BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Republik Indonesia sebagai Negara kesatuan, yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu pasal 18 Undang – Undang Dasar 1945 antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain dikemukan bahwa oleh karena Negara Indonesia itu eenheidstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Provinsi, dan Daerah Provinsi akan dibagi kedalam daerah yang kecil.
Didaerah-daerah
yang
bersifat
otonom
(streek
en
locale
rechtgemenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang.1 Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah dengan pemerintah yang bersendi atas dasar permusyawaratan. Dengan demikian Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalam
1
Undang-undang Dasar 1945 pasal 18
16
Ketetapan MPR RI Nomor XV / MPR / 1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah : Pegaturan, pembagian, dan pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan ketetapan MPR RI Nomor XV / MPR / 1998 tersebut diatas, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada Daerah secara Proposional yan diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan memanfaatkan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Disamping itu Penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya megatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih megutamakan
desentralisasi.
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
menempatkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota, yang dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 yang dirasakan sangat sentralistik dan pada saat itu dirasakan telah memasung demokrasi di daerah. Dalam Undang-undang ini berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Tingkat II.
17
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota berkedudukan sebagai Daerah Otonom yang mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan dan prakarsa aspirasi masyarakat. Dalam kewenanganan Otonomi Luas yang merupakan :“keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan Pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang Pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan kebijakan fiscal, agama, serta kewenangan lainnya yang akan diterapkan dengan Peraturan Pemerintahan “.2 Sedangkan yang di maksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang didaerah. Sedangkan Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawabaan sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajibaan yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semangkin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah. Dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensi dari pemberian otonomi yang luas maka sumber-sumber keuangan telah banyak bergeser ke daerah baik melalui perluasan basis pajak (taxing power) maupun dana perimbangan. 2
Dedy Supriyadi Brantakusukah, 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
18
Hal ini sejalan dengan makna desentralisasi fiskal yang mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan: 1. Kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri yang dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tetap mendasarkan batas kewajaran. 2. Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Untuk merealisasikan pelaksanaan Otonomi Daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah tergantung pada peranan Pendapatan Asli Daerah. Hal ini diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Dalam hal ini Pemerintah Daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri sehingga akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Dengan ini akan semakin memperbesar keleluasaan daerah untuk mengarahkan penggunaan keuangan daerah sesuai dengan rencana, skala prioritas dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Kondisi yang ada di Kota Yogyakarta yang berupaya mendapatkan sumber pendapatan tidak hanya dengan sistem pengelolaan potensi sumber daya alam memaksa Pemerintah Kota Yogyakarta untuk lebih kreatif mengoptimalkan potensi yang lain. Salah satu potensi yang memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah Kota Yogyakarta adalah Pengelolaan Retribusi Parkir.
19
Keberadaan wilayah Parkir di Yogyakarta sangat berkembang seiring kota Yogyakarta sebagai salah satu tujuan wisata dan pendidikan di Indonesia. Hampir seluruh kota besar di Indonesia, termasuk Yogyakarta, mempunyai problem perparkiran. Tidak dapat disangkal pesatnya perkembangan dan pertumbuhan sebuah kota membawa dampak sekaligus resiko yang tinggi dalam masalah perparkiran ini. Pembangunan infrastruktur di kota-kota besar terus dilakukan, di satu pihak meminimalisir penyedian lahan-lahan parkir, sehingga menyulitkan Pemerintahan Kota menata dan membangun tempat-tempat parkir. 3 Persoalan tidak terhenti disitu saja, kepadatan lalu lintas yang makin tinggi maupun akibat bertambahnya jumlah kendaraan baik kendaran pribadi maupun kendaraan umum. Permasalahan tempat parkir menjadi problem yang semakin sulit untuk dipecahkan. Selain itu keterbatasan lahan parkir merupakan masalah permasalahan yang sampai saat ini belum teratasi Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi Pemerintahan Kota Yogyakarta menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan perparkiran yang berupa empat buah Peraturan Daerah, Sebagai penganti dari Peraturan Daerah lama ( Perda No 10 Tahun 1994). Beberapa Peraturan Daerah yang baru tersebut adalah sebagai berikut: 1. Peraturan Daerah Nomor 17 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran. 2. Peraturan Daerah Nomor 19 Tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum. 3. Peraturan Daerah Nomor 20 Tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir. 4. Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Pajak Parkir.
3
HU Pikiran Rakyat Edisi 23 Oktober 2002
20
Dari keempat Peraturan Daerah tentang perparkiran diatas ternyata pada kenyataanya belum terimplementasikan secara maksimal dan efektif. Hal ini tentu saja disebabkan oleh berbagai macam faktor dan kendala yang tidak dapat dianggap
mudah
dalam
memecahkan
permasalahan
tersebut.
Dimana
Implementasi dari Peraturan Daerah ini banyak terjadi pelanggaran baik dari para Juru parkir maupun masyarakat pengguna jasa parkir. Pada penelitian ini, penulis akan membahas serta menganalisa mengenai Implementasi Program Pengelolaan Parkir Sebagai Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Salah satu upaya Pemerintah Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah tentunya tidak terlepas dari peranan masing-masing komponen Pendapatan Asli Daerah. Komponen yang ada seperti penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha milik daerah, serta lain-lain penerimaan yang sah. Dalam perkembangannya, retribusi daerah memberikan kontribusi yang cukup besar, sehingga perlu digali secara optimal. Penerimaan pendapatan dari sektor parkir diharapkan dapat membantu pendapatan daerah yang menjadi peranan penting untuk menciptakan pembagunan ekonomi khususnya di daerah Kota Yogyakarta.
