BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang bersifat nonempiris. Dengan demikian, bahasa merupakan sistem simbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya. Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh bagi individu yang berjumlah jutaan.
Dengan teriakan,
Bapak! seorang anak kecil dapat menggerakkan laki-laki besar di seberang jalan untuk mendekatinya.
Dengan aba-aba, Maju, jalan! seorang sersan dapat
menggerakkan puluhan tentara untuk menghentakkan kakinya dan berjalan dengan langkah-langkah tegap (Rakhmat, 1994: 268).
Hal ini merupakan
kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata. Dalam wacana linguistik, bahasa diartikan sebagai sistem simbol bunyi berartikulasi dan bermakna, yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Wibowo, 2001: 13). Dalam teori linguistik yang dipengaruhi oleh Chomsky, bahasa adalah sejumlah kalimat yang tak terbatas dan setiap kalimat bersifat tunggal. Kalimat terdiri atas sejumlah tanda bahasa (kata-kata) yang
terbatas dan yang disebut kode.
Hanya dengan penyusunan menurut aturan
tertentu (kodifikasi), tanda-tanda bahasa ini menjadi ungkapan. Bahasa dapat ditafsirkan sebagai suatu penukaran (komunikasi) tanda-tanda.
Ilmu yang
mempelajari komunikasi lewat tanda-tanda itulah yang disebut semiotik. Periklanan merupakan sebuah bisnis yang menggunakan bahasa untuk membujuk orang melakukan sesuatu atau membeli suatu produk.
Bahasa
memainkan peranan yang sangat penting dalam periklanan, misalnya dalam televisi, yang dianggap sebagai media yang paling efektif untuk menjual produk, paling tidak bahasa berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasikan apa yang terlihat di layar kaca. Proses pencitraan dalam iklan tersebut, salah satunya, melalui pemanfaatan kekuatan bahasa. Iklan menggunakan bahasa sebagai alat utama untuk melakukan penggambaran tentang sebuah realitas. Dalam hal ini, bahasa digunakan untuk dua kepentingan sekaligus. Pertama, bahasa digunakan sebagai salah satu sarana untuk mendeskripsikan realitas barang (produk) yang ditawarkan/diiklankan. Kedua, setelah deskripsi barang ditampilkan, bahasa juga digunakan untuk membentuk citra pada barang tersebut. Bahasa iklan merupakan bahasa yang sangat kaya, baik gaya maupun pilihan katanya. Tujuan utama dari bahasa iklan ialah untuk menarik perhatian. Pengiklan menggunakan bahasa secara khusus karena ada beberapa keuntungan tertentu dengan membuat pernyataan yang aneh dan kontroversial dibandingkan dengan menggunakan bahasa yang sederhana.
Penulis iklan terkenal senang
bermain dengan kata-kata dan memanipulasi atau mengubah makna yang sebenarnya. Bahkan mereka melanggar peraturan tata bahasa untuk mendapatkan
efek tertentu, menggunakan kata-kata yang di luar konteks, dan bahkan menciptakan kata-kata baru. Menarik perhatian, meningkatkan imajinasi, dan memudahkan ingatan adalah fungsi utama dari bahasa iklan. Kata-kata yang tidak biasa dan gaya (stylish) serta kalimat yang segar mudah untuk ditirukan dan diingat. Hal ini menyebabkan pikiran khalayak dipenuhi dengan nama merek, slogan, semboyan, irama dan sajak, aliterasi, penggalan lagu atau syair, dan tentu saja pengulangan yang tak ada habis-habisnya. Bahasa iklan pada umumnya bersifat tidak formal. Kalimat-kalimat dalam iklan biasanya dibuat sederhana dan pendek.
Terlebih lagi iklan TV yang
memiliki durasi singkat (antara tujuh sampai lima belas detik) dan kata-kata yang diucapkan relatif memiliki peranan yang kecil karena dikombinasikan dengan kekuatan dan pengaruh visual dan audio. Bahkan, ada juga iklan yang tanpa katakata sama sekali atau hanya diakhiri dengan slogan. Ketika iklan tampil di TV atau majalah, sekilas akan terlihat beberapa penggunaan adjektiva dan adverbia dengan begitu bebasnya. Hal ini merupakan bagian kunci dari bahasa iklan.
