DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ..................................................................................................
i
Daftar Isi……………………………………………………………………….
ii
Bab I Pendahuluan...........................................................................................
1
Bab II Permasalahan...........................................................................................
4
Bab III Pembahasan ...........................................................................................
5
A. Peran strategis Pemerintah Propinsi Sebagai Wakil Pemerintah
Pusat di Daerah ..................................................................................
5
B. Permasalahan Akuntabilitas Pemerintah Propinsi…………………..
8
C. Praktik Evaluasi di Beberapa Negara ................................................
15
D. Akuntabilitas Pemerintah Propinsi Guna Menopang Pelaksanaan
Otonomi Daerah...................................................................................
18
Bab IV Kesimpulan ..............................................................................................
21
Daftar Pustaka........................................................................................................
22
Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
BAB I PENDAHULUAN
Saat ini seringkali kita mendengar, bahkan merupakan suatu anomali bahwa penerapan otonomi hendaknya memberikan kewenangan yang luas kepada daerah, sehingga mereka dapat mengelola daerah sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan riil masingmasing daerah. Namun kenyataannya, di lain pihak pemerintah daerah masih menuntut pemerintah pusat untuk membuat berbagai petunjuk rinci dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal ini nampaknya memang merupakan sebagian kondisi yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam masa transisi untuk mencapai tatanan "Indonesia Baru". Namun demikian,
pemerintahan
demokratis
meniscayakan
komitmen
dari
penyelenggara
negara/pemerintahan pusat dan daerah untuk meminimalkan campur tangan secara langsung dalam urusan-urusan yang mampu/lebih baik ditangani oleh masyarakat. Pemerintah harus memiliki skenario terukur untuk membuka seluas-luasnya aksesibilitas publik dalam penyelenggaraan rumah tangga pemerintahan dan pada saatnya nanti yang bersifat pemerintah cukup menangani urusan vital/strategis/menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Sehubungan
dengan
perwujudan
praktik-praktik
kepemerintahan
yang
baik
(good
governance); seperangkat peraturan perundang-undangan telah digulirkan, demikian pula pemerintah dan seluruh elemen bangsa secara sistematis dan berkelanjutan telah mengambil berbagai kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan tuntutan terselenggaranya kepemerintahan yang baik tersebut. Tiga pilar good governance yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas telah diupayakan perwujudannya secara simultan.1 1
Sodjuangon
Situmorang,
Sinergi
LAKIP
-
LPJ
bagi
Perwujudan
Akuntabilitas,
http://www.bpkp.go.id/unit/Pusat/SinergiLakip.pdf. akses tanggal 19 Oesember 2004.
1 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
Dalam bidang administrasi pemerintahan, Kabinet Reformasi di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie telah menghasilkan peraturan perundang-undangan, berupa Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, bersih dan bertanggungjawab. Demikian pula dalam peraturan semisal Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan berbagai peraturan perundangan pelaksanaannya telah pula mencoba menerapkan iklim kepemerintahan yang baik ini, termasuk mengenai akuntabilitas. Untuk mewujudkan akuntabilitas secara horisontal dilakukan dengan penyerahan LPJ kepada DPRD dan akuntabilitas secara vertikal dengan menyerahkan Laporan AIDS kuntabilitas Kinerja Instansi. Pemerintah (LAKIP) kepada Pemerintah secara berjenjang, maka keraguan sementara pihak terhadap arah reformasi setidaknya dapat ditepis. Inovasi dan kreativitas kedua pemerintah daerah dalam hal pembuatan dan penyerahan LPJ ditunjukkan dengan menyertakan LAKIP sebagai bagian tak terpisahkan dari LPJ. Dengan demikian praktikpraktik berakuntabilitas baik secara horisontal maupun secara vertikal telah coba diterapkan di kedua pemerintahan. Akuntabilitas lebih dirasakan sebagai kebutuhan organisasi dalam mengelola perubahan dan mereposisi peran sesuai perubahan lingkungan strategis, ketimbang beban. Untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang demokratis maka sudah seharusnyalah pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah membuka diri untuk mau dan siap untuk dikoreksi dan terbuka menerima kritikan. Salah satu wujudnya adalah melalui LAKIP yang telah diatur oleh undang-undang. Dari sinilah diketahui seberapa jauh pemerintah propinsi telah mengemban amanat rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Akuntabilitas pemerintah propinsi juga harus ditopang oleh peraturan yang tidak manipulatif tetapi yang memang mengatur secara ketat pelaksanaan pemerintahan daerah. Diperlukan juga lembaga-lembaga lainnya sebagai kontrol pelaksanaan pemerintahan di daerah sehingga tercipta check and balances yang akhirnya dapat mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik (good governance).
