BAB I PENDAHULUAN Hepar adalah organ padat intra-abdominal terbesar dengan parenkim yang rapuh, kapsul tipis dan posisi relatif terfiksir terhadap tulang belakang yang membuat hepar sangat rentan terhadap cedera. Lobus kanan hepar memilki ukuran yang lebih besar dan dekat dengan tulang rusuk membuat lobus tersebut lebih rentan terkena cedera dibandingkan dengan lobus kiri. Hepar merupakan organ kedua yang paling sering terluka setelah trauma abdominal, tetapi kerusakan hepar adalah penyebab kematian paling terbanyak. (1) Sebanyak 25% kasus trauma hepar merupakan trauma tumpul, sedangkan lebih dari 70% merupakan trauma tajam akibat luka tusukan atau tembakan.
(2)
Meskipun persentase trauma tumpul hepar lebih sedikit, namun kerusakan hepar bertanggung jawab lebih dari 50% kematian akibat trauma tumpul abdomen. Trauma tumpul merupakan penyebab 80-90% dari semua cedera hepar di Eropa, sementara di Afrika Selatan dan Amerika Utara luka penetrasi menjadi penyebab terbanyak cedera hepar yaitu masing-masing sebesar 66%(9) dan 88%.
(3)
Mekanisme penyebab cedera hepar yang paling sering adalah proses akselerasi cepat yang diikuti oleh deselerasi yang kebanyakan terjadi pada kecelakaan sepeda motor. (2) Manajemen trauma hepar dapat bervariasi mulai dari manajemen non operasi dengan atau tanpa angioembolisasi hingga tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan betujuan untuk menghentikan pendarahan dengan melakukan vascular exclusion hingga transplantasi hepar.
(1)
Karena tingkat
mortalitas yang tinggi tindakan bedah sering diindikasikan pada pasien dengan trauma hepar. Namun dengan kemajuan pencitraan diagnostik, fasilitas monitoring yang lebih baik dan pengenalan strategi pengendalian kerusakan akibat trauma telah mempengaruhi pendekatan terhadap penatalaksanaan trauma hepar. (4)
BAB II 1
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Sangat penting untuk mengetahui lokasi hepar dan anatomi permukaan untuk dapat memilih sayatan terbaik, untuk menentukan apakah hepar terlibat dalam trauma penetrasi dan menentukan apakah ada keterlibatan trauma dada terutama pada dada kanan bawah. Bila dilihat dari depan, batas-batas hepar antara lain: (5) a. Batas atas; hepar berada di lekungan sendi xifisternalis, ujung kiri atas hepar berjarak 7-8 cm dari midline dan ujung atas sebelah kanan mencapai tulang rusuk kelima. b. Batas kanan; batas kanan hepar berada di lengkungan costae ketujuh hingga kesebelas sejajar garis mid-axilaris. c. Batas inferior; bagian bawah hepar dapat ditetukan dengan menarik garis khayal yang menghubungkan titik bagian kanan hepar terbawah dengan titik bagian kiri hepar teratas.
Gambar 2.1. Anatomi Permukaan Hepar
Hepar mempunyai 3 permukaan, yaitu: (6)
2
1. Permukaan diafragmatik Permukaan diafragmatik dilapisi oleh peritoneum berfungsi sebagai pelindung parenkim hepar. Di garis tengah hepar melekat ligament falciform yang membagi hepar menjadi dua lobus. 2. Permukaan Visceral Batas inferior hepar dibentuk oleh permukaan diafragma dan permukaan visceral hepar. Struktur utama hepar di bagian tersebut membentuk huruf“H”, dimana bagian sebelahnya terdapat vena porta hepatis/hilus hepar. Bagian kanan bawah terdapat vena cava inferior. Bagian kiri bawah terdapat ligamentum teres di anterior dan ligamentum venosum di posterior. Di sisi kiri terdapat lobus caudatus dan di sebelah kanan terdapat bare area. Vena cava inferor berjalan di tengah permukaan posterior hepar. Terdapat bagian fibrosa yang disebut ligamentum venae cavae/ligamentumhepato caval meliputi menutupi bagian posterior dari vena cava inferior. Sisa permukaan posterior disusun oleh ligamen triangular kiri dan kanan, dan ligamen koroner yang memfiksasi hepar ke diafragma.
Gambar 2.2 Permukaan Visceral Hepar
3. Ligamen hepar
3
Ligamen falciform terdiri dari dua lapisan peritoneum. Ligamentum teres berjalan di daerah free edge dan vena paraumbilical. Di sebelah kanan ligamentum koroner membentuk lapisan atas hepar hingga ke bawah ligamentum triangular kanan dan terus berjalan ke bawah ligamentum koroner. Di sebelah kiri, ligamen falciform membentuk lapisan anterior hepar tepat di daerah sebelah kiri ligamentum triangular. 4. Lobus Kaudatus Lobus kaudatus adalah bagian dorsal hepar yang terletak di posterior dan merangkul secara semi sirkumflaksa vena cava inferior retrohepatik. Lobus kaudatus terletak di posterior vena cava inferior, inferior dari tiad portal dan superior dari vena hepatika.Rangkaian vena hepatik mengalir secara langsung dari lobus caudatus ke vena cava inferior retrohepatik, oleh karena itu lobus kaudatus dikelilingi oleh struktur penting yang dapat terlibat dalam trauma hepar. (7) Gambar 2..3 Permukaan Diafragma Hepar dan Ligamen Penyusunya
Gambar 2.4 Permukaan Posterior Hepar dan Ligamen Penyusunya 5. Kapsul glissonian Kapsul glisson melapisi hepar mulai dari hilushingga triad portal.Pada trauma hepar penting diketahuibahwa pedikel kapsul glissonmerupakan hanya bagian ekstrahepatik yang mungkin terlibat, bagian tersebut disebutligamen hepatoduodenal, hal ini sangat penting ketika manuver pringle dilakukan. Kapsul glisson terdiri dari jaringan ikat dan peritoneum, kapsul tersebut melapisi daerah
4