21
B. PERUMUSAN MASALAH Didalam melakukan sebuah penelitian sosial adalah merupakan hal yang sangat pokok untuk merumuskan permasalahan dalam penelitian tersebut. Karena hal itu merupakan suatu batasan sekaligus pedoman dan pegangan dalam pelaksanaan suatu penelitian dilapangan. Adanya penemuan dan perumusan permasalahan di lapangan dapat memberikan daya dorong keingintahuan seseorang peneliti akan sesuatu yang hendak diketahuinya. Dimana hal tersebut dapat dijadikan suatu pengetahuan baru, sehingga pada akhirnya dapat memperluas khasanah pengetahuan. Sehingga dari uraian pemasalahan yang telah dipaparkan penulis ditas, maka yang menjadi Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Implementasi Program Pengelolaan Perparkiran di Kota Yogyakarta yang megacu pada Peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan faktor-faktor apa saja yang mempergaruhi Implementasi Program Pengelolaan Perparkiran ? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk megetahui seberapa jauh Implementasi Pogram Pengelolaan Retribusi Parkir di Kota Yogyakarta terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong dan menghambat Implementasi Program Pengelolaan Retribuís Parkir di Kota Yogyakarta.
22
2. Manfaat Penelitian Manfaat yang di harapkan dari diadakannya penelitian ini adalah : 1. Dapat memberikan tambahan informasi dan masukan-masukan bagi pihakpihak yang peduli dengan masalah Pengelolaan Perparkiran, khususnya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. 2. Menambah wawasan dan pegetahuan bagi penulis agar bisa menjadi bekal baik teori maupun praktek apabila nanti penulis menjadi bagian dari para penentu Peningkatan Pendapatan Daerah.
D. KERANGKA DASAR TEORI 1. MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Manajemen Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan Keuangan Daerah (Halim, 2007 : 330).4 Sedangkan Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajibaan yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/ dikuasai oleh Negara atau Daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/ Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku .5
4 5
Abdul Halim. 2007. Pengelolaan Keuangan Dearah. Yogyakarta UPP AMP YKPN. Hal 23-24 Mamesa. 1995.Abdul halim. 2007 : 23. Manajemen Keuangann Daerah UPP AMP YKPN. Hal 24
23
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 ayat 5, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajibaan daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajibaan daerah tersebut, dalam rangka Anggaraan Pendapatan dan Belanja Daerah. Berdasarkan UU 33 Tahun 2004 pasal 66 ayat 1, Keuangan Daerah harus dikelola secara bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, keputusan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang baik (good government governance).6 Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang megutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP 58/2005, pasal 39). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dan harus berpihak kepada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.7
Adapun dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
(transisi) dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
6
Theresia Woro Damayanti. 2007. Manajemen Keuangan Dearah. Yogyakarta UPP AMP YKPN. Hal 25 7 Abdul Halim. 2002. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta UPP AMP YKPN. Hal 25
24
Tabel 1.1. Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
Sebelum dan Sekarang
Sekarang dan Nanti
• UU 22/1999 : Pemerintahan Daerah • UU 25/1999 : Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah • PP 105/2000 : Pengelolaan Keuangan Daerah • KMDN 29/ 2002 : Pedoman Pengurusan , Pertangungjawabaan dan Pegawasan Keuangan Daerah • Permendagri 13/2006 : Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
• • • •
UU 17/2003 : Keuangan Negara UU 1/2004 : Perbendaharaan Negara UU 32/2004 : Pemerintahan Daerah UU 33/2004 : Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah PP 24/2005 : Standar Akuntansi Daerah • PP/58/2005 : Pengelolaan Keuangan Daerah
Konsekuensi logis dalam pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 menyebabkan perubahan dalam Manajemen Keuangan Daerah, perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran. Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance budget. Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. 8
8
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Andi. Hal 104
25
Hal ini sering bertentangan dengan kebutuhan rill dan kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintahan atasan. Hal tersebut terlalu dominannya peranan pemerintahan pusat terhadap pemerintahan daerah performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan pubik.9
Prinsip-prinsip yang mendasari
pengelolaan keuangan daerah antara lain sebagai berikut : 1. Transparansi Trasparansi Adalah keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaraan daerah. Transaparansi memberikan arti bahwa anggota mayarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat. 2. Akuntabilitas Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawabaan publik berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat di laporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk megatahui anggaran tersebut tetapi berhak untuk menuntut pertanggungjawabaan atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
9
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Andi. Hal 105
26
3. Value For Money Value For Money berarti diterapkan tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah . Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Efektifitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik. Aspek lain dalam reformasi anggaran adalah perubahan paradigma anggaran daerah. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghasilkan anggaran daerah yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan dari masyarakat daerah setempat terhadap pengelolaan keuangan daerah secara ekonomis, efisien dan efektif.10 Paradigma Anggaran Daerah yang diperlukan antara lain sebagai berikut : 1. Anggaran Daerah bertumpu pada kepentingan publik 2. Anggaran Daerah harus di kelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less) 3. Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk siklus anggaran. 4. Anggaran Daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.
