baik oleh kepala puskesmas maupun oleh dinas kesehatan. Menurut asumsi peneliti bahwa dengan tidak pernah dilakukannya survei kepuasan pelangan internal dan eksternal, puskesmas di Kabupaten Karangasem belum dapat mengevaluasi sejauh mana mutu pelayanan dan
76
kepuasan pasien terhadap pelayanan di puskesmas. Hal ini dapat menjadi kendala dalam melakukan koordinasi, serta pengarahan kepada petugas sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan dengan tepat. Rismawati (2012) menyatakan bahwa koordinasi dan pengarahan dilakukan agar semua komponen dapat menjalankan tugas mereka sesuai dengan perannya masingmasing demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pada dasarnya suatu kegiatan yang tanpa diikut sertakan dengan adanya koordinasi, komunikasi dan pengarahan akan mengalami hambatan dalam hal pencapaian tujuan kegiatan yang telah direncanakan sebelummnya. Dilihat dari sub variabel pengawasan dan pertanggungjawaban pada penelitian ini, diketahui hasil penilaian terhadap pertanyaan terkait ada tidaknya pengawasan dari kepala puskesmas baik terhadap keberadaan petugas, ketepatan waktu pelayanan dan pencatatan dan pelaporan untuk kegiatan di Poli Umum, sebagian besar diketahui tidak adanya pengawasan secara rutin dari kepala puskesmas terhadap pelayanan di Poli Umum. Kegiatan monitoring dari dinas kesehatan terhadap ketersediaan SOP terkait pelayanan pengobatan di Poli Umum diketahui masih belum dilaksanakan pada sebagian besar puskesmas. SOP yang ada masih terlihat terbatas, hanya monitoring terkait ketersediaan
obat dan bahan habis pakai hampir semua (93,4%) telah
dilaksanakan oleh dinas kesehatan. Pengawasan (controlling) sebagai elemen atau fungsi manajemen dalam hal mengamati dan mengalokasikan dengan tepat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Hasil penelitian oleh Mu’rifah (2012) tentang analisis kinerja pelayanan kesehatan pada puskesmas Batua Makassar menunjukkan pelaksanaan evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi untuk
77
diperbaiki dalam rangka mewujudkan tujuan . Hasil penelitian lain oleh Ramsar ,U. dkk tahun 2012 menyatakan
bahwa dari serangkaian kegiatan yang telah disusun dan
direncanakan yang kemudian berakhir pada tahap pengawasan yang akan menjadi koreksi untuk pelaksanaan kegiatan selanjutnya yang lebih baik.
6.3 Komitmen Kerja Petugas pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Komitmen kerja petugas ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk berprestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif melakukan asuhan pelayanan kesehatan termasuk di puskesmas (Luthans, 2006). Berdasarkan hasil penilaian pada penelitian ini diketahui bahwa komitmen kerja petugas pada Poli Umum di Puskesmas di Kabupaten Karangasem masih termasuk kategori kurang yaitu sebesar 50,8% dan komitmen kerja baik sebesar 49,2%. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penilaian terhadap tiga sub variabel yaitu inisiatif, penghayatan visi misi dan peraturan puskesmas. Hasil penelitian terhadap inisiatif pada program pengobatan di poli umum menunjukkan bahwa petugas yang memiliki inisiatif
dalam pelaksanaan program
pengobatan masih kurang yaitu sebesar 54,1%. Inisiatif kurang ditunjukkan dengan jawaban responden lebih sedikit yang menjawab terkait dengan adanya keinginan melakukan inovasi untuk pengembangan program pengobatan yaitu sebesar 54,1% dibandingkan dengan responden yang sudah merasa cukup atau
hanya
melanjutkan
pelayanan pengobatan yang sudah ada. Keinginan untuk pindah tugas dari tempat sekarang juga banyak yaitu sebesar 50,8%.
