BAB I PENDAHULUAN Organisasi adalah sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya (uang, material, mesin, metode, lingkungan), sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Organisasi sendiri pada umunya dapat dikategorikan menjadi dua jenis, Organisasi Laba dan Organisasi Nirlaba. Organisasi Laba merupakan Suatu proses kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yakni untuk menghasilkan laba. Organisasi ini menyediakan atau menghasilkan barang maupun jasa guna untuk memperoleh hasil ataupun laba sesuai dengan keinginan pemilik organisasi tersebut. Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal didalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Organisasi nirlaba meliputi gereja, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundangundangan, organisasi jasa sukarelawan, serikat buruh, asosiasi profesional, institut riset, museum, dan beberapa para petugas pemerintah. Salah satu bentuk dari organisasi Nirlaba adalah Yayasan Panti Jompo. Yayasan Panti Jompo adalah tempat untuk menampung manula untuk kemudian dirawat, di asuh sebagaimana layaknya. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 yang mengamanatkan serta memperhatikan “Fakir Miskin dan Anak Terlantar”, kemudian di atur mengenai Pendirian Panti Sosial yang didasarkan atas Undang-Undang RI no.4 Tahun 1965 tentang “Pemberian Bantuan Kehidupan bagi Orang-Orang Jompo”. Organisasi Nirlaba seperti Yayasan Panti Jompo masih kurang tertata rapih karena belum terorganisir dengan baik, sangat berbeda dengan organisasi nirlaba sejenis panti jompo atau yang biasa disebut dengan Home Care yang terorganisir dan memberikan pelayanan yang baik. Selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas mengenai organisasi nirlaba di Indonesia serta perbedaannya dengan organisasi nirlaba luar negeri. BAB II PEMBAHASAN
Kata “Organisasi sendiri berasal dari bahasa Yunani “Organon” atau dalam bahasa latin disebut “Organum” yang artinya adalah bagian atau anggota badan. Organisasi bisa disebut juga sekumpulan, individu, kelompok yang mempunyai tujuan, visi & misi tertentu untuk menampung / menyalurkan pikiran atau pendapat yang tidak sama (dengan kata lain berbeda). Organisasi menurut tujuannya dibagi menjadi 2, yaitu ; Organisasi Profit dan Organisasi Non Profit. Organisasi profit adalah Suatu proses kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yakni untuk menghasilkan laba. Organisasi ini menyediakan atau menghasilkan barang maupun jasa guna untuk memperoleh hasil ataupun laba sesuai dengan keinginan pemilik organisasi tersebut. Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). organisasi nirlaba meliputi keagamaan, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundangundangan, organisasi sukarelawan, serikat buruh. Menurut PSAK No.45 bahwa organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. (IAI, 2004: 45.1) Lembaga atau organisasi nirlaba merupakan suatu lembaga atau kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan tertentu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dalam pelaksanaannya kegiatan yang mereka lakukan tidak berorientasi pada pemupukan laba atau kekayaan semata (Pahala Nainggolan, 2005 : 01). Lembaga nirlaba atau organisasi non profit merupakan salah satu komponen dalam masyarakat yang perannya terasa menjadi penting sejak era reformasi, tanpa disadari dalam kehidupan sehari-hari kini semakin banyak keterlibatan lembaga nirlaba. Berdasarkan pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa organisasi nirlaba adalah salah satu lembaga yang tidak mengutamakan laba dalam menjalankan usaha atau kegiatannya. Dalam organisasi nirlaba pada umumnya sumber daya atau dana yang digunakan dalam menjalankan segala kegiatan yang dilakukan berasal dari donatur atau sumbangan dari orang-orang yang ingin membantu sesamanya. Tujuan organisasi nirlaba yaitu untuk membantu masyarakat luas yang tidak mampu khususnya dalam hal ekonomi. Organisasi nirlaba pada prinsipnya adalah alat untuk mencapai tujuan (aktualisasi filosofi) dari sekelompok orang yang memilikinya. Karena itu bukan tidak mungkin diantara lembaga yang satu dengan yang lain memiliki filosofi (pandangan hidup) yang berbeda,
maka operasionalisasi dari filosofi tersebut kemungkinan juga akan berbeda. Karena filosofi yang dimiliki organisasi nirlaba sangat tergantung dari sejarah yang pernah dilaluinya dan lingkungan poleksosbud (politik, ekonomi, sosial dan budaya) tempat organisasi nirlaba itu ada. Perbedaan organisasi nirlaba dengan organisasi laba Banyak hal yang membedakan antara organisasi nirlaba dengan organisasi lainnya (laba). Dalam hal kepemilikan, tidak jelas siapa sesungguhnya ’pemilik’ organisasi nirlaba, apakah anggota, klien, atau donatur. Pada organisasi laba, pemilik jelas memperoleh untung dari hasil usaha organisasinya. Dalam hal donatur, organisasi nirlaba membutuhkannya sebagai sumber pendanaan. Berbeda dengan organisasi laba yang telah memiliki sumber pendanaan yang jelas, yakni dari keuntungan usahanya. Dalam hal penyebaran tanggung jawab, pada organisasi laba telah jelas siapa yang menjadi Dewan Komisaris, yang kemudian memilih seorang Direktur Pelaksana. Sedangkan pada organisasi nirlaba, hal ini tidak mudah dilakukan. Anggota Dewan Komisaris bukanlah ’pemilik’ organisasi. Organisasi nirlaba, non-profit, membutuhkan pengelolaan yang berbeda dengan organisasi profit dan pemerintahan. Pengelolaan organisasi nirlaba dan kriteria-kriteria pencapaian kinerja organisasi tidak berdasar pada pertimbangan ekonomi semata, tetapi sejauhmana masyarakat yang dilayaninya diberdayakan sesuai dengan konteks hidup dan potensi-potensi kemanusiaannya. Sifat sosial dan kemanusiaan sejati merupakan ciri khas pelayanan organisasi-organisasi nirlaba. Manusia menjadi pusat sekaligus agen perubahan dan pembaruan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan kesejahteraan, kesetaraan gender, keadilan, dan kedamaian, bebas dari konfilk dan kekerasan. Kesalahan dan kurang pengetahuan dalam mengelola organisasi nirlaba, justru akan menjebak masyarakat hidup dalam kemiskinan, ketidakberdayaan, ketidaksetaraan gender, konflik dan kekerasan sosial. Pengelolaan organisasi nirlaba, membutuhkan kepedulian dan integritas pribadi dan organisasi sebagai agen perubahan masyarakat, serta pemahaman yang komprehensif dengan memadukan pengalaman-pengalaman konkrit dan teori manajemen yang handal, unggul dan mumpuni, sebagai hasil dari proses pembelajaran bersama masyarakat. Dalam konteks pembangunan organisasi nirlaba yang unggul, berkelanjutan dan memberikan energi perubahan dan pembaruan bagi masyarakat, Bernardine R. Wirjana, profesional dalam bidang pemberdayaan masyarakat, yang selama dua dasawarsa menjadi pelaku manajemen organisasi nirlaba, mengabadikan proses pembelajaran atas pengalaman-
pengalaman laoangan dan teori-teori manajemen terkini dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Ciri-Ciri Organisasi Nirlaba 1.
Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapakan pembayaran kembali atas manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber
2.
daya yang diberikan. Menghasilkan barang dan/ atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada
3.
para pendiri atau pemilik entitas tersebut. Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas atau pembubaran entitas.
Pajak bagi organisasi nirlaba Banyak yang bertanya, apakah organisasi nirlaba, yang mana mereka tidak mengambil keuntungan dari apapun, akan dikenakan pajak? Sebagai entitas atau lembaga, maka organisasi nirlaba merupakan subyek pajak. Artinya, seluruh kewajiban subyek pajak harus dilakukan tanpa terkecuali. Akan tetapi, tidak semua penghasilan yang diperoleh yayasan merupakan obyek pajak. Pemerintah Indonesia memperhatikan bahwa badan sosial bukan bergerak untuk mencari laba, sehingga pendapatannya diklasifikasikan atas pendapatan yang objek pajak dan bukan objek pajak. Namun di banyak negara, organisasi nirlaba boleh melamar status sebagai bebas pajak, sehingga dengan demikian mereka akan terbebas dari pajak penghasilan dan jenis pajak lainnya Konsep Dasar Pemikiran Akuntansi Organisasi Nirlaba Di Amerika Serikat (AS), Financial Accounting Standard Board (FASB) telah menyusun tandar untuk laporan keuangan yang ditujukan bagi para pemilik entitas atau pemegang saham, kreditor dan pihak lain yang tidak secara aktif terlibat dalam manajemen entitas bersangkutan, namun mempunyai kepentingan. FASB juga berwenang untuk menyusun standar akuntansi bagi entitas nirlaba nonpemerintah, sementara US Government Accountingg Standard Board (GASB) menyusun standar akuntansi dan pelaporan keuangan untuk pemerintah pusat dan federal AS. Di Indonesia, Departemen Keuangan RI membentuk Komite Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Organisasi penyusun standar untuk pemerintah itu
dibangun terpisah dari FASB di AS atau Komite Standar Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntan Indonesia di Indonesia karena karateristik entitasnya berbeda. Entitas pemerintah tidak mempunyai pemegang saham atau semacamnya, memberikan pelayanan pada masyarakat tanpa mengharapkan laba, dan mampu memaksa pembayar pajak untuk mendukung keuangan pemerintah tanpa peduli bahwa imbalan bagi pembayar pajak tersebut memadai atau tidak memadai. International Federation og Accountant (IFAC) membentuk IFAC Public Sector Committee (PSC) yang bertugas menyusun International Public Sector Accounting Standartd (IPSAS). Istilah Public Sector di sini berarti pemerintah nasional, pemerintah regional (misalnya Negara bagian, daerah otonom, provinsi, daerah istimewa), pemerintah local (misalnya kota mandiri), dan entitas pemerintah terkait (misalnya perusahaan Negara, komisi khusus). Dengan demikian PSC tidak menyusun standar akuntansi sector public nonpemerintah. Organisasi Nirlaba di Beberapa Negara : 1.
Indonesia Di Indonesia, organisasi nirlaba telah berkembang cukup pesat, terutama di bidang keagamaan serta advokasi. Selain itu, dibidang pendidikan kini juga mulai berkembang, seperti yang dilakukan oleh Internews Indonesia, dimana mereka
2.
melakukan bimbingan bagi para jurnalis. Amerika Serikat Perkembangan organisasi nirlaba di Amerika Serikat telah sangat jauh lebih maju dibanding Indonesia, terutama dalam bidang keagamaan. Amandemen Pertama Amerika
Serikat
menjamin
kebebasan
beragama
bagi
masyarakatnya.
Bagaimanapun, organisasi nirlaba relijius seperti gereja, tunduk kepada lebih sedikit sistem pelaporan pemerintah pusat dibanding dengan banyak organisasi lain. Dalam hal perpajakan, organisasi nirlaba relijius di Amerika Serikat juga dikecualikan dari beberapa pemeriksaan ataupun peraturan, yang membedakannya dengan organisasi 3.
non relijius. Kanada Di Kanada, organisasi nirlaba yang mengambil format derma biasanya harus
4.
dicatatkan di dalam Agen Pendapatan Kanada (Canada Revenue Agency). Kerajaan Inggris Di Inggris dan Wales, organisasi nirlaba yang mengambil format derma biasanya harus dicatatkan di dalam Komisi Pengawasan Derma. Di Skotlandia, Kantor Pengatur Derma Skotlandia juga melayani fungsi yang sama. Berbeda dengan organisasi nirlaba di Amerika Serikat, seperti serikat buruh, biasanya tunduk kepada
peraturan yang terpisah, dan tidak begitu dihormati sebagaimana halnya derma dalam hal pengertian teknis. Keadaan Organisasi Nirlaba di Indonesia Karakter dan tujuan dari organisasi non profit menjadi jelas terlihat ketika dibandingkan dengan organisasi profit. Organisasi non profit berdiri untuk mewujudkan perubahan pada individu atau komunitas, sedangkan organisasi profit sesuai dengan namanya jelas-jelas bertujuan untuk mencari keuntungan. Organisasi nonprofit menjadikan sumber daya manusia sebagai asset yang paling berharga, karena semua aktivitas organisasi ini pada dasarnya adalah dari, oleh dan untuk manusia. Organisasi profit memiliki kepentingan yang besar terhadap berkembangnya organisasi nirlaba. Dari onganisasi inilah sumber daya manusia yang handal terlahir, memiliki daya saing yang tinggi, aspek kepemimpinan, serta sigap menghadapi perubahan. Hampir diseluruh dunia ini, organisasi nirlaba merupakan agen perubahan terhadap tatanan hidup suatu komunitas yang lebih baik. Daya jelajah mereka menyentuh pelosok dunia yang bahkan tidak bisa terlayani oleh organisasi pemerintah. Kita telah saksikan sendiri, bagaimana efektifnya daya jelajah organisasi nirlaba ketika terjdi bencana tsunami di Aceh, ratusan organisasi nirlaba dari seluruh dunia seakan berlomba membuat prestasi tehadap proyek kemanusiaan bagi masyarakat Aceh. Organisasi profit juga mendapatkan keuntungan langsung dengan majunya komunitas, mereka mendapatkan market yang terus bertumbuh karena daya beli komunitas yang kian hari kian berkembang atas pembinaan organisasi nirlaba. Di Indonesia, sebagian besar organisasi non profit dalam keadaan lesu darah. Mereka sesuai dengan namanya kebanyakan miskin dana. Perbedaan mencolok terlihat dengan organisasi non profit yang memiliki induk di luar negeri. Kondisi ini sudah pasti memberi pengaruh terhadap kuantitas dan kualitas dari gerak roda organisasi. Seharusnya organisasi non profit tidak jauh beda dengan organisasi profit, harus memiliki mission statement yang jelas, fokus dan aplikatif. Pernyataan misi organisasi sebaiknya sederhana dan mudah dipahami oleh stake holder organisasi. Kelemahan dari organisasi nirlaba Indonesia adalah tidak fokusnya misi. Sering misi dibuat dengan pilihan kata yang mengambang dan dapat multitafsir. Kalau kita sortir berdasarkan kata, maka kata yang paling banyak muncul barangkali kata sejahtera, adil, merata, berkesinambungan. Misi ini selanjutnya diterjemahkan kedalam sasaran-sasaran yang biasanya akan menjadi makin meluas dan tidak fokus. Kondisi ini juga berimbas pada rancangan struktur organisasi nirlaba Indonesia. Struktur organisasinya memasukkan semua bidang, rata-rata memiliki lebih dari 20 bidang.