posterior vena portal, anterior dan kiri dari arteri hepatik serta anterior dan kanan darisaluran empedu. (8) 6. Vena Cava Inferior Retrohepatik dan cabangnya Sehubungan dengan trauma hepar kita dapat membagi vena cava inferior retrohepatik menjadi empat bagian: (9) a. Kelompok suprahepatik; terdiri dari kedua vena frenikus kanan dan kiri yang drainasenya masing-masing ke difragma kanan dan kiri. b. Vena hepatik; terdiri dari vena hepatica kanan, tengah dan kiri. Ada beberapa variasi struktur vena hepatica yang normal secara anatomi. c. Kelompok retrohepatik; terdiri dari vena-vena kecil dan pendek yang mengalirkan bagian dari hemiliver dan lobus caudatus yang bermuara langsung ke vena cava inferior. Vena-vena ini pendek dan sangat rapuh sehingga rentan terhadap cedera. d. Kelompok infrahepatik; sebagian besar terdiri dari vena adrenal kanan dan kiri. Vena ini sering terluka dalam trauma karena letaknya kurang termobilisasi tepat di hepar. 2.2 Mekanisme Trauma tajam dan tumpul adalah dua mekanisme utama terhadap cedera hepar. Kecelakaan kendaraan bermotor menjadi penyebab utama trauma tumpul, sedangkan tusukkan pisau dan luka tembak menjadi penyebab utama trauma tajam. (2) Terdapat dua jenis trauma tumpul hepar yaitu trauma deselerasi (geser) terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dari ketinggian di mana ada gerakan hepar dalam posisi yang relatif tetap, dengan demikian menghasilkan laserasi kapsul relatif tipis dan parenkim masih dapat difiksasi oleh diafragma. Jenis lain dari trauma tumpul hepar adalah crush injury. Crush injury menyebabkan trauma langsung ke bagian hepar. Trauma ini bersifat deselerasi yang menyebabkan laserasi di bagian posterior dan anterior kanan yang banyak mengandung pembuluh darah besar. Crush injury dapat menyebabkan kerusakan pada bagin sentral hepar dan juga dapat menyebabkan perdarahan di lobus kaudatus. Trauma tumpul dapat menyebabkan kerusakan parenkim hepar dengan kapsul glisson yang masih utuh, hal ini dapat menyebabkan hematoma intraparenchymal atau subkapsular. (1)
5
Luka tembus biasanya berhubungan dengan luka tembak atau tusuk yang mengakibatkan kerusakan jaringan lebih karena efek kavitasi peluru melintasi substansi hepar. Trauma ini biasanya memerlukan tindakan operasi lebih sering dari pada trauma tumpul bila hepar terlibat. (1) 2.3 Diagnosis Tanda dan gejala trauma hepar terkait dengan jumlah darah yang hilang, adanya iritasi peritoneal dan nyeri perut kuadran kanan atas. Nyeri alih abdomen juga merupakan gejala umum trauma hepar namun tidak bersifat spesifik. Kadang-kadang pasien trauma tumpul abdomen terlihat baik beberapa saat setelah trauma namun kemudian terjadi abses hepar, mungkin pada saat itu belum ditemukan tanda-tanda kerusakan hepar. Pasien datang dengan tanda dan gejala infeksi yang hebat dan peritonitis berat akibat kebocoran empedu. Adanya tandatanda kehilangan darah seperti syok, hipotensi, dan kadar hematokrit yang menurun.
(10)
Kehilangan darah segar menandakan tidak terjadinya iritasi
peritoneal. Untuk penegakkan diagnosis serial pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara cermat namun sangat sulit menilai keadaan perut dalam situasi setelah trauma dan semua tanda-tanda fisik dapat meragukan. Mekanisme cedera sangat penting dalam menilai potensi cedera perut. Informasi ini dapat diperoleh dari pasien, kerabat, polisi atau petugas perawatan darurat. (11) Setelah penilaian awal, pasien sadar dengan hemodinamik tidak stabil setelah trauma tumpul dan peritonitis general, harus menjalani laparotomi sesegera mungkin. Laparotomi juga diindikasikan pada pasien yang telah menderita luka tusukan ke perut dengan hemodinamik yang tidak stabil. Jika pasien stabil dan curiga hepar mengalami cedera, pemeriksaan penunjang harus dilakukan, walaupun pada pasien trauma hepar dengan hemodinamik stabil dapat ditentukan tahapnya berdasarkan sifat traumanya. (1,10) Ultrasonography (FAST) dapat melakukan evaluasi cepat
pada pasien
trauma tumpul atau tajam abdomen. FAST besifat murah, portabel dan noninvasif dibandingkan dengan lavage peritoneal dan tidak menggunakan radiasi atau media kontras seperti iodinasi. Sensitifitas FAST terhadap cairan intraabdominal setelah trauma mencapai 75-93,8% dan spesifisitasnya sekitar 97-100%. Cedera di segmen kubah atau lateral hepar susah dinilai dengan USG, terutama adanya ileus
6
atau pada pasien tidak kooperatif akibat nyeri. Laserasi hepar atau hematoma biasanya sulit untuk dibedakan terutama pada fase akut, karena bersifat isoechoic terhadap hepar normal. Kalogeropoulu, dkk mendemostrasikan kegunaan ultrasonografi dengan kontras pada trauma hepar tajam. Hal ini meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas USG dalam mengevaluasi deteksi cairan bebas peritoneal dan visualisasi terhadap laserasi parenkim hepar. (1)
Gambar 2.5 Algoritma pemeriksaan USG (FAST) pada trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik tidak stabil
7
Gambar 2.5 Algoritma pemeriksaan USG (FAST) pada trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil
Computed tomography (CT) adalah baku emas untuk mengevaluasi suspek trauma hepar pada pasien yang stabil. CT memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk mendeteksi cedera hepar pada saat setelah trauma terjadi, dan dapat membedakan hematoma dan laserasi dengan baik. CT dengan kontras, akurat dalam menentukan bagian hepar yang mengalami cedera dan luas cedera hepar serta memberikan informasi tentang tatalaksana pasien. CT intravena tanpa kontras berfungsi menilai derajat cedera hepar, namun juga dapat berguna dalam mengidentifikasi atau menindaklanjuti hemoperitoneum. (10) CT scan akurat dalam menetukan
grading
cedera
hepar
dan
menilai
derajat
kuantitas
dari
hemoperitoneum. CT scan disarankan bagi pasien dengan trauma tumpul cedera yang dimanajemen secara nonoperatif. Hasil positif palsu dalam diagnosis cedera hepar dengan CT scan dapat terjadi akibat adanya artefak dari tulang rusuk berdekatan yang mirip dengan kontusio atau hematoma. Artefak biasanya terlihat saat pasien di CT dalam posisi dekubitus. (1)