Keinginan pindah tugas lebih banyak
karena ingin kembali ke daerah tempat tinggal atau tempat asal. Menurut asumsi
78
peneliti hal ini akan dapat mempengaruhi kinerja dalam memberikan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Adanya inisiatif salah satu tercermin dari adanya inovasi-inovasi dalam pengembangan kegiatan untuk meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan, hal ini sesuai dengan yang disampaikan Kotler dkk. (2010) dalam Kumalasari, C. (2013) yaitu untuk
dapat berhasil
suatu perusahaan perlu memahami konsumen dengan terus
meningkatkan cocreation, communitization, dan karakter. Cocreation merupakan suatu istilah yang menggambarkan pendekatan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru. Dilihat dari penghayatan visi misi, diketahui juga bahwa petugas yang memiliki penghayatan visi misi dalam pelaksanaan program pengobatan masih kurang yaitu sebesar 67,2%. Penghayatan visi misi kurang ditunjukkan dengan jawaban responden hanya sebagian kecil mengetahui visi misi masing-masing puskesmas.
Responden
mempunyai alasan tidak mengetahui visi misi puskesmas karena tidak pernah disosialisasikan atau memang responden tidak memperhatikan visi misi yang tertempel ataupun tercantum dalam dokumen yang ada di puskesmas. Hal ini menurut asumsi peneliti, dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari di puskesmas tidak pernah mengacu kepada visi misi. Ada tidaknya visi misi terkesan hanya merupakan sebuah kalimat yang harus ada sebagai persyaratan dari sebuah instansi termasuk puskesmas. Sebenarnya apapun yang dilakukan semestinya mengacu kepada visi misi puskesmas sehingga dapat meningkatkan kinerja atau kualitas dari pelayanan yang akan diberikan. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Mangkuprawira, (2009) dalam Wijaya, G. (2012) bahwa dalam peningkatan komitmen kerja memerlukan penghayatan visi dan misi puskesmas. Visi merupakan suatu pernyataan yang berisi
79
tentang cita-cita dari organisasi, sedangkan misi mencakup kegiatan jangka panjang dan jangka pendek yang akan dilaksanakan dalam mencapai visi. Dilihat dari sub variabel yang ketiga yang mempengaruhi komitmen kerja petugas poli umum di puskesmas Kabupaten Karangasem adalah subvariabel ketaatan terhadap peraturan puskesmas. Peraturan puskesmas dalam hal ini
berupa tata tertib yang
mengikat petugas melaksanakan kegiatan pelayanan sehingga tidak menyimpang dari tujuan puskesmas. Hasil penilaian terhadap ketaatan terhadap peraturan puskesmas pada program pengobatan menunjukkan bahwa petugas yang memiliki ketaatan terhadap peraturan puskesmas dalam pelaksanaan program pengobatan termasuk kategori baik yaitu sebesar 65,6%. Hasil dari sub variabel ketaatan terhadap peraturan puskesmas baik diperoleh dari pertanyaan terkait dengan adanya ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan, kepuasan terhadap aturan tata tertib dan kepuasan terhadap pembagian tugas oleh kepala puskesmas. Menurut asumsi peneliti bahwa terkait dengan ketepatan terhadap jam pelayanan karena saat ini puskesmas di Kabupaten Karangasem telah menerapkan absen dengan sidik jari dan akan digunakan sebagai perhitungan pembagian jasa pelayanan dana kapitasi JKN.
6.4 Hubungan Penerapan Manajemen Puskesmas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem Penerapan manajemen puskesmas merupakan suatu proses dalam mendukung pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan (Alamsyah, 2011). Penelitian ini melakukan analisis hubungan penerapa manajemen puskesmas dengan mutu pelayanan di puskesmas, khususnya program pengobatan pada Poli Umum di puskesmas seKabupaten Karangasem.
80
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa
mutu pelayanan pengobatan baik
73,3% memiliki penerapan manajemen yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 39,1% memiliki penerapan manajemen puskesmas yang baik. Penerapan manajemen puskesmas yang baik dapat berpeluang memberikan mutu pelayanan pengobatan yang baik sebesar 4,3 kali dari penerapan manajemen puskesmas yang kurang. Namun setelah dilakukan analisis multivariat didapatkan nilai OR independen hanya sebesar 1,1 dan secara statistik tidak bermakna.
