1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh hotel-hotel di Bali setelah tomat dan wortel. Prospek pengembangan budidaya kubis diperkirakan masih tetap baik. Luas panen kubis di Bali dari tahun 2011 sampai 2013 berturut-turut tercatat 1.292, 1.233, dan 1.202 Ha, sementara luas panen kubis secara nasional pada tahun yang sama adalah 65.323, 64.277 dan 65.248 Ha (BPS & Dirjen Hortikultura, 2014). Tanaman kubis termasuk tanaman yang mudah dibudidayakan, tetapi dalam usaha peningkatan produksinya selalu ada gangguan hama dan penyakit. Produksi kubis di Bali dari tahun 2011 sampai 2013 turun, berturut-turut tercatat produksinya 42.926, 40.197 dan 35.781 ton (BPS Bali, 2014). Beberapa serangga hama telah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada pertanaman kubis di antaranya ulat daun kubis (Plutella xylostella L.), ulat jantung kubis (Crocidolomia pavonana Fab.), ulat grayak (Spodoptera litura Fab.), ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufnagel), ulat jengkal (Chrysodeixis orichalcea L.), Helicoverpa armigera (Hubner), Hellula undalis Fab., dan kutu daun (Permadi dan Sastrosiswojo, 1993). Di antara jenis-jenis serangga yang telah dilaporkan menjadi hama pada tanaman kubis, terdapat dua jenis hama penting tanaman kubis di Indonesia, yaitu ulat daun kubis P. xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) dan ulat krop kubis C. pavonana Fab. (Lepidoptera: Pyralidae). P. xylostella merupakan hama utama
1
2
(key pests) pada kubis dataran tinggi. Hama tersebut pada umumnya merusak tanaman kubis sebelum membentuk krop dengan memakan jaringan permukaan bawah daun dengan meninggalkan bagian epidermis permukaan atas sehingga tampak seperti jendela-jendela putih. C. pavonana yang sebelumnya dikenal dengan nama ilmiah Crocidolomia binotalis Zeller, merupakan hama yang merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop dan menyebabkan daundaun kubis berlubang. Apabila titik tumbuhnya juga diserang, tanaman kubis akan mati. Apabila tidak dilakukan usaha pengendalian, terutama di musim kemarau, serangan oleh kedua hama tersebut secara bersama-sama dapat mengakibatkan gagal panen. Kegagalan panen tersebut dapat mencapai 100% apabila tanpa pemakaian insektisida (Permadi dan Sastrosiswojo, 1993). Sejak tahun 1916 hama P. xylostella dan C. pavonana telah dilaporkan menimbulkan kerusakan pada tanaman kubis di dataran tinggi di pulau Jawa, Bali, Sumatra dan Sulawesi serta daerah penanaman kubis lainnya. Menurut Sembel et al. (1994), tingkat kerusakan yang disebabkan oleh P. xylostella dapat mencapai 34,8%. C. pavonana dapat merusak tanamn kubis sampai 100% (Finn, 2004), terutama pada musim kemarau di daerah tropik (Rhueda dan Shelton, 2006). Serangan larva P. xylostella bersama-sama dengan larva C. pavonana pada tanaman kubis mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup besar yaitu sekitar 79,81% (Herminanto, 2007). Sampai saat ini P. xylostella dan C. pavonana masih merupakan hama penting pada tanaman kubis. Hasil penelitian pendahuluan di daerah-daerah sentra produksi kubis di Bali seperti di Desa Pancasari (Kabupaten Buleleng),
3
Candikuning (Tabanan), Kintamani (Bangli), dan Kerta (Gianyar), menunjukkan bahwa kedua jenis hama tersebut selalu ada dan menyerang pertanaman kubis di lapangan. Upaya pengendalian yang dilakukan oleh petani kubis terhadap kedua hama tersebut sampai saat ini masih mengandalkan pada penggunaan insektisida, dengan frekuensi satu kali sebulan sejak minggu ketiga setelah tanam hingga menjelang panen. Petani beralasan bahwa penggunaan insektisida lebih praktis, hemat tenaga kerja dan hasilnya lebih cepat diketahui. Namun demikian, penggunaan insektisida yang berlebihan, selain