Pelengkap BUKU PEGANGAN Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
2010
Sinergi Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
Sinergi Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan April 2010
KEMENTERIAN Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gedung Sutikno Slamet Lantai 16 - Jl. DR. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710 Tlp. 021.350.9442 Faks. 021.350.9443 Website: www.djpk.depkeu.go.id Email:
[email protected] ii
KATA PENGANTAR
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yang secara nyata dan
efektif diimplementasikan sejak tahun 2001 diharapkan dapat menjadi landasan dalam penyelenggaraan kebijakan pemerintahan dan pembangunan daerah yang
lebih baik. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur serta dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang untuk dapat meningkatkan kualitas pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pembangunan nasional yang
bersifat inklusif telah mengedepankan pembangunan berdimensi kewilayahan dengan daerah sebagai pusat pertumbuhan. Peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk mendukung upaya Pemerintah dalam menjaga keserasian
dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan (Growth with Equity) melalui triple track strategy.
Kebijakan penting yang perlu dicatat dalam perjalanan kebijakan desentralisasi
fiskal di Indonesia adalah penyempurnaan kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal melalui amandemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999,
dengan Undang-Undang
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
iii
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai suatu upaya strategis penyesuaian
terhadap dinamika pelaksanaan kebijakan tersebut. Kedua undang-undang ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Penyempurnaan undang-undang tersebut menunjukkan komitmen pemerintah pusat untuk terus
melanjutkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, sekaligus menjadi bagian yang sangat strategis dalam kaitannya dengan penyempurnaan
yang dilakukan pemerintah pusat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Implementasi
kebijakan
desentralisasi
fiskal
dilakukan
melalui
dua
instrumen utama yaitu pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah
untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah (local taxing power) dan perimbangan keuangan yang di dalam konteks APBN diberikan nomenklatur
Transfer ke Daerah. Dalam upaya local taxing power tersebut, Pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebagai suatu langkah strategis dan fundamental dalam membangun hubungan keuangan antara pusat dan daerah
yang lebih ideal. Undang-undang PDRD ini diharapkan dapat menyempurnakan sistem
pemungutan
pajak
daerah
dan
retribusi
daerah,
memberikan
kewenangan yang lebih luas kepada daerah di bidang perpajakan, meningkatkan
efektifitas pengawasan, serta memperbaiki pengelolaan pendapatan dari beberapa jenis pajak daerah dan retribusi daerah, sehingga dapat mendukung
upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta penciptaan iklim investasi yang kondusif. iv
Instrumen kebijakan desentralisasi fiskal penting lainnya adalah Transfer ke
Daerah yang dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah sebagai pelaksanaan prinsip
money follow function. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014, kebijakan Transfer ke Daerah diarahkan pada pengurangan kesenjangan fiskal vertikal maupun horisontal dan peningkatan kapasitas fiskal daerah sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan
publik di daerah dan daya saing daerah dengan tetap menjaga stabilitas dan
kesinambungan fiskal nasional, serta sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Implementasi hubungan keuangan antara pusat dan daerah mencakup pula, antara lain pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah ke daerah.
Dalam penyelenggaraan fungsi utama Pemerintah sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pelaksanaan fungsi kebijakan fiskal, baik fungsi alokasi, distribusi, maupun stabilisasi harus dapat dilakukan
secara harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Untuk mendukung kesinambungan fiskal dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, fungsi-fungsi tersebut harus dilakukan melalui koordinasi,
sinkronisasi, dan internalisasi peran dan fungsi antar tingkat pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut merupakan tantangan bersama bagi
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah menuju terselenggaranya good governance dan clean government dalam pengelolaan keuangan negara.
Peranan pemerintah daerah yang lebih besar dalam fungsi alokasi menunjukkan
tanggung jawab daerah yang juga lebih besar dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan di daerah, sehingga tujuan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal dapat tercapai. Dalam kaitan inilah, maka upaya untuk membangun kebijakan yang lebih mempertimbangkan kepentingan publik
dirasakan semakin penting. Untuk itu, penciptaan lingkungan yang kondusif Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
perlu dibangun, antara lain melalui kepastian peraturan, transparansi pelaksanaan
aturan,
kecepatan
pemberian
layanan,
kemudahan
dan
kesederhanaan proses memperoleh layanan publik tersebut, serta sinergi antara pusat dan daerah, serta antardaerah.
Sejak tahun anggaran 2008 penyaluran dana Transfer ke Daerah dilakukan
langsung ke rekening Bendaharawan Umum Daerah. Dengan perubahan
mekanisme tersebut, diharapkan daerah akan lebih cepat merealisasikan
program kegiatannya, sehingga dapat memberikan multiplier effect terhadap perekonomian di daerah. Berkembangnya perekonomian daerah tersebut diharapkan pada gilirannya akan mendorong pembangunan perekonomian secara nasional.
Selain itu, sinergi antara pusat dan daerah dapat diupayakan terutama dalam
penyelenggaraan urusan pemerintah pusat yang dilimpahkan dan/atau
ditugaskan kepada pemerintah daerah dalam bentuk dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Peranan kepala daerah dalam sinergi tersebut diharapkan dapat
menjadi ujung tombak terciptanya harmonisasi dan sinkronisasi strategi
“pembangunan untuk semua” (development for all) yang dicanangkan dalam RPJMN.
Selanjutnya, dalam rangka membangun suatu fondasi yang kokoh dalam proses
penyusunan penganggaran di daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya kondisi pembangunan yang kondusif, maka disusunlah Pelengkap
Buku Pegangan Tahun 2010 dengan tema Sinergi Pusat dan Daerah Dalam
Perspektif Desentralisasi Fiskal. Buku ini memuat kebijakan dan implementasi hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang mencakup antara lain Transfer ke Daerah, pinjaman daerah, hibah daerah, pajak daerah dan retribusi
daerah, pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta sistem
informasi keuangan daerah. Dengan terbitnya buku ini diharapkan kita dapat vi
memperkokoh sinergi antara pusat dan daerah dan antardaerah, serta sekaligus menyamakan persepsi atas pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain itu, buku ini diharapkan pula dapat membangun kepastian dan transparansi dalam menyiapkan kebijakan pengelolaan keuangan dan pembangunan di daerah.
Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan buku ini, mulai dari proses perancangan hingga finalisasi dan
harmonisasi substansinya. Akhirnya saya berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di Indonesia.
Menteri Keuangan
SRI MULYANI INDRAWATI
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
vii
viii
daftar isi
KATA PENGANTAR.................................................................................................................. iii DAFTAR ISI.................................................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR...................................................................................................................xiv DAFTAR TABEL...................................................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................I-3 1.1. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI FISKAL...............................I-3 1.2. Dukungan Kebijakan Pendanaan Pelaksanaan Urusan Pemerintahan ...........................................................................................................................I-6 1.3 SINERGI ANTARA PUSAT – DAERAH DAN ANTAR DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI FISKAL........................................................................................................ I-10 BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH .........II-19
2.1. PENDAHULUAN......................................................................................................................... II-19 2.2. PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH . ................................. II-19 2.2.1. PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL ........................................................ II-19 2.2.2. PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ............................................................ II-25 2.2.3. PARTISIPASI PUBLIK DALAM PERENCANAAN . .................................................... II-28 2.2.4. MEKANISME PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH.................................. II-29 2.2.5. SINKRONISASI ANTARA PERENCANAAN ................................................................ II-33 PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH........................................................................ II-33 2.3. PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH................................................................. II-39 2.3.1. KETERKAITAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH................................................................................................................................ II-39 2.3.2. HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH.................................... II-42 2.3. PENUTUP...................................................................................................................................... II-47 BAB III TRANSFER KE DAERAH.................................................................................... III-51
3.1. PENDAHULUAN.........................................................................................................................III-51 Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
ix
3.2. DANA BAGI HASIL....................................................................................................................III-53 3.2.1. DANA BAGI HASIL PAJAK...................................................................................................III-53 3.2.1.1. Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21......................................... III-54 3.2.1.2. DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) .................................................................. III-55 3.2.1.3. DBH Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ....................................................................................................... III-57 3.2.1.4. DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ................................................................ III-59
3.2.2. DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM . ..............................................................III-64
3.2.2.1. DBH SDA Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (DBH SDA MIGAS) . ......... III-67 3.2.2.2. DBH SDA Pertambangan Umum . ............................................................................. III-83 3.2.2.4. DBH SDA Perikanan ...................................................................................................... III-88
3.2.3. PENETAPAN ALOKASI DBH SUMBER DAYA ALAM . ............................................III-91
3.3. DANA ALOKASI UMUM...........................................................................................................III-91 3.3.1. Penyusunan Formula dan Perhitungan DAU..........................................III-91 3.3.1.2. Formula DAU dalam Kerangka Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.. III-93 3.3.1.3. Variabel DAU..................................................................................................................... III-93
3.3.2. DAU Daerah Pemekaran..........................................................................................III-97
3.4. DANA ALOKASI KHUSUS........................................................................................................III-97 3.4.1. FORMULASI KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS........................................... III-100 3.4.1.1. 3.4.1.2. 3.4.1.3. 3.4.1.4. 3.4.1.5.