10
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Andi. Hal 107
27
5. Anggaran Daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organasasi yang terkait. 6. Anggaran
Daerah
pelaksananya
harus
untuk
dapat
memberikan
memaksimalkan
keleluasaan
pengelolaan
bagi
dananya
para
dengan
memperhatikan prinsif value for money. Pada dasarnya apapun bentuk organisasi, sektor swasta ataupun sektor publik, pasti akan melakukan penganggaran yang pada dasarnya merupakan cetak biru bagi pencapaian visi dan misinya. Untuk itu penganggaran dan manajemen keuangan di laksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip pokok tertentu. 11 Untuk pemerintahan daerah prinsip-prinsip pokok dalam pengagaran dan manajemen keuangan daerah antara lain sebagai berikut (Words Bank, 1998) : 1. Komprensif dan disiplin. Anggaran daerah adalah satu-satunya mekanisme yang akan menjamin terciptanya disiplin pengambilan keputusan. Karenanya, anggaran daerah harus disusun secara komprensif, yaitu menggunakan pendekatan yang holistik dalam diagnosa permasalahan yang di hadapi, analisis keterkaitan antar masalah yang mungkin muncul, evaluasi kapasitas kelembagaan yang di punyai, dan mencari cara-cara terbaik untuk memecahkannya. 2. Fleksibilitas. Sampai tingkat tertentu, pemerintahan daerah, harus beri kelelusaan yang memadai sesuai dengan ketersedian informasi-informasi yang relevan yang di milikinya. Arahan dari pusat memang harus ada tetapi harus
11
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Andi. Hal 106
28
diterapkan secara hati-hati, dalam arti tidak sampai mematikan inisiatif dan prakarsa daerah. 3. Terprediksi. Kebijakan yang terfrediksi adalah faktor penting dalam peningkatan kualitas implementasi Anggaran Daerah. Sebaliknya, bila kebijakan sering berubah-ubah, seperti metode pengalokasian dana lokasi umum (DAU) yang tidak jelas misalnya, maka daerah akan menghadapi ketidakpastian (uncertainty) yang sangat besar hingga prinsip efisiensi dan efektifitas pelaksanaan suatu program yang di danai oleh Anggaran Daerah cenderung terabaikan. 4. Kejujuran. Kejujuran tidak hanya menyangkut moral dan etika manusianya tetapi juga menyangkut keberadaan bias proyeksi penerimaan pengeluaran. Sumber bias yang memunculkan ketidakjujuran ini dapat berhasil dari aspek teknis dan politis. Proyeksi yang telalu optimis akan megurangi kendala anggaran sehingga memungkinkan munculkannya inefisiensi dan infektifitas pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sangat diprioritaskan. 5. Informasi. Informasi adalah basis kejujuran dan proses pegambilan keputusan yang baik. Karenanya, pelaporan yang teratur tentang biaya, output. dan dampak suatu kebijakan adalah sangat penting. 6. Transparansi dan akuntabilitas. Transparansi masyaratkan bahwa perumusan kebijakan memiliki pengetahuan tentang permasalahan dan informasi yang relevan sebelum kebijakan dijalankan. Keputusan berperilaku sesuai mandat yang diterimanya.
29
Dalam rangka pertanggungjawaban publik, pemerintah daerah seharusnya melakukan optimalisasi anggaran yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.12 Anggaran
daerah,
Khususnya
pengeluaran daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam mendorong laju pembagunan di daerah. Di samping itu, banyak ditemukan keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas, serta kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Lemahnya Perencanaan anggaraan juga diikuti dengan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah berkesinambungan. Sementara itu, pengeluaran daerah terus meningkat secara dinamis, sehingga hal tersebut meningkatkan fiscalgap. Keadaan tersebut pada akhirnya memunculkan kemungkinan underfinancing atau overfinancing yang dapat mempegaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja pemerintahan daerah. Agar pemerintahan daerah dapat mengelola anggaran daerah berdasarkan pada kewajaran ekonomi, efisien dan efekti. Maka perencanaan anggaran daerah harus disusun berdasarkan pendekatan kinerja. Untuk menyusun kinerja tersebut dapat digunakan Model Standar Analisa Belanja (SAB). Pertanggungjawabaan Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan sesuatu yang penting untuk mendapatkan kepastian megenai keberhasilan atau ketepatan suatu kegiatan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
12
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Andi. Hal 117
30
Proses
pertanggungjawabaan
pengelolaan
keuangan
daerah
dapat
dilakukan melalui pelaksanaan pegawasan yang dilakukan oleh unit-unit pegawas yang ada. Salah satu masalahnya mendasar yang dihadapi dalam proses penganggaran selama ini terjadinya kesalahpahaman terhadap kedudukan aspek pegawasan anggaran dalam proses penganggaraan. Aspek yang sangat penting dalam proses penganggaran diantaranya adalah aspek pengawasan yang selama ini cenderung dipahami sebagai salah satu tahap tersendiri dalam proses penganggaran, selain tahap penyusunan dan tahap pelaksanaan. Sebagai salah satu aspek yang menjiwai seluruh proses pengelolaan keuangan aspek pegawasan meliputi seluruh tahap dalam proses penganggaraan, karena salah satu anggaran adalah sebagai instrumen pengawasan. Salah satu bagian yang harus direformasi megikuti paradigma baru tersebut adalah sistem pengelolaan dan pegawasan keuangan daerah. Sistem yang lemah diera masa orde baru harus
direformasi agar terciptanya transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan keuangan daerah. Sistem pegawasan pengelolaan keuangan daerah yang baru diharapkan akan mampu mencegah atau menghindari adanya penyimpangan-penyimpangan yang akan menganggu proses kegiatan di dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian sistem pegawasan dalam pengelolaan keuangan daerah juga memiliki fungsi mendukung proses kegiatan pelaksanaan tugas dan fungsi setiap Aparatur Pemerintah.