Kata-kata tersebut merupakan kata-kata
penggerak karena kata-kata tersebut dapat menimbulkan rasa iri, hasrat, mimpi, dan emosi. Dengan menunjukkan bentuk, sentuhan, rasa, dan bunyi pengiklan dengan tepat dapat menggambarkan produk yang sebenarnya. Kata-kata seperti besar (big), kecil (small), dan panjang (long) relatif mudah untuk dibayangkan berkaitan dengan produk yang diiklankan. Sementara itu, kata-kata seperti elegan (elegant),
hebat
(superb),
memikat
(enchanting),
bijaksana
(discreet)
membangkitkan selera (intriguing), menawan (captivating) adalah samar dan tidak mudah untuk diperiksa kebenarannya dan sering kali lebih merupakan sebuah opini daripada fakta.
Jika diperhatikan ada beberapa adjektiva dan
adverbia yang tidak umum yang sering digunakan di dalam iklan dan kata-kata tersebut tidak memiliki makna, seperti dalam bahasa Inggris kata tomatoful, teenfresh, temptational, flavoursome, dan lain-lain. Ketidakbermaknaan adalah teknik penting dalam periklanan sehingga pengiklan tidak terikat pada janji-janji tertentu. Teknik lain yang juga sering digunakan oleh pembuat iklan ialah mengeja kata dengan cara yang salah dengan tujuan untuk menarik perhatian. Pengiklan sering menggunakan verba dan adjektiva dengan cara yang tidak biasa. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, slogan “Drinka Pinta Milka Day”, artikel dan konjungsi melebur dengan nomina dan verba. Walaupun contoh di atas di luar konteks, dapat dilihat bahwa sebagian besar dari kata/kalimat tersebut tidak bermakna. Kadang-kadang makna dikorbankan untuk memunculkan buyi yang berirama dalam sebuah iklan. Irama (rhythm) sangat penting bagi pengiklan, irama memudahkan orang untuk mengingat segala sesuatu dengan lebih mudah serta dapat menyampaikan dan menyebabkan segala macam emosi. Banyak iklan terdengar seperti syair walaupun iklan-iklan tersebut bukan sajak. Contoh jelas mengenai irama dapat ditemukan dalam jingel iklan TV yang sering menghibur dan menggemparkan. Ada cara lain untuk mengeksploitasi bahasa untuk menghasilkan efek-efek tertentu, yaitu penggunaan majas atau kiasan (figurative language).
Bahasa
majasi atau kias merupakan bahasa retoris.
Bahasa kias mencoba untuk
menciptakan efek dengan melanggar atau mengeksploitasi aturan-aturan bahasa. Pengiklan menyukai metafora karena kesan (image) dari suatu produk dapat dibangun melalui penggunaan bahasa yang irasional.
Dalam slogan rokok
Marlboro, “Come to where the flavor is… Marlboro Country”. Dalam hal ini, rokok diasosiasikan dengan tempat yang ideal. Marlboro Country tidak dapat dikunjungi seperti halnya Kansas atau kota-kota lainnya karena Marlboro Country adalah fiktif dan tidak ada di dalam peta. Dalam iklan rokok Consulate juga dapat dilihat penggunaan bahasa kias yaitu simile. Dalam kalimat “Cool as a mountain stream… Cool fresh Consulate”, sifat-sifat (properties) dari kata stream secara langsung dibandingkan dengan rokok dan secara kebetulan dijadikan alasan bagi konsumen untuk membeli rokok tersebut. Pengiklan juga senang mengeksplorasi sifat-sifat ambigu dari bahasa (ambiguous properties of language). Keambiguan dapat digunakan untuk tujuan humor atau untuk memancing minat khalayak terhadap sebuah iklan. Sebuah pernyataan dapat dikatakan ambigu apabila maknanya berbeda dan dapat diekspresikan dengan menggunakan kata yang sama. Sebagai contoh, permainan nama merek sangat populer pada iklan-iklan di Amerika. Di dalam iklan Rokok More, nama produk “More” bersifat ambigu dengan kata more dalam bahasa Inggris yang berarti „lebih‟.
