BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu dan bukan hukum. Menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita melakukan pilihan yang rumit, tetapi pada hakikatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut. Semakin suatu teori bergeser ke faktor hukum, semakin menganggap hukum sesuatu yang mutlak, otonom dan final. Semakin bergeser kemanusiaan, semakin teori itu ingin memberikan ruang kepada faktor manusia. 9 Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Hal ini berarti hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. 10 Untuk menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial tersebut maka hukum harus bersifat terbuka terhadap dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hukum bersifat terbuka berarti hukum harus selalu peka dan berinteraksi dengan lingkungan sosial sehingga terjadi pertukaran informasi antara hukum dengan lingkungan sosial tersebut. Dengan demikian, disamping hukum merupakan suatu 9
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Newsletter No. 59 Bulan Desember 2004, (Jakarta, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hlm.1. 10 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.189
Universitas Sumatera Utara
institusi normatif yang memberikan pengaruhnya terhadap lingkungannya, ia juga menerima pengaruh serta dampak dari lingkungannya tersebut. 11 Namun kenyataan yang sering terjadi adalah hukum seringkali tertinggal dari kejadian sosial dalam masyarakat. Tertinggalnya hukum dari dinamika masyarakat juga dinyatakan oleh R.Soeroso melalui uraiannya tentang pekerjaan pembuatan undang-undang yang meliputi 2 (dua) aspek yaitu : 12 - Pembuat
undang-undang
hanya
menerapkan
aturan-aturan
umum
saja:
pertimbangan - pertimbangan tentang hal konkret diserahkan kepada hakim. - Pembuat undang-undang selalu ketinggalan dengan kejadian-kejadian sosial yang timbul di kemudian di dalam masyarakat, maka hakim sering menambah undangundang itu. Ketertinggalan hukum dari kejadian yang timbul dalam masyarakat akan menimbulkan suatu kesenjangan.
Kesenjangan tersebut lama-kelamaan akan
mempengaruhi tingkah laku dan kesadaran hukum anggota-anggota masyarakat. Kesenjangan tersebut akan mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan ditandai oleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat, yang tidak lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang harus dijalankan. 13
Keadaan tersebut tentu bertentangan dengan gagasan Von
Savigny (1799-1861) salah seorang pemuka ilmu sejarah hukum yang menyatakan
11
Ibid, hlm.189. R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm.110 13 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm.192 12
Universitas Sumatera Utara
bahwa
hukum
merupakan
perwujudan
dari
kesadaran
hukum
masyarakat
(volkgeist). 14 Ketertinggalan hukum (terutama hukum tertulis) terhadap perubahan sosial masyarakat merupakan masalah yang harus disikapi secara serius oleh setiap stakeholders di bidang hukum mengingat salah satu tujuan hukum adalah menjaga ketertiban masyarakat. Secara sederhana dapat kita tarik analogi, kalau hukum tidak dapat beradaptasi seiring perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana mungkin hukum dapat menjaga ketertiban masyarakat tersebut? Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Salah satu bidang hukum yang paling dekat dengan kehidupan sosial adalah hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dari tujuan hukum pidana modern yaitu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. 15 Uraian yang dikemukakan di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hukum pidana harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan sosial Kejahatan dalam hal ini tidak boleh dimaknai begitu sempit sebatas rumusan delik yang tercantum dalam buku kedua KUHP ataupun delik yang tercantum dalam keseluruhan perundang-undangan pidana di Indonesia melainkan lebih mendasar sebagai suatu masalah sosial. Karena sebenarnya saat terjadi kejahatan, keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat terganggu yang selanjtunya menimbulkan gap ataupun kekacauan 14
Jusmadi Sikumbang, Mengenal Sosiologi dan Sosiologi Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012), hlm.203 15 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hlm 12
Universitas Sumatera Utara
dalam tatanan sosial masyarakat. Penerapan hukum pidana seyogyanya harus dapat memperbaiki tatanan sosial masyarakat yang rusak akibat kejahatan tersebut. Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politic criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” (“penal policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapinya tujuan dari kebijakan sosial itu berupa “social welfare” dan “social defence”. 16 Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian ilmu hukum pidana dewasa ini adalah Tindak Pidana Narkotika. Narkotika semula ditujukan untuk kepentingan pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi obat-obatan maka jenis-jenis narkotika dapat diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat saat ini serta dapat pula disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepentingan di bidang pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi generasi suatu bangsa. 17 Oleh karena itu tindak pidana narkotika terbilang cukup unik karena apabila narkotika digunakan dengan dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau dokter psikiater dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan atau penelitian sehingga berguna bagi kesehatan fisik dan kejiwaan manusia, namun di sisi
16
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.75 17 Moh.Taufik Makarao, Suhasril, Moh.Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 200), hlm.19
Universitas Sumatera Utara
lain apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan dan kerusakan mental bahkan fisik sipenyalahguna.