31
a. Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah adalah Penerimaan Daerah Sektor Pajak Daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pegelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain pendapatan asli daerah yang sah.13 Menurut UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dimana Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antara daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajibaan dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pegawasan keuangannya, dana perimbangan terdiri dari : 1. Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bagunan (PBB), Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bagunan (BPHTB), dan penerimaan sumber daya alam (SDA). 2. Dana Alokasi Umum. 3. Dana Alokasi Khusus. Penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan imbangan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk pemerintah daerah. Penerimaan negara dari Bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) akan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintahan pusat dan 80% untuk daerah. Penerimaan pemerintah pusat dari bagi hasil PBB dan BPHTB tersebut akan di bagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan daerah kota.
13
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Andi. Hal 132
32
Dalam sistem pemerintahan yang sentarlisitik yang dialami bangsa ini selama masa Orde Lama dan Orde Baru dalam masa pembagunan telah menimbulkan efek-efek negatif. Efek negatif tersebut misalnya sentralisasi telah memasung kreativitas daerah untuk mengembangkan potensi daerah sesuai dengan keinginan masyarakat daerah. Selain itu, sentralisasi telah menyebabkan pemerintah
daerah
pemerintah daerah.
semangkin 14
kuat
tingkat
ketergantungannya
terhadap
Kedua hal tersebut cukup membuat pemerintah dan
masyarakat daerah tidak berdaya membangun daerahnya. Besarnya intervensi pemerintah pusat yang dilakukan pada masa lalu telah menimbulkan distorsi. Hal tersebut diperparah dengan masih kuatnya perilaku Rent Seeking dan korupsi yang akibatnya mengangu mekanisme pasar. Efek tersebut masih terasa sampai saat ini, Secara umum pemerintah daerah masih megalami banyak masalah di antaranya : 1. Ketidakcukupan sumber daya finansial 2. Minimnya jumlah pegawai yang memiliki keterampilan dan keahlian 3. Prosedur dan sistem pengendalian manajemen yang tidak memadai 4. Rendahnya produktivitas pegawai 5. Inefisiensi 6. Infrastruktur yang kurang mendukung 7. Lemahnya perangkat hukum (aparat penegak hukum dan peraturan hukum) serta kesadaran masyarakat terhadap penegak hukum 8. Politikal will yang rendah
14
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Andi. Hal 145
33
9. Adanya benturan budaya (SARA) yang destruktif 10. Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) 11. Lemahnya akuntabilitas publik Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diharapkan memiliki kemandirian yang lebih besar. Akan tetapi, saat ini masih banyak masalah yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan upaya meningkatkan penerimaan daerah, antara lain : 1. Tingginya tingkat kebutuhan daerah (fiscal need) yang tidak seimbang dengan kapasitas fiskal (fiskal capacity) yang dimiliki daerah, sehingga menimbulkan fiscal gap 2. Kualitas layanan publik yang masih memprihatikan menyebabkan produk layanan publik yang sebenarnya dapat dijual ke masyarakat direspon secara negatif. Keadaan tersebut juga menyebabkan keengganan masyarkat untuk taat membayar pajak dan retribusi daerah. 3. Lemahnya infrastruktur prasarana dan sarana umum 4. Berkurang dana bantuan dari pusat (DAU dari pusat yang tidak mencukupi) 5. Belum diketahui potensi PAD yang mendekati kondisi rill. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk megurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion). Langkah penting yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah adalah mehitung potensi Pendapatan Asli Daerah yang rill dimiliki daerah. Untuk itu diperlukan metode potensi PAD yang sistematis dan rasional.
34
Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) sebenarnya tidak hanya menyangkut peningkatan Pendapatan Asli Daerah.