merupakan pemborosan, juga menyebabkan keracunan dan pencemaran terhadap lingkungan (Arifin, 2011) yaitu terbunuhnya organisme bukan sasaran seperti predator dan parasitoid, terjadinya resistensi hama terhadap insektisida, dan aplikasi insektisida meninggalkan residu pada hasil panen (Sudewa, et al. 2009). Oleh karena itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih berlandaskan pada pendekatan ekologi dan ekonomi, tidak mencemari lingkungan dan aman bagi konsumen kubis. Salah satu konsep pengendalian yang lebih berlandaskan pada pendekatan ekologi dan ekonomi adalah pengendalian hama terpadu (PHT). Perkembangan konsep PHT dimasa mendatang lebih mengarah pada pemanfaatan sumberdaya hayati yang ada di alam seperti musuh alami (Smith & van den Bosch, 1967). Pengendalian hayati merupakan salah satu komponen dalam PHT yang berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi dampak penggunaan insektisida yang tidak diinginkan. Penggunaan musuh alami sebagai agens pengendalian hama sangat sesuai dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Penggunaan musuh alami akan
4
mengurangi penggunaan bahan kimia yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Predator adalah musuh alami yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hayati. Penggunaan predator di lapangan untuk menekan populasi hama, sesuai dengan konsep pengendalian hayati, yaitu musuh alami (predator) berperan dalam menjaga kepadatan populasi organisme lain agar ada pada suatu tingkat populasi rata-rata yang lebih rendah daripada tingkat populasi rata-rata tanpa pengendalian hayati tersebut (van den Bosch et al., 1982). Pemanfaatan serangga predator dalam pengendalian hama sebenarnya sudah lama dilakukan. Doutt dan DeBach (1976) menyatakan banyak contoh pengendalian hayati yang berhasil dengan menggunakan predator. Kalshoven (1981) menyatakan bahwa semut hitam Dolichoderus bituberculatus Mayr. (Hymenoptera:Formicidae) sudah digunakan untuk mengendalikan Helopeltis sp. (Hemiptera:Miridae) di kebun kakao sejak awal tahun 1900. Van den Berg et al. (1995) melaporkan bahwa beberapa jenis predator kepik sudah ditemukan di Sumatera Utara dan DI Aceh antara lain Solenopsis geminate Fab. (Hymenoptera : Formicidae), Dolichoderus sp. (Hymenoptera : Formicidae), dan Paedorus sp. (Coleoptera : Staphylinidae) Penelitian Asriani et al. (2013) yang dilakukan di Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, menemukan beberapa jenis predator yang berasosiasi dengan hama pemakan daun kubis antara lain Menochilus sexmaculatus Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae), Ischiodon scutellaris Fabricius
(Diptera:
Syrphidae),
Paederus
fuscipes
Curtis
(Coleoptera:
5
Staphylinidae), Dolichoderus bituberculatus Mayr (Hymenoptera: Formicidae) dan Oecophylla smaragdina Fabricius (Hymenoptera: Formicidae). Survei pada tahun 2011 yang dilakukan di lokasi penanaman kubis di Desa Pancasari, Kabupaten Buleleng, Bali menemukan salah satu jenis predator yaitu Sycanus dichotomus Stal. (Hemiptera: Reduviidae) dan satu jenis parasitoid yaitu Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae) (Yuliadhi, 2012). D. semiclausum merupakan parasitoid dari P. xylostella, sedangkan S. dichotomus Stal. (Hemiptera: Reduviidae) yang ditemukan di pertanaman kubis tersebut belum diketahui pasti merupakan predator hama kubis yang mana. Serangga S. dichotomus umumnya ditemukan sebagai predator yang menyerang ulat kantong (bagworms) pada tanaman sawit. Pada tahun 2004 pernah ditemukan satu spesies predator dari Reduviidae, dan berdasarkan cirri-ciri morfologinya, predator yang ditemukan tersebut oleh Ishikawa et al. (2007) dinyatakan sebagai spesies baru dan diberi nama Sycanus aurantiacus. S.