Penetapan Program dan Kegiatan..........................................................................III-100 Penghitungan Alokasi DAK........................................................................................III-101 Penghitungan DAK Daerah Pemekaran................................................................III-115 Administrasi Pengelolaan DAK................................................................................III-117 Pelaporan.........................................................................................................................III-119
3.5. PENYALURAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH............................................... III-119 3.5.1. PENYALURAN DBH PAJAK.......................................................................................... III-122 3.5.1.1. Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh ............................................................................III-122 3.5.1.2. Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB ...........................................................................III-123 3.5.1.3. Penyaluran Dana Bagi Hasil BPHTB ....................................................................III-123 3.5.1.4. Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (CHT)...........................III-124
3.5.2. PENYALURAN DBH SUMBER DAYA ALAM............................................................ III-125 3.5.3. PENYALURAN DAU........................................................................................................ III-128 3.5.4. PENYALURAN DAK........................................................................................................ III-129
BAB IV PINJAMAN, HIBAH DAN INVESTASI DAERAH............................................ IV-133 4.1. PENDAHULUAN......................................................................................................................IV-133 4.2. PINJAMAN DAERAH .............................................................................................................IV-135
4.2.1. PERENCANAAN PINJAMAN DAERAH......................................................................IV-136 4.2.2. SUMBER PINJAMAN.......................................................................................................IV-139 4.2.3. JENIS PINJAMAN DAERAH...........................................................................................IV-140 4.2.4. PRINSIP-PRINSIP UMUM PINJAMAN DAERAH...................................................IV-141 4.2.5. PERSYARATAN PINJAMAN...........................................................................................IV-141 4.2.6. PROSEDUR PINJAMAN DAERAH...............................................................................IV-143 4.2.6.1. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri.................................................................................................. IV-144 4.2.6.2. Prosedur Pinjaman Daerah Dari Pemerintah yang Dananya berasal dari Pendapatan Dalam Negeri......................................................................................... IV-152 4.2.6.3. Prosedur Pinjaman Daerah dari Selain Pemerintah........................................ IV-153
4.2.7. PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN.......................................................................IV-155 4.2.8. OBLIGASI DAERAH.........................................................................................................IV-155
4.2.8.1. Prinsip Umum................................................................................................................. IV-158 4.2.8.2. Prosedur Penerbitan.................................................................................................... IV-159 4.2.8.3. Pengelolaan Obligasi Daerah.................................................................................... IV-163 4.2.8.4. Publikasi Informasi...................................................................................................... IV-166 4.2.8.5. Pelaporan, Pemantauan dan Evaluasi ....................................................................... IV-167
4.2.9. PELAPORAN PINJAMAN DAERAH ...........................................................................IV-167 4.2.10. SANKSI PINJAMAN DAERAH....................................................................................IV-168
4.3. HIBAH DAERAH.......................................................................................................................IV-170 4.3.1. SUMBER HIBAH...............................................................................................................IV-171 4.3.3. KRITERIA PEMBERIAN HIBAH..................................................................................IV-172 4.3.4. PENARIKAN DAN PENYALURAN HIBAH................................................................IV-174 4.3.5. PENGELOLAAN HIBAH OLEH DAERAH..................................................................IV-184 4.3.6. PENCATATAN ...................................................................................................................IV-184 4.3.7. PELAPORAN . ...................................................................................................................IV-184 4.3.8. PEMANTAUAN..................................................................................................................IV-185 4.4. INVESTASI DAERAH..............................................................................................................IV-186 4.4.1. BENTUK INVESTASI DAERAH....................................................................................IV-186 4.4.2. SUMBER DANA INVESTASI DAERAH.......................................................................IV-188 4.4.3. PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH.......................................................................IV-188 BAB V PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH...................................................V-193 5.1. PENDAHULUAN........................................................................................................................ V-193 5.2. JENIS PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH....................................................... V-196 5.2.1. Pajak Daerah................................................................................................................. V-196 5.2.2. Retribusi Daerah....................................................................................................... V-197
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
xi
5.3. PERSYARATAN PDRD ............................................................................................................ V-201 5.4. PROSEDUR PENETAPAN PDRD.......................................................................................... V-206 5.5 PENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERDA PDRD...................................................... V-208 5.6 SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN DI BIDANG PDRD .............. V-210 5.7 KESALAHAN-KESALAHAN PERDA PDRD YANG SERING DILAKUKAN DAERAH...................................................................................................................................... V-211 5.8 PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PDRD.................................................................... V-212 BAB VI DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN............................. VI-217
6.1. PENDAHULUAN......................................................................................................................VI-217 6.2 PENGELOLAAN DANA DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN.......................VI-220 6.2.1 Pengertian Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan....................VI-220 6.2.3. Penganggaran Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan...........VI-224 6.2.5. Pertanggungjawaban dan Pelaporan . ...................................................VI-230 6.2.6. Pengelolaan Barang Milik Negara..............................................................VI-233 6.3. PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN ..................................................VI-234 6.3.1. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN................................................................................................................VI-234 6.3.2. PEMERIKSAAN DANA DEKONSENTRASI DAN DANA TUGAS PEMBANTUAN................................................................................................................VI-234 6.4. SANKSI.......................................................................................................................................VI-235 6.5. PERAN KEPALA DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN...........................................................VI-236 6.6. PENDANAAN URUSAN BERSAMA PUSAT DAN DAERAH .......................................VI-238 6.6.1. PENGERTIAN PENDANAAN URUSAN BERSAMA PUSAT DAN DAERAH.....VI-244 6.6.2. PRINSIP-PRINSIP PENDANAAN URUSAN BERSAMA PUSAT DAN DAERAH..................................................................................................................VI-245 6.6.3. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DANA URUSAN BERSAMA PUSAT DAN DAERAH....................................................................................................VI-246 6.6.5. PENCAIRAN DAN PENYALURAN...............................................................................VI-253 6.6.6 PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN........................................................VI-254 6.6.7 PEMBINAAN ....................................................................................................................VI-254 6.6.8 PENGAWASAN..................................................................................................................VI-255 BAB VII SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH..............................................VII-259 7.1. PENDAHULUAN..................................................................................................................... VII-259 xii
7.2. TUJUAN SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH................................................VII-260 7.3. JENIS INFORMASI................................................................................................................. VII-262 7.4. PENYAMPAIAN INFORMASI DAN SANKSI...................................................................VII-264 7.5 MOBILE FISKAL DAERAH (MOFISDA)........................................................................... VII-267 7.6 Website Sistem Informasi Keuangan Daerah..............................................VII-269 7.7 SISTEM KONFIRMASI TRANSFER KE DAERAH.........................................................VII-271 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................275 Indeks.....................................................................................................................................279 Ucapan Terima Kasih.........................................................................................................281
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
xiii
daftar gambar
Gambar 2.1
Penyusunan RPJP Nasional.............................................................................. II-22
Gambar 2.4
Penyusunan RPJM Daerah dan Renstra SKPD.......................................... II-27
Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.5
Penyusunan RPJM Nasional............................................................................. II-23 Penyusunan RKP Nasional............................................................................... II-24 Hubungan Antar Berbagai Dokumen Perencanaan................................ II-35
Gambar 3.1
Skema Bagi Hasil SDA.......................................................................................III-65
Gambar3.4
Mekanisme Penetapan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas................III-72
Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.5 Gambar 3.6
Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi..................................................III-68 Porsi Pembagian DBH SDA Gas Bumi.........................................................III-69 Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas.................................................III-75
Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas.........................................III-77
Gambar 3.7 Penyaluran DBH SDA Migas............................................................................III-78 Gambar 3.8
Counter Balance dalam Management Cashflow DBH MIgas..............III-80
Gambar 3.9 Perhitungan DBH SDA Pertambangan Umum.........................................III-85
Gambar 3.10 Perhitungan DBH SDA Kehutanan................................................................III-87
Gambar 3.11 Mekanisme Penetapan Alokasi DBH SDA..................................................III-90 Gambar 3.12 Kebijakan Jumlah Alokasi DAU Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004................................................................III-92 Gambar 3. 13 Formula Umum Dana Alokasi Umum Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004....................................................III-94 Gambar 3.14 Pembagian DAU bagi Daerah Pemekaran..................................................III-95 Gambar 3.15 Mekanisme Penetapan Program dan Kegiatan.................................... III-101 Gambar 3.16 Proses Penentuan Daerah Tertentu Penerima DAK............................. III-115 Gambar 3.17 Proses Penentuan Besaran Alokasi per Daerah..................................... III-116 Gambar 3.18 Format Penyaluran DBH SDA Migas......................................................... III-126 Gambar 3.19 Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas...................................... III-127 Gambar 3.20 Mekanisme Penyaluran (2008) . ............................................................... III-128
xiv
Daftar Gambar
Gambar 4.1
Proses Perencanaan Pinjaman Daerah.....................................................IV-139
Gambar 4.4
Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber dari Pemerintah......IV-152
Gambar 4.6.