Bahaya dan akibat dari penyalahgunaan
narkotika tersebut dapat bersifat bahaya pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingkungan. Yang bersipat pribadi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu secara khusus dan secara umum, secara umum dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh sipemakai dengan gejala-gejala sebagai berikut: 18 1. Euphoria; suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan
kondisi badan si pemakai (biasanya efek ini masih dalam penggunaan narkotika dalam dosis yang tidak begitu banyak). 2. Delirium: suatu keadaan dimana pemakai narkotika mengalami menurunnya
kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai (biasanya pemakaian dosis lebih banyak daripada keadaan euphoria). 3. Halusinasi; adalah suatu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami
“khayalan” misalnya melihat, mendengar yang tidak ada pada kenyataannya. 4. Weakness; kelamahan yang dialami fisik atau psychis/kedua-keduanya. 5. Drowsiness; kesadaran merosot.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Narkotika pasal 1 berbunyi bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun 18
Ibid, hlm 49-50
Universitas Sumatera Utara
semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika meningkat setiap tahunnya. Dalam sebuah berita Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Anang Iskandar, mengatakan di dunia ada 315 juta orang usia produktif atau berumur 15 sampai 65 tahun yang menjadi pengguna narkoba. Hal ini berdasarkan data dari UNODC, yaitu organisasi dunia yang menangani masalah narkoba dan kriminal, sementara, di Indonesia sendiri angka penyalahgunaan narkoba mencapai 2,2 persen atau 4,2 juta orang pada tahun 2011.
Mereka terdiri dari pengguna coba pakai, teratur pakai, dan pecandu. 19
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah menjadi permasalahan yang sangat memprihatinkan, karena berdampak pada berbagai lapisan masyarakat, tanpa memandang batas sosial, ekonomi, usia ataupun tingkat pendidikan. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga membuat tindak pidana narkotika sangat sulit untuk ditanggulangi. Berbagai modus operandi serta varian narkotika jenis baru bermunculan dan menjadi tantangan bagi hukum pidana yang merupakan ultimum remedium terhadap tindak pidana narkotika. Sebut saja narkotika jenis baru Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus Raffi Ahmad dan ternyata tidak terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang
19
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/516363-bnn--pengguna-narkoba-di-indonesiacapai-4-2-juta-orang. diakses pada tanggal 30 Agustus 2014 Pukul 06.10 WIB
Universitas Sumatera Utara
Narkotika. Pakar Farmasi-Kimia Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Mufti Djusnir mengungkapkan methylone, turunan dari zat chatinone yang dibuat secara sintetis, memiliki efek stimulan dan psikoaktif yang lebih berbahaya daripada chatinone yang didapat dari tanaman Khat. Bahkan, efek farmakologinya bisa menyebabkan kematian bagi pengguna zat tersebut dalam dosis yang berlebihan. 20 Permasalahan yang fundamental terkait dengan metilon adalah Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental atau sering juga disebut Civil Law yang menitikberatkan pada kodifikasi peraturan perundang-undangan ataupun hukum positif.
