BAB I PENDAHULUAN Sudah sewajarnya jika perbaikan dilakukan kepada hal yang belum benar atau belum sempurna. Hal itu dilakukan demi memperbaiki sesuatu yang menjadi hal penting dalam berlangsungnya dalam kehidupan sehari-hari . Melalui pelaksanaan dan evaluasi yang di lakukan setiap kekurangan selalu di tutup dengan tetap memperhatikan kepentingan bersama. Sama halnya dengan perkembangan kurikulum di Indonesia. Kurikulum yang di gantikan kurikulum yang baru memiliki kelamahan dimana kurikulum yang baru selalu hadir dengan memberikan perubahan dan perbaikan. Namun dalam berlangsung yang masih belum dapat dilaksanakan dengan baik oleh pengajar maupun peserta didik. Yang terkadang justru mempersalahkan kurikulum tersebut. Dalam hal ini akan kita bahas tentang beberapa perkembangan kurikulum di Indonesia sejak zaman kerajaan hingga saat ini.
BAB II PEMBAHASAN A. Kurikulum pada Masa Kerajaan
1. Zaman Hindu Budha Pada saat zaman hindu budha, pendidikan hanya dinikmati oleh kelas Brahmana, yang merupakan kelas teratas dalam kasta Hindu. Mereka umumnya belajar teologi, sastra, bahasa, ilmu pasti, dan ilmu seni bangunan. Sejarah mencatat, kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kalingga, Kediri, Singosari, dan Majapahit, melahirkan para empu, punjangga, karya sastra, dan seni yang hebat. Padepokan adalah model pendidikan zaman hindu yang dikelola oleh seorang guru/bengawan dan murid/cantrik mempelajari ilmu bersifat umum, religius, dan juga kesaktian. Murid di Padepokan bisa keluar masuk bila merasa cukup atau tidak puas dengan pengajaran guru. Di dalam sistem sosial masyarakatnya pun, pendidikan juga sudah mulai berkembang. Pengajaran agama dari para pendeta ke masyarakat dan kalangan bangsawan sudah tentu menggunakan sebuah sistem yang terstruktur. Tulisan Pallawa dan Sansekerta
yang digunakan dalam tiap prasasti pun, tentu ada sistem pengajaran yang digunakan sehingga masyarakat pribumi mampu menguasainya. 2. Zaman Islam
Pada zaman penyebaran Islam, pola pendidikan bernapaskan islam menyebar dan mewarnai penyelenggaraan pendidikan. Pusat-pusat pendidikan tesebar di langgar, surau, meunasah (madrasah), masjid, dan pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan formal tertua di Indonesia. Pesantren diajar oleh seorang kyai, dan santri/murid tinggal di pondok/asrama di sekitar pesantren. Jumlah pondok pesantren cukup banyak tersebar di Jawa, Aceh, dan sumatera selatan.
B. Kurikulum pada Masa Sebelum Kemerdekaan
1. Masa VOC. Pada masa VOC ( abad 17 – 18), sistem pendidikan dikelola oleh gereja. Sistem ini tidak diatur oleh pemerintah pendudukan, melainkan oleh para pastur atau biarawan. Sistem yang digunakan berlandaskan dengan ajaran agama Nasrani yang mengunakan konsep asrama pula. Namun, pada masa ini, pendidikan hanya untuk tingkat dasar sebatas mengajarkan baca, tulis, dan menghitung.
2. Masa Hindia Belanda.
Pada masa nusantara dikendalikan langsung oleh Kerajaan Belanda, sistem pendidikan sudah mulai terstruktur. Jenjang-jenjang pendidikan sudah ditetapkan dengan menganut prinsip-prinsip yang jelas. Adapun dalam masa ini, sistem pendidikan masa kolonial dibuat sekuler atau menjauh dari kecenderungan agama atau etnis tertentu. Pemerintah langsung mengelola pendidikan, bukan para biarawan lagi. Selain itu, rekrutmen siswa dibuat secara diskriminatif. Sekolah-sekolah dibuat berdasarkan lapisan sosial di dalam masyarakat. Dengan kata lain, akan dibedakan sekolah baik untuk pelajar keturunan Eropa atau bagi para pribumi. Bahkan sekolah untuk pribumi pun, hanya diperuntukan bagi mereka yang berasal dari kalangan bangsawan.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut:
Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan.
Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
Pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924).