15
Peningkatan
kapasitas fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Dalam hal ini tidak perlu dibuat dikotomi antara Pendapatan Asli Daerah dengan Dana Perimbangan. Namun juga perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang dibuat secara besar jumlahnya namun tidak dikelola dengan baik (tidak memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya kebocoran anggaran. Bagian yang paling penting adalah optimalisasi anggaran, karena peran pemerintah daerah nantinya lebih bersifat sebagai fasilator dan motivator dalam menggerakkan pembagunan di daerah (Osborne dan Gaebler, 1993). Masyarakat daerah sendiri (termasuk swasta, LSM, Perguruan Tinggi dan sebagainya) yang akan banyak berperan membangun daerahnya sesuai dengan kepentingan dan prioritas Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Pendapatan Asli Daerah sendiri terdiri dari : 1. Pajak Daerah; 2. Retribusi Daerah; 3. Hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan; 4. Lain-lain Pendapatan Asli Derah yang sah. 15
Mardiasmo dan Widayat W. 1999.Peranan dan Pengelolaan Keuangan Dalam Usaha Peningkatan PAD. KKD, FE UGM, Yogyakarta
35
Sedangkan sumber-sumber penerimaaan daerah terdiri dari : 1. Pendapatan Asli Daerah; 2. Dana perimbangan; 3. Pinjamanan Daerah; dan 4. Lain-lain penerimaan yang Sah Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah mempunyai peranan penting dalam pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dimana peranan PAD diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Pemerintah Daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri. Dengan demikian akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang bersifat mandiri. Pendapatan asli daerah yang merupakan pencerminan pertumbuhan ekonomi di dalam suatu pemerintahan daerah. Pendapatan asli daerah memang bisa dijadikan alat ukur untuk menilai perkembangan ekonomi dari suatu kabupaten/ kota, nilai PAD sangat tergantung pada taxable capacity atau kapasitas perpajakan kabupaten/ kota yang bersangkutan. Sumber-sumber pendapan asli daerah adalah dari pajak-pajak daerah asli daerah seperti pajak-pajak asli daerah, seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bumi bangunan, pajak perhotelan, restoran, reklame biaya, retribusi dan keuntungan dari badan usaha milik daerah (BUMD).
36
Besaran pajak yang diterima PAD mencerminkan volume aktivitas ekonomi. Selama ekonomi tidak bergerak, selam itu pula PAD tidak bisa dikembangkan oleh Pemerintah Daerah. Salah satu dilemma pembagunan daerah adalah kemampuan pendanaan dan sebagian besar daerah ternyata masih mengandalakan dana alokasi umum untuk menutupi kebutuhan fiskalnya. Pajak daerah dan retribusi daerah memegang peran penting dalam pembiayaan otonomi daerah. Kekuatan ekonomi daerah harus didukung oleh sumber keuangan, khususnya pajak dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah. Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah otonom berkepentingan terhadap penerimaan daerah yang bersumber dari pajak dan rertribusi daerah Pungutan pajak dan retribusi daerah tampaknya masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan dalam Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi terhadap Keuangan Daerah di Indonesia yang dilakukan oleh LPEM-UI (Lembaga Penelitian Ekonomi Mandiri Universitas Indonesia) bekerjasama dengan Clean Urban Project tahun 1999 Bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah.terutama dalam hal ini disebabkan oleh : Relatif Rendahnya Basis Pajak Dan Retribusi Daerah, perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah dan kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah.
37
b. Retribusi Daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
16
Jadi dalam hal
pemugutan retribusi dianut asas manfaat (benefit principles), yang mana besarnya pungutan yang dilakukan berdasarkan manfaat yang diterima oleh penerima manfaat pelayanan yang diberikan oleh pemerintahan (Suparmoko, 2002). Retribusi dapat dipungut dengan sistem yang sifatnya progresif atau regresif berdasarkan potensi kemampuan membayar pajak. Untuk dapat menentukkan dasar pengenaan retribusi atau objek retribusi terhadap potensi pendapatan daerah, maka perlu di lakukan penilaian terhadap potensi pendapatan daerah tersebut. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar potensi pendapatan daerah yang dapat dikenai retribusi, yaitu kecukupan dan elastisitas, keadilan, kemampuan administrasi, kesepakatan politik dan penilaian retribusi oleh Pemerintahan Daerah (Davey, 1998). Dalam hal progresivitas retribusi tidak dalam dilihat dari segi kemampuan atau tingkat pendapatan si pembayar retribusi, melainkan hanya didasarkan pada jenis
pelayanan
yang
dikehendaki
oleh
si
pembayar
retribusi
dalam
mengkomsumsi barang atau jasa yang disediakan pemerintah (Suparmoko, 2002). Berdasarkan UU N0. 34 Tahun 2004 Retribusi Daerah di kelompok menjadi 3 (tiga) yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi jasa tertentu.
16
Bambang Kesit. 2003; 2005.Pajak dan Retribusi Daerah. Yogyakarta, UII
38
1. Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Umum adalah retribusi yang dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa umum yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah. Dalam menetapkan jenis retribusi kedalam kelompok retribusi jasa umum, kriteria yang dapat digunakan adalah: a. Jasa tersebut termasuk dalam kelompok urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam pelaksanaan asas desentralisasi. b. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi. c. Jasa tersebut, dianggap layak jika hanya disediakan kepada badan atau orang pribadi yang membayar retribusi. d. Retribusi untuk pelayanan pemerintah daerah itu tidak bertentangan dengan kebijakan nasional. e. Retribusi tersebut dapat di pungut secara efektif dan efisien, serta dapat merupakan salah satu sumber pendapat daerah yang potensial. f. Pelayanan yang bersangkutan dapat disediakan secara baik dengan kualiatas pelayanan yang memadai. Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum adalah Pelayanan Kesehatan,
Retribusi
Pelayanan
Persampahan/
Kebersihan,
Retribusi
Pengantian Biaya Cetak Kartu Penduduk dan Akte Catatan Sipil, Reribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pasar, Retribusi Air Bersih, Reribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Pengantian Biaya Cetak Peta dan Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.
