BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan dihampir semua kebudayaan cenderung sama pernikahan menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan
secara
resmi
dengan upacara dan ritual-ritual tertentu.
(Kartono, 1992). Dalam kehidupan manusia di dunia ini (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama dan terjadi suatu Pernikahan antara manusia yang berlainan jenis itu. Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan pancasila, yang sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka antara Pernikahan dengan agama mempunyai hubungan yang erat, karena Pernikahan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga mempunyai unsur rohani yang memegang peranan penting. artinya bahwa Pernikahan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, melainkan kedua-duanya harus berjalan seimbang, karena apabila melihat tujuan Pernikahan adalah untuk membentuk suatu rumah-tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal, sedangkan pembentukan keluarga
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam pancasila. (Adji,1989). Pernikahan merupakan naluri manusia sejak adanya manusia itu sendiri untuk memenuhi hajat hidupnya dalam melakukan hubungan biologis di kehidupan berkeluarga. Dalam islam, Pernikahan dianggap sebagai lembaga suci untuk mengikat pria dan wanita dalam suatu ikatan yang sah untuk membina keluarga yang bahagia dalam rangka mengabdi kepada Tuhan. Sedangkan dalam rumusan pasal 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan) disebutkan bahwa tujuan Pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada Pasal 2 undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah haruslah melewati lembaga agamanya masing-masing dan tunduk kepada aturan pernikahan agamanya. Lalu apabila keduanya memiliki agama yang berlainan, maka lembaga agama tidak dapat menikahkan mereka kecuali salah satunya mengikuti agama pasangannya. Disisi lain di UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menyebutkan setiap warga negara bebas memeluk agama sesuai dengan hati nurani. Menurut Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), ini berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan) tetapi, harus melihat ketentuan ( Pasal 8f ) UU Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
2 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
berlaku, dilarang perkawinan. Mengenai pasal ini, tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan ketentuan tersebut. sehingga dalam meresmikan pernikahan beda agama mengalami kendala yang membuat pasangan tersebut merasa haknya tidak dilindungi oleh hukum yang ada. Berkaitan dengan pernikahan beda agama, ( Rusli & Tama, 1986 ) mengemukakan bahwa perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita yang karena berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agama masing-masing, dengan tujuan membentuk keluarga kekal dan ideal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Kasus mengenai pernikahan, yaitu bagaimana calon yang akan menikah tersebut berbeda agama, sampai sekarang pemerintah belum memberikan hukum secara tegas dalam menyikapi hal tersebut. Di Indonesia terdapat data pada tahun 2011 terdapat kasus pernikahan beda agama yang berjumlah 229 pasangan, sedangkan perkawinan beda agama dari tahun 2004-2012 terdapat 1.109 pasangan yaitu dari urutan terbesar pernikahan Agama islam dan Katolik. Sama seperti perkawinan pada umumnya, perkawinan beda agama tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu keluarga. Keluarga yang dihasilkan dari perkawinan beda agama biasa disebut dengan keluarga beda agama (interfaith family). Keluarga beda agama merupakan sekelompok orang yang terkait melalui hubungan (pernikahan, adopsi, ataupun kelahiran) yang saling berbagi satu sama lain serta para anggota keluarganya memiliki kepercayaan atau menganut agama yang berbeda (Alden, 2010).
3 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Pernikahan beda agama juga di lakukan di kalangan artis seperti Ira Wibowo dan Katon Bagaskara, Tamara B dan Mike L, Lydia K dan Jamal M, Dewi S dan Gleen F tetapi setelah beberapa tahun menikah mereka melakukan perceraian (Kompas hot 15 september 2014). Keluarga beda agama memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan keluarga seagama pada umumnya. Perbedaan yang tampak yakni hanya status dari pasangan suami istri yang memiliki agama yang berlainan satu sama lain. Hal tersebut mengakibatkan faktor pemicu konflik dalam keluarga beda agama bertambah satu yakni adanya perbedaan keyakinan di dalam keluarga yang pada nantinya akan mengakibatkan konflik tersendiri. Kasus-kasus mengenai keluarga beda agama memiliki masalah yang biasanya
lebih bervariasi dan