aurantiacus
yang
merupakan
salah
satu
anggota
subfamili
Harpactorinae, ordo Hemiptera ditemukan pertama kali oleh Ishikawa pada pertanaman kubis di Pancasari, Bali (± 1000 m dpl). Pada saat itu predator S. aurantiacus ditemukan memangsa beberapa larva Lepidoptera hama kubis. Beberapa subfamili Reduviidae yang berperan penting sebagai predator antara lain: Harpactorinae, Peiratinae dan Reduviinae (Bellows & Fisher 1999). Sycanus termasuk dalam subfamili Harpactorinae, ordo Hemiptera. Di Indonesia Sycanus sp. pernah dilaporkan menjadi predator utama hama pengisap daun teh Helopeltis antonii Sign (Hemiptera : Miridae) (Kalshoven, 1981).
6
Sampai saat ini belum tersedia informasi yang lengkap tentang peri kehidupan serangga predator S. aurantiacus yang ditemukan oleh Ishikawa di Pancasari, Bali. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian yang menyeluruh terhadap potensi dan peranan musuh alami tersebut. Pengetahuan tentang aspek biologi serangga predator merupakan suatu hal yang amat penting untuk keberhasilan dalam mengendalikan hama. Menurut DeBach (1971), keberhasilan pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama terpadu adalah berdasarkan atas pengetahuan dasar tentang aspek biologi musuh alami tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan informasi mengenai biologi predator S. aurantiacus. Untuk mendapatkan informasi tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai aspek biologi (siklus hidup, lama hidup imago, dan keperidian) S. aurantiacus di laboratorium. Selain informasi aspek biologi, faktor lain yang perlu dipahami untuk dapat memetakan potensi serangga S. aurantiacus sebagai predator adalah informasi mengenai preferensi dan tanggap fungsional S. aurantiacus terhadap hama pemakan daun kubis khususnya P. xylostella dan C. pavonana. Secara umum individu predator biasanya
akan memberikan tanggap terhadap
peningkatan kelimpahan mangsa, yang disebut tanggap fungsional. Keefektifan predator perlu dikaji berdasarkan tanggapnya terhadap peningkatan kerapatan mangsa. Penelitian ini dapat memberi informasi apakah S. aurantiacus memperlihatkan tanggap fungsional tipe I, II, atau III. Parameter utama dari tanggap fungsional adalah laju pencarian seketika (a) dan lama penanganan
7
mangsa (Th). Serangga predator dapat dikatakan potensial jika memiliki nilai a yang tinggi dan Th yang rendah (Hassel, 2000). Keefektifan serangga S. aurantiacus sebagai predator dalam pengendalian hama pemakan daun kubis P. xylostella dan C. pavonana juga perlu diuji di lapangan. Sebelum melakukan pelepasan S. aurantiacus di lapangan, populasi, jenis dan stadia hama, harus diketahui terlebih dahulu. Selain mengetahui populasi, jenis dan stadia hama, yang tidak kalah penting untuk diketahui adalah informasi mengenai pola suksesi serangan hama P. xylostella dan C. pavonana. Suksesi yang dimaksud adalah pergeseran atau pergantian dominasi diantara kedua hama kubis tersebut. Kumarawati (2013) menyatakan bahwa ulat daun kubis P. xylostella sudah mulai ada di pertanaman kubis pada 4 minggu setelah tanam (MST), dan populasinya mencapai puncak pada umur kubis 8 MST. Ulat jantung kubis C. pavonana sudah mulai menyerang tanaman kubis pada saat tanaman berumur 6 MST, dan kepadatan populasinya tertinggi pada saat tanaman kubis berumur 10 MST. Informasi rinci berkaitan dengan pola suksesi serangan hama P. xylostella dan C. pavonana sampai saat ini belum ada sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan suksesi kedua jenis hama tersebut. Jika terjadi suksesi, apakah penyebabnya dari zat yang dikandung oleh tanaman kubis ataukah disebabkan oleh sifat kedua hama tersebut. Informasi ini perlu digali untuk dapat menentukan pengendalian yang tepat, baik dari segi waktu maupun model pengendalian yang akan diterapkan. Pemahaman pola suksesi P. xylostella dan C. pavonana pada tanaman kubis dapat membantu pengambilan keputusan, misalnya
8
terkait dengan waktu yang tepat untuk pelepasan musuh alami (predator S. aurantiacus) sebagai agens pengendalian kedua jenis hama tersebut.
