BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya desentralisasi diikuti dengan pelimpahan kewenangan sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Adapun kewenangan yang menjadi urusan pemerintah pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi/peradilan, moneter dan fiskal nasional serta agama. Selain keenam urusan ini yang menjadi kewenangan pusat, urusan yang lain dalam seluruh bidang pemerintahan akan menjadi kewenangan pemerintah daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Adanya pelaksanaan desentralisasi didasarkan pada sebuah argumentasi bahwa pengelolaan akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, apabila semakin dekat hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, maka akan semakin dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas. Penerapan desentralisasi dengan pelimpahan wewenang yang lebih besar kepada daerah dari segi ekonomi memberikan banyak keuntungan. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah akan lebih mudah untuk mengawasi dan mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam
1
yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat.1 Adanya desentralisasi dengan pelimpahan kewenangan kepada daerah menurut Rondinelli (1983:4) memiliki tujuan utama yaitu untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah. Adanya tujuan utama dari desentralisasi ini pada kenyataanya tidak terjadi di setiap daerah yang melaksanakan desentralisasi di indonesia. Apabila dicermati adanya desentralisasi yang selama ini terjadi di indonesia bukan hanya sebagian besar tujuan saja yang tidak tercapai namun juga menimbulkan dampak yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Ada daerah yang berhasil karena adanya desentralisasi namun banyak juga daerah yang tidak berhasil. Salah satu contoh daerah yang berhasil karena adanya desentralisasi ini terjadi di Kota Tanggerang Provinsi Banten. Sejak diberlakukannya desentralisasi, Kota Tangerang berhasil mengembangkan daerahnya, hal tersebut dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang yang menunjukkan tren terus meningkat dari 5,74% pada tahun 2009 menjadi 7,15% di tahun 2011 daerahnya 8,7% pada tahun 2012.2 Contoh ini dapat dijadikan cerminan bahwa adanya pelimpahan kewenangan kepada daerah dapat memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan suatu daerah. 1
Majalah Tempo Januari 2003 “Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal”. 2 Website Pemerintah Kota Tanggerang, www. tanggerangkota.go.id tentang “Kota tanggerang berhasil menerapkan otonomi daerah” diakses pada 12 Desember 2013
2
Kemudian dari adanya contoh berhasil tersebut tidak dapat dipungkiri terdapat banyak daerah yang tidak berhasil dengan pelaksanaan desentralisasinya. Daerah yang tidak berhasil melaksanakan desentralisasi pada akhirnya hanya akan terus bergantung kepada pemerintah pusat dan tidak dapat menjadi daerah yang mandiri. Adanya desentralisasi yang terjadi selama ini, apabila dibandingkan dengan daerah lain di indonesia, pelaksanaan desentralisasi seakan mengalami kegagalan di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Hal itu karena adanya desentralisasi berdampak pada munculnya dua kepemimpinan yang membuat pelayanan di Kota Batam menjadi tidak efisien. Dimana ada Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam yang dulunya bernama Otorita Batam. Adanya Otorita Batam yang dibentuk oleh pemerintah pusat jauh sebelum adanya otonomi daerah dan desentralisasi. Dengan kondisi tersebut, ada hal yang unik dan berbeda dibandingkan pelaksanaan desentralisasi di daerah lain di indonesia. Apabila melihat sejarah, Pulau Batam mulai dikembangkan sejak awal tahun 1970-an sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh pertamina. Hal ini dikarenakan oleh letak Kota Batam yang strategis dekat dengan Singapura. Berdasarkan Keputusan Presiden No 41 Tahun 1973 pembangunan Pulau Batam dipercayakan kepada Badan khusus yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau yang lebih dikenal dengan Otorita Batam. Otorita Batam diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat sebagai penyelenggara pemerintah khususnya di bidang ekonomi untuk mengembangkan Pulau Batam.