2 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
BAB II PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan ditinjau peran pemerintah propinsi dalam melaksanakan otonomi di daerah sehingga pemerintah propinsi dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang bersendikan akuntabilitas. Secara kongkrit dalam makalah ini dibahas beberapa permasalahan diantaranya : 1. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur pemerintah propinsi ? 2. Bagaimana dampak akuntabilitas pemerintah propinsi dalam menopang pelaksanaan otonomi daerah ? 3. Bagaimana akuntabilitas pemerintah propinsi itu dilaksanakan dalam praktek ?
3 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
BAB III PEMBAHASAN
A.
PERAN
STRATEGIS
PEMERINTAH
PROPINSI
SEBAGAI
WAKIL
PEMERINTAH PUSAT DI DAERAH Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dalam bagian huruf f UU No.22 tahun l999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa "dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau sebagai perangkat pusat di daerah". Melihat penggunaan terminologi bagian ini maka dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa prinsip pertama anatomi daerah dalam pelaksanaannya menempatkan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah wilayah teritorial propinsi. Implikasi pasal ini adalah dapat dilihat pada Pasal 9 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : (1) Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan dalam bidang pemerintahan lainnya; (2) Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota. (3) Kewenangan propinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.2 Jelaslah bahwa UU No. 22 Tahun 1999 telah menempatkan pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat yang berarti sebagai pelaksana tugas-tugas pemerintah pusat di daerah (Pasal 9 ayat 1) maka untuk itu pemerintah propinsi melaksanakan tugas pemerintahan lintas kabupaten dan kota ataupun melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang belum dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Undang-undang No. 22 tahun 1999 ini telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada daerah kota dan kabupaten. Namun demikian, dengan asumsi bahwa kemungkinan ada bagian kewenangan yang belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah kota atau kabupaten karena keterbatasan dana maupun Sumber Daya Manusia maka agar pelaksanaan otonomi daerah itu berjalan dengan efektif maka lahirlah pasal tersebut. 2
UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan daerah Pasal 9
4 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
Menurut Emil Salim yang dikutip oleh Hasim Purba dkk. Dalam "Hubungan Pemerintah Propinsi dengan Kabupaten/Kota : Perspektif Otonomi Daerah" menyebutkan:
"Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi : Pertama, hak dan kewenangan untuk memanajemen daerah, dan Kedua, tanggungjawab untuk kegagalan dalam memanajemen daerah. Sementara daerah dalam arti “local state government” adalah pemerintahan di daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat sejalan dengan keberadaan UU. No. 22 tahun 1999 tersebut, setidaknya akan membawa pengaruh pula kepada keperluan untuk mengubah paradigma pembangunan yang telah ada sejalan dengan proses reformasi.”3 Dengan demikian, dengan melihat dua prinsip yang dikemukakan di atas maka otonomi daerah tidak hanya memberikan kewenangan yang luas kepada daerah tetapi juga tanggung jawab daerah atas pelaksanaan otonomi daerah. Di sinilah letak peran strategis pemerintah daerah dengan kedudukannya sebagai wakil pemerintahan pusat di daerah. Pemerintah propinsi, dalam hal ini Gubernur haruslah proaktif memacu daerah-daerah kota atau kabupaten untuk lebih memfungsikan setiap potensi di daerahnya. Untuk itulah maka berpikiran lintas batas daerah dan mampu menggandeng daerah-daerah untuk labih maju lagi. Namun demikian pemerintah propinsi menurut pasal 4 ayat (2) bukanlah daerah atasan dari kabupaten dan kota. Dalam hal ini diperlukan sikap mental yang arif pada Gubernur di satu pihak, dan di lain pihak bagi Bupati dan Walikota.4 Artinya adalah bahwa Bupati dan Walikota bebas untuk menentukan kebijakan yang menyangkut daerahnya sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 tanpa harus meminta persetujuan pemerintah propinsi. Namun demikian, walikota dan Bupati tidak serta merta menyingkirkan peran Gubernur dalam hal kebijakan daerah yang menyangkut juga kepentingan propinsi. Inilah yang dimaksud dengan kearifan itu. Secara lebih kongkrit lagi, masalah Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Propinsi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang "Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom". 3
Emil Salim, Otonomi daerah dan Masalahnya, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2000, dalam Hasim Purba dkk., Hubungan
Pemerintah Propinsi dengan Kahupaten/Kota : Perspektif Otonomi Daerah, Pustaka Bangsa Pers, 2004, halaman II. 4
Ibid, halaman 70.
