DESENTRALISASI, PILKADA LANGSUNG DAN EFEKTIFITAS PEMERINTAHAN DAERAH Abubakar Basyarahil*)
Abstraction : Decentralization that appear along with Indonesia policies reformation make growth local democracy development efforts as democratization integral part according to national. one of manifests local democracy bring about mechanism recruitment region leadership according to more populist shaped execution Pilkada according to direct. Pilkada run as mechanism gives region government legitimate and responsive for happen order kelola government local good (good local governance). in perspective decentralization theory, good local governance as effective manifests region government blooms to pass 3 (three) evolution stages: government order local responsive, government order local network and government order local partnership. hence, Pilkada mechanism direct believed as preconditions for materialized good local governance as reflection effective region government Keyword : Decentralization, Pilkada direct, effective’s region government.
Pendahuluan Gerakan reformasi yang berujung pada kejatuhan pemerintahan Orde Baru di akhir dekade 1980an telah melahirkan terjadinya perubahan yang amat fundamental dalam tatanan politik Indonesia. Perubahan dimaksud berkaitan dengan implementasi nilai-nilai politik demokrasi dalam keseluruhan tataran praktek kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang dilakukan melalui serangkaian perancangan ulang mekanisme bekerjanya struktur, pola hubungan dan proses politik sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Karenanya .gerakan reformasi tersebut dipandang sebagai pintu gerbang terjadinya demokratisasi dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Sebagai manifestasi implementasi nilai-nilai demokrasi, berbagai perubahan penting dilakukan pada berbagai tataran.. Pada tataran yang sifatnya fondamental, serangkaian perubahan konstitusi dilakukan melalui langkah-langkah amandemen konstitusi UUD 1945 dengan semangat yang makin menumpukan kekuasaan pada kedaulatan rakyat melalui perlindungan serta jaminan hak-hak rakyat dalam proses politik sebagai "lanskape politik" bagi penyelenggaraan tatanan demokrasi tersebut.. Pada tataran struktur politik berbagai mekanisme formasi dan fungsi kelembagaan politik dirancang ulang untuk menjamin bekerjanya mekanisme checks and balances yang
10
menghindarkan adanya akumulasi kekuasaan di satu struktur poltik tertentu yang bertentangan dengan prinsip dan praktek demokrasi. Salah satu perubahan fondamental yang berkaitan dengan upaya membangun pola kekuasaan demokratis adalah semakin diakuinya prinsipprinsip otonomi pada berbagai levelitas hubungan kekuasaan pemerintahan. Diyakini bahwa praktek demokrasi dengan pemberian otoritas politik yang lebih besar kepada rakyat hanya akan efektif terjadi jika pusaran mekanisme pengelolaan pemerintahan didesentralisaikan kepada otoritas yang makin dekat dengan rakyat. Karenanya pemberian kewenangan kepada satuan kekuasaan pemerintahan yang lebih kecil dan lebih dekat dengan rakyat merupakan suatu kebutuhan yang mutlak dan tak dapat dihindari (Syaukani,2002:31). Atas dasar pemikiran diatas, wacana desentralisasi tumbuh berkembang mengiringi berbagai perubahan kearah demokratisasi politik tersebut. Secara konsepsional, desentralisasi dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif: administratif dan politik. Berdasarkan perspektif administratif, desentralisasi didefinisikan sebagai the transfer of administrative responsibility from central to local government. Dalam konotasi ini, menurut Harold F. Alderfer , desentralisasi menampilkan dirinya dalam bentuk dekonsentrasi berupa pelimpahan wewenang administrative dari pusat ke daerah, dimana daerah semata dipandang sebagai unit-unit administrasi yang menjalankan perintah pusat. Dalam konteks ini, tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang dapat diambil di tingkat lokal karena badanbadan pusat memiliki semua kekuasaan sementara pemerintah lokal sepenuhnya berkedudukan sebagai bawahan . (Muluk, 2007 :5). Sedangkan dalam perspektif politik, desentralisasi dipahami sebagai the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of governments within a state, or office