3
Dalam perkembangan selanjutnya dengan mulai bertambahnya jumlah penduduk dan pesatnya pembanguanan Pulau Batam, pada tahun 1983 berdasarkan Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 1983 dibentuklah Kotamadya Batam dan menjadi Kota Administratif. Dengan terbentuknya pulau Batam sebagai Kota Administratif menjadikan pulau Batam memiliki dua kepemimpinan antara Otorita Batam dan Pemerintah Administratif Kota Batam. Pada saat itu dualisme kewenangan belum terjadi karena kedua Pemerintah Administratif hanya memiliki sedikit kewenangan yaitu dalam hal administrative seperti mengurusi KTP dan akte-akte. Sedangkan Otorita Batam masih memegang hampir semua kewenangan yang ada di pulau Batam. Pada tahun 1999 berdasarkan Undang-Undang No 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kota Batam yang merubah status Batam menjadi daerah otonom dan diikuti oleh Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang menimbulkan adanya desentralisasi. Adanya desentralisasi ini mengakibatkan terjadinya pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah terutama ke Pemerintah Kota Batam untuk menjalankan urusan pemerintahannya sendiri. Hal ini membuat Pemerintah Kota Batam memiliki kewenangan yang lebih besar termasuk di bidang ekonomi. Masalah timbul karena di Kota Batam terdapat badan khusus yaitu Otorita Batam yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dan merupakan cikal bakal Badan Pengusahaan Batam. Otorita Batam ini juga melaksanakan beberapa urusan dan kewenangan pemerintah pusat terutama terkait bidang ekonomi. 4
Adanya Undang-Undang No 53 Tahun 1999 pada pasal 21 ayat 1 menyebutkan bahwa
Pemerintah
Kota
Batam
dalam
penyelenggaraan
pemerintah
dan
pembangunan di daerahnya mengikutsertakan Otorita Batam. Dalam hal ini, kata mengikutsertakan bisa berarti bahwa Otorita Batam berada di bawah Pemerintah Kota Batam namun kenyataan yang terjadi tidak demikian, peran Otorita Batam masih sangat besar apabila dibandingkan peran dari Pemerintah Kota Batam. Hal inilah yang mulai menimbulkan dualisme kewenangan antara Otorita Batam yang merupakan cikal bakal Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam. Pada tahun 2007 sesuai dengan Undang-Undang No 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan bebas menjadi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Otorita Batam dibubarkan dan dibentuk Badan Pengusahaan Batam. Badan Pengusahaan Batam merupakan badan yang hampir sama dengan Otorita Batam. Hal ini dikarenakan adanya kewenangan, otoritas, pegawai maupun asset yang dulu dimiliki oleh Otorita Batam diberikan kepada Badan Pengusahaan Batam. Dengan
kata lain banyak yang beranggapan Otorita Batam hanya berubah nama saja. Setelah berubah menjadi Badan Pengusahaan Batam dualisme masih tetap terjadi. Salah satu contoh dualisme kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam yang dahulunya adalah Otorita Batam dengan Pemerintah Kota Batam adalah dalam pelayanan administrasi penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal adalah segala perizinan dan retribusi yang menyangkut investasi baik untuk industri maupun bidang lain. Hingga saat ini sebagian besar otoritas kewenangan ini ada 5
dipihak Badan Pengusahaan Batam yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian dampak ekonomi atas banyaknya investasi yang ada di Kota Batam tidak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat karena pendapatan atas pajak investasi tersebut hanya sedikit sekali yang menjadi hak dari Pemerintah Kota Batam, padahal Pemerintah Kota Batam seharusnya memiliki hak yang lebih besar untuk mengelola perizinan yang terdapat di daerahnya sendiri sebagaimana sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. Contoh lainnya adalah masalah yang terkait perizinan lahan bagi penanaman modal di Kota Batam. Saat ini perencanaan dan pengendalian pembangunan terhadap izin prinsip atau fatwa planologi dan penggunaan lahan untuk penanaman modal masih diterbitkan oleh Badan Pengusahaan Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 43 Tahun 1977. Padahal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk penanaman modalnya diterbitkan oleh Pemerintah Kota Batam melalui Dinas Tata Kota Batam. Dengan kondisi ini maka izin lahan bagi investasi, tidak dapat berlangsung secara cepat sebagaimana mestinya karena terjadinya dualisme kewenangan dalam proses perizinan. Kemudian juga apabila terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan perindustrian seperti limbah, banjir dan lain-lain, Pemerintah Kota Batam tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini dikarenakan Pemerintah Kota Batam hanya bisa mengendalikan tertib bangunannya saja, sedangkan izin penggunaan lahannya ada pada Badan Pengusahaan Batam. Dari dualisme kewenangan yang terjadi ini membawa efek negatif terhadap perizinan penanaman modal atau investasi yang terjadi di Kota Batam. Hal ini 6