Banyak yang masih mengadaptasi organisasi politik karena dijaman orde baru hampir semua organisasi nonprofit yang berdiri menjadi underbow partai Golkar. Masyarakat sekarang ini sudah dengan mudah mengakses informasi dari seluruh penjuru dunia, mereka juga dengan mudah menjalin komunikasi serta menjadi anggota organisasi nirlaba asing. Disamping itu, komunitas yang tumbuh dan berkembang di dunia maya sendiri, telah menarik populasi yang sangat besar. Makin hari, organisasi konvensional makin ditinggalkan, yang dapat berkompetisi kedepan hanyalah organisasi yang mampu mengkombinasikan aktivitasnya dengan teknologi informasi. Kepemimpinan di seluruh organisasi memegang peranan yang vital, demikian pula dalam organisasi nirlaba. Kriteria pemimpin organisasi nirlaba yang paling utama adalah memiliki kemauan. Dalam konteks ini, pemimpin harus memiliki niat dan bukan dipaksa oleh orang lain. Dengan memiliki kemauan, otomatis akan memiliki pandangan terhadap apa saja yang harus dikerjakan dikemudian hari, serta mengetahui konsekwensi atas pengorbanan yang harus dijalani sebagai pemimpin organisasi nirlaba. Kriteria kedua adalah memiliki kapasitas untuk mendengar dan menyelesaikan permasalahan. Mendengar merupakan kriteria yang penting bagi pemimpin dalam organisasi nirlaba karena pemimpin akan selalu berinteraksi dengan banyak orang, mulai dari para relawan sampai dengan orang-orang yang menjadi objek dari organisasi. Kriteria ketiga adalah memiliki kemampuan mengkader. Dengan mengkader maka keberlangsungan organisasi akan dapat terjamin. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang bukan menghambat kemunculan kader-kader yang lebih muda, tetapi justru memberi inspirasi dan motivasi bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang. Sesungguhnya pemimpin yang berhasil mengkader adalah pemimpin yang berhasil membesarkan namanya sendiri secara tidak langsung. Kriteria keempat adalah memiliki kemampuan dalam hal pengumpulan dana. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan determinasi serta kecerdasan pemimpin dalam merajut relasi antara donatur, volunteer dan masyarakat. Organisasi nirlaba telah banyak yang mengaplikasikan kriteria-kriteria tersebut untuk memilih pemimpinnya. Tapi sayang karena belum memiliki manajemen pengumpulan dana yang baik, kriteria kemampuan finansial dari calon pemimpin sering dikedepankan. Hitler dalam perang dunia pertama menyatakan bahwa yang paling penting dalam perang adalah uang, yang kedua adalah uang dan yang ketiga adalah uang. Memang uang penting bagi organisasi non profit, tapi mengelola organisasi non profit tentunya berbeda dengan mengelola armada perang. Dalam organisasi non profit, dibutuhkan manajemen pengumpulan dana yang bersifat jangka panjang. Istilah fund rising di organisasi nirlaba sebenarnya lebih tepat kalau disebut sebagai fund development. Istilah ini signifikan karena bukan hanya dana yang menjadi
perhatian tetapi juga orang-orang yang terlibat sebagai donatur dan volunteer juga menjadi perhatian utama untuk membangun dukungan yang bersifat jangka panjang. Contoh Organisasi Nirlaba a
Organisasi Kesejahteraan Sosial Masyarakat Yayasan Sosial, Misalnya : Supersemar,
b c d e f g h
Yatim Piatu dsb Yayasan Dana, misalnya : YDSF, Pundi Amal SCTV, RCTI Peduli, Dompet Dhu’afa, Lembaga Advokasi, Misalnya : Kontras, YLKI, Perlindungan kekerasan dalam RT Balai Keselamatan, Misalnya : Tim SAR Konservasi lingkungan / satwa, Misalnya : WALHI, Pro Faun Rumah Sakit dan Organisasi Kesehatan Masyarakat Yayasan Kanker Indonesia PMI Setelah melihat organisasi Nirlaba dari cirri-ciri serta jenisnya kita dapat mengetahui
bagaimanakah pelayanan yang diberikan oleh Organisasi Nirlaba di Indonesia dan di Amerika. Pelayanan sendiri dibedakan menjadi dua kategori, yaitu pelayanan dalam sector pemerintah (public sector) dan pelayanan dalam sector swasta (privat sector). Pelayanan Publik menurut Thoha adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seeorang/kelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Sinambela, pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara, dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual tetapi kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat, misalnya: kesehatan, pendidikan, dll. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, antara lain: 1. Pelayanan administrative yang menghasilkan berbagai produk dokumen resmi yang dibutuhkan masyarakat. Contohnya: Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIUP, ijin trayek, akta, dll. 2. Pelayanan jasa, pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan masyarakat. Contohnya: pendidikan, kesehatan, transportasi, dll. 3. Pelayanan barang, pelayanan yang menghasilkan jenis barang yang dibutuhkan masyarakat. Contoh: jaringan telepon, listrik, air bersih, dll. Dalam perkembangan dunia jasa dewasa ini dikenal istilah pelayanan prima (service excellence). Istilah pelayanan prima, yang artinya adalah kepedulian kepada pelanggan dengan memberikan layanan terbaik untuk memfasilitasi kemudahan pemenuhan kebutuhan dari mewujudkan kepuasannya, agar mereka selalu royal kepada perusahaan (Barata, 2004). Untuk mencapai suatu pelayanan yang prima pihak perusahaan haruslah memiliki