Proses Penerbitan Obligasi Daerah...........................................................IV-159
Gambar 4.2
Prosedur Pengadaan Pinjaman/Hibah Luar Negeri ..........................IV-147
Gambar 4.3 Proses Pelaksanaan Penerusan PLN Kepada Pemda (On-Lending).......................................................................................IV-151 Gambar 4.5 Gambar 4.7 Gambar 4.8
Gambar 4.9
Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber Selain dari Pemerintah................................................................................................IV-154 Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah di Daerah................................IV-161 Pengajuan, Penilaian dan PersetujuanPenerbitan Obligasi Daerah oleh Menkeu......................................................................IV-162 Mekanisme Penyaluran Hibah Berupa Uang..........................................IV-175
Gambar 4. 10 Mekanisme Penyaluran Hibah Berupa Barang dan Jasa....................IV-176 Gambar 4. 11 Penganggaran Hibah dan Penyusunan NPPH........................................IV-177 Gambar 4. 12 Proses Penyusunan DIPA Hibah Kepada Pemerintah Daerah.........IV-179 Gambar 4. 13 Proses Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah......................IV-181 Gambar 4.14 Proses Penggunaan Hibah.............................................................................IV-183 Gambar 4.15 Bagan Jenis Investasi Daerah.......................................................................IV-188 Gambar 6.1 Gambar 6.2
Pola Hubungan Antar Instansi Terkait dalam Penyelengaraan dan Pendanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan....................VI-220
Pola Hubungan Kementerian Keuangan dengan K/L dalam pendanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan...............................VI-226
Gambar 6. 3 Sumber Pendanaan Urusan bersama........................................................VI-245 Gambar 6.4 Gambar 6.5
Proses Perencanaan dan Penganggaran Urusan Bersama................VI-249 Alur Pikir Formulasi Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah...........VI-253
Gambar 7.1
Hubungan antara SIPKD dengan SIKD Nasional.................................VII-262
Gambar 7.4
Fitur Website DJPK......................................................................................... VII-270
Gambar 7.2 Gambar 7.3
Bagan Alir Pengenaan Sanksi..................................................................... VII-266 Halaman Depan moFisda - Peta Kapasitas Fiskal..............................VII-267
Gambar 7. 5 Halaman depan Sistem Konfirmasi Transfer ke Daerah..................VII-272
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
xv
xvi
Daftar Gambar
daftar tabel
Tabel 3.1
Prosentase Pembagian Bagi Hasil Pajak.........................................................III-54
Tabel 3.4
Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) . .........................................III-89
Tabel 3.7
Dana Alokasi Khusus Tahun 2003-2009.........................................................III-99
Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.5
Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi......III-82 Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan Umum.....................................III-85
Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) ......................................III-90
Tabel 3. 6 Alokasi DAU 2009 dan 2010................................................................................III-96 Tabel 4.1. Tabel 5.1. Tabel 5.2
Pencatatan dan Pelaporan Hibah....................................................................IV-185 Jenis Pajak Daerah.................................................................................................. V-197 Jenis Retribusi Daerah.......................................................................................... V-199
Tabel 6. 1 Rekapitulasi Alokasi Dana PNPM Per Lokasi (Se-Provinsi*) Tahun 2008-2009 . ...............................................................................................VI-241
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
xvii
BAB I PENDAHULUAN
I-2
Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Kebijakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia telah memasuki tahun ke-10 dan telah membawa pengaruh yang besar bagi pelaksanaan
pembangunan daerah dan pengembangan perekonomian daerah. Kebijakan tersebut
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 yang keduanya telah direvisi menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan kebijakan tersebut merupakan jawaban atas
tuntutan reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Pemberian otonomi luas kepada daerah disertai dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal pada hakekatnya diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan bergulirnya tuntutan reformasi di berbagai bidang, pengelolaan
keuangan Pusat dan Daerah juga mengalami reformasi. Pemikiran tentang reformasi
di bidang fiskal sebenarnya sudah dimulai sejak awal tahun 80-an berkaitan dengan
upaya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
I-3
negara, serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan
akuntabilitas. Efisiensi penggunaan keuangan negara yang telah didesentralisasikan dapat tercermin pada pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal
tersebut dikelola oleh Pemerintah Pusat (Pemerintah). Hal ini cenderung memberikan dampak biaya yang relatif lebih besar, sehingga penggunaan keuangan negara menjadi
kurang efisien. Melalui kebijakan otonomi daerah, Pemerintah juga ingin mewujudkan keadilan vertikal dan horisontal serta membangun tatanan penyelenggaraan
pemerintahan yang lebih baik menuju terwujudnya good governance dan clean government.
Penerapan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal juga dilatarbelakangi pengalaman bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistis di bidang pelayanan sektor publik di Indonesia ternyata mengakibatkan rendahnya akuntabilitas,
lambatnya proses pembangunan infrastruktur, menurunnya rate of return pada proyek-proyek sektor publik, serta terhambatnya pengembangan institusi di daerah. Hal ini terjadi karena Pemerintah menghadapi kondisi demografis dan geografis yang sangat kompleks. Oleh karena itu, penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi
dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan dapat membantu Pemerintah untuk memberikan pelayanan sampai pada tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat lokal.
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut dilakukan dengan menyerahkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada daerah, sedemikian rupa sehingga Pemerintah hanya menangani 6 (enam) urusan pemerintahan utama
saja, yaitu urusan di bidang fiskal dan moneter, peradilan, agama, pertahanan, dan
keamanan serta politik luar negeri. Implikasi langsung dari kebijakan tersebut adalah adanya diskresi (keleluasaan) bagi Pemerintah Daerah untuk dapat merencanakan
dan menentukan prioritas pembangunan daerahnya sesuai dengan kondisi dan kemampuan keuangan daerahnya. Sebagai konsekuensinya, kebutuhan terhadap dana I-4
Pendahuluan
untuk membiayai pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan
daerah juga meningkat. Untuk itu, Pemerintah melaksanakan kebijakan desentralisasi
fiskal melalui perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsip money follow function sebagai upaya untuk mendukung pendanaan berbagai urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah. Selain itu, kebijakan pendanaan kepada daerah dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang telah diserahkan
tersebut diikuti dengan pemberian kewenangan dalam hal perpajakan daerah (local taxing power).
Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah pada hakekatnya merupakan suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup
pembagian keuangan dan sumber-sumber pendapatan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian urusan, serta tata cara penyelenggaraan kewenangan,
termasuk
pengelolaan
dan
pengawasan
keuangannya.
Tujuan
perimbangan keuangan tersebut adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta mengurangi kesenjangan kemampuan fiskal antar daerah.
Dari sisi pembagian sumber-sumber pendapatan, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan upaya yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan
akuntabilitas daerah dalam pengelolaan keuangannya. Dalam kaitan ini dilakukan
sinkronisasi antara sistem perpajakan nasional dengan sistem perpajakan daerah. Sumber-sumber pendapatan yang memenuhi kriteria pungutan Pusat ditetapkan
sebagai objek pajak Pusat dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan sumber-sumber pendapatan yang memenuhi kriteria pungutan Daerah ditetapkan sebagai objek pajak daerah dan retribusi daerah.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
I-5
Proses pembagian sumber-sumber pendapatan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah tersebut dilakukan secara bertahap sesuai kondisi dan kemampuan daerah.
Penerbitan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan langkah strategis yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah di bidang perpajakan daerah. Namun demikian, kebijakan ini perlu diikuti
dengan sistem pengawasan dan pengendalian yang memadai, sehingga upaya peningkatan PAD tidak menghambat upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerah. Selain itu, hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah mencakup pula pinjaman daerah dan hibah ke daerah dalam mendukung pendanaan pelaksanaan pembangunan daerah.
Dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal tersebut, Pemerintah perlu menerapkan prinsip-prinsip: (1) meningkatkan efisiensi, (2) memperbaiki struktur fiskal dan mobilisasi sumber-sumber keuangan, (3) meningkatkan akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi masyarakat, (4) mengurangi disparitas fiskal dan menjamin penyediaan pelayanan dasar sosial, (5) memperbaiki kesejahteraan masyarakat, dan (6) mendukung stabilitas makro ekonomi. Dengan melaksanakan
prinsip-prinsip tersebut, pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mampu menciptakan sinergi antara Pusat dan Daerah, serta antar Daerah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
1.2. Dukungan Kebijakan Pendanaan Pelaksanaan Urusan Pemerintahan Dilihat dari sisi keuangan negara, kebijakan desentralisasi fiskal telah membawa
perubahan dalam pola pengelolaan fiskal nasional. Dalam tahun pertama pelaksanaan
desentralisasi fiskal, total dana yang didaerahkan melalui dana perimbangan dalam APBN tahun 2001 adalah sebesar Rp 82,40 triliun, sedangkan dalam APBN tahun
2010 besarnya meningkat menjadi Rp306 triliun. Peningkatan yang cukup signifikan
I-6
Pendahuluan
tersebut telah menyebabkan pengelolaan fiskal yang menjadi tanggung jawab daerah menjadi semakin penting.
Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia juga ditandai dengan besarnya proporsi dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Secara umum, proporsi dana perimbangan dalam penerimaan APBD
kabupaten/kota adalah lebih dari 85 persen, dan sekitar 70 persen dalam ratarata penerimaan APBD provinsi. Besarnya proporsi tersebut menunjukkan tingkat
ketergantungan fiskal daerah yang masih tinggi terhadap Pemerintah. Apabila tidak dikelola dengan hati-hati, kondisi tersebut justru dapat menciptakan disinsentif bagi
Pemerintah Daerah dalam jangka panjang, khususnya dalam meningkatkan PAD. Oleh
karena itu, perubahan pola pengelolaan fiskal nasional tersebut harus pula diiringi dengan fleksibilitas daerah yang cukup tinggi dalam pemanfaatan sumber-sumber utama pendanaan tersebut.
Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, selain telah terjadi peningkatan dana yang dialokasikan kepada daerah, terdapat pula
penambahan komponen dalam alokasi transfer ke daerah. Selain alokasi dana
perimbangan, transfer ke daerah mencakup pula dana otonomi khusus (otsus) dan dana penyesuaian. Dana otsus dan dana tambahan infrastuktur dialokasikan kepada Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus, sebagai konsekuensi
diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua. Selanjutnya dengan ditetapkannya UU No. 35 tahun 2008 tentang Penetapan
PP Pengganti UU No. 1 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, ditetapkan bahwa Provinsi Papua Barat juga mendapatkan Dana Otsus dan dana tambahan infrastuktur dari APBN. Dana otsus
tersebut adalah sebesar 2 persen dari plafon DAU nasional, dan berlaku selama 20 tahun. Selain kepada Provinsi Papua dan Papua Barat, dana otsus juga dialokasikan
kepada Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) mulai tahun 2008 sesuai UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana Otsus tersebut berlaku untuk jangka Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
I-7
waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15
besarnya setara dengan 2 persen plafon DAU Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai
dengan tahun ke-20 besarnya setara dengan 1 persen plafon DAU Nasional. Sementara itu, dana penyesuaian dialokasikan untuk beberapa pos belanja daerah, antara lain:
tambahan tunjangan kependidikan guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dan dana insentif bagi daerah yang berprestasi.
Di samping dukungan pendanaan dalam bentuk dana transfer ke daerah, alur dana APBN ke daerah dapat meliputi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan
untuk mendanai sebagian urusan Pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur dan ditugaskan kepada gubernur/bupati/walikota dan/atau desa, serta dana instansi
vertikal bagi pelaksanaan pelimpahan sebagian urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada instansi vertikal di daerah. Selain itu, belanja APBN di Daerah mencakup pula pendanaan untuk pelaksanaan program nasional yang menjadi Bagian Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta program nasional melalui
subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah, seperti subsidi energi dan subsidi non energi.
Sepuluh tahun pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal merupakan kurun waktu
yang layak untuk dilakukan evaluasi sebagai bentuk continous improvement menuju
kepada kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik. Untuk
itu, dalam rangka mendukung implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal secara utuh, nyata, proporsional, dan akuntabel, pengaturan fiskal yang lebih baik perlu diiringi dengan penataan regulasi yang lebih proporsional.