8
Gambar 2.7 CT scan Abdomen Ruptur Hepar Grade IV Temuan negatif palsu dapat terjadi jika fatty liver menyerap kontras. Pada gambar CT, fatty liver yang menyerap kontas bersifat isoattenuating relatif terhadap laserasi atau hematoma. Dalam situasi ini, CT scan non kontras dapat memberikan informasi yang berguna pada cedera hepar. Fokus infiltrasi lemak juga dapat mirip dengan hematoma hepar, laserasi, atau infark. Laserasi hepar dengan pola percabangan mirip unopacified portal atau vena hepatik atau dilatasi saluran empedu intrahepatik. Penting dilakukan evaluasi struktur cabang-cabang intrahepatik dan diagnosis dibuat dengan gambar seri untuk membedakan berbagai struktur. (1) Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki peran yang terbatas dalam mngevaluasi trauma tumpul abdomen dan memiliki keunggulan yang lebih sedikit dibandingkan CT scan. Secara teoritis MRI dapat digunakan dalam pemantauan tindak lanjut dari pasien dengan trauma tumpul abdomen dan MRI mungkin berguna pada wanita muda dan hamil yang mengalami trauma abdomenuntuk mengurangi efek radiasi. (12) Angiography kurang memiliki peran dalam evaluasi pasien yang tidak stabil, namun jika pasien stabil angiography dapat memberikan detail yang cukup untuk
mengobati
pasien
secara
konservatif. Angiografi
dinamis
dapat
menunjukkan lokasi perdarahan aktif, bila dikombinasikan dengan embolisasi
9
angiografi pada trauma hepar grade tinggi merupakan pilihan diagnostik dan treatment utama. (12) Laparoskopi diagnostik dan laparoskopik fibrin glue memiliki hasil yang memuaskanpada pasien trauma abdomen. Manfaat assessment laparoskopi antara lain mengurangi penggunaan negatif laparoskopi non terapeutik, tingkat morbiditas, lama pasien dirawat dan biaya pengobatan. Raphael, dkk mereview 37 studi terhadap 1.900 pasien trauma (termasuk yang dengan trauma liver) dan laparoskopi digunakan sebagai analisis skrining, diagnostik, atau alat terapi dengan kesimpulan bahwa laparoskopi aman dan efektif diterapkan sebagai alat skrining pada pasien trauma abdomen akut dengan keadaan stabil. (1) 2.4 Klasifikasi Ruptur Hepar Range trauma hepar mulai dari robekan kecil kapsul dengan atau tanpa cedera parenkim, untuk luas cedera tergantung keterlibatan kedua lobus hepar, vena hepatik atau vena cava inferior. Pada tahun 1989, The Organ Injury Scaling Committee of The American Association for the Surgery of Trauma Produced a Hepatic Injury Scale membagi grade trauma hepar menjadi beberapa kelas seperti pada table 1. Kelas I atau II dikelompokkan dalam cedera ringan yang mewakili 80-90% dari semua kasus dan biasanya membutuhkan tindakan minimal atau pengobatan non operatif. Cedera kelas III-V umumnya dianggap parah dan sering membutuhkan bedah intervensi, sedangkan cedera kelas VI dianggap sebagai bertentangan dengan kelangsungan hidup. (13)
10
2.5 Manajemen 2.5.1 Manajemen Non Operatif Tiga alasan penting mengapa pengobatan non operatif dilakukan yaitu pertama, praktek pengobatan nonoperatif awalnya dianjurkan untuk cedera limpa dan kemudian diperluas ke hepar. Keberhasilan pada anak-anak menyebabkan upaya pengobatan nonoperatif dilakukan pada orang dewasa. Kedua, tingginya tingkat operasi non terapi pada banyak pasien dengan hepar tumpul luka tidak dalam kepentingan terbaik pasien. Ketiga, adanya fasilitas CT scan untuk diagnosis dan grading dari cedera. Turnkey, dkk mendeskripsikan kriteria untuk Non Operatif Manajemen, yaitu antara lain: (14) a. b. c. d. e. f.
Hemodinamik stabil Tidak adanya peritoneal sign Adanya modalitas CT scan Monitor ICU Fasilitas operasi segera Tidak adanya cedera organ lainnya Kriteria ini telah menjadi lebih kompleks ketika non operative management
menjadi pilihan dalam manajemen trauma hepar. Tidak ada batas waktu dalam
11
melakukan manajemen non operatif, monitoring secara kontinu merupakan satusatunya kunci manajemen ini sampai pasien dilakukan tindakan operatif.(68) Sebuah studi mengemukakanbahwa semua pasien trauma hepar harus dilakukan manajemen non operatif terlebih dahulu. Namun dijelaskan bahwa manajemen non operatif dengan penambahan angiografi dan embolisasi memberikan hasil yang lebih jauh memuaskan. Tingkat keberhasilan pengobatan nonoperatif sangat tinggi dengan kebutuhan operasi karena perdarahan sekunder hanya mecapai 515%. (13) 2.5.2 Manajemen Operatif a. Damage Control Surgery Langkah pertama manjemen operatif adalah dengan melakuan damage control surgery. Manajemen ini bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pasien dan menghentikan proses perdarahan. Keadaan ini membuat pasien lebih stabil secara hemodinamik dan fisiologissehingga dapat dilakukan pengobatan secaradefinitif. (1) b. Operasi Definitif Operasi defenitif dilakukan pada pasien yang stabil oleh seorang ahli bedah yang berpengalaman pada tahap kedua pada trauma hepar. Salah satu masalah yang paling umum adalah kebocoran empedu dengan kejadian 6-20% yang terjadi setelah pasien mengalami perbaikan. MRCP atau ERCP merupakan modalitas imaging dalam terhadap kasus tersebut, MRCP bersifat non invasif, namun tidak terlalu sensitive terhadap kasus tersebut. ERCP dianjurkan karena sangat baik dalam mengidentifikasi kebocoran kantung empedu dan dapat melakukan guiding terhadap sphinctrotomy dan pemasangan stent dengan tingkat kesuksesan yang tinggi. (1,13) Alasan lain melakukan operasi defenitif karena terdapat nekrosis hepar dan pembentukan abses yang terjadi setelah perdarahan berhenti. Nekrosis hepar mungkin meningkat setelah perdarahan berhenti dengan angioembolisasi pada manajemen non operatif atau setelah ligasi arteri dan packing pada operasi definitif. Pilihan terbaik adalah melakukan abses dengan guiding modalitas radilogi. Namun, jika pasien tidak bisa dilakukan operasi drainase dan reseksi