keterampilan tertentu, diantaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan sikap selalu siap untuk melayani, tenang dalam bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya baik tugas yang berkaitan pada bagian atau departemennya maupun bagian lainnya, mampu berkomunikasi dengan baik, mampu mengerti dan memahami bahasa isyarat (gesture) pelanggan serta memiliki kemampuan menangani keluhan pelanggan secara profesional. Menurut Barata (2004) pelayanan prima (service excellence) terdiri dari 6 unsur pokok, antara lain : 1. Kemampuan (Ability) 2. Sikap (Attitude) 3. Penampilan (Appearance) 4. Perhatian (Attention) 5. Tindakan (Action) 6. Tanggung jawab (Accounttability) Perbedaan Organisasi Nirlaba antar Indonesia dengan Amerika dari Sektor Organisasi Kesejahteraan Sosial Masyarakat Yayasan Sosial Panti Jompo A. Organisasi Kesejahteraan Sosial Masyarakat Yayasan Sosial Panti Jompo di Indonesia Panti Jompo di Indonesia sebenarnya kurang terdengar karena memang masyarakat Indonesia masih merasa tabu untuk menggunakan fasilitas layanan bagi para usia lanjut. Panti Jompo sendiri sebenarnya telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 yang mengamanatkan serta memperhatikan “Fakir Miskin dan Anak Terlantar”. Pendirian Panti Sosial didasarkan atas Undang-Undang RI no.4 Tahun 1965 tentang “Pemberian Bantuan Kehidupan bagi Orang-Orang Jompo”. Selain itu juga terdapat Keputusan Mentri Sosial RI No.3/1/50/107/1979 tentang “Pemberian kehidupan bagi Orang-orang usia Lanjut”. Bantuan penghidupan yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini adalah pemberian tunjangan dan perawatan kepada orang jompo yang diselenggarakan secara oleh Pemerintah atau di rumah Badan-badan/Organisasi Swasta Perseorangan. Tunjangan yang diberikan kepada orang jompo berupa pemberian bahan-bahan keperluan hidup atau uang, sedangkan perawatan diberikan di rumah sendiri, di rumah peristirahatan atau pengasuhan/pemondokan pada suatu keluarga. Pemberian terhadap bantuan bagi para jompo ditugaskan kepada menteri social. Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan/subsidi, dan melakukan pengawasan terhadap usaha-usaha pemberian bantuan penghidupan kepada orang jompo yang dilakukan oleh Badan-badan/Organisasi
Swasta/Perseorangan. Bentuk dan ukuran bantuan syarat-syarat perawatan dan pemberian subsidi dan lain-lain ditetapkan tersendiri oleh Menteri. Namun pada kenyataannya masih sering ditemukan berita-berita mengenai panti jompo yang tidak layak serta kurangnya perhatian pemerintah terhadap penganggaran bagi panti jompo. Seperti hal nya yang dialami oleh Panti Sosial Tresna Werdha Belai Kasih (Panti Jompo) Bireuen yang kekurangan dana untuk operasional terhitung sejak 1 Agustus 2011. Untuk menanggulagi kekurangan dana pihak pengurus panti tersebut tepaksa harus mengeluarkan dana pribadi, bahkan berhutang kepada pihak lain untuk penanggulangi kekurangan biaya operasinal panti jompo Belai Kasih. Kepala Panti Sosial Tresna Werdha Bireuen, Maryati,
mengatakan pemerintah
Kabupaten Bireuen menganggarkan dana APBK 2011 hanya untuk 200 hari kerja saja, tidak 365 hari atau setahun. Dana itu berasal dari APBK Bireuen tahun 2011, namun dana tersebut ternyata hanya untuk kebutuhan 7 bulan saja alias 200 hari. Sehingga untuk kebutuhan lima bulan ke depan pihaknya terpaksa meminja uang dulu ke Bank. Selain itu pula terdapat kenyataan yang memprihatinkan Panti jompo Tresna Werda Mappakasunggu, Parepare, Sulawesi Selatan. Kehidupan di panti itu sangat-sangat memprihatikan, karena terkesan lebih tidak terurus, Padahal panti jompo tersna werda ini berada di bawa naungan Departemen sosial yang notabene mempunyai alokasi aggaran untuk mengurusi para lanjut usia tersebut. Para penghuni panti ini biasanya hanya meperoleh jatah makan yang sangat rendah asupan gizinya. Salah seorang penghuni yang sudah tujuh tahun mendiami panti Tresna wreda mengungkapakan, ia dan puluhan penghuni panti lainnya biasanaya hanya mendapat jatah makan nasi putih dan ikan asin. Sementara pemeriksaan kesehatan terkadang jadwalnya tidak beraturan, biasanya sekali dalam sebulan, padahal ketentuan yang berlaku adalah seminggu sekali. Para penghuni panti mengeluhkan sikap para pengelolah yang sering “menyunat” dana bantuan dari donatur. Padahal di antara para donatur yang biasanya berkunjung di tempat ini mereka terkadang memberi uang kepada para penghuni panti. Belum lagi jika penghuni panti ini ada yang sakit, tak satupun perawat yang mengurusinya, jangankan mengharap layanan kesehatan, sedikitpun perhatian dari pihak pengelolah tak pernah mereka rasakan. Dari Pantauan kondisi panti sosial yang di kelola oleh Dinas Sosial provinsi sulsel hampir setiap kamar yang di tempati oleh para manula ini memiliki fungsi ganda selain menjadi ruangan tempat tidur, ia juga di fungsikan bagi para Lansia ini untuk tempat buang hajat bagi para Manula karena tidak adanya perhatian dari pengurus.