39
2. Retribusi Jasa Usaha Retribusi Jasa Usaha merupakan pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan meganut prinsip komersial karena pelayanan tersebut belum cukup disediakan oleh swasta. Adapun kriteria jasa pelayanan usaha yang dapat dikenai retribusi jenis ini yaitu : a. Jasa tersebut bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh swasta, tetapi pelayanan sektor swasta dianggap belum memadai b. Harus terdapat harta yan dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah dan belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah seperti tanah, bangunan dan alat-alat berat. Jenis-jenis Retribusi Jasa usaha adalah Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penitipan Anak, Retribusi Tempat Peginapan, Retribusi Peyedotan Kakus, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Tempat Pendaratan Kapal, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga, Retribusi Penyemberangan di Atas Air, Retribusi Pengolahan Limbah Cair dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. 3. Retribusi Perizinan Tertentu Retribusi Perizinan, memiliki peran ganda. Selain berfungsi utama sebagai pegatur, Retribusi Perizinan juga berfungsi sebagai sumber pendapatan daerah. Tepatnya, fungsi utama retribusi perizinan merupakan instrumen yang digunakan untuk melakukan pegaturan, pembinaan, pengendalian, maupun pegawasan. Hal ini dimaksudkan guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
40
lingkungan. Pegaturan, Pegawasan, pegendalian dan pegarahan ini diperlukan agar masyarakat tidak sesuka hatinya melakukan kegiatan ekonomi dan kegiatan lainnya diluar ketentuan yang diberikan oleh Pemeritah Daerah yang dapat membahayakan kepentingan umum dan kelestarian lingkungan. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu yaitu Retribusi Peruntukan Penggunaan Tanah, Retribusi Izin Mendirikan Bagunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan, Retribusi Izin Trayek dan Retribusi Izin Pengambilan Hasil Hutan Ikutan. 2. IMPLEMENTASI PROGAM Berbicara megenai Implementasi Program maka terlintas oleh kita bahwa hal tersebut merupakan sub bagian dari implementasi kebijakan. Hal ini mengapa dikatakan
demikian
dikarenakan
implementasi
kebijakan
publik
sendiri
mengandung pengertian yaitu aktivitas pemerintah untuk merealisasikan tujuantujuan publik (goals of public policies) menjadi hasil-hasil yang bisa dilihat (out come). Berdasarkan penjelasan diatas maka implementasi kebijakan merupakan fungsi dari implementasi program dan tergantung hasil-hasil (out come). Menurut Webster dalam Solichin Abdul Wahab, peran penting dari analisis
implementasi
ialah
mengidentifikasikan
variabel-variabel
mempengaruhi tercapainya tujuan formal pada proses implementasi
17
yang . Amir
Santoso mengutip pendapat Van Meter dan Van Horn tentang variabel-variabel tersebut adalah ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, aktifitas komunikasi antar organiasasi dan aktifitas pelaksanaan, karakteristik dari agen pelaksana,
17
Webster dalam Solichin Abdul Wahab, op.cit, hal 110
41
kondisi
sosial
politik
dan
ekonomi,
disposisi
dari
pelaksana
dan
penyelenggaraanya dan struktur organisasi 18. Menurut Merilee S. Grindle merumuskan urutan itu sebagai berikut : ” Implmentasi : From Policy to Program to out comes ”. 19 Implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan kontek implementasinya. Studi ini melihat adanya tiga dimensi-dimensi analisis dalam organisasi, yaitu tujuan, pelaksanaan, tugas, dan kaitan organisasi, yaitu tujuan, pelaksana, tugas dan kaitan organisasi dengan lingkungan. Ide dasar Grindel adalah bahwa kebijakan ditransformasikan menjadi program-program aksi maupun proyek individual dengan biaya yang telah disediakan, maka implementasi kebijakan dapat dilakukan.20 Dengan kata lain implementasi program merupakan sub bagian dari implementasi kebijakan. Menurut Preman dan Wildausky menyatakan bahwa sebuah kata kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata benda kebijakan, sehingga bagi kedua pelopor studi implementasi maka proses untuk melaksanakan kebijakan tersebut perlu mendapatkan perhatian yang seksama dan oleh sebab itu adalah keliru kalau mengangap bahwa proses tersebut dengan sendirinya berlangsung dengan baik. Menurut model yang dikembangkan oleh Daniel A Mazmanian dan Paul A. Sabastier menjelaskan implementasi ini dengan menyatakan bahwa : Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan.21 18
Amir Santoso, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Renika Cipta, Jakarta, 1990, hal 9 Ibid, hal 117 20 Samudra Wibawa.1991. Kebijakan Publik dan Analisa. Jakarta : Intermedia. Hal 22 21 Solichin, Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hal 26 19
42
Menurut Kedua ahli ini dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah suatu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, individu atau pun kelompok yang terbentuk program yang telah di tetapkan dengan menggunakan segala sumberdaya dalam suatu pola yang terintegrasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Peran penting dari analisis implementasi kebijakan adalah mengidentifikasi variabel-variabel yang mempergaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi kebijakan.
Lebih lanjut akan
disajikan bagan variabel-variabel proses implementasi kebijakan :
43
Gambar 1.2. Variabel-variabel Implementasi Kebijakan Mudah atau tidaknya suatu masalah di kendalikan Kesukaran-kesukaran teknis, keragaman perilaku, kelompok sasaran, prosentase kelompok sasaran dibanding dengan jumlah pendududuk. Ruang lingkup Perubahan perilaku yang diinginkan.