12
hepar untuk mempertahankan jaringan hepar yang sehat dan suplai pembuluh darah maka operasi harus dilakukan oleh ahli bedah hepar yang berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang maksimal. (1,13) 2.6 Komplikasi 2.6.1 Komplikasi Non Operatif Komplikasi paling umun dari manajemen non operatif adalah kegagalan manajemen itu sendiri, sehingga pasien harus menjalani operasi defenitif. Keadaan ini terjadi akibat perdarahan berlangsung secara terus-menerus dan tidak bisa berhenti. Rentang tingkat kegagalan manajemen non operatif mencapai 610% terutama ketika manajemen ini dikombinasikan embolisasi arteri rasio insidensi risiko nekrosis hepar menjadi lebih tinggi. Komplikasi trauma hepar umumnya tidak timbul saat kejadian setelah trauma, kemudian muncul setelah beberapa waktu kemudian karena proses delayed hemorahge. Dalam sebuah studi multisenter baru-baru ini, komplikasi hepar berkembang sekitar 5% (13 dari 264) dari pasien dengan trauma grade 3, 22% (36 dari 166) dari pasien dengan trauma grade 4 dan 52% (12 dari 23) dari pasien dengan trauma grade 5. (15) 2.6.2 Komplikasi Operatif Perdarahan ulang pada periode pasca operasi adalah masalah yang menantang. Tertunda perdarahan adalah komplikasi yang paling umum dari manajemen non-operatif cedera hepar dan indikasi biasa untuk operasi tertunda. Koagulopati, tidak memadai awal bedah perbaikan dan merindukan cedera vena retrohepatic dapat mengakibatkan perdarahan lebih lanjut.dikonfirmasi cacat koagulasi harus diperbaiki secepat mungkin dengan fresh frozen plasma dan transfusi trombosit. (13) Beberapa penulis merekomendasikan operasi ulang setelah transfusi 10 unit darah dalam 24 jam. Namun batas 6 unit di pertama 12 jam tampaknya lebih masuk akal. Dalam kasus dengan perdarahan lambat ketika batas 6 unit belum terlampaui, embolisasi dari pembuluh darah dapat membantu. Beberapa kapal perdarahan biasanya penyebab kegagalan karena lesi vaskular distal ke daerah embolisasi dengan sirkulasi kolateral yang kaya, atau perdarahan dari portal atau vena hepatika. (13)
13
Komplikasi terlambat seperti sepsis, empedu kebocoran dan gagal hepar terjadi pada tahap berikutnya. Intra-abdomen sepsis pada periode pasca operasi terjadi pada sekitar 7-12 persen pasien. Faktor predisposisi termasuk adanya shock dan peningkatan kebutuhan transfusi, peningkatan keparahan luka hepar, terkait cedera seperti usus kecil atau perforasi kolon, penggunaan kemasan perihepatik,
penjahitan
laserasi
dangkal
mendalam
dengan
intrahepatik
pembentukan hematoma, dan adanya parenkim devitalized. Memadai awal bedah manajemen dalam upaya untuk mengurangi kebutuhan transfusi, dengan debridement dari semua devitalized jaringan dan penghapusan awal paket perihepatik, telah direkomendasikan untuk mengurangi kejadian komplikasi septik. (1) Fistula arteriovenosa bukan merupakan komplikasi jarang dengan kejadian kurang dari 3%.Saya t dapat mewujudkan setelah cedera hepar sebagai fistula arterioportal yang dapat mengakibatkan hipertensi portal dan biasanya diobati dengan embolisasi. Hasil Tingkat kematian dari trauma hepar telah jatuh dari 66 persen dalam Perang Dunia I, untuk 27 per persen dalam Perang Dunia II, tingkat saat ini 10-15 persen. Pengetahuan yang lebih baik mengenai patofisiologi hepar dan anatomi, dan ditingkatkan resusitasi, anestesi dan intensif perawatan, telah memberikan kontribusi untuk perbaikan ini. Schweizer et al, (1993) dibandingkan hasil untuk kelas cedera. Mortalitas keseluruhan adalah 12%, terutama dengan hepar yang sangat baik. Mekanisme cedera memiliki pengaruh penting pada angka kematian dengan tumpul trauma tercatat tingkat yang lebih tinggi kematian (10-30 persen) dari trauma tembus liver (0-10 per persen). Sementara sebagian besar kematian dini pada pasien dengan trauma hepar tampaknya karena perdarahan yang tidak terkontrol dan cedera terkait, kebanyakan kematian akhir hasil dari cedera kepala dan sepsis dengan kegagalan organ multiple. (1,13)
BAB III LAPORAN KASUS 3.1 IDENTITAS PASIEN
14
Nama Pasien : Tn. BJ
Status Perkawinan
: Kawin
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama
: Islam
Umur
: 43 Tahun
Bangsa
: Indonesia
Alamat
: Desa Juli
Tanggal Masuk RS
: 26 September 2015
Tempat Asal : Bireuen
Tanggal Pemeriksaan : 29 September 2015
Pekerjaan
No Registrasi
: Swasta
: 1-06-54-58
3.2 ANAMNESIS 3.2.1 Keluhan Utama Nyeri perut kanan atas 3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUDZA Banda Aceh dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang dirasakan sejak ± 1 hari SMRS. Nyeri dirasakan terus-menerus. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengendarai sepeda motor dan bertabrakan dengan mobil dari arah berlawanan. Pasien terjatuh dengan perut membentur stang sepeda motor. Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak napas dan nyeri dada sebelah kanan. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada tungkai kanan bawah sehingga kaki tidak bisa digerakkan. Riwayat muntah tidak ada. Riwayat nyeri saat BAK dan kencing berdarah tidak ada. Keluhan pada BAB tidak ada. 3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak pernah mengalami gejala yang sama ataupun riwayat trauma sebelumnya. 3.2.4 Riwayat Penggunaan Obat Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya.
3.2.5
Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada riwayat keluarga yang mengalami gejala yang sama dengan
pasien sebelumnya.