Untuk menyempurnakan penataan regulasi mengenai pelaksanaan kebijakan
desentralisasi fiskal, Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan penyusunan amandemen Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Amandemen Undang-Undang I-8
Pendahuluan
tersebut bertujuan untuk menyempurnakan berbagai ketentuan yang mendasari
pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal yang dalam perkembangannya selama ini masih dihadapkan pada berbagai kendala teknis dalam pencapaian tujuan awal otonomi daerah.
Selain melakukan penataan regulasi terhadap dana perimbangan, Pemerintah bersama
DPR-RI juga telah menyempurnakan pengaturan mengenai pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah melalui penetapan UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan UU Nomor 34 Tahun 2000 yang dipandang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Salah satu tujuan dari perubahan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah
yang dituangkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah meningkatkan PAD melalui serangkaian strategi antara lain (1) memberikan kepastian mengenai jenis-
jenis pungutan daerah dengan menerapkan closed-list system. (2) meningkatkan
kewenangan daerah dalam perpajakan daerah dengan meningkatkan local taxing
power, (3) meningkatkan efektifitas pengawasan pajak daerah dan retribusi daerah dengan menerapkan sistem preventif dan korektif yang diikuti dengan sanksi atas pelanggaran ketentuan perpajakan daerah, serta (4) memperbaiki pengelolaan
pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah, sehingga dapat memberikan keadilan dan meningkatkan kualitas penggunaan dana yang dipungut dari masyarakat.
Upaya peningkatan PAD tidak semata-mata ditujukan untuk meningkatkan porsi
PAD dalam APBD, tetapi lebih ditujukan untuk optimalisasi penerimaan PAD tanpa menimbulkan dampak negatif bagi iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi di
daerah. Melalui pengaturan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan dapat memberikan ruang gerak yang lebih fleksibel bagi daerah untuk melakukan
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai potensi dan kondisi masingmasing daerah, dengan tetap menjaga iklim investasi yang kondusif agar daya saing antar daerah dapat ditingkatkan.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
I-9
1.3 SINERGI ANTARA PUSAT – DAERAH DAN ANTAR DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI FISKAL Dalam kurun waktu sepuluh tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal di Indonesia, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam memahami pengertian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Diawali dengan penyerahan sebagian besar urusan pemerintahan yang diikuti dengan
desentralisasi fiskal, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia telah melaksanakan desentralisasi politik, yang antara lain diwujudkan dengan pemilihan kepada daerah secara langsung. Selain desentralisasi politik, desentralisasi ekonomi diwujudkan pula dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan
sesuai dengan potensi, kondisi, dan karakteristik daerah. Pengalaman di negaranegara lain menunjukkan bahwa untuk mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab diperlukan waktu yang relatif lama dan menuntut konsistensi
serta upaya penyempurnaan kebijakan yang terus menerus. Hal yang sangat penting
adalah perlunya pemahaman dan kesamaan pandang oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku ekonomi, dan masyarakat luas atas berbagai masalah dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Upaya yang terus dilakukan oleh Pemerintah, terutama dalam hal sinergi pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, dapat ditunjukkan melalui pengembangan strategi “pembangunan untuk semua” (development for all). Dalam pengembangan
strategi pengembangan tersebut terdapat 6 (enam) strategi yang dikembangkan, yaitu (i) strategi pembangunan yang inklusif melalui pembangunan sesuai dengan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN), serta penyelarasan antara RPJMN dengan RPJM Daerah (RPJMD); (ii) pembangunan berdimensi kewilayahan, dimana daerah difokuskan sebagai pusat pertumbuhan; (iii) penciptaan integrasi ekonomi nasional dalam I-10
Pendahuluan
era globalisasi melalui optimalisasi peluang dan menghindari efek negatif yang mungkin ditimbulkan; (iv) keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan
pemerataan yang disertai keadilan (growth with equity) melalui triple track strategy; (v) pembangunan yang menitikberatkan pada kemajuan kualitas manusia melalui
pembangunan aspek pendidikan, kesehatan, pendapatan, dan lingkungan kehidupan; dan (vi) pengembangan ekonomi lokal melalui penguatan keterkaitan antar daerah
dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur, keterkaitan fungsional antara industri hulu dan hilir, serta menghilangkan hambatan perdagangan antar daerah.
Dengan demikian, strategi “pembangunan untuk semua” yang dibangun dalam rangka sinergi antara pembangunan nasional dan daerah diarahkan tidak saja untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, akan tetapi juga ditekankan kepada perwujudan pembangunan ekonomi daerah. Untuk itu, kebijakan ekonomi daerah ke
depan diarahkan untuk : (i) melakukan pemulihan ekonomi melalui program-program
pro-rakyat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar; (ii) menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran; (iii) menurunkan
inflasi untuk meningkatkan daya beli; (iv) mendorong peningkatan kegiatan investasi
dan perdagangan; dan (v) menjaga ketahanan pangan dan energi. Arah kebijakan ekonomi daerah merupakan bagian dari prioritas nasional dalam RPJMN tahun 2010 sampai dengan 2014 dalam rangka sinergi antara Pusat-Daerah dan antar Daerah.
Sementara itu, upaya sinergi antara Pusat-Daerah dan antar Daerah dalam kebijakan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal juga terus diupayakan melalui harmonisasi peraturan antara Pusat dan Daerah, serta koordinasi dalam proses pengambilan
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Sinergi yang lebih nyata untuk mengoptimalkan peran gubernur dalam pembangunan daerah dapat diwujudkan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156 Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
I-11
Tahun 2008, Pemerintah (melalui Kementerian/Lembaga) dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan (di luar 6 urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintah) yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah untuk penyelenggaraan dekonsentrasi, dan
memberikan penugasan kepada daerah (provinsi/kabupaten/kota dan/atau desa) untuk penyelenggaraan tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Pemerintah, gubernur sebagai wakil Pemerintah dapat melakukan sinkronisasi dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, penyiapan perangkat daerah yang akan
melaksanakan program dan kegiatan dekonsentrasi, dan koordinasi, pengendalian, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan pelaksanaan dekonsentrasi. Disamping itu, dalam PP No. 19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang,
serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, gubernur juga memiliki peranan untuk melakukan koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Dalam hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah, selain perlu peningkatan sinergi dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu pula
mulai ditingkatkan sinergi dalam pelaksanaan asas desentralisasi. Sinergi yang telah
dilakukan adalah pengumpulan data dasar untuk Alokasi Dasar DAU berupa daftar gaji pegawai daerah. Kegiatan tersebut dilaksanakan
secara koordinatif antara
Kementerian Keuangan c.q. DJPK, Kementerian Dalam Negeri c.q. Ditjen BAKD, dan Biro Keuangan Provinsi dengan menghadirkan semua kabupaten/kota dalam wilayah provinsi yang bersangkutan bertempat di ibukota provinsi. Kegiatan sinergis ini dalam
beberapa tahun terakhir telah menghasilkan data dasar Alokasi Dasar DAU lebih akurat karena diambil langsung dari sumbernya.
I-12
Pendahuluan
Pola sinergi tersebut perlu dikembangkan untuk penyediaan data dasar Kebutuhan
Fiskal DAU agar keseimbangan data antar daerah dalam satu provinsi dapat dijamin
kewajarannya. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai institusi penyediaan data dasar Kebutuhan Fiskal dalam melaksanakan tugasnya menggunakan Kantor Statistik yang tersebar hampir diseluruh kabupaten/kota. Kantor Statistik menyediakan data meliputi jumlah penduduk, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan
konstruksi (IKK), dan product domestic regional bruto (PDRB). Untuk mengurangi
perbedaan persepsi daerah terhadap data yang disediakan Kantor Statistik dengan data yang diyakini daerah, Gubernur sebagai Wakil pemerintah Pusat di daerah dapat mengkoordinasikan Kantor Statistik provinsi/kabupaten/kota untuk melakukan review data sebelum Kantor BPS provinsi/kabupaten/Kota menyampaikan data
ke BPS. Koordinasi ini akan meningkatkan kualitas data dasar Kebutuhan Fiskal DAU, terutama dalam mengukur kewajaran data antara kabupaten/kota dalam satu
provinsi, disamping meningkatkan kapasitas provinsi dalam penyediaan data untuk keperluan Pemerintah.
Hal yang sama dapat diterapkan dalam penyediaan data luas wilayah. Permasalahan luas wilayah yang terjadi akhir-akhir ini, antara lain ketidakpuasan Kabupaten
Paniai karena penurunan data luas wilayah, demikian juga tertukarnya data luas wilayah antara Kabupaten Halmahera Selatan dan Halmahera Timur adalah bukti
dari kurangnya koordinasi dalam penyediaan data luas wilayah. Gubernur dapat
bekerjasana dengan Kementerian Dalam Negeri c.q. Ditjen Pemerintahan Umum (DJPUM) untuk membantu pencapaian akurasi data luas wilayah, dengan cara
mensosialisasikan, membahas, mereview data luas wilayah sebelum disampaikan ke Kementerian Keuangan untuk digunakan dalam perhitungan Kebutuhan Fiskal daerah.
Dalam hubungannya dengan Dana Bagi Hasil (DBH), selama ini penyediaan data
DBH Pajak dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak,
baik mengenai perkiraan maupun realisasinya. Dalam hal DBH SDA, data perkiraan Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
I-13
disediakan oleh kementerian terkait, sedangkan data realisasinya disediakan berdasarkan rekonsiliasi data realisasi PNBP yang tercatat dalam pembukuan
Kas Negara dengan data yang dimiliki oleh daerah. Gubernur dapat melakukan koordinasi DBH SDA dalam hal data realisasi penyetoran PNBP yang dimiliki oleh daerah. Kegiatan koordinatif ini dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dalam penyaluran DBH SDA. Koordinasi tersebut dapat dilaksanakan dengan mengupayakan agar daerah mendapatkan data setoran PNBP yang dilakukan oleh kontraktor/investor sumber daya alam.