Kemampuan kebijakan untuk menstruktur Proses Implementasi kejelasan dan kosisten tujuan, digunakannya teori kausal yang memadi ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarki dalam dan antara lembaga pelaksana aturanaturan keputusan dari badan pelaksana akses formal pihak luar.
Variabel diluar kebijakan yang mempergaruhi proses implementasi kondisi sosia ekonomi dan teknologi dukungan publik, sikap dan sumber yang dimiliki kelompok, dukungan dari pejabat atasan, komitmen dan kemampuan kepemimpinan dari pejabat pelaksana
Tahap-tahap dalam Proses Implementasi (Variabel bergantung) Output Perbaikan Kebijakan Mendasar Kelompok dan Badan Pelaksana
Kesedian
Dampak
kelompok
Nyata Output
sasaran mematuhi Kebijakan
kebijakan sebagai dipersepsi
didalam Undangundang
Sumber : Abdul Solichin Wahab, Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2001.
44
Menurut model teori Van Meter dan Van Horn (1975) adalah : A Model Of Policy Implementation Process (model proses implementasi kebijakan). Perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipergaruhi oleh sifat kebijakan dengan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Menurut Van Meter dan dan Van Horn juga menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Implementasi ini akan dipegaruhi dimensi-dimensi kebijakan : 1. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan. 2. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Dengan demikian tingkat keberhasilan implementasi akan lebih tinggi jika perubahan yang akan dikehendaki relatif sedikit sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relatif tinggi. Dengan demikian tingkat keberhasilan implementasi akan lebih tinggi jika perubahan yang dikehendaki relative sedikit sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relative tinggi. Variabel yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan.
45
Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut : 1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber-sumber kebijakan. 3. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksanaan. 4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksana. 5. Sikap para pelaksana. 6. Lingkup ekonomi, sosial, dan politik. Untuk lebih memudahkan penguraiannya, akan dijabarkab dalam bentuk gambar bagan seperti berikut :
Gambar 1.3. Model Implementasi Kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksana
Ukuran dan tujuan kebijakan
Ciri-ciri Badan Pelaksana
Prestasi para Pelaksana
Sumber-sumber Kebijakan
Prestasi Kerja
Lingkungan : Ekonomi, Sosial dan Politik
Sumber : Amir Santoso, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Renika Cipta, Jakarta, 1990.
46
Gambar dan struktur pola kerjasama di atas menjelaskan tentang sistem dan proses, dimana implementasi dirancang dan diterapkan pada tingkat teknis dilapangan. Secara deskriptif, komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan merupakan ciri dari badan pelaksana, dimana dapat dijadikan sebagai ukuran dan tujuan kebijakan. Yang merupakan sebagian sumber-sumber kebijakan atau setelah melalui sebuah tahapan kebijakan, atau bahkan kajian komunikasi antar organisasi. Kegiatan pelaksanaan dapat juga sebagai salah satu sikap pelaksana, yang akhirnya menjadi sebuah prestasi kerja.
E. DEFINISI KONSEPSIONAL 1. Manajemen Keuangan Daerah Manajemen Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawabaan dan pegawasan Keuangan Daerah (Halim, 2007 : 330). Sedangkan Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajibaan yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/ dikuasai oleh Negara atau Daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/ Peraturan Perundangan yang berlaku.
47
2. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah adalah Penerimaan Daerah Sektor Pajak Daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pegelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah mempunyai peranan penting dalam pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dimana peranan Pendapatan Asli Daerah diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Dengan demikian akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang bersifat mandiri. 3. Implementasi Program Berbicara megenai Implementasi Program maka terlintas oleh kita bahwa hal tersebut merupakan sub bagian dari implementasi kebijakan. Hal ini mengapa dikatakan
demikian
dikarenakan
implementasi
kebijakan
publik
sendiri
mengandung pengertian yaitu aktivitas pemerintah untuk merealisasikan tujuantujuan publik (goals of public policies) menjadi hasil-hasil yang bisa dilihat (out come). Berdasarkan penjelasan diatas maka implementasi kebijakan merupakan fungsi dari implementasi program dan tergantung hasil-hasil (out come). Jadi Pengertian Implementasi Program adalah pelaksanan kebijakan-kebijakan oleh individu atau pejabat- pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
48
F. DEFINISI OPERASIONAL Definisi Operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau dengan kata lain sebagai petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel untuk mempermudah suatu penelitian. Menurut koentjaraningrat yang dimaksud dengan definisi operasional adalah. “ Usaha mengubah konsep-konsep yang berupa construct dengan kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain “. Definisi operasional dari Implementasi Program Pengelolaan Perparkiran di Kota Yogyakarta Sebagai Peningkatan Pendapatan Asli Daerah adalah : A. Implementasi Program Pengelolaan Parkir Dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah 1. Target dan Realisasi Penerimaan Retribusi Parkir Kota Yogyakarta pada Tahun 2007 – 2008. 2. Swastanisasi Perparkiran B. Faktor-faktor yang mempergaruhi Implementasi Program a. Komunikasi : 1. Kejelasan dalam memberikan perintah kepada aparat pelaksana untuk melaksanakan kebijakan dan koordinasi. 2. Koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan Program Penanggulangan Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial. 3. Konflik atau perbedaan dalam pelaksanaan kebijakan Program Penanggulangan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