Dalam konteks hukum pidana dalam sistem hukum eropa kontinental,
karakteristik utama hukum pidana terletak dalam “asas legalitas” yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Asas tersebut umumnya dikenal dalam Bahasa Latin yang berbunyi “ Nullum delictum Nula Poena Sine Previa Legi Poenalle”. Eddie O.S Hiariej mencoba menterjemahkan asas ini ke dalam bahasa Indonesia yaitu: “Tiada Perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan”. 21 Jika ditelusuri sejarahnya, keberadaan asas legalitas ini sebenarnya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan persamaan hak warga negara dari kesewenang-
20
http://meiwarian.blogspot.com/2013/02/efek-narkoba-jenis-methylenedioxymethyl.html. diakses pada tanggal 30 Agustus 2014 Pukul 07.10 WIB 21 Eddy O.S.Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm.19
Universitas Sumatera Utara
wenangan pemerintah. Karena itu, dampak konkrit dari asas legalitas adalah hukum pidana di Indonesia sangat berpatokan dan bergantung kepada peraturan perundangundangan ataupun hukum tertulis. Maka untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika haruslah berpatokan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai payung hukum terhadap pengaturan narkotika di Indonesia. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UndangUndang ini. Uraian pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa yang tergolong narkotika hanyalah yang terdaftar dalam undang-undang tersebut dan yang tidak terdaftar bukanlah narkotika secara yuridis. Dengan demikian apabila kita memandang secara sempit dari perspektif asas legalitas maka metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana yang karena bukan merupakan narkotika sebagaimana dimaksud dan terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketergantungan hukum pidana terhadap hukum tertulis sebagai konsekuensi asas legalitas merupakan hal yang krusial mengingat betapa pesatnya perkembangan
Universitas Sumatera Utara
dan perubahan dalam masyarakat dengan aneka kejahatannya. Apalagi hukum tertulis itu sendiri cenderung kaku dan sulit melakukan adaptasi terhadap perubahanperubahan yang terjadi. 22 Kekakuan tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak mampu beradaptasi dan mengakomodir bahaya penyalahgunaan metilon yang berpotensi menimbulkan dampak negatif narkotika pada umumnya. Keberadaan mengenai metilon kian dilematis mengingat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharamkan para hakim menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 23 Konsekuensinya, para penegak hukum untuk aktif dan tidak boleh menutup mata terhadap perkara-perkara yang terjadi dan mengganggu tatanan sosial dalam masyarakat dengan dalih belum ada hukumnya. Demikian halnya terhadap metilon yang tidak dimasukkan dalam daftar narkotika dalam lampiran UndangUndang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Kekosongan hukum tersebut tidak bisa dijadikan alasan absennya kebijakan hukum pidana terhadap Metilon Pada umumnya dalam menanggapi kekosongan hukum sebagaimana yang terjadi terhadap katinon tersebut, ilmu hukum mengenal istilah penemuan hukum (Rechtsvinding) yang lazim dipraktekkan oleh para penegak hukum. Menurut Sudikno Mertukusumo penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh
22 23
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm 191 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
Universitas Sumatera Utara
hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan. hukum umum pada peristiwa konkret. 24 Dalam penemuan hukum tersebut juga terdapat dua unsur penting yang harus diperhatikan yaitu sumber hukum dan kedua adalah fakta. 25 Maka dalam melakukan penemuan hukum untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap fakta yaitu“penyalahgunaan metilon” sangat penting mencari sumber-sumber hukum yang dapat dijadikan bahan referensi para penegak hukum dalam melakukan penemuan hukum tersebut. Mengenai sumber hukum G.W Paton mengemukakan sebagai berikut : The term sources of law has many meanings and is frequent causes of error unless we scrutinize carefully the particular meaning given to it in any particular text ( Ada banyak arti dari istilah sumber hukum dan sering kali menjadi sebab terjadinya kekeliruan-kekeliruan terkecuali jika kita teliti dengan seksama arti-arti yang khusus yang diberikan terhadap istilah tersebut yang terdapat di dalam suatu teks tertentu). 26
Uraian menurut Paton tersebut telah menjelaskan bahwa tidak ada pengertian resmi dari sumber hukum yang menyebabkan sering terjadinya kekeliruan baik dalam dunia teori maupun praktik hukum. Sebelum melakukan penemuan hukum maka haruslah dipahami apa sebenarnya sumber hukum yang diakui secara umum dalam dunia teori maupun praktik hukum.
