BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kabupaten Semarang memiliki potensi yang besar dari sektor pertanian untuk komoditas sayuran. Keadaan topografi daerah yang berbukit dan bergunung membuat Kabupaten Semarang memiliki produksi sayuran yang cukup besar. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang dominan di wilayah Kabupaten Semarang adalah Sawi, Kobis, Cabai, Daun Bawang, Tomat, dan Wortel dengan jumlah produksi lebih dari 100.000 kwintal per tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1.1 Produksi Sayuran Tahun 2013 di Kab. Semarang Sumber: Data Strategis Kabupaten Semarang 2014
1
Keunggulan dari sisi jumlah produksi sayuran tersebut juga turut menunjang kontribusi sektor pertanian dalam komoditas tanaman pangan pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku di Kabupaten Semarang pada tahun 2013 sebesar 1.239.945.000.000 Rupiah. Potensi produk sayuran juga ditunjang dengan adanya pasar sayuran yang menjadi pusat perdagangan sayuran di Kabupaten Semarang. Pasar sayuran tersebut menjadi tujuan pembeli baik dari Kabupaten Semarang maupun dari luar kabupaten. Pasar sayuran tersebut dikenal oleh masyarakat sekitar dengan nama Pasar Ngasem yang terletak di desa Jetis, Kecamatan Bandungan. Pasar Ngasem ini diposisikan sebagai salah satu sub terminal agribisnis (STA) di provinsi Jawa Tengah dengan perannya sebagai jembatan penghubung rantai dari para produsen/petani dengan para pedagang maupun konsumen untuk komoditas sayuran. Posisi Pasar Ngasem sebagai sebuah STA, diawasi oleh pemerintah Kabupaten Semarang khususnya Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Semarang dan dijadikan sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang bernama STA Jetis. Hal ini menjadikan STA Jetis
sebagai salah satu keunggulan dan nilai tambah dari
Kabupaten Semarang. STA Jetis dibangun secara bertahap mulai tahun 2001 dan 2003 dengan menggunakan dana bantuan dari Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang. STA Jetis dibangun dengan tujuan untuk melindungi sistem praktik ijon yang telah lama dilakukan oleh petani dengan pengepul. Perlindungan yang dimaksud adalah kepastian transaksi pembelian hasil pertanian dari petani dan 2
kepastian harga dari transaksi tersebut. Hal ini juga dipertegas oleh pernyataan menurut (Tambunan, 2001), tujuan adanya stasiun agribisnis adalah untuk membantu transparansi pasar dengan cara kompilasi informasi tentang harga, serta jumlah penawaran dan permintaan yang sangat bermanfaat bagi produsen dan pihak manajemen pasar dalam menentukan tujuan dan waktu penjualan. Informasi ini memungkinkan produsen mengundur panen atau menyimpan produknya sampai harga lebih baik atau hingga fasilitas transportasi tersedia. Dalam pengelolaannya, menurut (Sukmadinata, 2001), stasiun agribisnis dapat dikelola oleh koperasi pelaku agribisnis, dalam hal ini petani, pengolah serta pedagang, gabungan dari koperasi pelaku agribisnis dengan pemerintah daerah atau bahkan bisa dilakukan hanya oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, pengelola stasiun agribisnis dapat