15
3.3
PEMERIKSAAN FISIK
TANDA VITAL Kesadaran
: Compos Mentis (GCS E4M6V5)
TD
: 120/70 mmHg
HR
: 96x/menit
RR
: 20x/menit
T
: 36,2◦C
Mata
: Konjunctiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
T/H/M
: Dalam batas normal
Leher
: Pembesaran KGB tidak ada, TVJ R-2 cmH2O
Paru
Anterior
Inspeksi
: Simetris antara paru kanan dan kiri, jejas (-)
Palpasi
: Fremitus kanan sama dengan kiri, gerakan simetris
Perkusi
: Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
: Vesikuler(+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Posterior
Inspeksi
: Simetris antara paru kanan dan kiri, jejas (-)
Palpasi
: Fremitus kanan sama dengan kiri, gerakan simetris
Perkusi
: Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
: Vesikuler(+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Cor Inspeksi
: Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi
: Batas atas jantung ICS III linea midclavicula sinistra Batas kiri jantung ICS V linea midclavicula sinistra Batas kanan jantung ICS IV parasternal dextra
Auskultasi
: BJ I > BJ II, reguler, bising (-/-), murmur (-/-)
Abdomen
16
Inspeksi
: Tampak jejas pada perut kanan bagian atas, hematoma (-)
Palpasi
: Organomegali (-), nyeri tekan abdomen (+), ballotemen (-)
Perkusi
: Nyeri ketok CVA (-/-)
Auskultasi : Peristaltik normal 3-5 x/menit Ekstremitas 1. Ekstremitas Atas Warna Edema Pucat Suhu raba
: sawo matang : (-/-) :(+/+) :N/N
Jari tabuh Tremor Deformitas Kekuatan
: (-) : (-) : (-) : 5/5
2. Ekstremitas Bawah Warna Edema Pucat Suhu raba 3.4
: sawo matang : (-/-) :(-/-) :N/N
Jari tabuh Tremor Deformitas Kekuatan
: (-) : (-) : (+/-) : sulit dinilai/5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
3.4.1 Laboratorium RSUDZA Jenis pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit Eosinofil Basofil Netrofil Batang Netrofil Segmen Limfosit Monosit Kimia klinik Natrium (Na) Kalium (K) Klorida (Cl) AST/SGOT ALT/SGPT Protein Total
Hasil 29/10/2015
02/10/2015
10,9 g/dL 33 % 3,9x106 /mm3 10,4x103 /mm3 111x103 /mm3 3% 0% 0% 5% 11 % 9%
11,5 g/dL 35% 4,0x106/mm3 10,2x103 /mm3 149x103 /mm3 3% 0% 0% 72% 14% 11%
19 mmol/L 0,42 mmol/L 102 mmol/L -
138 mmol/L 3,9 mmol/L 100 mmol/L 69 U/L 200 U/L 5,3 g/dL
17
Albumin Globulin Ureum Kreatinin Hematologi PT APTT D-dimer
12 detik 41,4 detik 4570,46 ng/mL
3.4.2 Gambaran Radiologi a. Foto Thorax (26 September 2015)
Expertise: -
Cor: bentuk dan ukuran normal Pulmo: dalam batas normal Garis fraktur pada costa III dan VI kanan belakang Sinus costophrenicus tajam
Kesimpulan: Fraktur costa III dan VI kanan b. Foto Cruris AP/Lateral (26 September 2015)
18
3,06 g/dL 2,24 g/dL 34 mg/dL 0,55 mg/dL
Expertise: -
Fraktur tibia et fibula dextra dysplaced
Kesimpulan -
Fraktur tibia et fibula dextra dysplaced
c. CT Scan (28 September 2015) CT Scan abdomen dan pelvis irisan axial, coronal dan sagital tanpa kontras
19
Expertise: -
Hepar: ukuran normal, densitas heterogen, permukaan rata, vena porta dan hepatica normal, sistem bilier intra dan extra hepatika normal, tak tampak
-
massa atau abses atau kista, tampak ruptur di hepar lobus dextra segmen 5-8. Gall Bladder: ukuran normal, densitas baik, permukaan rata, tak tampak batu. Lien: ukuran normal, densitas baik, permukaan rata, tak tampak massa atau
-
abses atau kista. Pancreas: ukuran normal, densitas baik, permukaan rata, tak tampak massa atau
-
abses atau kista. Ren dextra dan sinistra: ukuran normal, densitas baik, tak tampak massa atau
-
abses atau kista, tak tampak batu, system pelviocalyceal normal. Aorta abdominalis normal Tampak soft tissue swelling Vena cava inferior normal Tulang normal Vesica urinaria: ukuran normal, tak tampak batu, dinding tak menebal Tampak free fluid level di cavum abdomen Collaps paru lobus inferior dextra 20
-
Tampak cairan di cavum pleura dextra
Kesimpulan: - Rupture hepar lobus dextra segmen 5-8 dengan free fluid di sekitarnya - Collaps paru lobus inferior serta suspect hematothorax dextra - Soft tissue swelling di dinding abdomen dextra CT Scan abdomen dan pelvis irisan axial, coronal dan sagital dengan kontras
21
Expertise: -
Hepar: ukuran normal, densitas heterogen, permukaan rata, vena porta dan hepatica normal, sistem bilier intra dan extra hepatika normal, tak tampak
-
massa atau abses atau kista, tampak ruptur di hepar lobus dextra segmen 5-8. Gall Bladder: ukuran normal, densitas baik, permukaan rata, tak tampak batu. Lien: ukuran normal, densitas baik, permukaan rata, tak tampak massa atau
-
abses atau kista. Pancreas: ukuran normal, densitas baik, permukaan rata, tak tampak massa atau
-
abses atau kista. Ren dextra dan sinistra: ukuran normal, densitas baik, tak tampak massa atau
-
abses atau kista, tak tampak batu, system pelviocalyceal normal. Aorta abdominalis normal Tampak soft tissue swelling Vena cava inferior normal Tulang normal Vesica urinaria: ukuran normal, tak tampak batu, dinding tak menebal Pada pemberian kontras tampak kontras enhancement abnormal di daerah lesi Tampak free fluid level di cavum abdomen Collaps paru lobus inferior dextra Tampak cairan di cavum pleura dextra 22
Kesimpulan: - Rupture hepar lobus dextra segmen 5-8 dengan free fluid di sekitarnya - Collaps paru lobus inferior serta suspect hematothorax dextra - Soft tissue swelling di dinding abdomen dextra b. USG Hepar/Gall Bladder/Lien (28 September 2015)
23
Expertise: -
Hepar: ukuran normal, intensitas echo baik, vena porta dan hepatica normal,
-