diperkuat oleh pendapat Wakil Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Bapak Suryo Respationo, beliau mengatakan bahwa “Adanya dualisme kewenangan di Kota Batam ini membawa berbagai dampak buruk kepada iklim usaha dan investasi di Kota Batam”.3 Menurut ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kepulauan Riau, Ir Cahya, beliau mengatakan bahwa “Adanya dualisme kewenangan ini membuat perizinan yang ada di Kota Batam menjadi lebih lama dan berbelit-belit sehingga bisa berdampak pada turunnya investasi di Kota Batam”.4 Adanya dampak buruk dari adanya dualisme kewenangan dalam administrasi penanaman modal di Kota Batam ini semakin terlihat dari adanya survey yang dilakukan oleh International Finance Corporation (IFC) tahun 2010. Survey ini adalah survey yang berkaitan tentang kemudahan berinvestasi di kota-kota yang ada di Indonesia. Survey tersebut dilakukan pada 20 kota yang ada di indonesia seperti table dibawah ini, yaitu: Tabel 1: Peringkat Kemudahan Investasi, Izin Bangunan dan Properti Peringkat Kota
Kemudahan Mendirikan Usaha/investasi
Kemudahan Mengurus Izin-Izin Mendirikan Bangunan
Kemudahan Pendaftaran Properti
1 2
5 14
6 16
Yogyakarta Palangkaraya 3
Majalah Batam Pos edisi ke 20, bulan Juni 2013 tentang dualism kepemimpinan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam. 4 Koran Haluan Kepri tanggal 14 januari 2010 tentang Izin Mal dan IMB di Obral.
7
Surakarta 3 12 17 Semarang 4 8 19 Banda Aceh 5 4 12 Gorontalo 6 Tidak ada praktek 5 Balikpapan 7 1 13 Jakarta 8 19 1 Denpasar 9 17 14 Mataram 10 13 4 Palembang 11 3 3 Bandung 12 9 2 Pontianak 13 7 10 Surabaya 14 16 11 Batam 15 10 20 Pekanbaru 16 15 18 Makassar 17 11 9 Jambi 18 2 7 Medan 19 6 8 Manado 20 18 15 Sumber: Survey Internasional Finance Corporation (IFC) tahun 2010 Berdasarkan survei International Finance Corporation (IFC) pada tahun 2010 terhadap 20 kota yang ada di Indonesia ini, terlihat bahwa Kota Batam berada di peringkat 15 dalam hal kemudahan mendirikan usaha/berinvestasi, peringkat 10 dalam hal kemudahan mengurus izin-izin mendirikan bangunan dan peringkat 20 dalam hal kemudahan pendaftaran properti. Padahal, Kota Batam seharusnya memperoleh peringkat yang lebih baik dalam hal investasi, perizinan bangunan maupun pendaftaran property hal ini dikarenakan Kota Batam sudah berstatus wilayah perdagangan bebas dan diberi berbagai fasilitas untuk menunjang investasi. Melihat situasi dan kondisi yang terjadi, dimana penanaman modal di Kota Batam dihadapkan oleh dualisme kewenangan antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam yang menimbulkan efek negatif bagi iklim investasi di
8
Kota Batam, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang dampak dualisme kewenangan antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam dalam pelayanan administrasi penanaman modal di Kota Batam. 1.2 Rumusan Masalah Adanya Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam menyebabkan terbentuknya dua kepemimpinan yang berakibat pada terjadinya dualisme kewenangan dalam pelayanan administrasi penanaman modal, berdasarkan permasalahan tersebut maka yang menjadi pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah Bagaimana dampak dualisme kewenangan antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam dalam pelayanan administrasi penanaman modal di Kota Batam? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah 1. Untuk mengidentifikasi terjadinya dualisme kewenangan di Kota Batam 2. Untuk menganalisis dampak dualisme kewenangan antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam dalam pelayanan administrasi penanaman modal di Kota Batam. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masing-masing pihak yaitu: 1. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang administrasi publik.