Terkait dengan data untuk perhitungan Dana Alokasi Khusus (DAK) selama ini
belum ada koordinasi antara kabupaten/kota dengan provinsi, masing-masing
daerah menyampaikan secara sendiri-sendiri data teknis berupa infrastruktur yang perlu dibangun/direhabilitasi kepada kementerian terkait. Data perhitungan DAK meliputi Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) yang disediakan oleh Kementerian
Keuangan dari data yang telah digunakan untuk perhitungan DAU. Data kondisi wilayah disediakan oleh kementerian tertentu, antara lain data daerah tertinggal oleh
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan data daerah perbatasan dengan
negara lain oleh Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya data infrastruktur yang akan dibangun/direhabilitasi dapat dikoordinasikan oleh gubernur untuk meningkatkan kualitas data dan meningkatkan kapasitas provinsi untuk turut memantau kebutuhan infrastruktur di masing-masing daerah yang akan
didanai dari DAK, sekaligus
meningkatkan kepercayaan daerah terhadap validitas data infrastruktur daerah.
Untuk mendapatkan gambaran secara lebih mendetail atas pelaksanaan desentralisasi
fiskal tahun 2010 dan mendapatkan intisari sinergi Pusat-Daerah dan antar Daerah dalam desentralisasi fiskal, Pelengkap Buku Pegangan “Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Tahun 2010” ini akan memaparkan mengenai arah
pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, pengelolaan keuangan daerah, kendala-kendala yang dihadapi, serta berbagai kebijakan Pemerintah yang mendasari
pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. Buku ini diharapkan dapat I-14
Pendahuluan
menjadi pedoman bagi semua pemangku kebijakan, baik Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pelaku ekonomi dan masyarakat dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi
fiskal di Indonesia, khususnya pengelolaan keuangan di daerah yang transparan dan akuntabel untuk meningkatkan pelayanan publik sesuai agenda pro-rakyat yaitu progrowth, pro-job, dan pro-poor.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
I-15
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH
II-18
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH
2.1. PENDAHULUAN Perencanaan dan penganggaran pembangunan diperlukan agar kegiatan pembangunan
mempunyai sasaran yang jelas dan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Perencanaan dan penganggaran dalam pembangunan daerah merupakan dua hal
yang saling terkait dan harus seimbang. Sebagai alat manajemen, maka perencanaan
harus mampu menjadi panduan strategis dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Dalam konteks ini, perencanaan juga perlu mempertimbangkan prinsip keterkaitan dan keseimbangan antara perencanaan dan penganggaran agar dapat
menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
2.2. PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH 2.2.1. PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Perencanaan pembangunan nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan secara makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perencanaan
pembangunan nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang terpadu oleh
kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-19
Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan
nasional. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan nasional tersebut, presiden dibantu oleh para menteri. Sementara itu, pimpinan kementerian/ lembaga menyelenggarakan perencanaan pembangunan sesuai dengan tugas dan
kewenangannya. gubernur selaku wakil pemerintah pusat mengkoordinasikan pelaksanaan perencanaan tugas-tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Perencanaan pembangunan di tingkat nasional meliputi:
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut:
1) Penyiapan rancangan awal RPJP Nasional
2) Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Jangka Panjang Nasional
3) Penyusunan rancangan akhir RPJP Nasional
Secara detail, alur proses penyusunan RPJP Nasional dapat dilihat pada Gambar 2.1.
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut: 1) Penyiapan rancangan awal RPJM Nasional 2) Penyiapan rancangan rencana kerja
3) Musrenbang Jangka Menengah Nasional
4) Penyusunan rancangan akhir RPJM Nasional
Secara detail, alur proses penyusunan RPJM Nasional dapat dilihat pada Gambar 2.2
c. Rencana Pembangunan Tahunan Nasional (yang selanjutnya disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Nasional), yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan kegiatan sebagai berikut:
1) Penyiapan rancangan awal RKP Nasional II-20
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
2) Penyiapan rancangan rencana kerja
3) Musrenbang Penyusunan RKP Nasional
4) Penyusunan rancangan akhir RKP Nasional
Secara detail, alur proses penyusunan RKP Nasional dapat dilihat pada Gambar 2.3.
d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL)
e. Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL).
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan nasional dilakukan oleh masing-
masing pimpinan kementerian/lembaga. Para menteri menghimpun dan menganalisis
hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan nasional dari masing-masing pimpinan kementerian/lembaga sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Pimpinan kementerian/lembaga melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana
pembangunan kementerian/lembaga periode sebelumnya. Selanjutnya, menteri
menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan kementerian/lembaga. Hasil evaluasi tersebut nantinya akan menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan nasional untuk periode berikutnya.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-21
II-22
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Sumber: Bappenas, 2004
Penyusunan RPJP Nasional
Gambar 2.1
Penyusunan RPJM Nasional
Sumber: Bappenas, 2004
Gambar 2.2
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-23
II-24
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Sumber: Bappenas, 2004
Penyusunan RKP Nasional
Gambar 2.3
2.2.2. PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah mengikuti sistem dan
mekanisme yang tertuang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Konstruksi sistem perencanaan pembangunan daerah ini disusun dalam era desentralisasi. Sejalan dengan perubahan
paradigma perencanaan pembangunan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengakomodasi redesign sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan di daerah.
Kepala daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan
pembangunan daerah di daerahnya. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah tersebut, kepala daerah dibantu oleh Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Selanjutnya, pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah
sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Gubernur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi perencanaan pembangunan antarkabupaten/kota di wilayahnya masing-masing.
Seperti halnya dalam perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan di tingkat daerah meliputi:
a. RPJP Daerah, yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut:
1) Penyiapan rancangan awal RPJP Daerah 2) Musrenbang Jangka Panjang Daerah
3) Penyusunan rancangan akhir RPJP Daerah
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut: 1) Penyiapan rancangan awal RPJM Daerah
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-25
2) Penyiapan rancangan rencana kerja
3) Musrenbang Jangka Menengah Daerah
4) Penyusunan rancangan akhir RPJM Daerah
c. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD), yang proses penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut:
1) Penyiapan rancangan awal RKP Daerah 2) Penyiapan rancangan rencana kerja
3) Musrenbang Penyusunan RKP Daerah
4) Penyusunan rancangan akhir RKP Daerah
d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah disebut dengan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (RenstraSKPD).
Secara detail, alur proses penyusunan RPM Daerah dan Renstra SKPD dapat dilihat pada Gambar 2.4.
e. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah disebut dengan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD)
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan daerah dilakukan oleh masingmasing pimpinan SKPD. Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Kepala SKPD melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan SKPD
periode sebelumnya. Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan
daerah berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD. Hasil evaluasi menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan daerah untuk periode berikutnya.
II-26
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Gambar 2.4
Penyusunan RPJM Daerah dan Renstra SKPD
Sumber: Bappenas, 2004
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-27
2.2.3. PARTISIPASI PUBLIK DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH Partisipasi dapat dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh warga negara dalam rangka mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang dirumuskan oleh Pemerintah. Partisipasi dapat diwujudkan dengan baik secara individu maupun
berkelompok, spontan atau terorganisir, berkelanjutan atau sesaat, serta dengan cara damai atau dengan kekerasan.
Partisipasi masyarakat menjadi kata kunci sehari-hari dalam kehidupan masyarakat
pembangunan. Partisipasi pada intinya adalah emansipasi/pelibatan masyarakat.
Secara harfiah, partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau proaktif
dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat juga didefinisikan secara luas sebagai “bentuk keterlibatan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan
dari dalam dirinya sendiri (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan” (Depdagri, 2004).
Manfaat yang diperoleh dari perencanaan dan penganggaran partisipatif antara lain:
a. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam menjalin kemitraan untuk memberdayakan kapasitas, memperluas ruang lingkup, meningkatkan ketepatan kelompok sasaran, keberlanjutan, pemberdayaan kelompok marginal, dan meningkatkan akuntabilitas;
b. Meningkatkan
efektifitas
dan
mengoptimalkan
proses
perencanaan
dan
penganggaran pembangunan daerah, terutama untuk meningkatkan konsistensi
dan sinkronisasi kebijakan, pencapaian tujuan, sasaran, program, dan kegiatan di antara dokumen rencana di daerah;
c. Media untuk menghasilkan kesepakatan dan komitmen di antara pelaku pembangunan atas isu strategis, program, kegiatan, dan anggaran pembangunan
II-28
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
tahunan daerah sebagai bahan integral dari rencana jangka menengah dan strategi pembangunan nasional dan daerah;
d. Penyusunan rencana dapat melakukan seleksi prioritas usulan program/kegiatan dan alokasi anggaran pembangunan yang jelas dijabarkan berdasarkan rencana jangka panjang dan strategis; dan
e. Partisipasi masyarakat akan mendukung keberhasilan dari pelaksanaan seluruh kebijakan yang dibuat mengingat para pemangku kebijakan perencanaan memiliki kegiatan/program yang dilaksanakan dan mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
Dalam hal ini, kemauan politik (political will) dari pemerintahan daerah mutlak diperlukan.
2.2.4. MEKANISME PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Pola koordinasi perencanaan pembangunan adalah upaya yang harus dilakukan
secara terus-menerus, karena dengan koordinasi dapat dilakukan sinergi dan efisiensi penggunaan dan pengalokasian sumber daya. Koordinasi perencanaan pembangunan perlu dilakukan, baik secara vertikal maupun horisontal, tergantung
dari permasalahan yang dihadapi atau keperluannya. Selama ini, pelaksanaan upaya
koordinasi perencanaan pembangunan juga sudah berlangsung, baik yang dilakukan secara berkelompok maupun secara bersama berupa rapat-rapat koordinasi pembangunan.