Keambiguan ini membuat khalayak tidak dapat
memisahkan produk tersebut dari fakta bahwa rokok tersebut memang lebih panjang (longer), lebih ramping (slimmer), dan lebih ringan (milder).
Ketidakhadiran bahasa (the “absence” of language) juga sering menjadi pilihan para penulis iklan. Produk dari iklan itu sendiri dapat digunakan sebagai bahasa. Misalnya, saat kata KITKAT dibuat dari gambar beberapa batang biskuit wafer coklat.
Iklan yang menggunakan kaligrafi seperti itu menunjukkan
ketidakhadiran bahasa dan produk itu yang berbicara untuk dirinya sendiri. Selain bahasa iklan yang baik, ada hal lain yang tak kalah pentingnya dan merupakan faktor penentu suksesnya sebuah iklan, yakni bintang iklan. Bintang iklan yang menarik pada sebuah iklan bisa membawa produk pada citra (image) yang baik juga.
Penggunaan
bintang
iklan
yang
terkenal
juga
akan
membantu
mengomunikasikan arti atau nilai produk yang diiklankan, selama bintang iklan mampu membawa arti atau makna produk yang didukung. Iklan adalah sekumpulan tanda yang bebas ditafsirkan. Pada dasarnya, tanda-tanda yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan nonverbal. Tanda verbal adalah bahasa yang kita kenal (seperti yang telah dijabarkan di atas), sedangkan tanda nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas (Sobur, 2009: 116). Peranan tanda nonverbal (visual) tidak kalah pentingnya dengan peranan tanda verbal (peranan bahasa) dalam iklan.
Strategi kreatif
penciptaan iklan harus memperhatikan tanda-tanda (signs) dan makna (meaning) yang bisa dipahami oleh khalayak setempat karena berkaitan dengan latar belakang khalayak yang bersangkutan. Semua tanda yang muncul dalam teks iklan mewakili realitas sosial yang ada dalam masyarakat sehingga iklan berkaitan erat dengan pemaknaan khalayak. Konteks budaya menjadi satu acuan yang tidak
bisa dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan keberhasilan komunikasi suatu iklan. Ada fenomena yang menarik untuk disimak yang terkait dengan tanda visual yang muncul dalam sebuah iklan yang pada akhirnya berujung pada sebuah perdebatan, bahkan konflik sosial, khususnya di Indonesia. Ketika sebuah iklan sabun mandi menampilkan artis yang setengah telanjang, iklan itu segera mendapat banyak protes dari beberapa kalangan masyarakat. Pose bintang iklan tersebut dianggap bisa merusak moral karena mengumbar aurat. Padahal, menurut pembuatnya, iklan itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengumbar sensualitas.
Iklan itu hanya ingin menonjolkan kecantikan kulit artis yang
menggunakan sabun yang diiklankan tersebut dan semua masih dalam batas-batas normal. Hal serupa juga terjadi di Afrika Selatan. Iklan deodoran khusus pria, Axe, "Even Angels will fall" menuai protes dari beberapa lapisan masyarakat sebab iklan tersebut dipandang bergesekan dengan nilai agama. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang artis cantik yang mengenakan gaun putih yang cukup seksi dengan sayap di punggungnya (dibaratkan sebagai seorang bidadari yang turun dari khayangan) jatuh dari langit dan berjalan perlahan-lahan seperti terkena sihir mendekati seorang pria di bumi yang sedang menggunakan produk deodoran. Melihat adegan ini, khalayak akan memaknai bahwa produk tersebut memiliki pengaruh yang begitu kuat untuk menggoda kaum hawa, bahkan sampai bidadari atau malaikat pun lupa diri.