5 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur tentang kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 4 PP No. 25 tahun 2000 disebutkan bahwa kabupaten/kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerja sama antar kabupaten/kota, kerja sama antar kabupaten/kota dengan propinsi, maka kabupaten/kota menyerahkan kewenangan tersebut kepada propinsi berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan daerah kabupaten/kota.
B. PERMASALAHAN AKUNTABILITAS PEMERINTAH PROPINSI Telah disebutkan pada bagian pendahuluan bahwa ada tiga pilar good governance yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Perjalanan gagasan dan konsep Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah di Indonesia untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik (good governance) dapat dilihat dari konsep gagasan yang dilakukan terhadap beberapa instansi, maka pada maa. “Berdasarkan konsep gagasan dan uji coba yang dilakukan terhadap beberapa instansi, maka pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie telah mengambil keputusan untuk melaksanakan reformasi administrasi publik diantaranya dengan mengintruksikan kepada seluruh jajarannya, baik di tingkat Pusat maupun Daerah untuk melaksanakan Akuntabilitas Kinerja lnstansi Pemerintah (AKIP) sebagai wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah dalam mencapai misi dan tujuan organisasi, yaitu dengan mengeluarkan lnpres Nomor 7 Tahun 1999 tertanggal 7 Juni 1999 tentang AKIP. Beberapa pokok pikiran dalam Inpres tersebut yang penting untuk diketahui antara lain; dalam diktum keempat kepada pihak yang menerima instruksi tersebut, mulai tahun anggaran 2000/2001, diminta untuk menyampaikan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah kepada Presiden, sebagai perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/ke gagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui alat Pertanggungjawaban secara priodik. Berkenaan substansi laporan akuntabilitas kinerja, tercermin dalam diktum kedua dan ketiga, yang mengatur setiap instansi pemerintah sampai tingkat eselon II telah mempunyai perencanaan stratejik tentang program-program utama yang akan dicapai selama 1 (satu) sampai dengan 5 6 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
(lima) tahun pada tanggal 30 September 1999; perencanaan sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua mencakup: uraian tentang visi, misi, strategi, dan faktor-faktor kunci keberhasilan organisasi; uraian tentang tujuan, sasaran dan aktivitas organisasi; dan uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut.”5
Berdasarkan lnpres Nomor 7 Tahun 1999 sebagai bahan LPJ Kepala Daerah adalah merupakan suatu nilai tambah bagi LPJ Kepala Daerah, karena LAKIP tersebut di samping disampaikan kepada DPRD juga merupakan Pertanggungjawaban Pemerintah daerah kepada Pemerintah Pusat menyangkut penyelenggaraan Pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 56 Tahun 2001. Artinya, LAKIP mempunyai fungsi ganda yaitu mewujudkan akuntabilitas kepada publik sesuai PP Nomor 108 Tahun 2000 dan mewujudkan akuntabilitas secara vertikal kepada pemerintah pusat sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, PP Nomor 56 Tahun 2001 dan Inpres Nomor 7 Tahun 1999. Dengan demikian tidak ada masalah antara LAKIP sesuai dengan Inpres Nomor 7 Tahun 1999 dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagimana diatur PP Nomor 56 Tahun 2001. Artinya LAKIP mempunyai fungsi ganda yaitu mewujudkan akuntabilitas kepada publik sesuai PP Nomor 108 Tahun 2000 dan mewujudkan akuntabilitas secara vertikal kepada pemerintah pusat sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, PP Nomor 56 Tahun 2001 dan Inpres Nomor 7 Tahun 1999. Dengan demikian tidak ada masalah antara LAKIP sesuai dengan Inpres Nomor 7 Tahun 1999 dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagimana diatur PP Nomor 56 Tahun 2001. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, untuk menyelenggarakan pemerintahan, Gubernur selaku penyelenggara eksekutif daerah di bidang otonomi daerah bertanggung-jawab pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, dan dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah bertanggung jawab kepada Presiden.