Pada tingkatan daerah, koordinasi perencanaan pembangunan secara vertikal dan
horisontal telah dilakukan secara rutin, yaitu dalam forum Musrenbang Desa/
Kelurahan, Temu Karya Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa–Unit Daerah Kerja Pembangunan (LKMD-UDKP), Musrenbang kabupaten/kota, dan Musrenbang Provinsi. Pada tingkatan nasional, Musrenbang Pusat dan Murenbang Nasional merupakan
forum koordinasi perencanaan pembangunan secara horisontal antarkementerian/ lembaga pemerintah secara vertikal yang ditujukan untuk mempertemukan aspirasi pusat dan daerah serta perencanaan lintas sektoral/wilayah sehingga programSinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-29
program pembangunan yang dibiayai dengan APBN dan yang akan dilaksanakan oleh instansi-instansi pusat akan sesuai dengan kepentingan daerah.
Pada dasarnya pola dan mekanisme sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan antara pusat dan daerah dilakukan melalui Musrenbang, yaitu forum
dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.
Musrenbang sebagai media koordinasi dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. Mengoptimalkan dan mengefektifkan proses koordinasi perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional;
b. Mengefektifkan pemanfaatan sumber daya nasional yang ada untuk mensinergikan upaya-upaya perubahan sosial yang diinginkan secara berkelanjutan;
c. Mensinergikan pembangunan antarsektor dan antardaerah untuk mencapai tujuan dan sasaran nasional; dan
d. Menjamin pelaksanaan pembangunan nasional yang lebih mantap dan berkesinambungan.
Sejalan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip sinkronisasi dan sinergitas perencanaan
pembangunan antara pusat dan daerah, maka target koordinasi perencanaan pembangunan di era desentralisasi diharapkan menghasilkan perencanaan yang memperhatikan hal-hal berikut:
a. Terwujudnya komunikasi dan konsultasi yang efektif di antara para pelaku pembangunan;
b. Pengembangan komitmen, konsensus, dan kesepakatan dalam forum koordinasi
yang didorong untuk menghasilkan konsensus tentang penanganan isu-isu strategis dan menghasilkan kesepakatan dan komitmen di antara para pelaku pembangunan untuk mengimplementasikan usulan-usulan;
c. Peningkatan keterlibatan para pelaku dalam pengambilan keputusan; II-30
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
d. Memadukan dan mempertemukan berbagai alur perencanaan, baik yang bersifat
horisontal (seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Strategis), maupun vertikal (seperti RPJP, RPJM, Renstra KL, Renstra-SKPD); dan
e. Wadah mediasi untuk mengatasi berbagai konflik kepentingan antara para pelaku pembangunan untuk menghasilkan solusi yang optimal.
Koordinasi perencanaan pembangunan diselenggarakan pada setiap tahun anggaran. Pemerintah
menyelenggarakan
koordinasi
pembangunan, yang antara lain melalui:
perencanaan
dan
penganggaran
a. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat desa/kelurahan (Musrenbang Desa/Kelurahan)
Musrenbang Desa/Kelurahan adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan
secara parsitisipatif oleh para pemangku kepentingan desa/kelurahan (pihak yang
berkepentingan untuk mengatasi permasalahan desa/kelurahan dan pihak yang akan terkena dampak hasil musyawarah) untuk menyepakati rencana kegiatan tahun anggaran berikutnya.
b. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat kecamatan (Musrenbang Kecamatan)
Musrenbang Kecamatan adalah forum musyawarah tahunan para pemangku
kepentingan di tingkat kecamatan untuk mendapatkan masukan kegiatan prioritas dari desa/kelurahan serta menyepakati rencana kegiatan lintas desa/kelurahan di
kecamatan yang bersangkutan sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Kecamatan dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota pada tahun berikutnya.
c. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat Kabupaten/Kota (Musrenbang Kabupaten/Kota);
Musrenbang kabupaten/kota adalah musyawarah tahunan kabupaten/kota untuk
mematangkan rancangan RKPD Kabupaten/Kota berdasarkan Renja-SKPD hasil Forum SKPD dengan cara meninjau keserasian antara rancangan Renja-SKPD yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran Rancangan RKPD. Musrenbang Kabupaten/ Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-31
Kota diselenggarakan secara berurutan mulai dari pelaksanaan pramusrenbang, pelaksanaan musrenbang, dan pascamusrenbang. Maksud diselenggarakannya
Musrenbang Kabupaten/Kota adalah menjadi media utama konsultasi publik bagi segenap pelaku pembangunan daerah untuk menetapkan program dan kegiatan
daerah serta rekomendasi kebijakan guna mendukung implementasi program/ kegiatan tahun anggaran berikutnya.
d. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat Pusat (Musrenbangpus);
Musrenbang Tingkat Pusat (Musrenbangpus) adalah forum musyawarah
perencanaan pembangunan yang diselenggarakan setiap tahun di tingkat pusat
dalam rangka membahas rancangan awal RKP dan rancangan Renja-KL untuk tahun anggaran berikutnya dengan mengacu pada RPJM Nasional yang sedang berlaku.
e. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat provinsi, baik dalam fungsi
provinsi sebagai daerah otonom maupun sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah (Musrenbang Provinsi);
Musrenbang Provinsi adalah forum musyawarah pemangku kepentingan di tingkat provinsi untuk:
1) mematangkan rancangan RKPD Provinsi berdasarkan Renja-SKPD yang dihasilkan melalui Forum SKPD, dengan cara menyerasikan substansi antarrancangan Renja masing-masing SKPD yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran Rancangan RKPD Provinsi;
2) menyerasikan RKPD Provinsi dan RKPD Kabupaten/Kota dengan Rancangan Renja-KL dan RKP, khususnya dalam kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Hasil Musrenbang Provinsi selanjutnya disampaikan olehgubernur kepada: 1) Menteri Keuangan;
2) Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas; 3) Menteri Dalam Negeri;
4) Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen. II-32
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
f. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat nasional (Musrenbang Nasional);
Musrenbang Nasional merupakan forum musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan merupakan tahapan akhir dari keseluruhan rangkaian forum
Musrenbang dan berfungsi sebagai media untuk menyempurnakan rancangan akhir RKP dan Renja-KL.
2.2.5. SINKRONISASI ANTARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH
Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah terdapat pada
setiap tingkatan perencanaan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang RKP, dikemukakan bahwa:
a. Penegasan cakupan isi proses top-down dan bottom up. Proses top-down merupakan langkah-langkah penyampaian batasan umum oleh Pemerintah Pusat
kepada kementerian/lembaga tentang penyusunan rencana kerja. Batasan umum ini mencakup prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif. Dalam batasan
ini, kementerian/lembaga diberi keleluasaan untuk merancang kegiatan-kegiatan
pembangunan demi pencapaian sasaran pembangunan nasional yang telah disepakati. Rancangan ini disampaikan kembali ke Pemerintah Pusat, dan untuk selanjutnya diserasikan secara nasional. Inilah inti dari proses bottom-up.
b. Sebagai tindak lanjut kebijakan desentralisasi, maka kegiatan Pemerintah
Pusat di daerah menjadi salah satu perhatian utama. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar kegiatan Pemerintah Pusat di daerah terdistribusi secara adil dan dapat menciptakan sinergitas secara nasional. Untuk mencapai tujuan ini maka dalam rangka penyusunan RKP dilaksanakan musyawarah perencanaan baik antarkementerian/lembaga
Pemerintah Daerah Provinsi.
maupun
antara
kementerian/lembaga
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
dengan
II-33
Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah, maupun pembangunan antardaerah.
Keserasian hubungan dalam pengelolaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berarti bahwa pengelolaan bagian urusan Pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat
pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling
tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam aspek perencanaan tercermin dalam hubungan antarberbagai dokumen perencanaan antara pusat dan
daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Gambar 2.5 berikut menggambarkan hubungan tersebut:
II-34
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Gambar 2.5
Hubungan Antar Berbagai Dokumen Perencanaan
Sumber : Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004
Secara detail, hubungan tersebut juga dilihat dalam hubungan kedudukan antara
dokumen perencanaan nasional dan dokumen penrencanaan daerah, serta muatan di dalamnya (Tabel 2.1 dan 2.2)
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-35
Tabel 2.1
Dokumen
Kedudukan Dokumen Perencanaan Nasional dan Daerah Nasional
Daerah
Penjabaran tujuan nasional sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945
RPJP Daerah mengacu pada RPJP Nasional
Renstra (5 tahun)
Renstra KL: Berpedoman pada RPJM Nasional
Renstra SKPD: Berpedoman pada RPJM Daerah
Renja (1 tahun)
Renja KL: Berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif
RPJP (20 tahun) RPJM (5 tahun)
RKP (1 tahun)
Berpedoman pada RPJP Nasional
RKP Nasional merupakan penjabaran dari RPJM Nasional
RPJM Daerah berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional RKP Daerah merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP Nasional Renja-SKPD: Berpedoman pada Renstra-SKPD dan mengacu pada RKP Daerah
Sumber: Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004
Tabel 2. 2
Dokumen RPJP (20 tahun)
II-36
Muatan Dokumen Perencanaan Nasional dan Daerah Nasional
Daerah
Penjabaran Tujuan Nasional ke dalam: - Visi dan Penjabarannya; - Misi; - Arah Pembangunan Nasional: - Kewilayahan - Sarana – Prasarana - Bidang Kehidupan
Mengacu kepada RPJP Nasional, dan memuat: - Visi dan Penjabarannya; - Misi; - Arah Pembangunan Daerah: - Kewilayahan - Sarana – Prasarana - Urusan Wajib - Urusan Pilihan
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Dokumen
Nasional
Daerah
RPJM (5 tahun)
Penjabaran Visi, Misi, Program Presiden, berpedoman pada RPJM Nasional, dan memuat: - Strategi Pembangunan Nasional - Kebijakan Umum - Kerangka Ekonomi Makro - Program Kementerian, Lintas Kementerian, Kewilayahan dan Lintas Kewilayahan yang memuat kegiatan pokok dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran
Penjabaran Visi, Misi, Program Kepala Daerah, berpedoman pada RPJP Daerah, memperhatikan RPJM Nasional, dan memuat: - Strategi Pembangunan Daerah - Kebijakan Umum - Arah Kebijakan Keuangan Daerah - Program-program SKPD, Lintas SKPD, Kewilayahan, dan Lintas Kewilayahan yang memuat kegiatan pokok dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran
RKP Nasional merupakan penjabaran RPJM Nasional, dan memuat: - Prioritas Pembangunan Nasional - Rancangan Kerangka Ekonomi Makro Nasional - Arah Kebijakan Fiskal - Program Kementerian/ Lembaga, Lintas Kementerian/ Lembaga, Kewilayahan, dan Lintas Kewilayahan yang memuat kegiatan dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran
RKP Daerah merupakan penjabaran dari RPJM Daerah, mengacu pada RKP Nasional, dan memuat: - Prioritas Pembangunan Daerah - Rancangan Kerangka Ekonomi Makro Daerah - Arah Kebijakan Fiskal - Program SKPD, Lintas SKPD, Kewilayahan, dan Lintas Kewilayahan yang memuat kegiatan dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran
Renstra (5 tahun)
RKP (1 tahun)
Renstra KL berpedoman pada RPJM Nasional dan memuat: visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan indikatif pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga
Renstra SKPD berpedoman pada RPJM Daerah dan memuat: visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan indikatif pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-37
Dokumen
Nasional
Daerah
Renja (1 tahun)
Renja KL merupakan penjabaran dari Renstra KL, dan memuat: kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Renja SKPD merupakan penjabaran dari Renstra RKPD, dan memuat: kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat
Sumber: Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004
Perencanaan yang sinergis dan harmonis dalam penyusunannya dapat diperoleh dengan proses:
a. Pendekatan politik. Hal ini dikarenakan rakyat dipandang memilih Presiden/
Kepala Daerah berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan sehingga perencanaan pembangunan merupakan penjabaran dari agenda-agenda
pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam RPJM.