ditentukan sesuai dengan kepentingan serta kesepakatan dari para pelaku agribisnis di dalamnya. Berdasarkan hasil survey pendahuluan tersebut, penulis berpendapat bahwa peran STA Jetis sebagai tempat transaksi awal antara petani dan pengepul menjadikan peran STA Jetis dalam pembentukan harga jual sayuran menjadi penting. Dalam proses pembentukan harga pada transaksi yang terjadi antara petani dan pengepul di STA Jetis, Pemda sebagai pengelola mencatat harga dasar yang ditentukan oleh petani kepada pengepul untuk tiap – tiap komoditas yang diperdagangkan di STA Jetis. Pencatatan harga dasar dilakukan dengan tujuan sebagai acuan dalam menjaga kestabilan harga untuk masa mendatang. Perubahan harga dasar tersebut tidak menentu dan bisa terjadi setiap minggu atau dalam 3
rentang kurun waktu harian. Berdasarkan perubahan harga dasar tersebut, harga jual sayuran dalam transaksi di STA Jetis juga ini bergerak secara dinamis dan dapat terjadi perubahan tiap minggu atau tiap hari atau bahkan tidak menutup kemungkinan dapat terjadi perubahan dalam jangka waktu beberapa jam. Berdasarkan kondisi yang dilihat dari survey pendahuluan tersebut, dapat dinyatakan bahwa pergerakan harga sayuran sulit untuk diprediksi. Hal tersebut juga ditambah dengan kemungkinan faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi pergerakan harga seperti ketersediaan pasokan sayuran dalam musim tertentu, bahkan nilai inflasi maupun harga komoditas sayuran di masa sebelumnnya. Nilai inflasi yang dijadikan sebagai pertimbangan adalah inflasi bahan makanan. Hal ini dikarenakan komoditas yang diteliti termasuk dalam kelompok pengeluaran konsumsi yang ditetapkan oleh ILO. Menurut BPS (2013), kelompok bahan makanan terdiri dari 11 sub kelompok, dan salah satu sub tersebut adalah sub kelompok sayuran. Berdasarkan ulasan singkat BPS Kabupaten Semarang (2013), inflasi tertinggi di Kabupaten Semarang tercatat pada periode Juli 2013 dengan nilai inflasi sebesar 3,45%. Nilai inflasi tersebut disebabkan karena adanya kenaikan indeks pada kelompok bahan makanan sebesar 5,5 persen dimana sub kelompok sayuran menyumbang proporsi pada kenaikan indeks kelompok tersebut sebesar 7,6 persen. Pada tahun 2014, berdasarkan ulasan BPS Kabupaten Semarang (2014), inflasi tertinggi di kabupaten Semarang tercatat pada periode Desember 2014 dengan nilai 2,59%. Nilai inflasi tersebut disebabkan karena adanya kenaikan indeks pada 4
kelompok bahan makanan sebesar 4,16 persen dimana sub kelompok sayuran menyumbang proporsi pada kenaikan indeks kelompok tersebut sebesar 5,71 persen. Pada tahun 2014, berdasarkan ulasan BPS Kabupaten Semarang (2015), inflasi tertinggi di kabupaten Semarang tercatat pada periode Desember 2015 dengan nilai 1,25%. Nilai inflasi tersebut disebabkan karena adanya kenaikan indeks pada kelompok bahan makanan sebesar 4,52 persen dimana sub kelompok sayuran menyumbang proporsi pada kenaikan indeks kelompok tersebut sebesar 2,49 persen. Data mengenai kondisi inflasi tertinggi Kabupaten Semarang tahun 2013 – 2014 tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 dibawah.