Mungkin semua penghuni panti jompo ini tak pernah berharap akan menjalani sisa umurnya dengan kondisi yang sangat menyedihkan seperti ini, tidur beralaskan tikar di lantai yang terasa cukup dingin. Padahal, ada puluhan bahkan ratusan kasur busa atau springbed dan bantal serta fasilitas hidup lainnya yang hanya di gudangkan. Semua itu di peruntukkan buat para penghuni panti, namun entah karena apa alasan apa pihak pengelolah panti tega melakukan hal tersebut. Jadi wajar kalau di duga ada santunan dari para donatur dan fasilitas lainnya dari pemerintah di selewengkan, namun sayang tak ada satu pun di antara para pengelolah panti yang mau berkomentar. Berdasarkan deskripsi mengenai panti jompo diatas maka dapat kita analisis menurut Pelayanan Prima yang baik sebagai berikut : 1. Kemampuan (Ability) Apabila dilihat dari kemampuan pengelola Panti Jompo di Indonesia dalam studi kasus panti jompo di pare-pare ini dapat dilihat belum dapat dibilang mampu. Seperti yang telah paparkan diatas para lansia yang menghuni panti jompo tersebut masih ditelantarkan ditambah dengan fasilitas yang tidak memnuhi syarat. Kemampuan akan mengelola panti jompo tersebut masih buruk dikarenakan kurangnya komitmen serta kepedulian dari si penyelenggara atau pengelola panti jompo tersebut sehingga menyebabkan kerugian bagi para lansia yang ada dip anti jompo tersebut. Diperlukan juga adanya pengawasan dari pemerintah daerah terhadap pengelolaan penti jompo di Indonesia. 2. Sikap (Attitude) Sikap Pengelola atau pelaku pelayanan panti jompo dapat dikatakan buruk, karena tidak adanya kesigapan akan pelayanan kepada para lansia dan ditambah dengan perilaku yang tidak mementingkan para lansia. Pengelola selaku pelaksana pelayanan pada para lansia harusnya bersikap baik, ramah serta peduli kepada para lansia namun kenyataan yang ditunjukkan para pengelola sering sekali menyunat dana-dana yang seharusnya dapat dipakai untuk perbaikan pelayanan dip anti jompo tersebut. 4.
Penampilan (Appearance) Penampilan selaku pelaksana pelayanan sangatlah penting, karena itu mencerminkan bentuk sebuah pelayanan yang diberikannya. Penampilan tempat layanan panti jompo di parepare sendiri sangat mengenaskan. Para lansia harus tidur ditempat yang kurang bersih dan terkesan berantakan. Tidak ada kasur ataupun bantal yang empuk. Pakaian yang dipakaipun seadanya. Penampilan yang seperti ini sangat menunjukkan burukknya pelayanan yang diberikan.
5.
Perhatian (Attention) Perhatian yang diberikan terhadap pelayanan panti jompo di parepare sangat buruk. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa para lansia tidak diberikan makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhan dari lansia. Belum lagi jadwal cek kesehatan yang tidak teratur dan hanya diberikan obat seala kadarnya saja. Pengelola panti jompo sangat acuh terhadap lansia dengan menyelewengkan dana-dana yang digunakan untuk kemajuan atau perbaikan sarana serta prasarana. Para lansia terlantar dengan tidak ada perawat yang mendampingi untuk sekedar buang air besar maupun kecil. Tidak ada yang mengurusi para lansia tersebut karena perawat pun tidak ada yang stay dip anti jompo tersebut.
6.
Tindakan (Action) Tindakan yang diberikan pelaksana pelayanan dipanti jompo parepare sangatlah lamban dan tidak manusiawi. Para perawat acuh terhadap lansia bahkan tidak perduli terhadap lansia. Padahal selaku pelaksana pelayananan mereka harus sigap dan mampu menuruti sesuai dengan klien atau costumer inginkan. Para lansia disini merupakan seorang costumer yang semestinya mendapatkan tindakan yang cepat sigap, namun pada kenyataannya tindakan mereka sangat tidak manusiawi dengan membiarkan para lansia hidup di tempat yang tidak steril dan tidak dibersihkan oleh para pelaksana layanan.
7.
Tanggung jawab (Accounttability) Melihat dari tanggung jawab pelaksana pelayanan panti jompo parepare sangat mengecewakan. Tidak adanya transparansi akan sumbangan atau dana-dana yang masuk untuk perbaikan panti jompo sehingga dana dapat bebas masuk ke kantong-kantong para pelaksana pelayanan tanpa ada pengawasan apapun. Selain itu kurang adanya komitmen
antara customer dan pelayan terhadap para lansia sehingga menyebabkan para lansia ditelantarkan Berdasarkan analisis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pelayanan panti jompo di parepare masih belum dapat dikatakan prima bahkan terkesan sangat buruk karena kurangnya perhatian pengelola pelayanan panti jompo terhadap para lansia. B. Organisasi Kesejahteraan Sosial Masyarakat Yayasan Sosial Panti Jompo di Amerika Salah satu tujuan dari pelayanan keperawatan professional adalah memberikan pelayanan keperawatan yang holistik (menyeluruh ) bio, psiko, sosio, dan kultural kepada individu, kelompok dan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dasarnya. Pelayanan yang bersifat holistik ini akan lebih lengkap dengan pemberian pelayanan keperawatan lanjutan di rumah atau lebih dikenal dengan istilah home health care.Di Amerika Home Care mencakup perawatan di panti jompo dimana Pada bulan Desember 2007, terdapat 15.772 rumah jompo di mana 1.420.217 orang tinggal disana (American Health Care Association, 2007). Berbeda dengan Indonesia untuk pembiayaan belanja kinik home care dibiayai oleh Negara (pemerintah) dan pihak swasta. Artinya home care di atur oleh pemerintah dengan bantuan dana swasta, bukan tanggung jawab perorangan/ pasien saja. Mengatasi masalah biaya tersebut 60 persen dari dana yang diperlukan ditanggung oleh swasta, artinya subsidi dari pemerintah sangat kecil. Sistem pengelolaan panti jompo di Amerika sudah menggunakan sistem komputerisasi penilaian pasien (yaitu, MDS). Di rumah jompo/ homae care di Amerika telah menunjukkan keunggulan dalam meningkatkan kualitas pelayanan panti jompo/ home care (Castle, 2003; Mukamel & Spector, 2003;. Mukamel, et al, 2007).Di Indonesia pelayanan perawatan di rumah atau dikenal dengan istilah Home Care masih menggunakan data konvensional yaitu data klinis yang diperoleh saat pasien menggunakan jasa tersebut. Agar perawatan Home care ini terukur perlu kesinambungan antara perawatan selama di rumah sakit dan perawatan home care setelah pasien pulang. Oleh sebab itu system komputerisasi menggunakan softwere MDS (Minimal Data set) yang termasuk dalam HIT (Health Information Technology) yang telah digunakan di Amerika bisa diterapkan di indonesia mengingat system ini cukup sederhana. A. Home Health Care Home care adalah pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat
kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit ( Depkes, 2002 ). Sedangkan menurut Neis dan Mc Ewen (2001) dalam Avicenna ( 2008 ) menyatakanhome health care adalah sistem dimana pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial diberikan di rumah kepada orangorang yang cacat atau orang-orang yang harus tinggal di rumah karena kondisi kesehatannya. Tidak berbeda dengan kedua definisi di atas, Warola ( 1980 ) mendefinisikan home care sebagai pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individu dan keluarga, direncanakan, dikoordinasikan dan disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi pelayanan di rumah melalui staf atau pengaturan berdasarkan perjanjian kerja (kontrak). Menurut American of Nurses Association (ANA) tahun 1992 pelayanan kesehatan di rumah ( home care ) adalah perpaduan perawatan kesehatan masyarakat dan ketrampilan teknis yang terpilih dari perawat spesialis yang terdiri dari perawat komunitas, perawat gerontologi, perawat psikiatri, perawat maternitas dan perawat medikal bedah. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan perawatan kesehatan di rumah adalah suatu bentuk pelayanan
kesehatan
yang
komprehensif
bertujuan
memandirikan
klien
dan
keluarganya. Pelayanan kesehatan diberikan di tempat tinggal klien dengan melibatkan klien dan keluarganya sebagai subyek yang ikut berpartisipasi merencanakan kegiatan pelayanan. B. Konsep Sistem Informasi dan Electronic Health Record (EHR) Sistem informasi merupakan sebuah system manusia/mesin yang terpadu (integrated) untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen dan pengambilan keputusan. Sistem ini menggunakan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) komputer, prosedur pedoman, model manajemen dan keputusan serta sebuah data base.(Davis, 1999) Sistem informasi adalah sistem komputer yang mengumpulkan, menyimpan, memproses, memperoleh kembali, menunjukkan, dan mengkomunikasikan informasi yang dibutuhkan dalam praktik, pendidikan, administrasi dan penelitian.Informasi keperawatan adalah kombinasi ilmu komputer, ilmu komunikasi dan ilmu keperawatan yang didesain untuk membantu management dan pemrosesan data informasi dan pengetahuan untuk mendukung keperawatan dan pemberian asuhan keperawatan (Graves dan Corcran, 1989). Turley (1996) menambahkan satu bidang lagi yaitu ilmu kognitif pada area informatika keperawatan. Ilmu kognitif berfokus pada manusia sebagai salah satu faktor dalam informatika keperawatan. Ilmu kognitif sendiri meliputi banyak ilmu: psikologi, bahasa,
filsafat. Fokusnya adalah pada pengetahuan, komponennya, perkembangannya dan penggunaannya. Sedangkan
American
Nursing
Associationment
mendefinisikan
informatika
keperawatan sebagai kombinasi dari ilmu keperawatan, ilmu informasi, ilmu komputer untuk mengelola dan mengkomunikasikan informasi dalam mendukung perawat serta praktisi kesehatan dalam mengambil keputusan (ANA, 2001 dalam Sudaryanto & irdawati, 2008) Terdapat beberapa studi yang mengungkapkan manfaat system informasi bagi keperawatan diantaranya adalah yang dikemukakan oleh Amany, et.al (2011) yaitu : A. Meningkatkan pelayanan keperawatan Manfaat penggunaan system informasi (IS) yang berkaitan dengan kualitas pelayanan diantaranya adalah perbaikan yang berkaitan dengan aksesibilitas (perbaikan dalam mengakses informasi pasien yang lebih cepat dan lengkap), ketepatan waktu, dan kelengkapan informasi pasien yang mampu meningkatkan efektivitas asuhan keperawatan B. Perbaikan dalam komunikasi dan dokumentasi Komunikasi dan dokumentasi merupakan sarana untuk bertukar data dan informasi. Sistem informasi (IS) dapat memfasilitasi komunikasi antara dan di antara perawat, dokter, dan anggota tim kesehatan lainnya dan meningkatkan hasil pasien. Selain itu, penggunaan system informasi akan menjamin kelengkapan dokumentasi perawatan pasien, memfasilitasi evaluasi hasil perawatan pasien, dan meningkatkan keselamatan pasien. C. Manfaat terkait saving time dan efisiensi Menghemat waktu dan efisiensi adalah produksi dari hasil yang diinginkan dengan limbah yang minimal dari waktu, tenaga, dan sumber daya. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi bahwa sistem informasi dapat menghemat waktu dan efisiensi. D. Manfaat terkait praktek professional Praktek profesional terdiri dari kegiatan dan kualifikasi yang berbeda dengan profesi tertentu. Menggunakan system informasi (IS) telah dilaporkan bermanfaat bagi praktek profesional perawat. Penggunaan system informasi mampu meningkatkan otonomi perawat, rasa profesionalisme, dan akuntabilitas. Selain itu, manfaat yang tidak langsung berhubungan dengan praktek profesional telah dilaporkan dalam literatur, seperti keamanan dalam pengambilan keputusan dan membaiknya kondisi pasien. Selain hal tersebut manfaat lainnya yang bisa diidentifikasi, termasuk peningkatan rasa tanggung jawab perawat dan perasaan gembira saat bekerja. Selain hal tersebut diatas Sistem informasi juga meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien. Informatika dapat mencegah eror dengan melaksanakan fungsi
pengambilan keputusan dan mencegah fungsi yang tidak tepat. Sistem informasi juga dapat membantu mengolah data yang kompleks dan menganalisa dengan cepat data data yang ada dalam pelayanan kesehatan. Sistem informasi yang didesain dengan baik akan menyediakan alat yang membantu menganalisa berbagai situasi yang ada, mengurangi biaya, dan menghemat waktu. E. Dampak teknologi informasi Penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan kesehatan memberikan kontribusi pada efektifitas pelayanan kesehatan. Namun demikian untuk mengaplikasikan teknologi tersebut dalam pelayanan banyak hambatan dan kendala yang dihadapi misalnya: sumber daya manusia, finansial, kebijakan, dan faktor keamanan. Perkembangan teknologi informasi dan perkembangan pelayanan kesehatan saat ini akan berimbas / berdampak pada tenaga kesehatan dan instansi pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan dalam hal ini termasuk perawat diharapkan menyadari pentingnya penerapan teknologi dalam pelayanan kesehatan dan mau belajar untuk