9
2. Dapat memberikan gambaran kepada semua pihak tentang dampak dualisme kewenangan antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam. 3. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam dalam merumuskan kebijakan sebagai perbaikan atau solusi terhadap masalah dualisme kewenangan antar Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam. 1.5 Keaslian Penelitian Dedy Tri Haryanto (2012) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiscal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di provinsi jambi. Penelitian ini menarik kesimpulan bahwa dalam konteks desentralisasi fiscal, struktur belanja daerah, kabupaten dan kota di provinsi jambi menunjukan perkembangan yang cukup baik pasca implementasi desentralisasi fiscal, hal ini dapat dilihat dari perkembangan belanja untuk pelayanan public yang cenderung meningkat. Annisa Irdhania (2009) melakukan penelitian tentang analisis dampak desentralisasi fiscal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan kabupaten bogor. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah penerapan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik terhadap komponen PDRB, yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah meningkat selama masa desentralisasi fiscal Didyk Choiroel (2005) melakukan penelitian tentang desentralisasi fiscal dan komitmen belanja daerah untuk prioritas pelayanan dasar public. Dalam penelitian ini 10
menemukan desentralisasi fiscal melalui transfer terbuka pada tahun 2002 ternyata tidak diikuti dengan komitmen pemerintah daerah untuk memberikan prioritas tinggi belanja daerah kepada penyedia pelayanan dasar public. Penelitian ini memiliki kesamaan terkait topik pembahasan mengenai desentralisasi. Namun dalam penelitian ini lebih melihat kepada dampak dualisme kewenangan yang terjadi antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Batam dalam pelayanan administrasi penanaman modal di Kota Batam. Apabila dibandingkan penelitian terdahulu terdapat perbedaan pada obyek penelitian dan metode penelitiannya, karena obyek penelitian berbeda serta metode yang dibahas berbeda sehingga diharapkan penelitian ini akan dapat menjadi referensi yang baru terkait topic desentralisasi. 1.6 Kerangka Berpikir Berikut ini yang menjadi kerangka berfikir dalam penelitian ini yaitu: Bagan 1: Kerangka Berpikir Penelitian
Sumber: Diolah Peneliti 11
1.7 Definisi Konseptual Makna pendefinisian secara konseptual dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arah dalam pencapaian tujuan penelitian. Pendefinisian secara konseptual ini berupa konsep yang mengekspresikan suatu abstraksi yang berbentuk generalisasi dan pengamatan fenomena-fenomena. Terkait dengan penelitian yang dilakukan, maka definisi konsep berupaya mengekpresikan abstraksi dari dampak dualisme kewenangan yang terjadi antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam dalam pelayanan administrasi penanaman modal. Berikut ini definisi konseptual dalam penelitian ini: a. Dualisme kewenangan yaitu suatu kondisi atau keadaan dimana terdapat dua atau lebih instansi atau badan yang berbeda, syah dan memiliki kewenangan namun menangani atau mengurusi hal yang sama sehingga menimbulkan tumpang tindih wewenang. b. Pelayanan administrasi penanaman modal adalah segala perizinan dan retribusi yang menyangkut investasi baik untuk industri maupun bidang lain. c. Dampak dari dualisme kewenangan adalah efek atau akibat yang timbulkan dari adanya dualisme kewenangan yang terjadi. 1.8 Definisi Operasional Untuk mengoperasionalisasikan definisi konsep di atas dilakukan dengan membuat definisi operasional, adanya definisi operasional tersebut dimaksudkan untuk membuat atau menentukan variabel yang dapat diukur. Berikut ini definisi operasional dalam penelitian ini yaitu: 12
a. Dualisme kewenangan, alat untuk mengetahui: 1. Munculnya dualisme kewenangan di Kota Batam, dilihat dari: • Hal yang menyebabkan dualisme kewenangan terjadi di Kota Batam. b. Pelayanan administrasi penanaman modal, alat untuk mengetahui: 1. Pembagian kewenangan antara kedua badan, dilihat dari: • Perizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam berkaitan dengan pelayanan administrasi penanaman modal • Perizinan yang menjadi kewenangan Badan Pengusahaan Batam yang berkaaitan dengan pelayanan administrasi penanaman modal c. Dampak dualisme kewenangan dalam pelayanan administrasi penanaman modal, alat untuk mengetahui: 1. Dampak negative dari adanya dualisme kewenangan, dilihat dari: • Prosedur dan waktu perizinan • Biaya atau dana • Regulasi/Hukum
13