5
Sodjuangon Situmorang, Loc. cit.
7 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten/Kota, Bupati atau Walikota bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Dikaitkan dengan masalah akuntabilitas dalam artian Pertanggungjawaban , maka di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas dikemukakan dalam beberapa pasal berikut :
Pasal 44 ayat (2) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD; ayat (3) Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur bagi Kepala Daerah Kabupaten dan Kepala Daerah kota, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun, atau jika dipandang perlu oleh Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden.
Pasal 45 ayat (1) dan (2), ayat (1) Kepala Daerah wajib menyampaikan Pertanggungjawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran; ayat (2) Kepala Daerah wajib memberikan Pertanggungjawaban kepada DPRD untuk hal tertentu atas
permintaan DPRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2).
Pasal 46 ayat (1) Kepala Daerah yang ditolak Pertanggungjawaban nya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, baik Pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun Pertanggungjawaban keuangan, harus melengkapi dan/atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari; ayat (2) Kepala Daerah yang sudah melengkapi dan/atau menyempurnakan Pertanggungjawaban nya menyampaikannya kembali kepada DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1); ayat (3) Bagi Kepala Daerah yang Pertanggungjawaban ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden.
Sementara itu peraturan mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah telah ditetapkan berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999. Bilamana dikaitkan dengan pasal laporan Pertanggungjawaban , maka Kepala Daerah diwajibkan menyampaikan akuntabilitas keuangannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada pasal 24 ayat (1) Kepala Daerah menyampaikan laporan Pertanggungjawaban kepada DPRD 8 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
mengenai pengelolaan keuangan Daerah dan kinerja keuangan daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi. Gambaran singkat mengenai laporan Pertanggungjawaban ini menunjukkan kepada kita bahwa dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 ini, Kepala Daerah di samping menyampaikan akuntabilitas keuangan, juga menyampaikan laporan akuntabilitas kinerja dengan ukuran efisiensi dan efektivitas. Sebagai penjabaran lebih lanjut mengenai kedua Undang-undang ini telah dikeluarkan serangkaian PP: dan yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban (baca akuntabilitas), terutama tercermin dalam PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang tata cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk menjelaskan kinerja penye1enggaraan pemerintahan kepada masyarakat. Dalam penjelasan PP Nomor 108 Tahun 2000 ini, dikemukakan bahwa untuk menjaga kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pada prinsipnya masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah 5 (lima) tahun. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepada DPRD bersifat laporan pelaksanaan tugas (progress report). Oleh karena itu Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Kepala Daerah kepada DPRD bukan merupakan wahana untuk menjatuhkan Kepala Daerah akan tetapi merupakan wahana untuk penilaian dan perbaikan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD tidak semata-mata dimaksudkan sebagai upaya untuk menentukan kelemahan pelaksanaan pemerintahan daerah melainkan juga meningkatkan efisiensi, efektivitas, produktivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta fungsi pengawasan DPRD terhadap jalannya pemerintahan. Selanjutnya beberapa pasal dalam PP Nomor 108 Tahun 2000 yang berkaitan dengan pertanggungjawaban dan menarik untuk dikemukakan adalah sebagai berikut: pasal 1 butirbutir: Rencana stratejik atau dokumen perencanaan daerah lainnya yang disahkan oleh DPRD dan Kepala Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra adalah rencana lima tahunan yang menggambarkan visi, misi, tujuan, strategi, program, dan kegiatan daerah.
9 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran adalah pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran yang merupakan
pertanggungjawaban
pelaksanaan
APBD
berdasar
tolok
ukur
Renstra.
Pertanggungjawaban akhir masa jabatan adalah pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama masa jabatan Kepala Daerah berdasar tolok ukur Renstra. Dari gambaran mekanisme dan substansi LPJ ini, maka pertanggungjawaban ini pada hakekatnya merupakan bentuk akuntabilitas horisontal Kepala Daerah kepada masyarakat melalui DPRD. Mekanisme dan substansi pertanggungjawaban telah dimulai pada saat pengesahan Renstra oleh DPRD, yang selanjutnya Renstra ini merupakan tolok ukur bagi akuntabilitas Kepala Daerah. Kemudian secara lebih mendalam substansi dari LPJ dan periodisasinya, meliputi pertanggungjawaban akhir tahun anggaran; pertanggungjawaban akhir masa jabatan; dan pertanggungjawaban untuk hal tertentu. Selanjutnya secara substansial dikemukakan
bahwa
pertanggungjawaban
akhir
tahun
anggaran
merupakan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk perhitungan APBD berikut penilaian kinerja berdasarkan tolok ukur Renstra, dan pertanggungjawaban akhir masa jabatan merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang merupakan kinerja Kepala Daerah selama masa jabatan Kepala Daerah berdasarkan
tolok
ukur
Renstra.