bisa menerapkannya. Sedangkan bagi instansi pelayanan kesehatan, walaupun tidak mudah untuk bisa menerapkan teknologi dalam pelayanan kesehatan, namun tetap harus dicoba karena tuntutan zaman dan melihat berbagai manfaat yang bisa diambil. Manager pelayanan kesehatan perlu membuat tim khusus untuk mengadopsi perkembangan teknologi, sehingga mereka akan siap dalam menerapkan pada organisasi pelayanan kesehatan F. Electronic Health Record Catatan kesehatan elektronik (Electronic Health record) adalah catatan elektronik longitudinal informasi kesehatan pasien yang dihasilkan oleh satu atau lebih pertemuan dalam pengaturan pemberian perawatan. Electronic Health Record merupakan kegiatan mengkomputerisasikan isi rekam kesehatan dan proses yang berhubungan dengannya. Termasuk dalam informasi ini adalah demografi pasien, catatan kemajuan, masalah, obat-obatan, tanda-tanda vital, riwayat medis masa lalu, imunisasi, data laboratorium dan laporan radiologi. EHR mengotomatiskan dan merampingkan alur kerja klinisi. EHR memiliki kemampuan untuk menghasilkan catatan lengkap tentang pertemuan klinis pasien serta pendukung kegiatan perawatan lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung termasuk mendukung keputusan berbasis bukti, manajemen mutu, dan pelaporan hasil. EHR menyimpan data medis pasien, merekam dan memiliki potensi untuk ditransmisikan secara nasional. Akses ke data perawatan kesehatan elektronik dapat membantu tidak hanya dalam memberikan informasi tentang kualitas perawatan kesehatan pasien, tetapi
juga dalam mengurangi jumlah kesalahan medis dan dengan demikian menurunkan biaya. Dibandingkan dengan catatan kertas, komunikasi dan keterbacaan akan ditingkatkan, dengan mengurangi risiko dalam konsisten dan administrasi dosis obat yang salah. EHR dapat membantu memastikan kejelasan dalam order resep obat antara praktisi dan perawat perioperatif yang memberikan obat. Catatan kesehatan elektronik harus menampilkan data yang berhubungan dengan proses akreditasi dan harus akurat mencerminkan dokumentasi perawatan pasien yang dilakukan oleh perawat. Data pasien akan digunakan untuk mendukung hasil yang lebih baik dan praktik terbaik untuk masa depan keperawatan perioperatif. Jika system elektronik tidak mengandung elemen data keperawatan yang diperlukan, maka keputusan perawatan kesehatan akan ditentukan oleh personil nonkeperawatan dan keputusan ini akan mempengaruhi bagaimana praktek keperawatan dilaksanakan. Perawat sekarang memiliki kesempatan untuk membantu dalam pengembangan
perangkat
lunak
kesehatan.
Perawat
yang
terlatih
dapat
meningkatkan hasil pasien dengan berbagi pengalaman keperawatan yang dimiliki. C. Minimum Data Set (MDS) Minimum Data Set menjadi sebuah media catatan klinis tentang informasi kesehatan seorang pasien yang mendapatkan pelayanan di panti jompo/ home care yang dilaporkan melalui pencatatan menggunakan teknologi informasi kesehatan, adapun data mencakup tentang informasi tersebut diantaranya: 1. Admission discharge, re-entry tracking yaitu data saat masuk terutama bagian pendaftaran terkait data demografi dan status sosial pasien serta screening awal pasien, dan 2. Comprehensive Clinical assessment yaitu pengkajian yang komprehensif yang mencakup keluhan pasien, riwayat penyakit, riwayat pengobatan selama di rumah sakit dan beberapa data tentang faktor resiko sampai dengan imunisasi. Data ini dibuat dalam bentuk narasi sederhana sehingga memudahkan dalam memahami kondisi pasien dan rencana tindakan yang akan dilaksanakan. D. Konsep Dokumentasi Keperawatan Pengertian dokumentasi keperawatan menurut Kozier (2004) adalah laporan baik komunikasi secara lisan, tertulis maupun melalui komputer untuk menyampaikan informasi kepada orang lain . Merupakan informasi tertulis tentang status dan perkembangan kondisi klien serta semua kegiatan asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat (Fisbach,1991). Dokumentasi asuhan dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat setelah memberi asuhan kepada pasen. Dokumentasi
merupakan suatu informasi lengkap meliputi status kesehatan pasen, kebutuhan pasen, kegiatan asuhan keperawatan/kebidanan serta respons pasen terhadap asuhan yang diterimanya. Dengan demikian dokumentasi keperawatan/ kebidanan mempunyai porsi yang besar dari catatan klinis pasen yang menginformasikan faktor tertentu atau situasi yang terjadi selama asuhan dilaksanakan. Disamping itu catatan juga dapat sebagai wahana komunikasi dan koordinasi antar profesi (Interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk mengungkap suatu fakta aktual untuk dipertanggung jawabkan. Catatan pasien merupakan suatu dokumen yang legal, dari status sehat sakit pasen pada saat lampau, sekarang, dalam bentuk tulisan, yang menggambarkan asuhan keperawatan/ kebidanan yang diberikan. Umumnya catatan pasien berisi imformasi yang mengidentifikasi masalah, diagnosa keperawatan dan medik, respons pasen terhadap asuhan kerawatan/kebidanan yang diberikan dan respons terhadap pengobatan serta berisi beberapa rencana untuk intervensi lebih lanjutan. Manfaat Dan Pentingnya Dokumentasi Keperawatan Dokumentasi keperawatan mempunyai makna yang penting bila dilihat dari berbagai aspek : 1.
Hukum Bila terjadi suatu masalah yang berhubungan dengan profesi kepoerawatan, dimana perawat sebagai pemberi jasa dan klien sebagai pengguna jasa, maka dokumentasi diperlukan sewaktu-waktu. Dokumentasi tersebut dapat dipergunakan sebagai
2.
barang bukti di pengadilan. Jaminan mutu (kualitas pelayanan) Pencatatan data klien yang lengkap dan akurat, akan memberikan kemudahan bagi perawat dalam membantu menyelesaikan masalah klien. Dan untuk mengetahui sejauh mana masalah klien dapat teratasi dan seberapa jauh masalah baru dapat diidentifikasi dan dimonitor melalui catatan yang akurat. Hal ini akan membantu
3.
meningkatkan mutu asuhan keperawatan. Komunikasi Dokumentasi keadaan klien merupakan alat perekam terhadap masalah yang berkaitan dengan klien. Perawat atau tenaga kesehatan lain akan bisa melihat catatan yang ada dan sebagai alat komunikasi yang dijadikan pedoman dalam memberikan
4.
asuhan keperawatan. Keuangan Semua tindakan keperawatann yang belum, sedang, dan telah diberikan dicatat dengan lengkap dan dapat digumakan sebagai acuan atau pertimbangan dalam biaya
5.
