MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. II, No.2 (Agustus 2014)
APARATUR PEMERINTAHAN DAERAH DALAM DESENTRALISASI Erry Hendriawan1 ABSTRAK Reformasi 1998 telah mengubah kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Perubahan yang terjadi di antaranya juga berpengaruh terhadap pemerintahan, termasuk pelaksanaan desentralisasi pemerintahan daerah yang berpengaruh pula terhadap aparatur dan tata kelola pemerintahan. Tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sering terkendala oleh kecenderungan DPRD dan birokrasi menghabiskan sebagian besar anggaran untuk belanja publicn yang salah satunya dilihat dari sejumlah jumlah aparaturnya terus membengkak dan menguras anggaran public. Kecerobohan pemerintah pusat, yaitu dengan mengangkat tenaga honorer sebagai pegawai negeri sipil, telah memunculkan moral hazards di daerah. Salah satu bentuk dari moral hazard itu adalah kecenderungan elit daerah membuat daftar tenaga honorer fiktif untuk memperbesar alokasi pegawai daerah. Akibatnya, terjadi penambahan jumlah aparatur daerah secara signifikan dengan kompetensi yang tidak jelas. Perlu dilakukan perubahan mendasar terhadap sistem perundangan yang mengatur kepegawaian daerah agar dapat memberikan ruang mobilitas untuk pegawai daerah berkarir di luar daerahnya dengan struktur jabatan yang sama sesuai dengan hokum kepegawaian. Dengan demikian ruang kompetensi dan peningkatan kapasitas bagi pegawai daerah menjadi terbuka.
Kata Kunci : Desentralisasi, otonomi daerah, aparatur negara, moral hazard
1 Erry Hendriawan adalah Dosen Jurusan Pendidikan IPS, Prodi. PPKn Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi
173
Erry Hendriawan Aparatur Pemerintahan Daerah Dalam Desentralisasi
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Karena desentralisasi dilakukan dibawah tekanan, pemerintah dan DPR gagal membuat kerangka kebijakan yang menyeluruh, koheren, dan mampu mengintegrasikan desentralisasi dengan kebijakan reformasi lainnya, salah satunya adalah dengan reformasi aparatur. Akibatnya, muncul banyak anomali dan paradoks dalam pengelolaan aparatur daerah. Persoalan muncul hampir dalam setiap aspek pengelolaan aparatur daerah, seperti rekrutmen, manajemen karir, manajemen kinerja, serta pengembangan sistem penggajian dan kesejahteraan aparatur daerah. Kebijakan desentralisasi belum memberikan arah yang jelas kemana reformasi aparatur daerah seharusnya dilakukan, agar keberadaan aparatur daerah mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap pencapaian tujuan desentralisasi. Akibatnya, muncul banyak fenomena yang sering mengindikasikan ketidakmampuan aparatur daerah dalam mempercepat terwujudnya perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah. Desentralisasi justru mendorong terjadinya elit capture dalam penganggaran. Tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sering terkendala oleh kecenderungan DPRD dan birokrasi menghabiskan sebagian besar anggaran untuk belanja public. Tidak adanya arah dan pedoman yang jelas untuk mendorong daerah melakukan rightsizing mambuat ukuran birokrasi, yang dilihat dari sejumlah SKPD dan jumlahnya aparaturnya, terus membengkak dan menguras anggaran public.