Dikaitkan
dengan
akuntabilitas
keuangan
(pertanggungjawaban keuangan Daerah), dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 dalam Bab IV "Pertanggungjawaban Keuangan Daerah" maka secara tegas dalam pasal 37 dan pasal 38 PP tersebut dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban, yaitu: Pasal 37 ayat (1) Pemerintah Daerah menyampaikan triwulan pelaksanaan APBD kepada DPRD; ayat (2) Laporan triwulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan paling lama 1 (satu bulan sekali setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Kemudian dalam Pasal 38, dikemukakan bahwa Kepala Daerah menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan yang terdiri atas Laporan perhitungan APBD; Nota perhitungan ABPD; Laporan Aliran Kas; dan Neraca
Daerah
",
dalam
pasal
35
dikemukakan
bahwa
"Penatausahaan
dan
pertanggungjawaban keuangan daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan pemerintah daerah yang berlaku " 10 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
C. PRAKTIK EVALUASI DI BEBERAPA NEGARA
Sebagai bahan perbandingan praktik evaluasi kinerja pemerintah daerah maka alangkah baiknya jika pada bagian ini disajikan beberapa praktik evaluasi kinerja pemerintah daerah di beberapa negara sebagaimana yang dituturkan Yohanes Sigit.6 Diantaranya adalah :
1. Amerika Serikat dan GPRA. Di level federal, evaluasi program dikaitkan dengan penerapan GPRA (Government Performance & Result Act) yang diterbitkan 1993 dan pelaksanaannya di sebagian departemen masih tersendat-sendat. Di GAO - sebagai kampiun audit sedunia - spirit evaluasi keberhasilan telah mendorong dilakukannya organisasi dan strategi untuk mana mereka akan berperan.
2. Inggris dan Reformasi Sektor Publik. Perhatian untuk melakukan reformasi di sektor pelayanan publik tumbuh di awal tahun 1960an. Mewarisi kondisi di awal pemerintahannya pada 1976, dengan PDB yang anjlok. Komisi pemerintah 44% PDB, dominasi ekonomi yang besar unefesiensinya, upaya tertatih-tatih Margareth Thatcher tidak memberi hasil yang memuaskan. Unit Efisiensi yang bertugas memerangi
pemborosan dan efisiensi melalui pendekatan audit efisiensi telah melakukan 223 audit efisiensi yang membuahkan penghapusan 12.000 posisi dan penghematan tahunan yang berulang besar 180 juta pound. Audit Commission pun dibentuk dua tahun kemudian untuk tujuan yang sama meningkatkan efisiensi. Demikian pula dengan privatisasi badan usaha pemerintah
namun tidak ada efek domino yang terjadi. Ia membutuhkan strategi lebih dari sekedar privatisasi dan pengawasan efisiensi. Kemudian 1988 Unit Efisiensi memperkenalkan strategi baru sebagaimana yang tertuang dalam dokumen "Improving Management in Government: The Next Steps". Pada prinsipnya strategi ini mendorong para pimpinan manajemen tidak hanya sekedar menekan biaya dan merampingkan organisasi. Mereka diminta untuk merumuskan sasaran serta memperbaiki kinerja melalui kegiatan survai kepada pelanggan. Tetapi publik menginginkan lebih dari sekedar efisiensi. 6
Yohanes Sigit, Praktik Evaluasi di Beberapa diBeberapaNegara.pdf akses tgl 19 Desember 2004,
Negara,
http://www.bpkp.go.id/unit/Pusat/PraktikEvaluasi
11 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
Masyarakat menginginkan pelayanan publik yang efektif. Jawabannya adalah reformasi dalam bentuk "Citizen Charter". Benang merah yang dapat ditarik dari pengalaman Inggris tersebut adalah bahwa reformasi sektor pelayanan publik tidak hanya berhenti pada memerangi pemborosan melalui efisiensi. Namun, juga membangun kepercayaan publik melalui penciptaan akuntabilitas melalui strategi yang berorientasi kepada hasil.