b. Pendekatan teknokratik. Yaitu bahwa perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk hal tersebut.
c. Pendekatan partisipatif. Yaitu bahwa perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan
semua
pihak
yang
berkepentingan
terhadap
pembangunan.
Keterlibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan mencipatakan rasa saling memiliki.
d. Pendekatan atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up). Pendekatan ini dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. II-38
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Perencanaan pembangunan nasional yang mendukung koordinasi antarpelaku
pembangunan akan menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi Pemerintah, maupun antara pusat
dan daerah. Selain itu, juga menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan melalui optimalisasi peran masyarakat
dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar dan etika perencanaan yang dapat mempergunakan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa langkah-langkah atau tahapan dalam
perencanaan pembangunan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah, dilakukan melalui beberapa tahapan dari penyusunan rencana sampai rancangan lengkap yang siap untuk ditetapkan, yaitu:
a. Penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur;
b. Masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan;
c. Melibatkan masyarakat dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing
jenjang
pembangunan; dan
pemerintahan
melalui
musyawarah
perencanaan
d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
2.3. PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH 2.3.1. KETERKAITAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH Perencanaan dan penganggaran merupakan dua hal yang saling terkait dan harus seimbang. Sebagai alat manajemen, maka perencanaan harus mampu menjadi
panduan strategis dalam mewujudkan tujuan yang akan dicapai. Dalam konteks ini, Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-39
perencanaan juga perlu mempertimbangkan prinsip keterkaitan dan keseimbangan antara perencanaan dan penganggaran. Keduanya merupakan dua hal yang sangat
diperlukan untuk mengelola pembangunan daerah secara efisien dan efektif. Hasil yang terbaik akan dicapai apabila terhadap keduanya diberikan perhatian yang
seimbang, penganggaran selayaknya tidak mendikte proses perencanaan, dan sebaliknya perencanaan perlu mempertimbangkan ketersediaan dana dan kelayakan ekonomi agar realistis.
Perencanaan penganggaran pada umumnya melibatkan kegiatan review kinerja anggaran pada tahun sebelumnya, pertimbangan kepada rencana strategis dan
operasional tahunan serta prakarsa yang mungkin ditempuh untuk mengefektifkan
pendapatan dan belanja melalui identifikasi sumber-sumber pembiayaan. Adapun posisi penganggaran dalam proses perencanaan daerah dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Dalam proses penyusunan anggaran setidaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Penganggaran dikaitkan dengan tujuan dan sasaran strategis; b. Terdapat kebijakan dan prioritas alokasi belanja;
c. Terdapat anggaran program dan anggaran modal investasi;
d. Terdapat proses review dan pemantauan pendapatan, dan belanja sepanjang tahun anggaran;
e. Terlaksana keterlibatan stakeholders dalam proses pengambilan keputusan; f. Terdapat tujuan program yang jelas;
g. Terdapat standar pelayanan yang jelas;
h. Terdapat indikator kinerja yang disepakati untuk mengukur kinerja program/ kegiatan;
i. Terdapat perkiraan dan proyeksi pendapatan dan belanja yang akurat; II-40
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
j. Terdapat pemantauan, kontrol, dan evaluasi anggaran; k. Terdapat tranparansi dan akuntabilitas; dan
l. Menggunakan semua sumber-sumber pembiayaan. Gambar 2.6
Posisi Penganggaran dalam Proses Perencanaan Daerah
Aspek penganggaran merupakan lanjutan dari aspek perencanaan. Melalui
Musrenbang Nasional aspek perencanaan dan penganggaran dalam setiap level
pemerintahan disinergikan. Mekanisme penganggaran, baik di tingkat pusat maupun Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-41
daerah diatur melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Alur Perencanaan dan penganggaran nasional dan di daerah dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7
Alur Perencanaan dan Penganggaran Nasional dan Daerah
Sumber: Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
2.3.2. HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah tercermin dalam pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antartingkat
pemerintahan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dengan demikian prinsip yang digunakan adalah money follow function, artinya bahwa besarnya distribusi keuangan didasarkan oleh distribusi kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang telah ditentukan terlebih dahulu. Sehingga secara umum,
hubungan antara pusat dan daerah tercermin dalam aspek perencanaan (planning) II-42
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
dan penganggaran (budgeting) untuk semua aktivitas di setiap level pemerintahan sesuai dengan kewenangan, tugas, dan tanggung jawabnya masing-masing.
Pada Gambar 2.8 terlihat jelas pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah.
Pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 didasarkan atas 4 (empat) prinsip, yaitu:
a. Urusan yang merupakan tugas Pemerintah Pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai dari dan atas beban APBN;
b. Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah sendiri dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD;
c. Urusan yang merupakan tugas Pemerintah Pusat atau pemerintah paerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas pembantuan, dibiayai oleh Pemerintah Pusat atas beban APBN atau oleh pemerintah daerah tingkat atasnya atas beban APBD-nya sebagai pihak yang menugaskan; dan
d. Sepanjang potensi sumber-sumber keuangan daerah belum mencukupi, Pemerintah Pusat memberikan sejumlah bantuan.
Gambar 2.8
Kerangka Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-43
Khusus yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
desentralisasi, sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan,
baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi
daerah. Sebagaimana disebutkan di atas, untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pada dasarnya dilakukan
dengan prinsip money follow function. Hal ini berarti bahwa setiap bentuk penyerahan kewenangan harus diikuti dengan penyerahan pendanaan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut. Dalam implementasinya, kepada daerah diberikan sumbersumber pendanaan terutama melalui pengalokasian Transfer ke Daerah seiring dengan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Di
samping transfer, pada dasarnya di daerah sendiri telah terdapat kewenangan untuk melakukan pungutan pajak dan retribusi, yang tertampung dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk
daerah tersebut juga diikuti dengan diskresi dalam hal pembelanjaan sesuai kebutuhan
dan prioritas daerah. Dengan demikian, diharapkan agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat
tergantung pada pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.
Gambaran alur pendanaan desentralisasi yang sesuai prinsip money follow function dapat dilihat pada Gambar 2.9.
II-44
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Gambar 2.9
Prinsip ”money follow function” dalam Pendanaan Desentralisasi
2.3.3. ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003, disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD terdiri atas pendapatan, belanja,
dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah merupakan hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan daerah berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (DP), dan Lain-lain Pendapatan yang Sah (LPS). Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala/ pimpinan satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan kepala/pimpinan SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-45
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah, pejabat pengelola keuangan daerah mempunyai tugas:
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda);
d. Melaksanakan fungsi bendahara umum daerah; dan
e. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Sedangkan kepala/pimpinan SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Menyusun anggaran SKPD yang dipimpinnya; b. Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
d. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;
f. Mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya; dan
g. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, sekretaris daerah bertugas selaku Kordinator Pengelolaan Keuangan Daerah. Adapun tugas sekretaris daerah sesuai Pasal 5 ayat (4) adalah melakukan kordinasi di bidang: a. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD;
b. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah; c. Penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD; II-46
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
d. Penyusunan Raperda APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
e. Tugas-tugas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat pengawas keuangan daerah; dan
f. Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Koordinator pengelolaan keuangan daerah juga mempunyai tugas: a. Memimpin tim anggaran pemerintah daerah; b. Menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD;
c. Menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah;
d. Memberikan persetujuan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (DPA-SKPD); dan
e. Melaksanakan tugas-tugas kordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
2.3. PENUTUP
Perencanaan dan penganggaran dalam pembangunan daerah diperlukan agar pembangunan daerah dapat berjalan dengan efisien, efektif, tepat pada sasaran, dan berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal.
Pembangunan daerah juga harus dapat berjalan dengan sinergi, terintegrasi, dan terpadu, baik antarwilayah, antarsektor, maupun antartingkat pemerintahan.