Advertising Standards Authority (ASA)
banyak menerima protes dari warga di Afrika Selatan. Mereka protes karena
utusan Tuhan (malaikat) atau bidadari jatuh untuk seorang pria wangi yang memakai deodorant. Menurut pandangan mereka, iklan tersebut menunjukkan bahwa malaikat seperti kehilangan status dan membuat umat kecewa. Media di Afrika Selatan menyatakan bahwa masalahnya bukan karena malaikat dijadikan barang komersial pada iklan TV, tetapi lebih kepada malaikat dilihat seperti mengorbankan status surgawi mereka demi keinginan duniawi.
Banyaknya
ketidaksukaan warga, membuat ASA secara resmi melarang perederan iklan tersebut. Ilustrasi di atas menggambarkan betapa iklan dapat dipersepsi dan dimaknai dari berbagai sudut pandang. Pembuatnya bisa saja mengatakan bahwa iklannya tidak mengumbar sensualitas, namun khalayak menafsirkannya sebagai pornografi, dan sebagian lainnya mungkin menafsirkannya sebagai hal yang mengandung nilai estetika tinggi, dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh manusia yang memiliki kapasitas luar biasa dalam melihat sesuatu dengan berbagai cara. Rangsangan fisik, jasa, atau produk yang sama pun dapat dilihat dengan berbagai cara (Sutherland, 2005:34). Sebuah merek, perusahaan atau jasa dapat juga dipahami dengan berbagai cara, tergantung pada kerangka acuan yang digunakan. Tanda verbal dan nonverbal pada iklan memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga membuat iklan menjadi bermakna. Tanda verbal saja tidak cukup dalam memaknai sebuah iklan.
Beberapa tanda verbal kadang tidak cukup
bermakna hingga diperlukan tanda nonverbal untuk membuatnya lebih bermakna. Hal-hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dapat divisualisasikan
melalui tanda nonverbal sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami dan diterima dengan baik.
Sebagai medium ideologis, iklan sangat menarik
diamati dan ditelaah isi pesannya. Seperti halnya fenomena di atas, yang sangat menarik untuk diteliti, sehingga terungkap makna yang tersembunyi di balik tanda-tanda dalam sebuah iklan, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sesungguhnya, ada landasan akademis yang dapat digunakan untuk membedah iklan sehingga dapat mengakhiri segala perdebatan yang terjadi di masyarakat yang selama ini bersifat sangat subjektif. Ketika ”membaca” iklan televisi, dapat dilihat keterhubungan antara iklan dan semiotik yang menjadi satu diskusi yang menarik. Sebagian tayangan iklan sering kali bukan menawarkan produk semata, melainkan juga melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu. Dalam catatan Graeme Burton (2007: 40), barang-barang yang diiklankan di televisi akan memperoleh nilai kultural. Iklan yang pada dasarnya sekadar kegiatan promosional atas produk menjadi kegiatan pemasaran seperangkat nilai dan keyakinan. Iklan televisi telah menjadi satu bagian kebudayaan populer yang memproduksi dan merepresentasikan nilai, keyakinan, dan bahkan ideologi. Menariknya, iklan televisi kemudian tidak luput dari perannya sebagai arena komodifikasi karena pesan iklan bukan lagi sekadar menawarkan barang dan jasa, melainkan juga menjadi semacam alat untuk menanamkan makna simbolik. Implikasi kehadiran iklan dalam ruang kehidupan memang sangat luas. Selain memberi kontribusi ekonomis bagi pemilik modal, melalui tanda-tanda
yang dimunculkan dalam pesan-pesan dan tampilan visualnya, iklan juga memberi pengaruh pada suatu perubahan sosial. “Advertisements do more than inform or persuade. They eloquently translate feelings and opinions. Through advertising and the media we receive an enormous amount of „silent‟ information: how to act in relation to people, property and ourselves. And that information is a barometer, attuned to social change” (Berman, 1980: 18). Jadi, tidaklah mengherankan jika banyak kalangan menilai iklan merupakan suatu objek yang menarik untuk dikaji, terutama dalam ranah komunikasi dan semiotik. Sebelumnya, ada beberapa penelitian yang terkait dengan wacana iklan, baik yang ditulis dalam bentuk tesis, disertasi, maupun artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah. Sejauh pengamatan peneliti, dari semua penelitian terdahulu yang menganalisis tentang iklan tak satu pun disertasi yang menganalisis iklan televisi khususnya iklan makanan dan minuman, yang secara lebih spesifik lagi, meneliti penggunaan gaya bahasa guna menguak makna dan ideologi di balik iklan-iklan tersebut. Tampilan iklan di televisi senantiasa melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan pun menjadi ”tanda” yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna (Thwaites et al., 2002: 9). Tanda berfungsi mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) serangkaian konsep, gagasan atau perasaan demikian rupa yang memungkinkan seorang penonton untuk mengawasandikan atau menginterpretasikan maknanya. Jika tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada sesuatu, kode adalah sistem yang memungkinkan tandatanda diorganisasikan dan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Dalam iklan televisi kode-kode yang secara jelas dapat dilihat dan dibaca adalah bahasa yang berupa narasi atau unsur tekstual, audio, dan audiovisual.