24
Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm 56 ibid 26 Syahruddin Husein, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: Kelompok studi Hukum dan Masyarakat, 1998), hlm.52 25
Universitas Sumatera Utara
Achmad Ali mencoba merumuskan sumber hukum lebih sederhana yaitu : Sumber hukum adalah tempat dimana kita menemukan hukum namun adakalanya sumber hukum sekaligus merupakan hukum seperti keputusan hakim. 27 Beritik tolak dari pandangan tersebut maka dalam ilmu hukum sendiri dikenal lima sumber hukum sebaga tempat dimana kita menemukan hukum yaitu: 1. Undang-Undang 2. Kebiasaan/adat 3. Traktat ( Perjanjian) 4. Jurisprudensi 5. Doktrina. Melihat sumber-sumber hukum yang dikemukakan di atas, maka dalam kasus metilon, tidak dapat digunakan hanya satu sumber hukum yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebabkan penyalahgunaan metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana. Hukum terhadap metilon masih harus dicari dan ditemukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Metilon sebenarnya tidaklah sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Katinona yang merupakan senyawa induk dari metilon telah termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam sebuah berita saksi ahli kimia farmasi Badan Narkotika Nasional Mufti Djusnir mengatakan Katinona merupakan struktur dasar molekul yang memiliki gugus samping. Jika gugus-gugus tersebut 27
Liza Erwina, Pengantar Ilmu Hukum ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012), hlm.125
Universitas Sumatera Utara
diubah, maka muncul turunannya dengan efek yang lebih dahsyat. Salah satunya adalah Methylon, dalam istilah kimia memiliki kekuatan +4 atau lebih kuat dari turunan Katinona lainnya. 28 Berdasarkan pada uraian diatas penulis mencoba untuk membahas tentang “Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika
di Luar
Golongan Yang di Atur Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal diatas maka penulis mengemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana narkotika berdasarkan pada undangundang yang pernah berlaku di Indonesia? 2. Apakah dapat dilakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009? 3. Apa yang menjadi kendala terhadap penuntutan tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009?
28
http://showbiz.metrotvnews.com/read/2013/01/31/127535/bahaya-zat-methylon-di-barangbukti-kasus-raffi diakses pada tanggal 30 Agustus 2014 Pukul 07.45 WIB
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang diuraikan diatas maka penelitian ini bertujuan menelaah hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang narkotika yang pernah berlaku di Indonesia . 2. Untuk mengetahui penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala terhadap penuntutan tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat kepada semua pihak baik secara akedemis, teoritis terlebih secara prkatis, setidaknya manfaat tersebut adalah 1. Secara Teoritis Secara teoritis akan memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu hukum pidana. 2. Secara Praktis Bagi peneliti, sebagai wadah mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teori yang telah dipelajari selama kuliah dan penelitian ini diharapkan juga
Universitas Sumatera Utara
bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan advokat.
E. Keaslian Penulisan. Kejujuran intelektual adalah sesuatu yang dituntut dalam dunia akademik karena itulah duplikasi atau plagiat terhadap karya intelektualitas orang lain secara tidak sah adalah perbuatan yang nista. Penelitian ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran peneliti secara pribadi dengan melihat perkembangan pelaku Tindak Pidana Narkotia khususnya “penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam lampiran undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika”. Guna menghindari duplikasi terhadap karya dan permasalahan
yang
sama,
maka
sebelumnya
telah
dilakukan
penelusuran
diperpustakaan Universitas Sumatera Utara. Hasil penelurusan dimaksud ternyata tidak menemukan judul penelitian/tesis yang memiliki kesamaan atau kemiripan judul dan substansi permasalahan yang sama sebagaimana penelitian ini. Berdasarkan penelurusan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan satupun Judul Tesis terdahulu yang membahas seputar “Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan Yang Diatur Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teori Teori dalam penelitian ilmiah adalah sebuah kemestian karena merupakan inti dari penelitian ilmiah dimaksud.
29
Teori secara bahasa adalah pendapat yang
didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandagan dan wawasan. 30 Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu (a) teori-teori hukum, (b) asas-asas hukum, (c) doktrin hukum dan (d) ulasan pakar hukum berdasarkan pembidangan kekhususannya. 31 Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena batasan dan sifat hakikat suatu teori adalah “….seperangkat konstruk (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjalankan dan memprediksi gejala-gejala itu”. Rumusan diatas, mengandung 3 (tiga) hal, pertama, teori merupakan seperangkat proposisi yang terdiri atas variabel-variabel yang terdefenisikan dan saling berhubungan. Kedua, teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel dan dengan demikian merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomenafenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu. Akhirnya, suatu teori 29
Muktar Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 92. 30 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, cet-VI (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 4. 31 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.79.