Tabel 1.1 Kondisi Inflasi Tertinggi Kabupaten Semarang No
Periode Inflasi Tertinggi
1. Juli 2013 2. Desember 2014 3. Desember 2015 Sumber: BPS Kabupaten Semarang
Inflasi Bahan Makanan (%) 5,5 4,16 4,52
Inflasi Sayuran (%) 7,6 5,71 2,49
Berdasarkan tabel 1.1, dapat diperoleh 2 indikasi yaitu (1) nilai inflasi sayuran yang lebih tinggi daripada nilai inflasi bahan makanan sehingga menyebabkan nilai inflasi bahan makanan bergerak identik dengan inflasi sayuran. Dan (2) apabila nilai inflasi sayuran meningkat dari periode selanjutnya, maka nilai inflasi bahan makanan juga meningkat begitu juga sebaliknya. Periode Juli 2013 dan Desember 2014 mewakili indikasi (1). Periode Desember 2015 mewakili indikasi (2) dimana kondisi inflasi sayuran pada periode tersebut, nilai inflasi sayuran meningkat dari
5
1,88% pada bulan November 2015 menjadi 2,49% sehingga nilai inflasi bahan makanan juga meningkat dari 0,39% di bulan November 2015 menjadi 4,52%. Oleh karena inflasi sayuran yang tercatat pada kondisi inflasi tertinggi di kabupaten Semarang dapat langsung berpengaruh pada nilai inflasi bahan makanan, maka nilai inflasi bahan makanan dapat dijadikan sebagai salah satu faktor lain yang menjadikan pergerakan harga sayuran tidak mudah diprediksi. Pergerakan harga sayuran yang dinamis dan cenderung sulit untuk diprediksi di STA Jetis tersebut dapat digolongkan dalam permasalahan determinasi harga komoditas. Selain itu, pernyataan dari Kepala UPTD STA Jetis yang menyatakan peranan STA Jetis sebagai salah satu alat bantu yang riil disiapkan oleh pemerintah dalam membantu petani juga menjadi salah satu daya tarik untuk dilakukannya suatu kajian yang mendalam terhadap harga komoditas sayuran.
1.2. Rumusan Masalah STA Jetis sebagai titik awal terjadinya interaksi perdagangan komoditas sayuran di Kabupaten Semarang menjadikan sebagai salah satu titik yang krusial dalam sistem perdagangan sayuran. Terdapat 4 pihak utama yang berinteraksi di dalam STA Jetis, yang pertama adalah Pemerintah Daerah selaku pengawas dan pengelola utama dan memiliki kewenangan dan dapat berperan sebagai pengambil kebijakan pembentukan harga dasar, yang kedua adalah pengepul selaku mitra dagang petani yang bertransaksi secara langsung dengan petani, yang ketiga adalah petani selaku pemasok hasil – hasil panen sayuran sebagai produk pertanian yang 6
diperdagangkan dan pihak keempat adalah pedagang grosir/retail yang menjadi konsumen dari pengepul di STA Jetis dengan tujuan untuk menjual kembali sayuran ke konsumen akhir. Interaksi 4 pihak utama dianggap dapat mempengaruhi pembentukan harga – harga sayuran di pasaran. Wujud dari interaksi dari 4 pihak ini adalah terdapatnya 3 jenis harga sayuran yang terdapat di pasaran yaitu harga jual petani, harga dasar di STA Jetis dan harga eceran komoditas di Kabupaten Semarang. Petani menghadapi masalah dalam tingkat pemenuhan pasokan produk yang tidak menentu dari praktik bercocok tanamnya. Pengepul dan pedagang retail terus bersaing dalam menentukan margin harga yang sesuai untuk memperoleh keuntungan. Pemerintah Daerah sebagai pengelola utama diberikan beban tanggung jawab untuk dapat tetap memberikan pengawasan dan pengendalian terhadap proses transaksi yang terjadi di STA Jetis. Pergerakan pola harga yang tidak pasti dan sulit diprediksi menjadi kendala untuk pihak petani, pengepul, dan pedagang retail di STA Jetis. Hal ini dapat memicu terjadinya ketidakstabilan harga, sehingga dapat berdampak negatif terhadap sistem perdagangan sayuran di STA Jetis. Menurut (FAO, 2011), ketidakstabilan harga dapat menyebabkan permasalahan bagi para pelaku pada rantai pasok komoditas tersebut. Masalah yang umum dihadapi adalah ketidakpastian yang tinggi sehingga meningkatkan risiko kehilangan investasi apabila terjadi keanjlokan harga yang tinggi dimana para pelaku mikro tersebut cenderung terlalu bergantung pada strategi investasi yang mengandalkan harga tinggi. 7