Hal ini berarti
setelah memperhitungkan variabel lain dalam hal ini komitmen kerja petugas pengaruh penerapan manajemen puskesmas relatif lemah terhadap mutu pelayanan pengobatan, karena adanya hubungan komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan yang sangat kuat. Setelah dilakukan analisis tambahan ternyata secara statistik terlihat bahwa komitmen kerja petugas sangat kuat mempengaruhi penerapan manajemen puskesmas, sehingga peneliti berhasil membuktikan bahwa akar permasalahan mutu pelayanan pengobatan adalah komitmen kerja petugas. Jika ingin memperbaiki mutu pelayanan pengobatan maka yang perlu ditingkatkan adalah komitmen kerja petugas sehingga dengan komitmen kerja yang baik, penerapan manajemen puskesmas akan baik, dan mutu pelayanan pengobatan pun akan baik pula. Menurut asumsi peneliti penerapan manajemen puskesmas tetap memiliki hubungan dengan mutu pelayanan pengobatan namun tidak secara independent, tetapi bersama-sama dengan faktor lain. Hasil ini diperoleh karena dipengaruhi oleh data yang dikumpulkan terkait dengan penerapan manajemen petugas dilakukan kepada petugas pada poli umum sehingga hanya berdasarkan persepsi petugas terkait dengan penerapan manajemen yang dilaksanakan oleh koordinator poli umum dan pihak manajemen puskesmas lainnya.
81
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh oleh Ningrum, S.F
tahun 2006 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan
penggerakan, pengawasan, penilaian, pencatatan dan pelaporan dengan keberhasilan program PMT di Puskesmas Kabupaten Tegal. Berbeda dengan hasil penelitian oleh Dewi S.C (2011) pada 77 perawat di RSUP Dr. Sardjito, diketahui bahwa penerapan lima fungsi manajemen oleh kepala ruangan berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,000-0,032). Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kustiawan RB tahun 2014 menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara masingmasing
fungsi manajemen dengan cakupan kegiatan pada program Pemberantasan
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Kabupaten Gerobogan. Dilihat dari masing-masing subvariabel yang dianalisis secara bivariat terlihat bahwa hanya subvariabel pengawasan dan pertanggungjawaban memiliki hubungan yang signifikan. Hasil analisis bivariat terhadap perencanaan dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum Puskesmas di Kabupaten Karangasem diketahui bahwa mutu pelayanan pengobatan baik 73,3% memiliki perencanaan yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki perencanaan yang baik, namun secara statistik tidak berhubungan secara signifikan dalam memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada perencanaan baik ataupun kurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, S.F tahun 2006 yang dilakukan di Puskesmas Kabupaten Tegal, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan dengan keberhasilan program PMT di Puskesmas Kabupaten Tegal. Sejalan juga dengan hasil penelitian Ratnasih tahun 2001
82
yang menyatakan bahwa kualitas kerja perawat tidak dipengaruhi oleh fungsi perencanaan di Puskesmas Kabupaten Tegal. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Dewi, S.C tahun 2011 di Irna I RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, yang menunjukkan bahwa ada hubungan fungsi perencanaan dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,032, α = 0,05). Hasil penelitian ini berbeda juga dengan hasil penelitian oleh Fenny tahun 2007 yang menunjukkan adanya hubungan perencanaan dengan kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUP Fatmawati. Hasil analisis bivariat terhadap pelaksanaan dan pengendalian juga menunjukkan tidak adanya hubungan antara pelaksanaan dan pengendalian dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem. Walaupun terlihat dari mutu pelayanan pengobatan baik 60,0% memiliki pelaksanaan dan pengendalian yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 41,3% memiliki pelaksanaan dan pengendalian yang baik, perbedaan yang menghasilkan OR sebesar 2,1 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada pelaksanaan dan pengendalian baik 2,1 kali dibandingkan pelaksanaan dan pengendalian yang kurang, namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, S.F tahun 2006 yang dilakukan di Puskesmas Kabupaten Tegal, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pergerakan termasuk dalam fungsi pelaksanaan dan pengendalian dengan keberhasilan program PMT (p =0,540). Berbeda dengan penelitian Dewi, S.C (2011) bahwa fungsi pengaturan staf yang termasuk dalam pelaksanaan dan pengendalian menunjukan adanya hubungan bermakna dengan penerapan keselamatan