Kecerobohan pemerintah pusat, yaitu dengan mengangkat tenaga honorer sebagai pegawai negeri sipil, telah memunculkan moral hazards di daerah. Salah satu bentuk dari moral hazard itu adalah kecenderungan elit daerah membuat daftar tenaga honorer fiktif untuk memperbesar alokasi pegawai daerah. Akibatnya, terjadi penambahan jumlah aparatur daerah secara signifikan dengan kompetensi yang tidak jelas. Pengangkatan pegawai honorer menjadi aparatur daerah menimbulkan beberapa masalah yang dapat mengganggu pelaksanaan desentralisasi. Pertama, penambahan jumlah pegawai dengan ukuran kompetensi yang tidak jelas mempersempit peluang daerah untuk merekrut tenaga dengan kualifikasi tertentu yang sangat diperlukan dalam rangka mempercepat kemajuan daerah, seperti perencana, analis kebijakan, akuntan, dokter, guru dan sebagainya. Beberapa jenis tenaga fungsional tersebut sangat diperlukan di daerah, bahkan pada sejumlah daerah tertentu tingkat urgensinya sudah sangat mendesak. Kedua, penambahan tenaga yang yang berasal dari tenaga honorer itu akan membebani anggaran daerah untuk jangka waktu yang sangat lama. Peluang untuk melakukan rightsizing struktur kepegawaian daerah menjadi sirna dengan sendirinya. Diperlukan waktu satu generasi untuk mengembalikan kondisi aparatur daerah seperti semula. Ketiga, tidak jelasnya ukuran kompetensi dari PNS baru yang berasal dari tenaga honorer itu memaksa daerah mengeluarkan biaya yang sangat besar apabila ingin meningkatkan
174
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. II, No.2 (Agustus 2014)
kecakapan dan keterampilan mereka untuk dapat berperan dalam pembangunan daerah. Kegagalan mengatur hubungan fungsional dan kelembagaan secara jelas antara institusi politik dan birokrasi di daerah melahirkan banyak komplikasi persoalan dalam pelaksanaan desentralisasi, seperti politisasi birokrasi, koalisi antara aparatur dengan anggota DPRD dalam pembobolan anggaran, dan konflik antara politisi dengan para pejabat karir. Berbagai persoalan itu jika tidak segara dicarikan solusinya dapat mengganggu perjalanan desentralisasi di Indonesia. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sebagai salah satu ekspresi dari partisipasi politik warga telah mendorong elit politik di daerah untuk memanfaatkan mesin birokrasi sebagai pengumpul suara dalam pilkada. Elit politik berusaha memanfaatkan peluang yang muncul dari tidak adanya pengaturan yang jelas dalam promosi dan pengangkatan pejabat karir untuk menjadikan mereka sebagai aktivis politik dan mesin kampanye untuk pilkada. Sebaliknya, aparatur daerah bersedia melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis dengan menjadi mesin kampanye karena berharap kemudian hari bisa memperoleh kelancaran dalam karirnya di birokrasi. Kebutuhan timbale balik ini telah menjadikan jabatan karir dalam birokrasi di daerah sebagai arena transaksi politik antara politisi dengan pejabat kariri di daerah. Stabilitas birokrasi dan keandalan mereka sebagai institusi pelayanan sering terganggu karena pergantian kepala daerah selalu diikuti oleh pergantian secara masal kepala SKPD (kepala dinas, badan, dan
sebagainya). Pergantian itu dilakukan oleh kepala daerah terpilih untuk memasukkan tim sukses mereka dalam struktur birokrasi sebagai penghargaan atas dukungannya dalam pilkada. Akibatnya, muncul patronase politik dalam birokrasi di daerah. Melalui cara seperti ini kepala daerah dan wakilnya dapat mendudukkan orang-orangnya pada jabatan-jabatan yang memungkinkan mereka mengakses sumberdaya publik untuk kepentingan politik dan kelompok. Situasi seperti ini sangat tidak sehat bagi pengembangan aparaturdaerah yang professional dan peduli kepada kepentingan publik. Banyak studi menunjukkan bahwa desentralisasi juga diikuti oleh persebaran perilaku koruptif yang meluas ke daerah. Menguatnya patronase dan clientalism antara politisi dengan aparatur birokrasi di daerah telah membuat control terhadap perilaku korupsi menjadi semakin sulit. Apalagi dalam kondisi masyarakat sipil masih sangat lemah maka kontrol terhadap persekongkolan baru antara elit politik dan birokrasi menjadi tidak efektif. Pembuatan APBD menjadi arena persekongkolan baru antara elit politik dan borikrasi untuk menggerogoti anggaran daerah. Ketika mekanisme perencanaan dari bawah melalui musrenbang tidak memiliki keterkaitan dengan proses deliberasi yang terjadi di DPRD terdapat kegiatan yang sering menjadi modus operandi dari kolusi antara politisi dengan aparatur birokrasi di daerah. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang mekanisme hubungan antara pejabat politik dan aparatur birokrasi ikut memberikan kontribusi terhadap kesulitan mengendalikan kolusi antara pejabat birokrasi dengan anggota DPRD dan para politisi lainnya.