Di sisi lain, Pemda Kabupaten Semarang menghadapi kendala dalam hal pengawasan dan pengendalian harga dasar dikarenakan perannya sebagai fasilitator dan pengawas dalam perdagangan komoditas sayuran di STA Jetis. Selain itu, pengaruh dari kondisi inflasi, total produksi komoditas yang tidak menentu dan harga di masa sebelumnya juga kemungkinan dapat mempengaruhi pergerakan harga komoditas sayuran di STA Jetis. Melihat kondisi di obyek penelitian, variabel – variable yang dianggap mewakili permasalahan tersebut adalah jenis – jenis harga sayuran di pasaran, kuantitas produksi sayuran yang tidak menentu, kondisi inflasi yang diakibatkan perubahan harga sayuran, dan harga sayuran tersebut di periode sebelumnya. Fasilitas pembantu seperti ketersediaan ruang penyimpanan dan sarana transportasi sudah diberikan oleh Pemerintah Daerah. Akan tetapi melihat kondisi nyata di obyek penelitian fasilitas penyimpanan tidak dimaksimalkan baik oleh pengepul di STA Jetis dan baik petani maupun pedagang retail memilih menggunakan sarana transportasi secara mandiri sehingga kondisi operasional seperti penggunaan infrastruktur ruang penyimpanan, kegiatan transportasi di dalam STA Jetis serta faktor kualitas komoditas tidak dipertimbangkan secara mendetail. Pergerakan harga sayuran yang dinamis dan sulit untuk diprediksi akibat dari permasalahan yang dihadapi oleh masing - masing 4 pihak yang berinteraksi di STA Jetis, Kabupaten Semarang menjadi topic utama yang ingin dikaji dalam penelitian. Sebagai salah satu alternatif solusi untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan membuat suatu model pergerakan harga sayuran yang bisa digunakan untuk memprediksi harga sayuran. Model ini disusun berdasarkan variabel – variabel yang 8
dianggap terlibat dalam kondisi sistem nyata perdagangan sayuran di STA Jetis. Dari model yang telah dibuat, akan dilakukan analisis sensitivitas terhadap variabel input yang terlibat sehingga dapat diketahui variabel input apa yang paling berpengaruh pada model pergerakan harga sayuran tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis hubungan data antar variabel per komoditas. 2. Menganalisis margin harga per komoditas secara sederhana. 3. Memodelkan pergerakan data - data harga eceran komoditas di Kabupaten Semarang, inflasi bahan makanan, harga jual petani, harga dasar STA Jetis, total produksi sayuran dan representatif permintaan sayuran di STA Jetis. 4. Melakukan analisis sensitifitas terhadap variabel yang terlibat.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan informasi untuk pihak pemerintah daerah khususnya Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Semarang yang dapat digunakan untuk dapat merumuskan kebijakan pengendalian harga komoditas sayuran tertentu di STA Jetis, Kabupaten Semarang. 2. Sebagai bahan referensi yang dapat digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam penelitian mengenai permasalahan harga komoditas. 9
1.5. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian difokuskan pada sisi pasokan atau kurva penawaran dalam sistem perdagangan sayuran di STA Jetis yang terletak di Desa Jetis, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. 2. Transaksi yang menjadi fokus adalah transaksi yang melibatkan komoditas Kobis, Wortel, Tomat dan Cabe Merah Besar yang merupakan komoditas dominan yang diperdagangkan di STA Jetis yang terletak di Desa Jetis, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. 3. Harga dari tingkat pengepul ke tingkat pedagang grosir/retail tidak dilibatkan karena informasinya bersifat rahasia untuk masing – masing pedagang dan dianggap variasinya terlalu tinggi dan kondisi umum harga tersebut dapat terwakili oleh data harga dasar STA Jetis dan data harga tingkat eceran. 4. Sistem perdagangan sayuran yang dibahas lebih lanjut hanya yang terjadi di dalam STA Jetis. Hal ini menjadikan pembahasan alur barang setelah dari STA Jetis tidak dibahas lebih dalam. 5. Faktor ketersediaan ruang penyimpanan, detail kualitas komoditas serta aspek yang berkaitan dengan transportasi tidak menjadi fokus penelitian.
10