83
pasien (p=0,008) dimana disimpulkan bahwa perawat
pelaksana yang memiliki
persepsi baik terhadap pengaturan staf akan menerapkan keselamatan lebih tinggi dari perawat yang memiliki persepsi tidak baik dengan OR= 3,84. Hasil ini juga berbeda dengan penelitian oleh Irmawati (2008) Manajemen
yang meneliti tentang Hubungan Fungsi
Pelaksana Kegiatan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang (SDIDTK) dengan Cakupan SDIDTK Balita dan Anak Prasekolah di Puskesmas Kota Semarang. Penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara variabel penggerakan dengan variabel cakupan SDIDTK balita dan anak prasekolah dengan nilai p=0,036 (p<0,05). Hasil analisis bivariat terhadap pengawasan dan pertanggungjawaban menunjukkan adanya hubungan antara pengawasan dan pertanggungjawaban dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum Puskesmas di Kabupaten Karangasem. Hubungan tersebut terlihat yaitu mutu pelayanan pengobatan baik 73,3% memiliki pengawasan dan pertanggungjawaban yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki pengawasan dan pertanggungjawaban yang baik, yang menghasilkan odds ratio (OR) sebesar 4,7 dengan 95%CI : 1,13-22,86 dan nilai p = 0,01. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Irmawati (2008) yang menunjukkan hubungan yang sangat signifikan antara pengawasan dengan cakupan SDIDTK balita dan anak prasekolah puskesmas di Kota Semarang. Kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut bersifat kuat (C=0,707). Hasil penelitian ini juga didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Koontz dan Donnell dalam Dewi S.C, 2011 menyatakan bahwa perencanaan tanpa pengawasan, pekerjaan tersebut akan sia-sia. Hasil ini juga sesuai dengan teori tentang pengawasan oleh Terry dalam Ningrum, S. F (2008) yang menyatakan pengawasan itu menentukan
84
apa yang telah dicapai. Artinya dalam menilai hasil pekerjaan dan apabila perlu untuk mengadakan tindakan-tindakan pembetulan sedemikian rupa, sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Supervisi dikatakan sama dengan pengawasan dalam tujuan-tujuan memperbaiki dan meningkatkan kinerja, berfungsi sebagai monitoring, kegiatannya memiliki fungsi manajemen serta berorientasi pada tujuan penyelenggaraan (Daryanto, 2005 dalam Adiputri, A. 2014). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nugroho (2004) yang menjelaskan bahwa hubungan antara supervisi dengan kinerja perawat pegawai daerah di Puskesmas Kabupaten Kudus. Hasil penelitian dari Adiputri, A. (2014) menyatakan supervisi mempunyai hubungan yang bermakna yaitu bidan desa yang supervisinya kurang baik berisiko menimbulkan kinerja yang kurang baik.
6.5. Hubungan Komitmen Kerja dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem Komitmen petugas ditunjukkan dengan keinginan untuk berprestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif melakukan asuhan pelayanan kesehatan termasuk di puskesmas (Luthans, 2006).
Penelitian ini salah satu tujuannya adalah ingin
mengetahui hubungan komitmen kerja dengan mutu pelayanan pengobatan pada poli umum di puskesmas Kabupaten Karangasem. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahawa komitmen kerja berhubungan dengan mutu pelayanan pengobatan, yaitu mutu pelayanan pengobatan baik 86,7% memiliki komitmen kerja yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9%
memiliki
komitmen kerja yang baik. Berdasarkan hasil analisis multivariat diketahui bahwa komitmen kerja dengan mutu pelayanan pengobatan dengan adjusted odd ratio sebesar
85
10,5 artinya peluang untuk memberi mutu pelayanan pengobatan baik pada komitmen kerja baik sebesar 11,3 kali daripada komitmen kurang baik dengan nilai 95% CI dari OR 1,75-73,06 dan nilai p=0,01. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain oleh Malhotra dan Mukherjee (2004) yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen akan memberikan layanan yang optimal. Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi selalu akan berpihak dan memberikan yang terbaik kepada organisasi (Robbins dan Judge (2008), Sopiah (2008)). Penelitian lain oleh Muchtar Hidayat (2010) menyatakan bahwa komitmen afektif mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan kualitas pelayanan. Sejalan dengan penelitian Raymond (2008) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi akan memiliki kemauan secara sadar untuk mencurahkan usaha demi kepentingan organisasi, karyawan bekerja bukan karena adanya instruksi melainkan termotivasi dari dalam diri sendiri sehingga pasien merasa puas. Hasil penelitian dari Puspitawati tahun 2013 menunjukkan bahwa
