BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah Pusat/Daerah harus melakukan pengelolaan atas BMN/D agar dapat berguna bagi pemerintah dan masyarakat. Pengelolaan BMN/D adalah suatu proses dalam mengelola kekayaan yang telah ada sebelumnya atau yang diperoleh dari beban APBN/D atau perolehan lainnya yang sah yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pemerintah maupun masyarakat. BMN/D adalah sumber daya ekonomi yang dikuasasi dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Pusat/Daerah maka pengelolaan BMN/D tersebut harus dilakukan secara baik dan benar (Yusuf, 2010). Pengelolaan dilakukan secara baik dan benar bermakna pengelolaan BMN/D harus taat asas (Chabib Sholeh dan Heru Rochmansjah, 2010). Adapun asas-asas dalam pengelolaan BMN/D meliputi: asas fungsional, asas kepastian hukum, asas transparansi, asas keterbukaan, asas efisiensi, asas akuntabilitas, dan asas kepastian nilai. Asas fungsional yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah di bidang pengelolaan BMN/D sesuai fungsi, wewenang dan tanggung jawab masingmasing pejabat yang mengelola BMN/D. Asas kepastian hukum yaitu pengelolaan BMN/D harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Asas transparansi atau asas keterbukaan yaitu
1
2
penyelenggaraan pengelolaan BMN/D harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar. Asas efisiensi yaitu pengelolaan BMN/D diarahkan agar BMN/D digunakan sesuai batasanbatasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal. Asas akuntabilitas yaitu setiap kegiatan pengelolaan BMN/D harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Asas kepastian nilai yaitu pengelolaan BMN/D harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D serta penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah. Agar dapat mentaati asas-asas tersebut, pengelolaan BMN/D harus berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan
perundang-undangan
terkini
yang
berlaku
mengenai
pengelolaan BMN/D adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. PP Nomor 27 Tahun 2014 tersebut merupakan peraturan yang mengganti PP sebelumnya yaitu PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah juncto PP Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. PP Nomor 27 Tahun 2014 tersebut menjadi petunjuk pelaksanaan (juklak) bagi pemerintah pusat/daerah dalam melakukan pengelolaan BMN/D. Adapun petunjuk teknis (juknis) terkait pengelolaan BMD diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang
3
Milik Daerah yang mengatur lebih rinci mengenai pengelolaan BMD. Petunjuk Teknis Pengelolaan BMD masih mengacu ke Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah dikarenakan petunjuk teknis yang terkini belum ditetapkan. Dalam pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah ditegaskanbahwatahapan-tahapan dalam pengelolaan BMD meliputi: a) Perencanaan kebutuhan dan penganggaran; b) Pengadaan;c) Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran; d) Penggunaan; e) Penatausahaan; f) Pemanfaatan; g) Pengamanandanpemeliharaan; h) Penilaian; i) Penghapusan; j) Pemindahtanganan; k) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian; dan l) Tuntutan Ganti Rugi. Dari 12 (dua belas) tahapan dalam pengelolaan BMD sebagaimana diuraikan di muka, tahapan pemanfaatan menjadi tahapan yang menarik untuk ditelaah. Hal ini disebabkan tahapan pemanfaatan memiliki pengaruh terhadap Pendapatan Pemerintah. Dalam konteks pemerintah daerah, tahapan pemanfaatan menjadi sangat penting dikarenakan pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Besar kecilnya PAD merupakan gambaran kemandirian keuangan pemerintah daerah, semakin besar proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah berarti keuangan pemerintah daerah tersebut semakin mandiri. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa tahapan pemanfaatan BMD merupakan tahapan yang sangat penting dikarenakan
4
memiliki pengaruh terhadap PAD yang berdampak pada tingkat kemandirian keuangan daerah. Pengertian pemanfaatan BMD menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah adalah pendayagunaan BMD yang tidak dipergunakan sesuai tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan tidak mengubah status kepemilikan. Bentuk-bentuk pemanfaatan BMD terdiri dari: a) sewa; b) pinjam pakai; c) kerja sama pemanfaatan; dan d) bangun guna serah atau bangun serah guna. Bentuk pemanfaatan BMD berupa sewa yaitu penyerahan hak penggunaan BMD kepada pihak ketiga dalam jangka waktu tertentu dengan kewajiban bagi pihak ketiga tersebut untuk memberikan imbalan berupa uang sewa bulanan atau tahunan sesuai lama waktu sewa, baik sekaligus maupun secara berkala. Melalui penyewaan BMD, pemerintah daerah akan memperoleh uang sewa dalam jangka waktu tertentu sesuai lama sewa. Perolehan uang sewa tersebut bagi pemerintah daerah merupakan pendapatan daerah. Hal ini berarti pemanfaatan BMD dalam bentuk sewa menimbulkan pendapatan daerah berupa penerimaan kas pemerintah daerah yang berasal dari sewa. Pemerintah daerah dapat meminjamkan BMD untuk dipakai pihak lain sebagai bentuk pemanfaatan BMD. Pinjam pakai yaitu penyerahan penggunaan BMD kepada instansi pemerintah atau kepada pemerintah daerah