Untuk
menunjang kajian pola suksesi P. xylostella dan C. pavonana maka perlu dilakukan kajian tentang tanggap predator S. aurantiacus terhadap pola suksesi P. xylostella dan C. pavonana. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang komprehensif tentang interaksi dinamis yang terjadi di antara kepik predator S. aurantiacus dengan kedua jenis mangsa secara alami di pertanaman. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelitian, diharapkan dapat diketahui potensi serangga S. aurantiacus sebagai agens pengendalian hayati populasi P. xylostella dan C. pavonana di lapangan, serta pengembangan pemanfaatannya. Untuk dapat mengembangkan musuh alami tersebut sebagai agens hayati, maka diperlukan pengamatan langsung di lapangan maupun percobaan di laboratorium. Salah satu langkah awal dalam pemanfaatan musuh alami adalah mengkaji aspek biologisnya. Melalui pengukuran beberapa aspek biologi (siklus hidup, lama hidup imago dan keperidian) predator S. aurantiacus, menganalisis preferensi dan tanggap fungsionalnya maka potensi predator S. aurantiacus sebagai agens pengendali P. xylostella dan C. pavonana dapat digambarkan dengan tepat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah kelimpahan S. aurantiacus di lapangan?
9
b. Bagaimanakah aspek biologi (siklus hidup, lama hidup imago dan keperidian) predator S. aurantiacus ? c. Bagaimanakah preferensi predator S. aurantiacus terhadap P. xylostella dan C. pavonana ? d. Bagaimanakah tanggap fungsional predator S. aurantiacus terhadap P. xylostella dan C. pavonana ? e. Bagaimanakah pola suksesi populasi P. xylostella dan C. pavonana pada pertanaman kubis di lapangan ? f. Bagaimanakah tanggap S. aurantiacus terhadap pola suksesi populasi P. xylostella dan C. pavonana pada pertanaman kubis di lapangan ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui potensi dan peranan predator S. aurantiacus dalam mengendalikan populasi P. xylostella dan C. pavonana. 1.3.2 Tujuan khusus a. Mengetahui kelimpahan S. aurantiacus di lapangan b. Mengetahui aspek biologi (siklus hidup, lama hidup imago dan keperidian) dari predator S. aurantiacus c. Mengetahui preferensi predator S. aurantiacus terhadap P. xylostella dan C. pavonana. d. Mengetahui tanggap fungsional predator S. aurantiacus terhadap P. xylostella dan C. pavonana.
10
e. Mengetahui pola suksesi populasi P. xylostella dan C. pavonana pada pertanaman kubis di lapangan. f. Mengetahui tanggap S. aurantiacus terhadap pola suksesi populasi P. xylostella dan C. pavonana pada pertanaman kubis di lapangan.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian adalah berupa informasi kelimpahan S. aurantiacus pada pertanaman kubis, pola suksesi populasi hama pemakan daun kubis P. xylostella dan C. pavonana dan potensi predator S. aurantiacus dalam memangsa P. xylostella dan C. pavonana. Selain manfaat tersebut diatas penelitian ini sangat bermanfaat dalam usaha menemukan cara pengelolaan hama secara alami (tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan dan kesehatan). Pemahaman mengenai pola suksesi populasi P. xylostella dan C. pavonana dapat memberikan gambaran yang tepat mengenai kapan dan di mana seharusnya dilakukan pelepasan musuh alami (predator S. aurantiacus). Mengetahui tanggap predator S. aurantiacus terhadap pola suksesi populasi P. xylostella dan C. pavonana dapat memberikan informasi yang komprehensif tentang interaksi dinamis yang terjadi di antara kepik predator S. aurantiacus dengan kedua jenis mangsa secara alami di pertanaman. Demikian juga, pemahaman mengenai kharakter biologi (siklus hidup, lama hidup imago dan keperidian) predator S. aurantiacus, preferensi S. aurantiacus terhadap P. xylostella dan C. pavonana serta tanggap fungsionalnya sangat bermanfaat untuk menggambarkan potensi musuh alami tersebut sampai di mana dapat dikembangkan untuk menjadi agens pengendali.