komitmen
organisasional berpengaruh signifikan terhadap kualitas layanan yaitu jika karyawan memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi maka kualitas layanan yang diberikan akan semakin meningkat. puskesmas
Menurut asumsi peneliti suatu organisasi dalam hal ini
harus memperhatikan faktor yang mendorong karyawan untuk selalu
memberikan layanan optimal memiliki komitmen yang tinggi untuk selalu memberikan layanan terbaik. Dinas Kesehatan selaku pembina puskesmas mempunyai peranan penting dalam menumbuhkan komitmen kerja petugas puskesmas. Hasil analisis bivariat terhadap subvariabel inisiatif menunjukkan adanya hubungan antara inisiatif dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum Puskesmas di
86
Kabupaten Karangasem. Hubungan tersebut terlihat dari adanya perbedaan yang cukup signifikan yaitu mutu pelayanan pengobatan baik memiliki inisiatif yang baik sebesar 73,3%, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki inisiatif yang baik. Data tersebut memperlihatkan perbedaan yang jelas dan menghasilkan odds ratio (OR) sebesar 4,7 dengan 95% CI : 1,13-22,86 dengan nilai p =0,01. Perbedaan ini menunjukkan hubungan secara bermakna bahwa peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada inisiatif yang baik sebesar 4,7 kali dibandingkan dengan inisiatif yang kurang. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Ubaydillah, 2009 yang menyatakan bahwa inisiatif berkaitan dengan hasil pekerjaan, dan menghindari peluang terjadinya masalah. Hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian oleh Wijaya, G. 2012 bahwa terjadi peningkatan nilai inisiatif pada perawat dan bidan yang telah diberi intervensi penerapan Manajemen Kinerja Klinik berbasis Tri Hita Karana sehingga dapat
meningkatkan kinerja perawat dan bidan di RS. Menurut asumsi
peneliti bahwa petugas yang memiliki inisiatif akan dapat memberikan mutu pelayanan yang baik kepada pelanggan. Dilihat dari tiga subvariabel komitmen kerja petugas hanya inisiatif saja yang berhubungan dengan mutu pelayanan pengobatan, sehingga yang terpenting dalam membangun komitmen kerja petugas di puskesmas adalah dengan menumbuhkan inisiatif sehingga akan diikuti oleh ketaatan terhadap peraturan puskesmas dan penghayatan visi misi puskesmas akan meningkat pula. Petugas yang memiliki komitmen kerja kurang yang ditandai dengan tingginya keinginan untuk pindah tugas dalam penelitian ini sejalan dengan pendapat Karsh dkk. (2005) yang menyatakan bahwa komitmen dan kepuasan kerja dipengaruhi oleh
87
pekerjaan dan faktor organisasinya dan dengan kurangnya komitmen dan kepuasan kerja sehingga berimplikasi dengan adanya keinginan untuk pindah. Analisis bivariat
terhadap sub variabel penghayatan visi misi dengan mutu
pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se-Kabupaten Karangasem memperlihatkan mutu pelayanan pengobatan baik 53,3% memiliki penghayatan visi misi yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 26,1% memiliki penghayatan visi misi yang baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada penghayatan visi misi yang baik sebesar 3,2 kali dibandingkan dengan penghayatan visi misi yang kurang namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Wijaya, G. tahun 2012 bahwa penerapan Manajemen Kinerja Klinik berbasis Tri Hita Karana telah dapat menunjukkan kemampuan perawat bidan dalam menjabarkan visi misi RS dalam tugas pokok dan fungsinya sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan pengobatan. Penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian oleh Kumalasari, C. (2013) yang menyatakan bahwa dengan memahami misi dan visi, pelaksana poli gigi akan memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan pelayanan menjadi lebih baik. Setiap anggota organisasi harus mampu mengungkapkan misi secara verbal, dan setiap karyawan harus menunjukkan pernyataan misi dalam tindakan. Misi juga akan memberikan arah sekaligus batasan proses pencapaian tujuan. (Healthfield dan Aditya (2010) dalam Kumalasari, C. (2013)). Berdasarkan hal tersebut asumsi peneliti, bahwa visi misi puskesmas di puskesmas se Kabupaten Karangasem belum digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan.