175
Erry Hendriawan Aparatur Pemerintahan Daerah Dalam Desentralisasi
Kesulitan mengembangkan profesionalisme aparatur daerah juga muncul karena mobilitas aparatur daerah yang mengalami kemacetan setelah dilaksanakannya otonomi daerah. Ketika aparatur pusat dialih-tugaskan ke daerah dan gaji mereka dijadikan variable untuk menentukan kebutuhan fiscal daerah, transfer aparatur antar daerah dan tingkat pemerintahan menjadi sangat sulit dilakukan. Aparatur daerah menjadi terkotakkotak pada satuan wilayah yang sempit dan kehilangan wawasan nasional dalam memahami berbagai isu penyelenggaraan pemerintahan daerah. Situasinya cenderung menjadi semakin buruk ketika desentralisasi juga mendorong tumbuhnya daerah-daerah otonom baru. Selama satu dekade pelaksanaan desentralisasi telah memunculkan ratusan daerah otonom baru, yang membuat aparatur daerah terfragmentasi ke dalam ruang sosial, politik, dan spasial yang semakin sempit. Apalagi jika pembentukan daerah otonom baru itu didorong oleh kesamaan nilainilai primordial, seperti etnisitas dan agama, fragmentasi spasial bertumpang tindih dengan fragmentasi berbasis nilainilai primordial. Situasi seperti ini tentu sangat merugikan dilihat dari keinginan untuk menjadikan aparatur daerah sebagai national-binding forces. Pelaksanaan desentralisasi selama satu dekade sekarang ini menciptakan paradox dan anomaly. Banyak perubahan telah dinikmati sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada satu sisi desentralisasi memberikan kontribusi terhadap percepatan terwujudnya pemerintahan daerah yang partisipatif, responsif, dan transparan.
Namun pada sisi lain, elite captures dan perilaku koruktif juga semakin meluas. Dalam bidang pengembangan aparatur daerah, pengalihan kekuasaan dan sumber daya ke daerah menjadikan daerah memiliki daya tarik yang besar dan mendorong banyak warga yang memiliki keahlian, kecakapan, dan pendidikan tinggi untuk bermigrasi ke daerah. Putra daerah yang dahulunya merantau untuk mencari keberuntungan di pemerintahan pusat dan daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, terutama di Jawa, sangat mungkin memilih untuk kembali ke daerah. Apalagi desentralisasi juga telah mampu mendorong munculnya perguruan tinggi di daerah. Manjamurnya perguruan tinggi di daerah membuat produksi tenaga terampil dan terdidik untuk pembangunan daerah dapat tercukupi dengan mudah. Putra daerah yang sebelumnya harus pergi ke Jawa untuk menempuh pendidikan tinggi, sekarang dapat mengakses pendidikan tinggi di daerahnya sendiri. Semakin besarnya investasi daerah pada sumberdaya manusianya maka peningkatan kuantitas dan kualitas universitas dan pendidikan tinggi di daerah dapat memberikan kontribusi yang positif dalam percepatan reformasi aparatur daerah. Fenomena ini tentu sangat penting dan menjadi modal yang berarti dalam pengembangan aparatur daerah dan memperkuat wawasan nasional. Namun pada sisi lain, desentralisasi telah mendorong menguatnya ethnocentrisme dan nilai-nilai subjektif dalam pengelolaan aparatur daerah dan pelayanan public. Elit dan para pemangku kepentingan di daerah sering memahami desentralisasi sebagai peluang untuk
176
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. II, No.2 (Agustus 2014)
menempatkan putra daerah pada jabatan strategis di daerah dan menggunakan sumberdaya alam untuk kepentingan daerah sendiri. Para pemangku kepentingan di daerah cenderung menjadi inward looking dalam memahami berbagai isu dan masalah yang berkembang di daerah. Penempatan aparatur dalam jabatan karir lebih berdasarkan pada pertimbangan primordial dan patronase politik daripada pertimbangan merit dan kompetensi. Paradox ini terus berlangsung sampai sekarang dan menjadi salah satu konflik laten yang ada di daerah. Salah satu dampak negatif dari otonomisasi provinsi dan kabupaten yang kurang terantisipasi adalah kecenderungan tumbuhnya ethnocentrisme dalam kepegawaian daerah. Sikap, kebiasaan dan perilaku kelompok “kami“ lebih superior daripada kelompok “kamu”. Ini tidak saja menghinggapi orang awam, melainkan juga para pakar pada waktu itu. Praktik ethnocentrisme dalam kepegawaian daerah tampak jelas ketika otonomi dimaknai sebagai kesempatan untuk kembali ke daerah asalnya oleh sebagian besar pegawai. Mereka berbondong-bondong berebut untuk mendapatkan posisi kepegawaiam di daerah asal atau tempat kelahiranya. Otonomi daerah kemudian dimaknai oleh para pegawai sebagai pengabdian pada daerah. Para pegawai itu kemudian beramai-ramai pulang ke daerahnya dengan semangat pengabdian daerah. Motifnya sering sangat personal-psikologis, yaitu bagi kebanyakan orang Indonesia, hidup di lingkungan keluarga jauh lebih nyaman dibandingkan hidup di rantau.