Iklan pada media elektronik (televisi) memiliki kekuatan yang lebih besar untuk memengaruhi khalayak (pemirsa) jika dibandingkan dengan media lainnya. Ada beberapa kelebihan atau kekuatan yang dimiliki oleh iklan televisi. Pertama, iklan televisi memiliki kesan realistik. Maksudnya, televisi mempunyai sifat yang visual dan merupakan kombinasi warna-warna, suara, dan gerakan, maka iklaniklan televisi seperti iklan hidup dan nyata. Pengiklan bisa menunjukkan kelebihan dan keunggulan produknya secara rinci.
Iklan visual pun dapat
mencapai kesan yang lebih dalam sehingga para konsumen begitu melihat produknya, akan segera teringat iklannya di televisi. Kedua, iklan televisi membuat masyarakat lebih tanggap. Iklan televisi yang disiarkan pada saat di rumah dalam suasana yang serba santai atau rekreatif, membuat masyarakat lebih siap untuk memberikan perhatian. Perhatian terhadap iklan televisi akan lebih besar jika materinya dibuat dengan standar teknis yang tinggi dan atau menggunakan tokoh ternama atau artis-artis yang dapat menyajikan produk secara otentik. Ketiga, adanya repetisi atau pengulangan. ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari.
Iklan televisi banyak Hal ini dipandang cukup
bermanfaat yang memungkinkan sejumlah khalayak untuk menyaksikannya dan dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu bangkit.
Keempat,
sebagai media komunikasi massa televisi menjangkau semua kalangan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadikan televisi sebagai media informasi untuk mengetahui berita terkini. Hal ini pun dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk memasarkan produknya.
Iklan pada media elektronik (televisi) dipilih sebagai sumber data dalam penelitian ini karena iklan yang ditayangkan di televisi lebih menarik dan variatif daripada iklan yang dimuat di media cetak. Kelebihan iklan televisi terletak pada kemungkinan diterimanya tiga kekuatan generator makna sekaligus, yakni narasi, suara, dan visual. Ketiganya membentuk sebuah sistem pertandaan yang bekerja untuk memengaruhi penontonnya.
Iklan televisi bekerja efektif karena
menghadirkan pesan dalam bentuk verbal dan nonverbal sekaligus.
Sebagai
sistem pertandaan, maka iklan sekaligus menjadi sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun sering kali menjadi representasi gagasan yang terpendam di balik penciptanya.
Persoalan representasi ini yang kemudian lebih menarik
karena di dalam iklan sebuah makna sosiokultural dikonstruksi.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dilihat bahwa pengiklan sering
kali menggunakan gaya bahasa yang “nyentrik” dan lain dari yang lain. Melihat fenomena kebahasaan pada media iklan yang sangat kontroversial, maka penelitian ini mengangkat tiga masalah yang terkait dengan gaya bahasa serta makna tanda verbal dan nonverbal pada iklan makanan dan minuman yang ditayangkan pada beberapa stasiun TV di Indonesia.