49
b. Sumber daya : 1. Tersedianya sumber-sumber yang diperlukan dalam pelaksanaan. 2. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan dalam pelaksanaan. 3. Tersedianya waktu yang cukup untuk dapat mengalikasikan dana. c. Disposisi /sikap pelaksana : 1. Pengetahuan dan kemampuan yang cukup dari aparat pelaksana untuk melaksanakan kegiatan. 2. Kesesuaian aturan kebijakan dengan aturan pelaksana. d. Struktur birokrasi : 1. Kejelasan struktur birokrasi Pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksana program. 2. Pelaksana yang efektif terhadap pelaksanaan kebijakan Program Penanggulangan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. G. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara untuk melaksanakan penelitian pegetahuan ilmiah yang menyimpulkan fakta-fakta atau prinsip untuk mencapai kepastian megenai suatu masalah. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang menggunakan suatu metode dimana meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi dalam pemikiran ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif kualitatif adalah untuk membuat deskriptif, gambaran atau
50
lukisan secara sistematis, factual, dan akurat megenai gambaran-gambaran, faktafakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang sedang diselidiki. Penelitian ini digunakan karena dalam fenomena akan diselidiki untuk mengembangkan konsep-konsep yang menghimpun fakta dengan cara subyek penelitian ini berdasarkan sebagaimana adanya. Dalam penelitian ini peneliti menganalisa bagaimana implementasi program pengelolaan parkir Sebagai Peningkatan Pendapatan Asli Daerah telah dilaksanakan serta faktor-faktor apa saja yang mempergaruhi implementasi program pengelolaan parkir melalui apa yang ada dan apa yang terlihat, sehubungan dengan hal itu dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian deskriptif yang dianggap tepat dalam penelitian. 2. Lokasi Penelitian Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di Unit Pelaksana Teknis Perparkiran Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta dan mengambil sampel dibeberapa bagian sepanjang di beberapa bagaian sepanjang jalan Malioboro, beberapa bagian Jalan Jenderal Ahmad Yani dan beberapa bagian Jalan Urip Sumoharjo. Jalan lokasi tersebut merupakan wilayah potensial dan cukup tinggi keramaian penggunaan tepi jalan umum sebagai lahan parkir. 3. Sumber Data Menurut jenisnya data dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Data Primer Data yang diperoleh dan keterangan pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui
51
wawancara dengan Kabid. Perencanaan Pembangunan Fisik dan Prasarana, Kasi. Terminal dan Perparkiran Dinas Pendapatan Daerah, Staf Tata Ruang Dinas Tata Kota, Unit Pelaksana Teknis Perparkiran, Forum Pekerja Parkir Kota Yogyakarta (FPPKY), serta masyarakat pengguna jasa parkir. b. Data sekunder Data yang diperoleh dari media massa, buku-buku, kliping, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dalam penelitian ini Data Sekunder diperoleh dari dokumendokumen dari Unit Pelaksana Teknis Parkir yang berhubungan dengan penyelenggaraan parkir, serta buku-buku, dan berita dari media massa yang berhubungan dengan penyelenggaraan parkir. 4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Observasi Observasi adalah data yang diperoleh secara langsung dilapangan terkait dengan masalah yang sedang diselidiki. Observasi dilakukan kawasankawasan parkir sekitar jalan Malioboro, dan beberapa bagian jalan Jendral Ahmad Yani dan beberapa bagian Jalan urip Sumoharjo. b. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Data yang diperoleh secara langsung dengan aktivitas yang dihadapi dalam penelitian. Wawancara dilakukan dengan Kabid. Perencanaan Pembangunan Fisik dan Prasarana, Staf Tata
52
Ruang Dinas Tata Kota, Unit Pelaksana Teknis Perparkiran, Forum Pekerja Parkir Kota Yogyakarta (FPPKY), serta masyarakat pengguna jasa parkir. c. Dokumentasi Dokumentasi adalah menerapkan pola dengan mempelajari data dari berbagai literatur, buku, jurnal, laporan media massa, serta sumber relevan yang terkait dengan penelitian ini. Dalam hal ini penulis megambil dukumentasi dari dokumen-dokumen Unit Pelaksana Teknis Perparkiran, maupun media massa, serta buku yang mendukung penelitian ini. 5. Unit Analisa Data Unit analisa data dalam penelitian ini adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Sedangkan Sumber-sumber data penelitian adalah para juru parkir, kepala bagian UPT Perparkiran, serta masyarakat Pengguna jasa parkir. 6. Teknik Analisis Data Penelitian ini akan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu metode analisis data kualitatif yang telah diperoleh melalui penggambaran faktafakta atau karakteristik yang sebenarnya yang bersumber dari data primer dan data sekunder. Dengan hal tersebut diharapkan akan diambil suatu kesimpulan yang dapat diuji kebenarannya sehingga dapat diketahui adanya hubungan sebab akibat antara data-data yang diperoleh dalam suatu penelitian. Dalam metode penelitian kualitatif, dengan menganalisis sejauh mana kebijakan pengelolaan perparkiran sebagai peningkatan pendapatan daerah.
53