3. Australia dan Evolusi Evaluasi. Kebijakan pemerintah untuk mendorong pimpinan organisasi pemerintah untuk lebih memberi perhatian kepada perbaikan kinerja serta pengukuran hasilnya melalui evaluasi juga diberlakukan di negara lain seperti Australia, Israel, Swedia, New Zealand, dan beberapa negara maju Asia meskipun dengan kadar kemajuan yang bervariasi. Praktek evaluasi di Australia merupakan satu di antara sedikit negara maju di dunia yang keberhasilannya diakui oleh Bank Dunia. Bahkan ide-ide mengenai strategi mengenai bagaimana mengembangkan kapasitas evaluasi di Australia banyak dirujuk dan dijadikan model oleh Bank Dunia. Australia mulai secara intensif mengembangkan evaluasi sebagai salah satu alat untuk menilai keberhasilan program-program pemerintah pada dasawarsa 1980-an. Kebijakan pemerintah federal menyatakan bahwa eva1uasi atas program atau inisiatif baru harus menjadi bagian dari bagian dokumen usu1an inisiatif di setiap awal tahun fiskal yang diajukan oleh badan-badan pemerintah kepada Departemen Keuangan. Dengan demikian evaluasi tidak dipandang sebagai fungsi yang berdiri sendiri: ia menjadi bagian sistem alokasi sumber-sumber daya selain sebagai bagian dari sistem manajemen publik. Selain itu, pihak auditor eksternal Australia (ANAO) pun belakangan memberi perhatian yang besar mengenai pengukuran dan penilaian atas keberhasilan program, meskipun menggunakan label audit efekktivitas. Pada level negara bagian di Australia, kesadaran mengenai pentingnya suatu alat yang mampu memberikan informasi mengenai dampak atau keberhasilan telah mendorong diadopsinya evaluasi sebagai bagian dari fungsi internal audit oleh. manajemen selain pernantauan, audit, dan reviu. Sama halnya dengan negara-negara lain, hingga saat ini pelaksanaan evaluasi masih terus berevolusi dalam rangka menemukan bentuk dan format yang sesuai dengan kondisi dan kesiapan masing-masing badan pemerintah.
12 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
D. AKUNTABILITAS
PEMERINTAH PROPINSI
GUNA
MENOPANG
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Di tengah ketidakpastian hukum di Indonesia, akuntabilitas lebih dirasakan sebagai kebutuhan mendesak dalam mengelola perubahan dan mereposisi peran sesuai perubahan lingkungan strategis, ketimbang beban. Sistem AKIP yang telah diatur dalam perundangundangan ternyata dapat digunakan sebagai alat untuk menggelola perubahan. Untuk menunjukkan komitmen sebuah pemerintahan yang berakuntabilitas maka perlu diadakan AKIP. Euforia otonomi daerah ternyata banyak berdampak negatif. Salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang menabrak logika kebijakan publik. Kebijakan publik yang semestinya diorientasikan bagi sebesar-besarnya kemaslahatan publik justru ditelikung hanya untuk kesejahteraan eksekutif-legislatif. Yang menakutkan jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan menggaruk duit rakyat dengan cara yang "legal" karena dilegitimasi keputusan.7 Agaknya korupsi sudah merasuk ke segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi sudah menjadi bagian dari sistem. Oleh karena itu, konsekuensi membuka keran otonomi daerah sama saja dengan mendesentralisasikan korupsi yang selama ini terjadi dan berlangsung massif di Pusat ke Daerah.8 Ada satu warna baru dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UU No. 212 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 yaitu ketentuan tentang pertanggungjawaban kepala daerah. Sesuai semangat reformasi, untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pembagian kekuasaan di daerah berdasarkan prinsip prinsip demokrasi yang dikehendaki oleh banyak pihak maka diatur tentang laporan pertanggungjawaban Kepa1a Daerah. Berdasarkan ketentuan pada pasal-pasal UU No. 22 Tahun 1999, pertanggungjawaban kepala daerah meliputi tiga macam yaitu :9 7
Wiwik Suhartiningsih, Politik Anggaran Publik, Koran Tempo, Selasa, 15 Juni 2004. Ibid 9 Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, 2001, halaman 80-81. 8
13 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
1.
Pertanggungjawaban pada setiap akhir anggaran, da1am hal ini menyangkut kebijakan pemerintahan dan keuangan.