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan fenomena. Penjelasan itu diajukan dengan cara menunjuk secara rinci variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan variabel-variabel tertentu lainnya. 32 Penelitian dalam pembahasan tesis ini menggunakan teori penafsiran ekstensif. Penafsiran secara umum lebih dipahami sebagai “proses, perbuatan, cara menafsirkan; upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas”
33
atau “kesan,
pandangan, pendapat, tafsiran.” 34 Dalam bidang hukum definisi “penafsiran” menurut Black’s Law Dictionary “the art or process of discovering and ascertaining the meaning of a statute, will, contract, or other written document. The discovery and representation of the true meaning of any signs used to convey ideas.” 35 Menunjukkan pemahaman arti penting “penafsiran” bukan sebatas cara atau perbuatan tetapi suatu keahlian/seni untuk mendapatkan makna yang benar dari suatu dokumen hukum. Metode penafsiran ektensif merupakan salah satu metode penafsiran di antara bermacam-macam metode penafsiran yang ada. Van Bemmelen mengemukakan ada 10 metode interpretasi: De textuale interpretatie; Intentionele interpretatie; Principiele interpretatie; Rationele interpretatie; Morele interpretatie; Comparatieve interpretatie; Analogische interpretatie; Legislative interpretatie;
32
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 42-43 33 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kedua, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), hlm 882 34 Ajarotni, et. al (ed.). Tesaurus Bidang Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta, 2008), hlm, 73 35 , Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary Deluxe: Definitions of Terms and Phrases of American and English Jurisprudence: Ancient and Modern, Sixth Edition, (Amerika, St. Paul Minn. West Publishing, 1990) , hlm 817
Universitas Sumatera Utara
Historische interpretatie; dan Evolutieve interpretative (interprestasi gramatikal, interprestasi disengaja, interprestasi prinsipil, interprestasi rasional, interprestasi moral, interprestasi komparatif, penafsiran analogi, interprestasi legislative, interprestasi historis dan interprestasi evolusi). 36 Dari kesepuluh metode interpretasi itu, penafsiran ekstensif termasuk di dalam Pincipiele Interpretatie karena melakukan kegiatan pemahaman terhadap ketentuan hukum yang ada dengan tetap mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang ada di dalam ketentuan itu. Asas legalitas yang tercantum didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin : “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang dapat disalin kedalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan “ “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Adanya asas tersebut didalam KUHP Indonesia merupakan dilema, karena memang dilihat dari segi yang satu digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup dan tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat berbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. 37 Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa penerapan analogi itu relatif, karena ditolak penciptaan hukum pidana baru oleh hakim pidana dengan sarana analogi,
36
A. Zainal Abidin. Farid, Hukum Pidana I, Cet. I, (Jakarta, Sinar Grafika Offset,1995) hlm,
37
Andi Hamzah, Pengantar Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008),
38 hlm.43.
Universitas Sumatera Utara
tetapi tidak keberatan jika hakim menciptakan hukum baru in bonam partem (dengan itikad yang baik). Kadang-kadang pembuat undang-undang sendiri menciptakan analogi. 38 Bentuk analogi yang bagaimana sebenarnmya yang dilarang, dapat dikutip pendapat Vos, yang mengatakan bahwa penerapan analogi tidak diizinkan setidaktidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan undang-undang secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat undang-undang belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara penerapan analogi dan interpretasi ekstensif merupakan dua jalur tetapi satu hasil. Dapat dilihat pada interpretasi “barang” yang tercantum dalam delik pencurian disamakan dengan “aliran listrik” menurut arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921, W. 10728, N.J.1921,564.
2.