5
lainnya, tanpa menerima imbalan, dan setelah jangka waktu pinjam pakai berakhir BMD diserahkan kembali kepada pemerintah daerah.Pemanfaatan BMD melalui pinjam pakai tidak memiliki pengaruh terhadap pendapatan daerah yang berarti tidak menimbulkan penerimaan kas. Namun bukan berarti pinjam pakai tidak bermanfaat bagi pemerintah daerah. Pinjam pakai memiliki manfaat bagi pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan efisiensi pengelolaan BMD. Melalui pinjam pakai, BMD yang tidak digunakan oleh pemerintah daerah, digunakan instansi pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, sehingga pemerintah daerah yang memiliki BMD tersebut tidak perlu menganggarkan belanja pemeliharaan BMD dikarenakan tanggung jawab belanja operasional BMD dan belanja pemeliharaan BMD menjadi kewajiban instansi pemerintah atau pemerintah daerah lainnya yang memakai BMD dimaksud. Dalam rangka optimalisasi daya guna dan hasil guna BMD serta dalam rangka menambah/meningkatkan pendapatan daerah, pemerintah daerah dapat memanfaatkan BMD dalam bentuk Kerja Sama Pemanfaatan. Melalui Kerja Sama Pemanfaatan, pemerintah daerah memperoleh pendapatan daerah yang berasal dari pembayaran kontribusi tetap ke rekening kas daerah oleh mitra kerja sama selama jangka waktu pengoperasian BMD yang dikerjasamakan pemanfaatannya. Kontribusi tetap yang diterima pemerintah daerah merupakan pembagian keuntungan yang didapatkan dari hasil kerja sama pemanfaatan BMD. Kerja Sama Pemanfaatan yang dapat dilakukan pemerintah daerah misalnya pemanfaatan tanah milik pemerintah daerah
6
untuk keperluan kebun binatang, pengelolaan limbah, pendidikan dan sarana olah raga. Pemerintah daerah dapat juga melakukan pemanfaatan BMD dalam bentuk Bangun Guna Serah (BGS) atau Bangun Serah Guna (BSG). Pengertian Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan BMD berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara pihak ketiga mendirikan bangunan siap pakai dan/atau menyediakan serta menambah sarana lain berikut fasilitasnya di atas tanah dan/atau bangunan tersebut, kemudian pihak ketiga mendayagunakannya selama jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan, dan setelah berakhirnya jangka waktu kesepakatan, tanah dan/atau bangunan serta sarana lain berikut fasilitasnya diserahkan ke pemerintah daerah. Sedangkan pengertian Bangun Serah Guna (BSG) adalah pemanfaatan BMD berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara pihak ketiga mendirikan bangunan siap pakai dan/atau menyediakan serta menambahsarana lain berikut fasilitasnya, dengan syarat bahwa setelah bangunan dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya selesai dibangun, pihak ketiga terlebih dahulu menyerahkan tanah dan/atau bangunan serta sarana lain berikut fasilitasnya kepada pemerintah daerah, kemudian pihak ketiga diperbolehkan mendayagunakan tanah dan/atau bangunan serta sarana lain berikut fasilitasnya tersebut selama jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Bentuk pemanfaatan BMD berupa BGS secara substansial berarti biaya pendirian bangunan dan sarana lain berikut fasilitasnya menjadi kewajiban pihak ketiga. Hal ini berarti pemerintah daerah tidak mengeluarkan uang dalam kegiatan pembangunan
7
tersebut sebab pembangunan tersebut menjadi kewajiban pihak ketiga. Melalui pemanfaatan BMD dalam bentuk BGS atau BSG, maka pemerintah daerah memperoleh keuntungan berupa pendapatan daerah yang berasal dari pembayaran kontribusi tetap oleh pihak ketiga dimaksud. Optimalisasi Pemanfaatan BMD sebaiknya menjadi kebijakan strategis pemerintah daerah sebagai daerah otonom dalam pengelolaan BMD-nya. Melalui kebijakan strategis berupa optimalisasi pemanfaatan BMD diharapkan terwujud peningkatan pendapatan retribusi pemakaian kekayaan daerah yang optimal pula sehingga memiliki kontribusi yang memadai dalam meningkatkan PAD. Terwujudnya peningkatan PAD berarti secara relatif (asumsi ceteris paribus) terjadi peningkatan kemandirian keuangan daerah. Pemerintah Kota Semarang sebagai daerah otonom yang berwenang mengelola BMD telah menerapkan pengelolaan BMD sesuai ketentuan yang berlaku.