Iklan sendiri memiliki
pengaruh yang luar biasa besarnya dalam kehidupan masyarakat, baik dari segi pola pikir maupun gaya hidup, sebab selalu ada ideologi di balik wacana iklan. Oleh sebab itu, penelitian ini sangat
menarik dan penting untuk dilakukan.
Adapun ketiga masalah yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah gaya bahasa iklan komersial pada media elektronik? 2) Makna apakah yang terkandung dalam iklan komersial pada media elektronik? 3) Ideologi apakah yang melatarbelakangi iklan komersial pada media elektronik?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian mengungkapkan keinginan peniliti untuk memperoleh
jawaban atas permasalahan penelitian yang diajukan. Oleh sebab itu, rumusan tujuan penelitian harus relevan dengan rumusan masalah yang ditentukan serta mencerminkan proses penelitian. Tujuan penelitian merupakan petunjuk bagi peneliti untuk menentukan arah dari penelitian yang dilakukan. Di samping itu, dengan ditetapkannya tujuan penelitian yang jelas maka penelitian akan menjadi lebih tersruktur.
Tujuan penelitian memberikan batasan bagi peneliti dalam
melakukan penelitiannya sehingga tidak terjadi analisis yang di luar konteks permasalahan. Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan di atas, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum mengandung uraian garis besar sasaran akhir penelitian
secara keseluruhan yang akan dicapai. Dengan kata lain, tujuan umum penelitian dikembangkan dalam kerangka yang masih umum dan bermanfaat untuk banyak kalangan.
Dengan demikian, secara umum penelitian ini bertujuan untuk
memberi gambaran tentang bagaimana cara pembuat iklan komersial menyusun serta menyampaikan iklannya sehingga bernilai komersial.
1.3.2
Tujuan Khusus Tujuan khusus merupakan penjabaran atau pentahapan tujuan umum,
sifatnya lebih operasional dan spesifik. Bila semua tujuan khusus tercapai, maka tujuan umum penelitian juga terpenuhi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1)
menjelaskan gaya bahasa iklan komersial pada media elektronik;
2)
mengungkap makna yang terkandung dalam iklan komersial pada media elektronik;
3)
menjelaskan ideologi yang terkandung dalam iklan komersial pada media elektronik
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian merupakan dampak dari tercapainya tujuan penelitian.
Jika dalam penelitian, tujuan dapat tercapai dan masalah dapat dipecahkan secara tepat dan akurat, maka dapat dirasakan manfaatnya, baik secara praktis maupun secara teoretis. Manfaat penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu manfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (secara teoretis) dan manfaat untuk membantu mengatasi, memecahkan, serta mencegah masalah yang ada pada objek yang diteliti. Dengan demikian, hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat yang dapat dinikmati, baik secara teoretis (manfaat akademik) maupun praktis (manfaat non akademik), sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis yaitu manfaat penelitian dalam mengaplikasikan teori, mengembangkan teori, dan menyumbang ilmu pengetahuan baru. Sehubungan dengan itu, secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat: 1) memperkaya fakta dan informasi tentang makna dan bahasa visual iklan televisi melalui analisis semiotik; 2) memberikan gambaran tentang proses penggunaan tanda (verbal dan non verbal) dalam menciptakan sebuah bentuk komunikasi publik berupa iklan; 3) memberikan model kajian menurut Barthes dalam menganalisis makna tingkat 1 dan tingkat 2;
4) menjadi acuan penelitian tentang kajian semiotik periklanan dan memberikan data serta sumber informasi yang bermanfaat.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis yaitu manfaat penelitian dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
Sehubungan dengan itu, secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1) Pembaca agar lebih kritis dalam memaknai pesan yang disampaikan oleh media terutama pesan yang disampaikan oleh pengiklan di televisi. 2) Masyarakat konsumen akan memperoleh manfaat tentang bagaimana mereka harus menanggapi dan menyikapi keberadaan sebuah iklan komersial agar nantinya tidak salah pilih produk barang atau jasa yang diinginkannya. 3) Masyarakat produsen (pencipta iklan) akan lebih mampu menciptakan iklan yang lebih komunikatif dan persuasif.