kompleks dari permasalahan yang dihadapi dalam keluarga seagama. konflik yang terjadi pada keluarga beda agama terbagi menjadi dua, yakni konflik sebelum adanya pernikahan serta konflik yang terjadi setelah adanya pernikahan. Konflik yang terjadi sebelum adanya pernikahan biasanya berupa sulitnya mendapatkan ijin dari kedua orangtua untuk melangsungkan perkawinan beda agama, Tata cara pernikahan dan penerimaan latar belakang dari masing-masing keluarga sedangkan konflik yang terjadi setelah adanya pernikahan biasanya berupa konflik batin dalam diri karena rasa bersalah dan menyesal telah melaksanakan pernikahan yang dilarang oleh ajaran agama, seringnya mendapat komentar negatif dari orang lain ( Lingkungan ) terkait status pernikahan beda agama, serta adanya masalah dalam hal pemilihan agama pada anak yang pada nantinya akan mendatangkan konflik beragama dalam diri anak tersebut. Masalah lain yang timbul berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2010) permasalahan yang dihadapi oleh keluarga beda agama meliputi permasalahan dengan latar belakang
4 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
agama, hubungan dengan keluarga, pelaksanaan ibadah, seksualitas, kehidupan sehari-hari, hubungan dengan lingkungan tempat tinggal, serta permasalahan mengenai pola asuh anak. Selain itu, salah satu permasalahan dalam keluarga beda agama yakni adanya konflik perasaan (batin) dalam diri anak (Yosepinata, 2012). Sedangkan permasalahan pernikahan beda agama dalam hukum agama Islam,
senantiasa
dimaknai
dan
dipahami
secara
berbeda
oleh
para
penganutnya. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari kandungan kitab suci Al-Quran yang lebih banyak memuat gambaran umum dari satu persoalan, dan oleh karenanya selalu ada peluang untuk ditafsirkan, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi saat ini yang jelas berbeda dengan kondisi masa lalu. Beragam penafsiran disamping mencerminkan bahwa ada pluralitas dalam agama itu sendiri, juga mencerminkan kekayaan khasanah al-Quran yang senantiasa bisa digali untuk kemudian mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah ditemukan oleh generasi sebelumnya. Oleh karena itu, pernikahan beda agama dalam Islam menjadi sesuatu yang
tak
pernah
selesai
diperdebatkan. Sebagian
sumber
(nashal-Qur’an) dimaknai sebagai bentuk pelarangan
terhadap pernikahan beda agama, sementara sebagian lagi ditafsirkan oleh banyak kalangan sebagai ayat yang membolehkan pernikahan beda agama. “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
5 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221). Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam upaya memahami teks al-Qur’an sebagai sumber hukum, termasuk untuk pernikahan beda agama, adalah konteks pada saat ayat itu diturunkan. Dengan melihat konteks tersebut, penafsiran ayat yang membicarakan tentang pernikahan beda agama akan lebih jelas dipahami. Bagi umat Katolik sendiri pernikahan beda agama adalah salah satu halangan yang membuat tujuan pernikahan tidak dapat diwujudkan. Apabila pernikahan beda agama ini masih tetap dilaksanakan harus terlebih dahulu meminta izin atau dispensasi kepada uskup setempat. ( Kanon 1086 pasal 2) Walaupun di dalam pernikahan ini tidak ada keharusan bagi pihak yang bukan Katolik untuk ikut menjadi Katolik, tetapi ia harus menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan pernikahan menurut agama Katolik. Di dalam agama Katolik terdapat ayat-ayat yang dipakai sebagai acuan pernikahan beda agama. Sebagian besar kitab Katolik melarang terjadinya pernikahan beda agama. Hal itu sebagaimana terlihat pada beberapa ayat di dalam kitab Perjanjian Lama seperti Kejadian 6:5-6 dan Ulangan 7:3-4. Pelarangan pernikahan beda agama juga terekam dalam kitab Perjanjian Baru seperti pada Korintus 7:1 dan 7: 12-16. (Yonathan A. Trisn 1987). Tanda-tanda pembolehan pernikahan beda agama baru muncul pada Hukum Kanonik, hukum turunan dari Kitab Suci yang berbasis pada realitas. Meski pasangan yang akan menikah beda agama terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan tertentu, dua ayat dalam Hukum Kanonik patut disebut sebagai ayat-
6 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
ayat yang memungkinkan terjadinya pernikahan beda agama dalam Katolik. Dua ayat tersebut adalah Hukum Kanon 1125 dan 1126. Penelitian terdahulu menemukan bahwa perkawinan campuran cenderung lebih berpotensi menimbulkan konflik dibandingkan perkawinan dalam budaya sama. Hal ini terjadi karena pasangan pada perkawinan campuran seringkali bereaksi menggunakan standar budaya yang berbeda. Jika seseorang cenderung memiliki pandangan yang kuat terhadap budayanya, maka tidak peduli seberapa besar upaya seseorang mencoba melepaskan diri dari budayanya, maka upaya tersebut akan terasa sulit, karena budaya tersebut telah menjadi panutan baginya, dan menentukan bagaimana dia seharusnya memahami dunia (Walker, 2005). Sehubungan dengan hal tersebut, sangat penting bagi pasangan yang menjalani perkawinan campuran untuk memahami kapan dan bagaimana konflik muncul, serta bagaimana pengaruhnya terhadap pembentukan sikap dan perilaku, sehingga pasangan perkawinan campuran dapat belajar untuk mengelola konflik dengan baik (Kreider, 2000). Jika konflik dikelola dengan baik dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang sedang mengalami konflik, maka suatu hubungan akan menjadi baik pula. jika konflik tidak dikelola dengan baik, maka suatu hubungan akan semakin memburuk. Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Penggunaan manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik yang ada. Manajemen