88
Upaya untuk menegakkan dan meningkatkan disiplin kerja para pegawai guna mencapai hasil kerja yang maksimal. Untuk mendorong para pegawai untuk mematuhi peraturan-peraturan memerlukan strategi yang tepat yakni dengan meningkatkan motivasi terhadap para pegawainya. Mematuhi peraturan merupakan salah satu alat ukur dan pencerminan
dari disiplin kerja (Delisa, 2013). Mematuhi peraturan meliputi
ketepatan waktu, taat jam kerja, taat pimpinan, taat prosedur kerja,
melakukan
pekerjaan sesuai rencana. Hasil analisis bivariat terhadap sub variabel ketaatan terhadap peraturan puskesmas pada penelitian diketahui adanya mutu pelayanan pengobatan baik memiliki ketaatan terhadap peraturan puskesmas yang baik sebesar 86,7%, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 56,5% memiliki ketaatan terhadap peraturan puskesmas yang baik, namun tidak mempunyai hubungan secara bermakna dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Rosita (2007) bahwa disiplin kerja mempunyai hubungan yang cukup kuat terhadap kinerja karyawan pada Restoran Ichi Bento Bandung. Berbeda pula dengan hasil penelitian lain yang berkaitan dengan kinerja yang dapat mempengaruhi mutu pelayanan yaitu oleh Enjel (2006) menghasilkan bahwa penerapan aturan etika memiliki hubungan yang positif dengan peningkatan profesionalisma auditor internal.
6.6 Keterbatasan Penelitian Dalam setiap penelitian tentu tidak akan bisa sepenuhnya bisa terbebas dari berbagai keterbatasan. Begitu pula dengan penelitian ini memiliki keterbatasan internal yaitu saat proses pengumpulan data. Pengumpulan data saat wawancara tidak dapat
89
dilakukan secara rahasia pada semua responden karena beberapa responden berada dalam tempat pelayanan terutama pada saat jam pelayanan. Pengumpulan data variabel komitmen kerja khusunya pada inisiatif dan ketaatan terhadap peraturan puskesmas serta pada beberapa dimensi mutu pelayanan pengobatan juga mengalami keterbatasan karena terjadi social desirable bias yaitu kecenderungan seseorang untuk menjawab pertanyaan sedemikian rupa sehingga membuat dirinya terlihat positif sesuai dengan norma yang standar yang diakui banyak orang. Untuk mengatasi hal tersebut, sebelum wawancara dimulai peneliti menjelaskan bahwa jawaban responden hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian saja sehingga diharapkan kejujurannya dalam menjawab dan jawaban tersebut tidak akan disampaikan kepada siapapun dan dijamin kerahasiaannya serta tidak akan berdampak terhadap posisinya sebagai petugas di puskesmas. Keterbatasan eksternal juga terdapat dalam penelitian ini sebagai akibat dari pemilihan rancangan penelitian ini adalah tidak mampu membuktikan tidak bisa menjelaskan adanya hubungan temporal.
90
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dibuat beberapa simpulan seperti di bawah ini. 1.
Penerapan manajemen puskesmas tidak berhubungan secara signifikan dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se-Kabupaten Karangasem.
2.
Komitmen kerja berhubungan signifikan dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem.
7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, hasil pembahasan dan simpulan yang diambil maka dapat dirumuskan saran seperti di bawah ini. 1. Bagi Kepala Puskesmas Agar mampu menumbuhkan komitmen kerja petugas dengan : 1) menciptakan rasa aman dan melakukan komunikasi yang baik dengan staf 2) menempatkan petugas sesuai dengan minat dan kompetensinya. 3) meningkatkan monitoring dan evaluasi terhadap staf 4) memberikan penghargaan baik secara finansial maupun non finansial. 2. Bagi Dinas Kesehatan Agar pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap puskesmas dilakukan secara terjadwal dan terimplementasi dengan baik serta memberikan dukungan baik secara
90
91
moril maupun materiil bagi pengembangan mutu pelayanan pengobatan di puskesmas. 3. Bagi Peneliti selanjutnya. Agar melakukan eksplorasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya komitmen kerja petugas di puskesmas dan melakukan penelitian terhadap mutu pelayanan pengobatan dari sudut pandang pelanggan eksternal untuk melengkapi penelitian ini.