Koordinasi dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal, dilakukan melalui mekanisme Musrenbang. Dalam Musrenbang, pelibatan seluruh stakeholders dan partisipasi publik adalah
kunci utama dalam upaya mengefektifkan dan mengoptimalkan proses perencanaan dan penganggaran dalam pembangunan daerah.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
II-47
BAB III TRANSFER KE DAERAH
III-50
Transfer ke Daerah
BAB III TRANSFER KE DAERAH
3.1. PENDAHULUAN Mengacu kepada dinamika dan perkembangan desentralisasi fiskal di Indonesia dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir, maka arah kebijakan Transfer ke Daerah tetap diarahkan untuk mendukung program/kegiatan prioritas nasional, dengan tetap
menjaga konsistensi dan keberlanjutan pelaksanaan desentralisasi fiskal guna menunjang penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu, arah kebijakan Transfer ke Daerah pada tahun 2010 secara umum adalah
sebagai berikut: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, serta antardaerah; (ii) mendukung kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan
nasional yang menjadi urusan daerah; (iii) meningkatkan aksessibilitas publik terhadap prasarana dan sarana sosial ekonomi dasar di daerah, dan pengurangan kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (iv) meningkatkan kemampuan daerah
dalam menggali potensi ekonomi daerah; (v) meningkatkan daya saing daerah melalui
pembangunan infrastruktur; serta (vi) mendukung kesinambungan fiskal nasional dalam kerangka kebijakan ekonomi makro. Selanjutnya, kebijakan Transfer ke Daerah
diharapkan dapat menjadi pilar pendukung kesinambungan fiskal nasional, stimulus pembangunan di daerah dan sebagai instrumen utama pelaksanaan desentralisasi fiskal secara proporsional dan akuntabel .
Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar dalam alokasi Transfer ke Daerah, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung pelaksanaan
desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Dana Perimbangan merupakan transfer dana Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-51
yang bersumber dari APBN ke daerah, berupa DBH, DAU, dan DAK. Pengalokasian Dana Perimbangan bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antardaerah.
Pemerintah terus berupaya melakukan perbaikan (continuous improvement) terhadap mekanisme penyaluran Transfer ke Daerah. Upaya perbaikan tersebut dapat dilihat dari telah direvisinya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/ PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke
Daerah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009. Perbaikan mekanisme penyaluran anggaran Transfer ke Daerah tersebut terutama dimaksudkan untuk memperbaiki mekanisme penyaluran anggaran Transfer ke Daerah, yaitu: (a)
mempercepat penyaluran Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah yang sebelumnya dilaksanakan secara bulanan menjadi mingguan dan dilaksanakan oleh KPPN melalui
Bank Operasional III; (b) mempertegas penyaluran DBH Cukai Hasil Tembakau secara Triwulanan; (c) mempercepat proses penyaluran DAK dari empat tahap menjadi tiga tahap.
Implementasi perbaikan mekanisme penyaluran tersebut telah memberikan dampak
positif terhadap pengelolaan keuangan daerah, yakni: (1) mempercepat penyelesaian Perda APBD; (2) mendorong pelaksanaan sistem treasury single account dengan disalurkannya semua dana transfer melalui satu rekening bank yang ditunjuk daerah;
(3) memberikan kepastian terhadap penerimaan kas daerah sehingga daerah dapat mengatur pola belanja; (4) mempercepat pelaksanaan kegiatan/pembangunan daerah
dengan semakin cepat tersedianya dana; (5) mengurangi sisa anggaran pada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal; (6) mempercepat tersedianya
data realisasi transfer; (7) meningkatkan akuntabilitas penyusunan LRA Transfer ke Daerah; dan (8) meningkatkan akurasi Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD).
III-52
Transfer ke Daerah
3.2. DANA BAGI HASIL 3.2.1. DANA BAGI HASIL PAJAK Arah kebijakan DBH Pajak
perlu didukung dengan penyempurnaan mekanisme
perhitungan dan penyediaan data baik oleh instansi teknis terkait di tingkat pusat maupun pemerintah daerah agar penerimaan pajak dan DBH lebih optimal. Secara
konseptual, penerimaan pajak yang diperoleh Pemerintah Pusat dalam APBN dibagihasilkan kepada daerah dengan proporsi yang telah ditetapkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 yang ditujukan dalam rangka memperkecil kesenjangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kebijakan adanya DBH Pajak ini dilatarbelakangi oleh:
1. Kebutuhan pendanaan daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan di daerah, tidak seimbang dengan besarnya pendapatan daerah itu sendiri;
2. Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam pengumpulan dana secara mandiri;
3. Adanya jenis penerimaan pajak dan atau bukan pajak yang berdasarkan pertimbangan tertentu pemungutannya harus dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun obyek dan atau subyek pajaknya berada di daerah;
4. Memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah;
5. Memberikan insentif kepada daerah dalam melaksanakan program Pemerintah Pusat;
6. Memberikan kompensasi kepada daerah atas timbulnya beban dari kegiatan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat.
Proporsi DBH Pajak yang diterima oleh daerah ditentukan berdasarkan formula
persentase tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. DBH Pajak bersumber dari:
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-53
a) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri;
b) PPh Pasal 21;
c) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
d) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan e) Cukai Hasil Tembakau (dialokasikan sejak tahun 2009). Tabel 3.1
Prosentase Pembagian Bagi Hasil Pajak
PROPORSI
% UNTUK DAERAH
PROV
KAB/KOTA PENGHASIL
PBB
90%
16,2%
64,8%
PPH
20%
8%
NO
JENIS
1. 3.
2. 4.
BPHTB CUKAI
80% 2%
16%
0,6%
Sumber : Kementerian Keuangan *) Dirinci Menjadi: 8,4% Kab/Kota tempat WP terdaftar 3,6% Kab/Kota dalam provinsi yang sama
KAB/KOTA LAIN DLM PROV
64%
0,8%
UPAH PUNGUT 9%
12% *) 0,6%
3.2.1.1. Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21 Alokasi Dana Bagi Hasil PPh a. Alokasi Dana Bagi Hasil PPh didasarkan pada PP No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
b. Pajak Negara dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 dan 29 Orang Pribadi dialokasikan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil.
c. Bagian Pemerintah Pusat sebesar 80%.
III-54
Transfer ke Daerah
d. Bagian pemerintah daerah sebesar 20%, yang dibagi kembali dengan komposisi sebagai berikut: • •
Bagian daerah provinsi sebesar 8%.
Bagian daerah kabupaten atau kota sebesar 12%, akan dibagi kembali dengan rincian : – –
8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar; dan
3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.
e. Alokasi sementara, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, sebagai dasar penyaluran triwulan I, II dan III tahun anggaran berjalan dimana ditetapkan masing-masing sebesar 20%.
f. Alokasi definitif, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat pada bulan pertama triwulan IV tahun anggaran berjalan, sebagai dasar penyaluran triwulan IV dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan I, II dan III.
3.2.1.2. DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 1. Alokasi Dana Bagi Hasil PBB a. Penerimaan Negara dari PBB dialokasikan kepada Pemerintah daerah dalam Dana Bagi Hasil.
b. Bagian pemerintah pusat 10%.
c. Bagian pemerintah daerah 90%.
d. Bagian pemerintah pusat dibagi kembali ke daerah dengan imbangan sebagai berikut:
– –
6,5% dibagi secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota.
3,5% dibagikan sebagai insentif kepada Daerah Kabupaten/Kota yang
realisasi Penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada TA sebelumnya mencapai/ melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-55
e. Bagian daerah dari PBB sebesar 90% tersebut diperinci dengan imbangan: – – – f.
16,2% untuk daerah provinsi.
64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 9% untuk Biaya Pemungutan PBB.
Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB didasarkan atas perkiraan alokasi, yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, sebagai dasar penyaluran tahun anggaran berjalan.
g. Untuk Dana Bagi Hasil PBB bagian Pusat, perkiraan alokasi merupakan dasar penyaluran tahap I dan II dimana ditetapkan masing-masing sebesar 20% dan 50%.
h. Untuk Dana Bagi Hasil PBB bagian Pusat, prognosa realisasi penerimaan
oleh Ditjen Pajak ditetapkan sebagai dasar alokasi definitif, sebagai dasar penyaluran tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah
dicairkan selama tahap I dan II. Berdasarkan prognosa realisasi penerimaan tersebut dalam tahap III ini dialokasikan pula insentif kepada kabupaten dan/
kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.
2. Perhitungan Dana Bagi Hasil PBB a. Besaran PBB yang dibebankan ke wajib pajak tergantung hasil penilaian yang
diklasifikasikan dan digolongkan berdasarkan nilai NJOP per m2. Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti.
b. Tarif untuk pengenaan PBB ditetapkan sebesar 0,5% dari Nilai Jual Kena
Pajak (NJKP), sedangkan untuk NJKP Assessment Ratio yang berlaku saat ini
adalah 40% untuk obyek pajak perumahan dengan NJOP Rp. 1 milyar atau
lebih, bidang usaha perkebunan serta perhutanan dan 20% untuk obyek pajak III-56
lainnya.
Transfer ke Daerah
c. Dengan dasar perhitungan di atas maka perhitungan PBB adalah sebagai
berikut:
= tarif X NJKP
= 0,5 % X(40 % X NJOP)
= (20% X NJOP)
d. NJOP sebagai dasar pengenaan PBB sebelum dihitung beban PBB-nya, terlebih dahulu dikurangi dengan NJOP-TKP (Tidak Kena Pajak) per Wajib Pajak sebesar Rp. 8.000.000,-(delapan juta rupiah).
e. Pengenaan PBB diberitahukan kepada Wajib Pajak dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang berisikan antara lain nama serta
alamat wajib pajak, besarnya pajak terutang, dan data-data mengenai obyek pajak.
3.2.1.3. DBH Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)
1. Alokasi Dana Bagi Hasil BPHTB a. Bagian pemerintah pusat sebesar 20%, yang dibagikan kembali ke daerah
secara merata kepada seluruh kabupaten/kota. Bagian pemerintah daerah sebesar 80%, yang dibagikan kembali dengan imbangan sebagai berikut:
– –
Bagian provinsi sebesar 16%.
Bagian kabupaten/kota sebesar 64%.
b. Perkiraan alokasi ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, sebagai
dasar penyaluran tahun anggaran berjalan. Untuk Dana Bagi Hasil BPHTB bagian pusat, perkiraan alokasi merupakan dasar penyaluran tahap I dan II dimana ditetapkan masing-masing sebesar 20% dan 50%.
c. Untuk Dana Bagi Hasil BPHTB bagian pusat, prognosa realisasi penerimaan
oleh Ditjen Pajak ditetapkan sebagai dasar alokasi definitif, sebagai dasar Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-57