Kerangka Konseptual Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus
yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. 39 Landasan konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam
38 39
Ibid, hlm.44 Zainuddin Ali, Op Cit, hlm 79
Universitas Sumatera Utara
penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul penelitian ini, yaitu: a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undangundang. 40 b. Penuntut Umum adalah jaksa yang yang diberi wewenang oleh ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakakan penetapan hakim. 41 c. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan. 42 d. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 43
40
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. 41
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. 42
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. 43
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
e. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. 44 f. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. 45 g. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum 46
G. Metode Penelitian Cara kerja keilmuan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta berarti sedudah, diatas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatau cara. 47 Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 48 Sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kostruksi, yang dilakukan secara
44
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 14 Undang-Undang nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika 46 Pasal 1 angka 15 Undang-Undang nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika 47 Johny Ibrahim, Teori&Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayumedia Publishing, 2011), hlm. 25-26. 48 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris,( Jakarta: Indonesia, Hillco, 1990), (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hlm.106 45
Universitas Sumatera Utara
metodologis, sistematis dan konsisten. 49 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. 50 Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut , untuk kemudian mengusahakan sesuatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan. 51 Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa metode penelitian adalah sebuah upaya yang dilakukan berdasarkan metode tertentu secara ilmiah berkaitan dengan analisa dan konstruksi, guna memahami, menganalisis, memecahkan suatu masalah dan mencari kebenaran 1. Jenis dan Sifat Penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian hukum normative (yuridis normatif). Penelitian hukum adalah suatu peroses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 52 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
49
Soerjono Soekanto, Pengantar Peneletiaan Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Pres-UI Press, 1986), (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hlm.42 50 Soerjono Soekanto II, Op. Cit, hlm 43. Bandingkan dengan Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Garafika, 1996), hlm. 6 51 Ibid 52 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). 53 Penelitian hukum normative disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian Hukum Doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis didalam peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriktif analitis. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interprestasi yang tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisa fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundangundangan.
2. Sumber Data Penelitian hukum yang normatif menggunakan data sekunder, yang terdiri atas (1) bahan hukum primer, (2) bahan hukum sekunder, (3) sereta bahan hukum tersier. 54 a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersipat autoriatif artinya mempunyai otoritas. 55 Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan peraturan yang relevan dengan penelitian yaitu : 53
Mukti Fajar &Yulianto Achmad, Op Cit, hlm.34. Muslan Abdurahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang:UMM Press, 2009), hlm. 127. 54
Universitas Sumatera Utara
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP); 2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971); 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988); 5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika; 6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; 7) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 8) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks. c. (Textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), 56 semua publikasi tentnag hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, 57termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurna-jurnal hukum. 58
55
Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, hlm. 141. Johnny Ibrahim, Op Cit, hlm.241-242. 57 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 58 Ibid. hlm. 155 56
Universitas Sumatera Utara
d. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penejelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder seperti kamus hukum, encyclopedia dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data. Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data. Banyak masalah yang dirumuskan tidak akan bisa terpecahkan karena metode untuk memperoleh data yang digunakan tidak memungkinkan. 59 Penelitian ini menggunakan Penelitian Hukum Normatif, oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. 60 Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka peneliti akan lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap. Secara singkat studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya: 61
59
Moh.Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indoneisa, 2003), hlm.174. Ibid, hlm.17. 61 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.112-113. 60
Universitas Sumatera Utara
1. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan. 2. Mendapat metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan. 3. Sebagai sumber data sekunder. 4. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya. 5. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan. 6. Memperkaya ide-ide baru. 7. Mengetahui siapa saja peneliti lain dibidang yang sama dean siapa pemakai hasilnya.
4. Analisis Data Analisa data adalah peroses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. 62 Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian kontruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasalpasal kedalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan
62
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hlm.263.
Universitas Sumatera Utara
perundang-udangan,
putusan-putusan
pengadilan
dan
dianalisis
berdasarkan
kualitatif, yaitu dengan melakukan: 1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut. 2. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. 3. Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah. 4. Menjelaskan dan menguraikan berbagai hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatf. Sehingga menggungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. Analisa data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan
data,
memilah-milahnya
menjadi
satuan
yang
dapat
dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 63 Bahan hukum yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan tahapan berfikir sistematis guna menemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mendasarkan pada teori-teori hukum yang pada akhirnya akan
63
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung. PT. Remaja Rosdakarya, 2006),
hlm.248
Universitas Sumatera Utara
memberikan hasil yang signifikan dan bermakna kedalam bentuk sebuah paparan yang nyata.
Universitas Sumatera Utara