Pemerintah
Kota
Semarang
telah
melaksanakan
sejumlah
program/kegiatan yang substansial terkait pengelolaan BMD, yaitu seperti berikut: a. Pemerintah Kota Semarang telah menginventarisir semua aset yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Semarang dan diinput dalam sistem manajemen barang daerah (SIMBADDA); b. Pemerintah Kota Semarang telah melakukan penilaian terhadap aset yang dimiliki dengan menggunakan penilai eksternal dalam hal ini Kantor Jasa Penilai Publik dan diinput ke dalam SIMBADDA.; dan
8
c. Pemerintah
Kota
Semarang
telah
menyusun
Rencana
Induk
Pengembangan Perekonomian (RIPE) yang salah satu strateginya yaitu tentang optimalisasi manajemen pengelolaan aset daerah dengan prioritas pada tersedianya data aset yang akurat, pengamanan aset serta meningkatkan kerja sama pengelolaan aset. Selain program/kegiatan substansial sebagaimana diuraikan di muka, Pemerintah Kota Semarang juga sudah berhasil merealisasikan beberapa program/kegiatan, seperti: a) sertifikasi tanah Pemerintah Kota Semarang; b) pendataan dan penataan gedung/bangunan Pemerintah Kota Semarang; c) inventarisasi dan validasi nilai Mesin dan Perlengkapan; dan d) inventarisasi dan validasi nilai Jalan, Irigasi dan Jaringan. Melalui berbagai pelaksanaan program/kegiatan sebagaimana diuraikan di muka, Pemerintah Kota Semarang berhasil memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diberikan oleh BPK Provinsi Jawa Tengah atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Semarang Tahun 2013. Namun terkait pemanfaatan BMD tampak terjadi paradoks. Realitas menunjukkan bahwa retribusi pemakaian kekayaan daerah kota Semarang sebesar Rp79.849.697.615. Dengan total aset sebesar Rp3.311.833.580.864. berarti hanya sebesar 2,4% dari nilai total aset. Dengan demikian jumlah nominal pendapatan retribusi tersebut tergolong rendah dibandingkan nilai nominal total asetnya. Adapun proporsi atau rasio retribusi pemakaian
9
kekayaan daerah Kota Semarang terhadap PAD Kota Semarang juga masih rendah yakni hanya sebesar 15,31% dari total PAD atau kurang dari 50%. Besarnya jumlah nominal pendapatan daerah yang berasal dari retribusi pemakaian kekayaan daerah menunjukkan besarnya pendapatan daerah yang berhasil diperoleh melalui pemakaian kekayaan daerah (BMD). Proporsi atau rasio retribusi pemakaian kekayaan daerah terhadap PAD menggambarkan besarnya kontribusi retribusi pemakaian kekayaan daerah dalam perolehan PAD. Proporsi atau rasio yang rendah menggambarkan kontribusi yang kecil, sebaliknya proporsi atau rasio yang tinggi menggambarkan kontribusi yang besar. Dengan demikian mengacu pada proporsi atau rasio yang hanya sebesar 15,31% yang berarti rendah dapat disimpulkan bahwa kontribusi retribusi pemakaian kekayaan daerah dalam perolehan PAD adalah kecil. Kondisi inilah yang mengindikasikan adanya paradoks. Di satu sisi Pemerintah Kota Semarang sudah menerapkan pengelolaan BMD secara taat asas, namun di sisi yang lain penerimaan dari retribusi pemakaian kekayaan daerah masih rendah dan kontribusinya terhadap PAD juga masih kecil. Pemerintah Kota Semarang memang sudah menerapkan bentuk-bentuk pemanfaatan BMD seperti sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan dan bangun guna serah atau bangun serah guna. Namun jumlahnya sangat sedikit. Pemanfaatan dalam bentuk sewa sebanyak 19 perjanjian sewa. Pemanfaatan dalam bentuk Bangun Guna Serah (BGS) atau lazim disebut Built Operate Transfer(BOT) sebanyak 9 perjanjian BOT. Sedangkan Pemanfaatan dalam bentuk Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) sebanyak 2 perjanjian KSP. Realitas
10
ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Semarang belum mampu mengoptimalkan pemanfaatan BMD, padahal sudah menerapkan tahapantahapan pengelolaan BMD termasuk tahapan pemanfaatan secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat diduga bahwa pemanfaatan BMD yang belum optimal menyebabkan perolehan retribusi pemakaian kekayaan daerah yang rendah. Kondisi paradoksial ini menjadi menarik untuk diteliti. Berdasarkan uraian di muka, penulis tertarik untuk meneliti mengenai pemanfaatan BMD di Kota Semarang, dan mengambil judul “Pemanfaatan BMD dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Semarang)”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di muka, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pemanfaatan BMD Kota Semarang? 2. Bagaimana pengaruh pemanfaatan BMD Kota Semarang terhadap PAD Kota Semarang?
11
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mendapatkan gambaran mengenai pemanfaatan BMD yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang. 2. Untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan BMD Kota Semarang terhadap PAD Kota Semarang.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Pengembangan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk menambah informasi, dan dapat dijadikan referensi kepada setiap pihak yang hendak membahas atau memperdalam masalah yang sesuai dengan penelitian ini. 2. Bagi Pengambil Kebijakan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Semarang dalam mengambil kebijakan sehubungan dengan pemanfaatan aset tetap daerah serta mengambil kebijakan dalam rangka upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang yang dalam hal ini retribusi pemakaian kekayaan daerah. 3. Bagi Studi Selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk menambah informasi dan wawasan dalam penelitian selanjutnya di bidang masalah
12
yang sama sehingga upaya peningkatan pendapatan di masing-masing daerah dapat berjalan maksimal.