2.
Pertanggungjawaban dalam hal tertentu atas permintaan DPRD.
3.
Pertanggungjawaban pada akhir masajabatan Kepala Daerah.
Pemerintah yang bertanggung jawab (Responsibility-government ) mensyaratkan adanya pemerintahan yang akuntabel melalui laporan pertanggungjawaban yang riil dan konsekuen. Namun saat ini, laporan pertanggungjawaban kepala daerah seringkali diartikan lain sehingga pemerintahan yang akuntabel hanya akan menjebak daerah menjadi daerah yang penuh konflik dan kontroversial seperti yang telah terjadi di beberapa daerah. Ketentuan yang mewajibkan kepala daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran merupakan warna baru dalam setiap sistem pemerintahan daerah. Ada beberapa kemungkinan implikasi yang timbul dalam sidang pleno yang membahas pertanggungjawaban kepala daerah, yaitu : 10 1.
Persidangan dapat berlarut-larut dengan adanya pro dan kontra dari pihak-pihak yang berkepentingan yang pada akhirnya bermuara pada konflik.
2.
Pembahasan dapat berlangsung secara mulus tanpa ada hambatan yang berarti.
3.
Suasana sidang dikesankan berlangsung alot dan seru dalam nuansa penolakan pertanggungjawaban untuk memaksa kepala daerah agar mau melakukan bargaining yang ujung-ujungnya adalah "uang".
4.
Pembahasan semula berlangsung sangat keras dan alot karena memang ada pelanggaran cukup berat yang dilakukan oleh kepala daerah dan sudah diketahui oleh publik. Akhirnya adalah dituntut kepekaan aparat pemerintah Propinsi untuk melihat situasi di
daerahnya sebagai unsur objektif yang harus dikelola dalam suasana positif. Untuk itu akuntabilitas akan terjaga jikalau setiap prosedur digunakan sebagaimana mestinya dan apa adanya.
10
Ibid, halaman 90.
14 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
BABIV KESIMPULAN
Mengakhiri tulisan ini, yang menjadi kesimpulan adalah : Pertama, UU No. 22 tahun 1999 telah menempatkan pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat yang berarti sebagai pelaksana tugas-tugas pemerintah pusat di daerah (Pasal 9 ayat 1) maka untuk itu pemerintah propinsi melaksanakan tugas pemerintahan lintas kabupaten dan kota ataupun melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang belum dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Kedua LAKIP mempunyai fungsi ganda yaitu mewujudkan akuntabilitas kepada publik sesuai PP Nomor 108 Tahun 2000 dan mewujudkan akuntabilitas secara vertikal kepada pemerintah pusat sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, PP Nomor 56 Tahun 2001 dan Inpres
Nomor 7 Tahun 1999. Dengan demikian tidak ada masalah antara LAKIP sesuai dengan Inpres Nomor 7 Tahun 1999 dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur PP Nomor 56 Tahun 2001. Ketiga, Di tengah ketidakpastian hukum di Indonesia, akuntabilitas lebih dirasakan sebagai kebutuhan mendesak dalam mengelola perubahan dan mereposisi peran sesuai perubahan lingkungan strategis, ketimbang beban.
15 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006
DAFTAR PUSTAKA
Purba, Hasim dkk., 2004, Hubungan Pemerintah Propinsi dengan Kabupaten/Kota : Perspektif Otonomi Daerah, Pustaka Bangsa Perss, Medan. Yudoyono, Bambang, Otonomi Daerah : Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DP RD, Pustaka Sinar Harapan, 2001, halaman 80-81.
Internet Situmorang, Sodjuangon, Sinergi LAKIP - LP J bagi Perwujudan Akuntabilitas, http://www.bpkp.go.id/unit/Pusat/SinergiLakip.pdf.akses tanggal 19 Oesember 2004. Yohanes Sigit, Praktik Evaluasi di Beberapa Negara http://www.bpkp.go.id/unit/Pusat/PraktikEvaluasidiBeberapaN egara. pdf,akses tgl 19 Desember 2004.
Koran Wiwik Suhartiningsih, Politik Anggaran Publik, Koran Tempo, Selasa, 15 Juni 2004.
Undang:-undang Undang-undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom
16 Tengku Keizerina Devi Azwar: Akuntabilitas Pemerintahan Propinsi , 2005
USU Repository©2006