Provinsi dan kabupaten yang ditinggalkan pegawai yang berasal dari daerah lain (pendatang) tentu saja bergembira, karena ini berarti peluang untuk merekrut putra daerah untuk menjadi pegawai daerah setempat meskipun pegawai yang berasal dari daerah lain (pendatang) tersebut sebenarnya sangat handal dan memiliki kinerja yang baik. Bagi provinsi atau kabupaten yang kedatangan “rombongan pulang kampung” seringkali merasa bahwa keberadaan pemudik yang sedemikian besar ini sebenarnya adalah suatu persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah kabupaten setempat merasa senang karena yang bekerja pada instansinya adalah putra daerah, namun terkadang pegawai tersebut bukan orangorang yang dapat bekerja dengan baik. Selanjutnya etnosentrisme memunculkan bosisme local dalam kepegawaian daerah, dimana jabatan putra daerah harus lebih tinggi dibandingkan pegawai pendatang. Eselon atas dipenuhi oleh pegawai daerah asal, sementara kaum pendatang berada di struktur bawah. Hal ini sebenarnya dapat berakibat fatal dalam manajemen pemerintahan karena kompetensi, kinerja dan prestasi terkadang sangat diabaikan dalam penilaian pegawai. Terkadang pegawai pendatang yang memiliki kompetensi, keahlian, kinerja, pengalaman dan attitude yang lebih baik dari pegawai lokal, justru terpinggirkan oleh nuansa ethnocentrisme yang berkembang pesat di daerah. Sejalan dengan hal itu ethnocentrisme juga menimbulkan sistem karir yang tidak pasti, karena hukum kepegawaian kurang memiliki legitimasi etis daripada hukum adat setempat. Dalam promosi pegawai daerah, seorang pegawai yang kompeten,
177
Erry Hendriawan Aparatur Pemerintahan Daerah Dalam Desentralisasi
berprestasi dan kinerjanya luar biasa tidak dapat dipromosikan pada jabatan tertentu karena bukan penduduk asli atau berasal dari luar daerah. Kemungkinan lainnya adalah pegawai tersebut bukan dari suku papan atas atau berbeda agama dengan mayoritas pegawai di sana. Senada dengan hal itu, dalam semua pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif, isu putra daerah selalu mengemuka. Banyak kandidat yang menggunakan isu tersebut sebagai salah satu senjata, bahwa putra daerah lebih mengenal dan dikenal masyarakatnya, lebih paham aspirasi masyarakatnya, serta lebih setia dan loyal pada daerahnya. Istilah ‘putera daerah’ menurut Alqadri (2007:203) menunjuk pada tiga pengertian, yaitu: 1. Orang-orang yang dalam diri mereka berasal dari keturunan kelompok etnis atau keturunan asli daerah itu (misanya putra Dayak dan Melayu), berdasarkan garis lurus ayah. 2. Mereka yang dilahirkan disitu serta loyal terhadap daerah dan tetap akan berada dan mengabdi di situ (termasuk kategori ini adalah siapa saja, termasuk orang-orang Tionghoa, yang dilahirkan di daerah itu. 3. Mereka yang telah berada di daerah itu paling kurang satu generasi (25 tahun), setia, loyal dan tetap akan berada di daerah itu. Salah satu masalah yang muncul dari pelaksaan otonomi daerah adalah keterbatasan mobilitas karir pegawai negeri dalam suatu daerah. Mobilitas pegawai dikekang oleh kedaerahannya. Pengekangan ini dapat mengakibatkan menurunnya kompetensi pegawai. Pegawai
hanya diperbolehkan mengembangkan karirnya terbatas di daerahnya. Sistem ini akan dapat memelihara kinerja pemerintahan antar daerah, khususnya daerah baru atau tertinggal dengan daerah yang telah maju dan memiliki pelayanan yang sudah lebih baik. Adanya mobiltas pegawai, diharapkan terjadinya share of value dan pemerataan pembangunan. Pembatasan mobilitas pegawai dapat juga menimbulkan penurunan produktivitas dan keengganan pegawai daerah untuk berprestasi. Kondisi ini dapat terjadi ketika jabatan seorang pegawai telah mencapai level atas dan terbentur oleh struktur jabatan yang lebih tinggi. Di lain pihak, kebijakan di bidang kepegawaian tidak memungkinkan adanya mobilitas pegawai ke daerah lain yang masih memiliki struktur jabatan tertentu yang masih kosong. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan mendasar terhadap sistem perundangan yang mengatur kepegawaian daerah agar dapat memberikan ruang mobilitas untuk pegawai daerah berkarir di luar daerahnya dengan struktur jabatan yang sama sesuai dengan hokum kepegawaian. Dengan demikian ruang kompetensi dan peningkatan kapasitas bagi pegawai daerah menjadi terbuka. Pegawai daerah juga cenderung terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di daerah. Birokrasi mencari dukungan untuk memperoleh dan mempertahankan jabatannya. Hal ini menjadi dilemma bagi aparat birokrasi tersebut. Di satu sisi, aparat adalah pegawai yang mengabdi pada kepentingan rakyat sehingga harus bersikap netral. Di sisi yang lain, kedekatan pegawai daerah dengan
178
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. II, No.2 (Agustus 2014)
penguasa akan menentukan kedudukannya dalam struktur kepegawaian. Kesimpulan Implementasi kebijakan otonomi daerah ternyata mengalami berbagai hambatan besar di lapangan. Efektivitas dan efisiensi pemerintahan menjadi sebuah tujuan yang sulit diwujudkan apabila peraturan perundangan belum mampu menyelesaikan dan memberikan jawaban yang tepat atas persoalan tersebut. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, dalam tataran praktis, tanggung jawab kepegawaian berada di pemerintah pusat. Dalam manajemen kepegawaian yang tetap berada di pusat diharapkan salah satu fungsi birorasi sebagai alat pemersatu akan lebih terjaga dan terjalin dengan erat dalam satu wadah kebijakan. Dengan seperti itu maka berbagai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan pegawai negeri dapat diselesaikan dengan baik. Kedua, meskipun manajemen kepegawaian tetap berada di pusat, bukan berarti daerah tidak lagi memiliki kewenangan sama sekali. Daerah akan tetap memiliki kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Pemerintah hendaknya memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk menetapkan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat menentukan formasi kepegawaian daerah sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerahnya masing-masing. Namun pengaturan tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, baik dalam pengangkatan,
penempatan, pemindahan ataupun pemberhentian dengan berpijak pada regulasi yang berlaku. Ketiga, pemerintah daerah perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam menetapkan formasi kepegawaian, sehingga pengawasan dan pengendalian terhadap jumlah pegawai dapat dikontrol sebaik mungkin. Sedangkan pengawasan terhadap pelaksanaan administrasi kepegawaian di kabupaten dapat dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, sesuai dengan ketentuan UndangUndang yang berlaku. Ketentuan ini akan mendukung integrasi sistem kepegawaian daerah dalam sebuah manajemen kepegawaian nasional, tanpa harus mengebiri hak daerah dalam mencukupi kebutuhannya. Keempat, perlunya mengembangkan kerjasama antar daerah dalam pengelolaan kepegawaian daerah. Dalam hal ini, mutasi atau perpindahan pegawai antar daerah hendaknya dikoordinasikan antar pemerintah daerah yang berkepentingan. Dengan demikian perpindahan pegawai antar provinsi dan antar kabupaten dapat terkoordinasi dengan baik berdasarkan norma, standar dan prosedur kepegawaian. Oleh sebab itu, rancangan undangundang aparatur negara harus dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul, termasuk di daerah-daerah sehingga tata kelola pemerintahan semakin optimal.
179
Erry Hendriawan Aparatur Pemerintahan Daerah Dalam Desentralisasi
REFERENSI Alamsyah, Kamal. 2009. Reformasi Administrasi Republik Indonesia. Bandung : Program Magister dan Doktor Ilmu Administrasi Publik. Program Pascasarjana Universitas Pasundan. Kumorotomo, Wahyudi. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta : Gava Media.
Sobandi, Baban. 2004. Etika Kebijakan Publik : Moralitas-Profetis dan Profesionalisme Kinerja Birokrasi. Bandung : Humaniora. Sobandi, Baban . 2005. Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah. Bandung : Humaniora.
180