system bilier, ada laserasi sedalam 2,12 cm pada lobus kanan. Gall Bladder: ukuran normal, tak tampak batu, dinding tak menebal Lien: ukuran normal, intensitas echo baik, tak tampak massa solid atau kistik
Kesimpulan: rupture hepar 3.6 DIAGNOSIS - Ruptur hepar grade 2 - Fraktur costae III, IV, VI dextra posterior - Fraktur tibia fibula 1/3 medial dextra 3.7 PENATALAKSANAAN 3.7.1 Non farmakologi - Tirah baring - Catheter - Diet MB 3.7.2 3.8
Farmakologi IVFD RL 20 tetes/menit O2 8 liter/menit IV Fosmicin 1 gr/12 jam IV Ketorolac 1 ampul/8 jam IV Ranitidin 1 ampul/12 jam
PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanactionam
: Bonam : Bonam : Bonam
24
BAB IV MODALITAS RADIOLOGI 4.1 Foto X-Ray Foto x ray berguna untuk evaluasi trauma tumpul abdomen karena beberapa alasan. Pertama, dapat mengidentifikasi adanya fraktur iga bawah. Bila hal
25
tersebut ditemukan, tingkat kecurigaan terjadinya cedera abdominal terutama cedera hepar dan lien. Fraktur tulang rusuk kanan bawah menunjukkan kemungkinan ruptur hepar yang mendasarinya. Pneumoperitoneum, cedera diafragma besar, dan logam benda asing contohnya peluru dan pecahan peluru dapat diidentifikasi. Kedua, dapat membantu diagnosis cedera diafragma. Pada keadaan ini, x-ray toraks pertama kali adalah abnormal pada 85% kasus dan diagnostik pada 27% kasus. Ketiga, dapat menemukan adanya pneumoperitoneum yang terjadi akibat perforasi hollow viscus. Sama dengan fraktur iga bawah, fraktur pelvis yang ditemukan pada x-ray pelvis dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera intra-abdominal sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan dengan CT scan abdomen-pelvis. (18) 4.2 Ultrasonografi (USG) Ultrasonogram dapat menunjukkan jumlah lesi traumatik, seperti hematoma, memar, dan hemoperitoneum. (20)
Gambar 4.7 Sonogram hepar pada wanita 62 tahun dengan riwayat biopsi hepar beberapa waktu yang lalu. Gambaran USG menunjukkan koleksi anechoic loculated dalam hepar. Gambar 4.8 Sonogram perut pria 35 tahun setelah cedera tumpul abdomen riwayat pukulan menunjukkan gambaran hyperechoic berbentuk bulan sabit sepanjang lateral kanan hepar disertai dengan hematoma subkapsular.
26
Hematoma hepatic dikelompokkan menjadi 3 kategori, sebagai berikut: (21) 1. Rupture ke dalam hepar dan kapsul 2. Pemisahan kapsul oleh hematoma subkapsular 3. Central hepatic rupture Hematoma subkapsular biasanya muncul seperti kumpulan cairan berbentuk lengkung, echogenisitas bervariasi dengan waktu. Awalnya hematoma anechoic, kemudian terjadi perubahan menjadi echogenic dalam 24 jam. Selanjutnya echogenisitas hematoma mulai menurun, dan dalam 4-5 hari hematoma menjadi hypoechoic dan anechoic. Mirip dengan hematoma, memar awalnya hypoechoic selanjutnya transiently hyperechoic dan kemudian hypoechoic. Pola ultrasonografi yang paling umum diamati pada cedera parenkim hepar adalah area hyperechoic yang merata. Namun, gambaran hyperechoic menyebar dan kadang-kadang pola hypoechoic yang
merata juga dapat terlihat. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa ultrasonografi dapat menggantikan prosedur invasif lavage peritoneal dalam evaluasi trauma tumpul abdomen. (21) Penegakan diagnosa menggunakan ultrasonografi pada pasien dengan trauma hepar masih diteliti. Keuntungan utamanya adalah dapat digunakan dalam keadaan gawat darurat. Beberapa rumah sakit menggunakan ultrasonografi sebagai pemeriksaan awal. Pasien yang tidak stabil dan terdeteksi memiliki sejumlah besar cairan pada ultrasonograms dapat segera dilakukan operasi. Jika temuan ultrasonografi positif untuk cairan intra-abdomen, CT scan adalah langkah berikutnya. Jika pada ultrasonograms abdomen tidak menunjukkan 27
adanya
cairan, pasien diobservasi selama 12 jam. Namun, jika nyeri perut terus berlanjut, selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan CT scan. Ultrasonografi adalah pemeriksaan awal pilihan dalam kelompok usia pediatrik karena bersifat non-ion dan non-invasif. Ultrasonografi sangat berguna pada pencitraan neonatus diantaranya dengan kondisi klinis yang tidak stabil dan tidak memungkinkan untuk dilakukan CT scan tetapi kemungkinan terdapat hematoma pada hepar atau untuk upaya resusitasi. (18) Cedera pada hepar terutama pada segmen lateral lobus kiri, biasanya kurang terlihat dengan ultrasonografi, terutama dengan adanya ileus atau ketika pasien merasa nyeri
yang membuat pemeriksaan sulit dilakukan. Sensitivitas
ultrasonografi dalam mendeteksi cairan perut bebas berhubungan dengan usus atau cedera mesenterika telah dilaporkan hanya sebesar 44%. Ultrasonografi terbatas dalam mendeteksi lesi vaskular. (20) Perdarahan hepar dapat terjadi sebagai akibat dari penyebab lain selain trauma, diantaranya anemia sel sabit, tumor hepar, koagulopati, toksisitas organofosfat, dan penyakit kolagen vaskular. Hal ini juga dapat terjadi pada pasien yang menerima hemodialisis jangka panjang. Perdarahan hepar juga dapat terjadi pada eklampsia, pre-eklampsia selama trimester ketiga kehamilan, sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hepar, trombosit rendah), adenoma hepar, dan karsinoma hepatoseluler. (18) 4.3 Computed Tomography Computed tomography (CT) adalah baku emas untuk mengevaluasi suspek trauma hepar pada pasien yang stabil.
(10)
Pemeriksaan menggunakan CT scan
terutama CT scan dengan kontras akurat dalam menentukan luas lesi ruptur hepar dan trauma terkait, sehingga dapat memberikan informasi yang penting untuk pengobatan pada pasien.