keperawatan. Pendidikan
Isi pendokumentasian menyangkut kronologis dari kegiatan asuhan keperawatan yang dapat dipergunakan sebagai bahan atau referensi pembelajaran bagi siswa atau 6.
profesi keperawatan. Penelitian Data yang terdapat di dalam dokumentasi keperawatan mengandung informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan atau objek riset dan pengembangan profesi keperawatan. Berdasarkan hasil perbedaan antara Organisasi nirlaba Panti Jompo yang ada di
Indonesia dan Amerika dapat kita temukan perbedaan yang sangat drastis. Di Indonesia yayasan panti jompo saja bahkan kurang mendapatkan dana dan sering dikesampingkan oleh pemerintah bahkan dinas social yang menangani langsung disetiap kotanya, jauh berbeda dengan organisasi panti jompo atau Home Care Amerika yang mendapat perhatian khusus dan tertata dengan rapih dan baik. Pelayanan yang diberikan oleh yayasan panti jompo di Indonesia masih belum dapat disebut prima karena apabila kita lihat kasus panti jompo yang ada di pare-pare para lansia harus puas dengan ketidaklayakan tempat tinggal yang ada dipanti tersebut, belum lagi masalah kesehatan yang regular check upnya selalu tidak tepat waktu, ditambah juga para pekerja yang mudik ketika lebaran tiba sehingga tidak ada yang mengurus para lansia tersebut. Hal tersebut tidak mungkin terjadi di Amerika karena mereka memiliki system informasi bagi keperawatan sehingga tidak ada yang namanya menelantarkan pasien. Dari penelitian ini dapat kita simpulkan bahwa survey nasional penggunaan softwer MDS ini dari perangkat lunak HIT representative dalam pendokumentasian, namun ditemukan juga bahwa sebagian besar fitur canggih ini tidak digunakan secara terus menerus. Sedangkan di Indonesia untuk perawatan di rumah masih menggunakan data konvensional yang ada saat itu, diharapkan dengan menggunakan softwer MDS ini bisa mengintergrasi layanan kesehatan yang di dapat di rumah sakit untuk dilanjutkan di rumah. Indonesia harusnya berkaca dari system pengorganisasian nirlaba yang ada di Amerika sehingga kelompok lansia dapat terurus dengan baik dan tidak dikesampingkan kebutuhannya.
BAB III KESIMPULAN
Organisasi menurut tujuannya dibagi menjadi 2, yaitu ; Organisasi Profit dan Organisasi Non Profit. Organisasi profit adalah Suatu proses kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yakni untuk menghasilkan laba. Organisasi ini menyediakan atau menghasilkan barang maupun jasa guna untuk memperoleh hasil ataupun laba sesuai dengan keinginan pemilik organisasi tersebut. Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal didalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Organisasi nirlaba meliputi gereja, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundangundangan, organisasi jasa sukarelawan, serikat buruh, asosiasi profesional, institut riset, museum, dan beberapa para petugas pemerintah. Salah satu contoh organisasi nirlaba di Indonesia adalah panti jompo. Panti Jompo adalah tempat untuk menampung manula untuk kemudian dirawat, di asuh sebagaimana layaknya. Panti jompo diluar negeri sangat berbeda dengan Indonesia. Dalam segi Pelayanan serta ketataorganisasian Indonesia masih sangat tertinggal jauh dari Amerika. Di Indonesia Masih sering ditemukan berita-berita mengenai panti jompo yang tidak layak serta kurangnya perhatian pemerintah terhadap penganggaran bagi panti jompo. Seperti hal nya yang dialami oleh Panti Sosial Tresna Werdha Belai Kasih (Panti Jompo) Bireuen yang kekurangan dana untuk operasional terhitung sejak 1 Agustus 2011. Selain itu pula terdapat kenyataan yang memprihatinkan Panti jompo Tresna Werda Mappakasunggu, Parepare, Sulawesi Selatan. Kehidupan di panti itu sangat-sangat memprihatikan, karena terkesan lebih tidak terurus, Padahal panti jompo tersna werda ini berada di bawa naungan Departemen sosial yang notabene mempunyai alokasi aggaran untuk mengurusi para lanjut usia tersebut. Berbeda dengan Amerika .Di Amerika Home Care mencakup perawatan di panti jompo dimana dana di atur oleh pemerintah dengan bantuan dana swasta, bukan tanggung jawab perorangan/ pasien saja. Sistem pengelolaan panti jompo di Amerika sudah menggunakan sistem komputerisasi penilaian pasien (yaitu, MDS). Di rumah jompo/ homae care di Amerika telah menunjukkan keunggulan dalam meningkatkan kualitas pelayanan panti jompo/ home care. 1.
DAFTAR PUSTAKA http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/08/makalah-akuntansi-organisasi-
2.
nirlaba.html http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_nirlaba\
3. 4. 5. 6.
http://www.slideshare.net/iwanpalembang/dimensi-organisasi http://vinspirations.blogspot.com/search/label/MANAJEMEN People, New York : Mc Graw Hill Inc. Manz, Charles C and Henry P Sims Jr., 2001. The New Superleadership: Leading
7. 8.
Others to Lead Themselves, San Francisco : Berret-Koehler Publisher, Inc. Osborne, David dan Peter Plastrik, 2000., Memangkas Birokrasi : Lima Strategi
9.
Munju Pemerintahan Wirausaha (a.b. : Abdul Rosyid), Jakarta : Penerbit PPM
10.
Andrbo, Amany A.; Zauszniewski,
Jaclene A.; Hudak, Christine A, and
Anthony,Mary K. (2011), Development and Testing of a Survey Instrument to Measure Benefits of a Nursing Information System, Perspectives in Health 11.
Information Management, di akses tanggal 1 November 2012. Dave Garets. (2005). Electronic Pasient Records: EMRs and EHRs Concept as different as apples and oranges at least diverse separate names. Healthcare
12.
Informatics online. Davis. Gordon B (1999), Kerangka dasar system informasi manjemen, Pustaka
13.
Binaman Pressindo, Jakarta. Gemala R Hatta ( 2009) , Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana
14.
Pelayanan Kesehatan, UI-Press. Liu, Darren. (2009). Health Information Technology and Nursing Homes. University
15.
of Pitsburgh. Sudaryanto A & Indarwati (2008), Pemanfaatan technologi dalam pelayanan
16.
kesehatan, Berita Ilmu Keperawatan ISSN, Vol 1, No. 1 : 47-50. Tornvall, et.al.(2004) Electronic nursing documentation in primary health care*. Scand J Caring Sci (18) pg 310