7 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011). Manajemen konflik yang tepat dan efektif bagi pasangan beda agama guna meminimalisir konflik yang yang terjadi menyangkut perbedaan agama. Teori Adaptasi Antarbudaya (theory intercultural adaption) yang mengungkapkan bagaimana individu beradaptasi yang berbeda budaya dan motivasi setiap orang untuk beradaptasi berbeda-beda. Kemampuan individu untuk berkomunikasi sesuai dengan norma-norma dan nilainilai budaya yang baru tergantung pada proses penyesuaian diri atau adaptasi mereka (Gudykunts dan Kim 2003). Berangkat dari banyaknya fenomena yang terjadi pada pernikahan pasangan agama islam dan agama katolik cenderung berpotensi menimbulkan konflik, sehingga mendorong peneliti untuk memutuskan mengambil topik mengenai pengelolaan konflik pada Pernikahan beda agama dalam penelitian ini. Dari konflik-konflik yang bermunculan pada pasangan yang menjalani pernikahan beda agama, mulai dari permalasahan latar belakang budaya, bahasa, peran gender, dan aspek lain seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tentunya membutuhkan manajemen konflik untuk memelihara dan mempertahankan hubungan. Bertolak dari berbagai sumber maka penelitaian bertujuan memberikan mengenai konflik yang terjadi pada pernikahan beda agama, dan bagaimana pasangan beda agama mampu mempertahankan pernikahan dengan konflik yang muncul dan mengetahui cara mengatasinnya. Penelitian ini tidak hanya berguna bagi yang sudah menikah namun juga tidak menutup kemungkinan bagi yang belum menikah dan sedang menjalani hubungan beda agama semakin memahami dan
8 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
menggunakan manajeman konflik yang tepat, bagi yang menikah ataupun orang tua mampu melihat sudut pandang positif atas terjalinnya dua pribadi beda agama. konflik yang bersumber pada pernikahan beda agama serta yang cenderung digunkan dalam manajeman konflik. Oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk meneliti manajemen konflik pernikahan beda agama khususnya pada pasangan agama islam dan katolik di Jakarta Barat.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini hanya berfokus pada permasalan tentang manajeman konflik pada pernikahan beda agama islam dan katolik. Berangkat dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Konflik apa saja yang muncul sebelum pernikahan beda agama ? 2) Konflik apa saja yang muncul dalam setelah pernikahan beda agama dan Pertimbangan apa saja yang muncul dari pasangan beda agama dalam penentuan agama yang akan dianut oleh anak? 3) Bagaimana cara menajemen konflik digunakan dalam pernikahan beda agama?
1.3
TUJUAN PENELITIAN
1) Untuk mengetahui Konflik apa saja yang muncul sebelum pernikahan beda agama.
9 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
2) Untuk mengetahui Konflik apa saja yang muncul dalam pernikahan beda agama dan Pertimbangan apa saja yang muncul dari pernikahan beda agama dalam penentuan agama yang akan dianut oleh anak 3) Untuk mengetahui Bagaimana cara menajemen konflik digunakan dalam pernikahan beda agama
1.4
MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Secara Teoritis Manfaat teoritis penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: Penelitian ini memberikan manfaat teoritis bagi psikologi perkembangan dan psikologi klinis masyarakat, psikologi
perkembangan,
hasil
penelitian
ini
bagi lapangan ilmu dapat
menambah
penegetahuan tentang manajeman konflik pada pasangan yang sedang menjalani pernikahan beda agama. Psikologi klinis akan mendapatkan tambahan pengetahuan dampak akibat pernikahan beda agama yang dilakukan oleh pasangan tersebut 2. Manfaat Secara Praktis Secara praktis penelitian memiliki beberapa manfaat diantaranya sebagai berikut : 1) Pasangan Beda Agama Mengetahui gambaran manajemen konflik yang dilakukan dalam rumah tangga yang pernikahannya beda agama dan cara mengatasinya. 2) Orang Tua
10 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Mampu melihat dari sudut pandang yang positif atas terjalinnya hubungan antar beda agama, dan mampu menjalin hubungan baik dengan kelurga yang berbeda agama.
3) Peneliti Mengetahui konflik apa saja yang muncul dan cara manajemen konflik yang digunakan dalam pernikahan beda agama. 4) Anak Dapat menerima dan menghormati orang tua walaupun berbeda agama.
11 http://digilib.mercubuana.ac.id/z