(16)
CT Scan spiral adalah teknik CT scan yang paling
baik untuk menilai gambaran ruptur hepar. CT scan tanpa kontras memiliki fungsi yang terbatas untuk gambaran trauma hepar tapi dapat berguna untuk mengidentifikasi atau menindaklanjuti hemoperitonium. (17) CT scan juga bisa digunakan untuk memonitor proses penyembuhan. Trauma pada hepar paling sering mengakibatkan perdarahan pada subscapular atau intrahepatic, contusio, cedera vaskular, atau gangguan terhadap empedu.
28
Kriteria CT Scan untuk stagging trauma hepar berdasarkan AAST Liver Injury Scale sebagai berikut: (18) Grade 1: ketebalan hematoma subcapsular kurang dari 1 cm, avulsi kapsular, laserasi parenkim superfisial kurang dari 1 cm, dan hambatan aliran darah periportal.
Gambar 4.1 Trauma hepar grade 1 dengan stabbing ke atas. sabit pada parenkim dengan lebar kurang dari 1 cm
injury kuadran kanan CT scan abdomen dengan kontras memperlihatkan gambaran bulan subscapular dan hematoma
Grade 2: laserasi parenkim dengan lebar 1-3 cm atau hematoma parenkim/ subscapular dengan lebar 1-3 cm.
Gambar 4.2 hepar
Trauma grade 2 setelah trauma tumpul abdomen.
Gambaran scan pada pembuluh darah menunjukkan hematoma subcapsular selebar 3 cm. CT
29
tingkat hepar
Gambar 4.3 Trauma hepar grade 2 setelah trauma tumpul abdomen minor. Gambaran CT scan axial memperlihatkan multiple low-attenuation lesions disertai dengan kontusio pada parenkim hepar sepanjang sisi lobus kanan inferior hepar.
Grade 3: laserasi pada parenkim lebih dari 3 cm dan hematom parenkim/subskapular lebih dari 3 cm.
Gambar 4.3 Trauma hepar grade 3 setelah trauma tumpul abdomen. CT Scan abdomen dengan kontras menunjukkan hematoma subcapsular dengan lebar 4 cm disertai dengan hematoma parenkim dan laserasi pada segmen 6 dan 7 lobus kanan hepar. Cairan bebas terlihat disekitar limpa dan lobus kiri hepar disertai hemoperitonium. (18)
30
Grade 4: Hematoma parenkim/subcapsular dengan lebar lebih dari 10 cm, disertai destruksi lobar atau devaskularisasi.
Gambar 4.4 Trauma hepar grade 4. Gambaran CT scan abdomen axial memperlihatkan gambaran hematoma subcapsular besar berukuran lebih dari 10 cm. Daerah lesi akibat redaman trauma menunjukkan gumpalan darah (clotted blood) (18)
Gambar 4.5 Trauma hepar grade 4. Gambaran CT Scan dengan kontras menunjukkan hematoma parenkim yang luas di segmen 6 dan 7 pada hepar dengan bukti adanya perdarahan aktif. Perheparkan laserasi kapsul dan hemoperitonium besar (18)
Grade 5: destruksi global atau devaskularisasi pada hepar.
31
Gambar 4.6 Trauma hepar grade 5. CT scan abdomen axial menunjukkan cedera global pada hepar. Perdarahan hepar dikontrol dengan Gelfoam. CT scan merupakan andalan diagnosis untuk trauma hepar akibat trauma tumpul. Temuan CT scan awal dapat membantu untuk menentukan jenis terapi. Terlihatnya kumpulan bahan kontras pada rongga peritoneum pada gambaran CT scan dengan kontras menunjukkan adanya perdarahan masif yang aktif. Pasien dengan temuan seperti ini harus segera dilakukan tindakan operasi. Sedangkan pada gambaran kumpulan bahan kontras intrahepatic dengan kapsul hepar yang masil intak hanya perlu diberikan terapi konservatif.
(17)
4.4 Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI memiliki peran yang terbatas dalam evaluasi trauma tumpul abdomen, dan tidak memiliki keuntungan lebih dari CT scan. Secara teoritis, MRI dapat digunakan dalam pemantauan tindak lanjut dari pasien trauma tumpul abdomen, dan modalitas ini mungkin berguna pada wanita muda dan hamil dengan trauma abdomen yang dikhawatirkan terkena dosis radiasi. Penggunaan lain dari MRI adalah pada pasien yang alergi terhadap media kontras radiografi. (19) 4.5 Nuclear Imaging Nuclear imaging digunakan dalam mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul hepar dan trauma splen. Keterbatasan pada radionuclide adalah tidak
32
spesifik menemukan dan mengevaluasi organ intraperitoneal dan retroperitoneal lainnya. Pencitraan dengan radionuclide penting sebagai alternatif pasien yang kontraindikasi menggunakan pencitraan CT scan dengan kontras baik secara intravena maupun oral, pasien yang tidak mampu menahan napas panjang dan pasien dengan benda logam atau surgical clip pada ruang abdomen. (18)
Gambar 4.9 Perempuan, 62 tahun, dengan riwayat biopsi hepar. Technetium-99m iminodiacetic acid (IDA) scan setelah injeksi radioisotop menunjukkan filling defect yang luas di hepar, yang menunjukkan gambar pengisian setelah 4 jam berikutnya.
Gambar 4.10 Teknesium-99m asam Iminodiacetic (IDA) scan pada seorang pria 30 tahun yang mengalami cedera hepar akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Scan diperoleh 1 bulan kemudian dan menunjukkan ekstravasasi isotop dari saluran empedu. Hal ini sesuai dengan gambaran kebocoran empedu. Pasien dengan trauma tumpul hepar dan splen dapat dievaluasi secara noninvasif dengan menggunakan scan 99mTc sulfur colloid. Kebanyakan pasien dengan trauma hepar menunjukkan resolusi colloid defects secara parsial atau menyeluruh setelah 3-6 bulan. (18) 33
34
4.6 Angiografi Kebanyakan pasien dengan trauma hepar pada kasus emergensi dengan syok menunjukkan hasil yang positif pada lavage peritoneal dan perlu segera dilakukan laparotomi untuk mengontrol perdarahan. Angiografi tidak berperan mengevaluasi pasien. Jika pasien stabil, pencitraan cross-sectional dapat memberikan detail yang cukup untuk mengobati pasien secara konservatif. Pada penelitian angiografi dinamis dapat menunjukkan lokasi perdarahan aktif, mempermudah trans-kateter embolisasi, yang mungkin pilihan terapi yang diperlukan. (18)
Gambar 4.11 Selektif celiac arteriogram pada trauma hepar grade 1 pada seorang pria 21 tahun dengan trauma tusuk pada kuadran kanan atas perut. Gambar menunjukkan area fokus perdarahan di lobus kanan hepar (panah) akibat cedera tusukan. Lingkaran filling defect berbatas tegas terlihat pada daerah lateral lobus kanan hepar disebabkan karena tekanan parenkim hepar yang normal oleh hematoma subkapsular.