3. Masa Pendudukan Jepang Saat perang Asia Timur Raya meletus (1942 – 1945), Indonesia tidak luput dari sasaran pendudukan tentara Jepang. Dengan pasukan gerak cepatnya, tentara Jepang dengan mudah dapat menaklukan pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun 1942. Dengan peralihan kekuasaan ini, tentu banyak perubahan baik dari segi politik, ekonomi, sosial, hingga pendidikan. Semua kebijakan yang diterapkan, sudah tentu, ditujukan bagi kepentingan Jepang yang sedang berperang melawan sekutu. Di bidang pendidikan, ada perubahan yang jelas terjadi. Salah satunya adalah penggunaan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi pengantar di sekolah. Hal ini tentu sebuah terobosan besar di Indonesia sendiri. Sebelumnya, bahasa pengantar yang digunakan semasa penajajahan Belanda adalah bahasa Belanda atau bahasa daerah masing-masing. Penggunaan bahasa Indonesia ini, secara langsung telah memupuk rasa nasionalisme bangsa Indonesia terhadap identitasnya sendiri Adapun sistem pendidikan di masa Jepang ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
Pendidikan Tinggi..
C. Kurikulum pada Masa Setelah Kemerdekaan
1. Rencana Pelajaran 1947 Awal kurikulum terbentuk pada tahun 1947, yang diberi nama Rencana Pembelajaran 1947. Kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh Belanda karena pada saat itu masih dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan. Yang menjadi ciri utam kurikulum ini adalah lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garisgaris besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Setelah rencana pembelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Dengan berganti nama menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
2. Rencana Pelajaran Terurai 1952 Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. ―Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,‖ kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional prak tis.Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum pendidikan di indonesia. Kali ini diberi nama dengan Rentjana Pendidikan 1964. Yang menjadi ciri dari kurikulum ini pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, kerigelan dan jasmani. Yang menjadi ciri dalam kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
3. Kurikulum 1964&1968 Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani. Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
4. Kurikulum 1975 Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968. Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. ―Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,‖ kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah ―satuan pelajaran‖, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum 1984 Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut ―Kurikulum 1975 yang disempurnakan‖. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat
juga
mendesakkan
agar
isu-isu
tertentu
masuk
dalam
kurikulum.
Alhasil,menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998,diikuti kehadiran suplemen Kurikulum 1999.Tapi perubahannya lebih pada menambah sejumlah materi. Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut :
Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.
Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
7. Kurikulum 2004 Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai,
evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang siste8m pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan. Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan. Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajarantetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan KBK tahun 2004 dengan KBK tahun 2006 (versi KTSP), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh dalam menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang ditetapkan, mulai dari tujuan, visimisi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan silabusnya.
8. KTSP 2006 Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR) Kurikulum yang terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan perkembangan dari kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada saat ini merupakan kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang guru disini menurut Okvina (2009) benar-benar digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntuk kereatifitasan seorang guru. Kurikulum yang kita pakai sekarang ini masih banyak kekurangan di samping kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain adalah (1) kurangnya sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP dengan kata lin masih rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP seorang guru dituntut untuk lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2) kurangnya sarana dan prasarana yang dimillki oleh sekolah. D. Kurikulum pada saat ini
Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 terbalik dengan KTSP. Dalam kurikulum 2013 Standar Kompetensi Lulusan seperti apa yang diinginkan akan membentuk mata pelajaran. Jadi, apa yang menjadi kebutuhan di zaman sekarang dan mendatang itulah yang akan diberikan. Kedua, kurikulum 2013 memiliki pendekatan pembelajaran yang lebih utuh dengan mengutamakan kreativitas siswa. Kurikulum baru memenuhi tiga komponen utama pendidikan yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik. Ketiga, kurikulum 2013 didisain berkesinambungan antara kompetensi yang ada di SD, SMP hingga SMA. Intinya, dalam kurikulum 2013 setiap peserta didik dituntut kreatif dan inovatif karena ke depannya temuan dan kreatifitas yang menjadi andalan. Selain itu ada juga pengembangan karakter bangsa telah diintegrasikan kedalam semua program studi.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kurikulum pendidikan di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan dan sebelum Indonesia merdeka, meski kurikulum yang ada masih tidak kompleks. Kurang lebih telah delapan kali Indonesia melakukan pergantian kurikulum sejak Indonesia merdeka hingga saat ini. Pergantian dan perkembangan kurikulum yang ada dilaksanakan dengan maksut untuk memperbaiki system pendidikan yang ada dan sekaligus mengikuti perkembangan zaman. Namun dalam setiap pelaksanaannya masih belum optimal. Hal itu semua terjadi dikarenakan kurang pemahaman dan pemaknaan dari si pengajar ataupun dari pendidik. Sehingga justru menimbulkan permasalahan pendidikan.
B. Saran Sebelum melaksanakan dan mengaplikasikan sebuah kurikulum baru, sebaiknya diadakan terlebih dahulu sosialisasi, kepelatihan,vataupun masa persiapan terhadap kurikulum tersebut. Agar tidak terjadi permasalahan kependidikan
DAFTAR PUSTAKA Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori & Praktik. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Hamalik, Oemar. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Herlanti, Y. (2008). Kurikulum Pendidikan Indonesia dari Zaman ke Zaman. [on line] yherlanti.wordpress.com http://Kurikulum%20Indonesia%20dari%20Zaman%20ke%20Zaman%20_%20Madrasah.ht m