35
Gambar 4.12 Post-embolisasi arteriogram selektif pada trauma hepar grade 1, Seorang pria 21 tahun dengan trauma tusukan pada kuadran kanan atas perut (pasien yang sama seperti pada gambar sebelumnya). Gambar menunjukkan penghentian pendarahan pada lobus kanan hepar.
Gambar 4.13 Gambaran cedera hepar grade 2 akibat trauma tumpul abdomen. Pria 20 tahun dengan lupus eritematosus sistemik. Selektif arteriogram arteri celiac menunjukkan beberapa mikroaneurisma karena lupus eritematosus sistemik. Terlihat filling defect pada parenkim akibat luka memar dan terdorongnya bagian medial tepi hepar kanan akibat hematoma subkapsular.
BAB V
36
KESIMPULAN Hepar merupakan organ kedua yang paling sering terluka setelah trauma abdominal, tetapi kerusakan hepar adalah penyebab kematian paling terbanyak. (1) Sebanyak 25% kasus trauma hepar merupakan trauma tumpul, sedangkan lebih dari 70% merupakan trauma tajam akibat luka tusukan atau tembakan.
(2)
Meskipun persentasi trauma tumpul hepar lebih sedikit, namun kerusakan hepar bertanggung jawab lebih dari 50% kematian akibat trauma tumpul abdomen.(3) Manajemen trauma hepar dapat bervariasi mulai dari manajemen non operasi dengan atau tanpa angioembolisasi hingga tindakan pembedahan.
(15)
Dengan kemajuan pencitraan diagnostik, fasilitas monitoring yang lebih baik, dan pengenalan strategi pengendalian kerusakan akibat trauma telah mempengaruhi pendekatan terhadap penatalaksanaan trauma hepar. (4) Ultrasonography (FAST) dapat melakukan evaluasi cepat
pada pasien
trauma tumpul atau tajam abdomen. FAST besifat murah, portabel dan noninvasif dibandingkan dengan lavage peritoneal dan tidak menggunakan radiasi atau media kontras seperti iodinasi. Sensitifitas FAST terhadap cairan intraabdominal setelah trauma mencapai 75-93,8% dan spesifisitasnya sekitar 97-100%.
(1)
Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan CT scan terutama CT scan dengan kontras. Pemeriksaan menggunakan CT scan bersifat akurat dalam menentukan luas lesi ruptur hepar dan trauma terkait, sehingga dapat memberikan informasi yang penting untuk pengobatan pada pasien. (16) CT scan tanpa kontras memiliki fungsi yang terbatas untuk gambaran trauma hepar tapi dapat berguna untuk mengidentifikasi atau menindaklanjuti hemoperitonium. (17)
37
DAFTAR PUSTAKA 1. Al-Jiffry BO, Al-Malki O. Hepatic Trauma. Hepatic Surgery. 2013: p. 612644. 2. Baert AL, Reiser MF, Hricak H, Knauth M. Emergency Radiology of The Abdomen Scaliano M, Linsenmaier U, Schueller G, editors. Berlin: Springer; 2012. 3. Khan AN, Vadeyar H. emedicine. [Online].; 2005. 4. Parray FQ, Wani ML, Malik AA, Thakur N, Wani RA, Naqash SH. Evaluating a conservative approach to managing liver injuries in Kashmir, India. J Emerg Trauma Shock. 2011 October;(4): p. 483-7. 5. Glyn J, Lainois B. Liver resection and liver transplantation: the anatomy of the liver and associated structures. In GG J. The Anatomy of General Surgical Operation. 2nd ed. Edinburgh: Elsevier Churchill Livingstone; 2006. p. 8-23. 6. Gray`s anatomy of the human body. twentieth ed. Philadelphia; 2000. 7. SY P. Isolated caudate lobe resection. In Law WY, editor. Hepatocellular Carcinoma.: World Scientific Singapor; 2008. p. 465-489. 8. Kawarada Y, Das BC, Taoka H. Anatomy of the hepatic hilar area: the plate system. Journal of HBP surgery. 2000;(7): p. 580-586. 9. Scheuerlein H, Kockerling F. The anatomy of the liver. In Barth JA. liver surgery, Operative techniques and Avoidance of Complications. Heildelberg; 2001. 10. Arrillo EH, Wohltmann C. Evolution in the treatment of complex blunt liver injuries. Curr Probl Surg. 2001 Jan; 38(1): p. 1-60. 11. Paterson , Brown. Core topics in general and emergency surgery. 3rd ed.: Elsevier; 2005. 12. Poletti PA, Mirvis SE, Shanmuganathan K. CT criteria for management of blunt liver trauma: correlation with angiographic and surgical findings. Radiology. 2000 Aug; 216(2): p. 418-27. 13. Beardsley C, Gananadha S. An overview of liver trauma. MSJA. 2011 June; 3(1). 14. Meyers AA, Crass R, Lim RA. Selective non-operative management of blunt liver injury using computed tomography. Arch Surg. 1985; 120: p. 550-554. 15. Beuran M, Nego I, Ispas AT, Paun S, Runcanu A, Lupu G. Nonoperative management of high degree hepatic trauma in the patient with risk factors for
38
failure: have we gone too far? J Med Life. 2010 Jul-Sep; 3(3): p. 289-96. 16. Carrillo EH, Wohltmann C, Richardson JD. Evolution in the treatment of complex blunt liver injuries. Curr Probl Surg. 2001 January; 38(1): p. 1-60. 17. Wong YC, Wang LJ, Fang JF. Multidetector-row computed tomography (CT) of blunt pancreatic injuries: can contrast-enhanced multiphasic CT detect pancreatic duct injuries? J Trauma. 2008 March; 64(3): p. 666-72. 18. Khan AN. emedicine.medscape.com. [Online].; 2015. 19. Fulcher AS, Turner MA, Yelon JA. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) in the assessment of pancreatic duct trauma and its sequelae. J Trauma. 2000 June; 48(6): p. 1001-7.
39