within a large organization. Dalam perspektif ini, sebagaimana dinyatakan Conyers. D, desentralisasi dapat dipahami sebagai devolution of power from central government to local government ( Muluk, 2007 : 6). Dengan pemahaman desentralisasi sebagai devolusi, desentralisasi memberikan derajat kewenangan dan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat dan menjalankan keputusan sendiri ( freedom which is assumed by local government in both making and implementing its own decision (Pusat Studi Hukum dan HAM, 2007: 2) Berdasarkan berbagai perspektif diatas, Desentralisasi pada hakekatnya amat berkaitan dengan pengalihan kewenangan dan tanggung jawab (delegation of power and responsibility) yang dapat diukur dari sejauhmana unit bawahan memiliki wewenang dan tanggung jawab didalam proses pengambilan keputusan (Widodo, 2003:51) Implikasi dari desentralisasi tersebut adalah dibentuknya daerah otonom dimana daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat atas prakarsa sendiri menurut aspirasi masyarakat disebut otonomi daerah. (Widodo,2003:5). Dalam konteks seperti
11
ini, otonomi daerah dipandang sebagai manifestasi nyata dari implementasi konsepsi desentralisasi. Berangkat dari pemahaman bahwa otonomi daerah merupakan perwujudan prinsip-prinsip desentralisasi sebagai tata hubungan pusat – daerah yang tumbuh dalam bingkai demokratisasi, maka dapat dinyatakan bahwa otonomi daerah memiliki kaitan yang amat erat dengan proses demokrasi. Ada sejumlah alasan yang melandasi munculnya wacana otonomi daerah dalam konteks demokrasi : Pertama , Pemberian kewenangan bagi pemerintahan di daerah diyakini dapat lebih memungkinkan penyelenggaraan fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien karena pemerintah daerah memiliki political proximity dengan rakyat sehingga memungkinkan pengelolaan pemerintahan makin lebih sejalan dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Melalui pemberlakuan desentralisasi, lokus pengambilan keputusan dan kebijakan politik pemerintahan semakin dekat kepada rakyat sehingga rakyat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terlibat secara aktif dalam keseluruhan proses kebijakan pemerintah. Kedua, Pendidikan politik . Berbagai ahli poltik menyatakan bahwa pemerintah daerah merupakan ajang pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi suatu negara. Dengan adanya pemerintahan daerah akan membuka kesempatan bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam formasi dan pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah. . Warga yang tidak memiliki peluang untuk terlibat dalam politik nasional, akan memiliki peluang yang lebih terbuka untuk ikut serta dalam politik lokal baik dalam pemilihan umum lokal maupun dalam pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal. Ketiga, Pemerintah Daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Keterlibatan dalam proses politik lokal dapat menjadi modal untuk memasuki wilayah politik nasional .Karenya ,pemerintah daerah dapat menjadi ajang pembentukan jati diri, pencarian pengalaman, serta pemahaman awal tentang penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana dinyatakan B.C. Smith " Local governmet may provide experience of party systems, legislative roles, methods of policy formulation, legislative – executive – administrative relationships accountability that are vastly different from what obtain at the national level (Syaukani, 2003: 26) Keempat, Stabilitas Politik : Pemberian kewenangan pada pemerintah daerah akan menjamin terciptanya stabilitas politik karena stabilitas nasional berawal dari stabilitas pada tingkatan lokal. Kelima , Kesetaraan politik (political Equity). Desentralisasi akan membuka tersedianya peluangterjelmanya kesetaraan politik diantara komponen masyarakat. Dalam lingkup hubungan kewenangan yang main terbatas, akan terbuka kesempatan partisipasi secara lebih luas dan merata. Robert Dahl menyatakan bahwa " dengan adanya demokrasi local, mendorong masyarakat di sekitar pemerintahan tersebut untuk ikut serta secara rasional terlibat dalam kehidupan politik". Keenam, Akuntabilitas politik; Desentralilasi akan memungkinkan mengikat terselenggaranya akuntabilitas politik secara lebih kuat. Dalam konteks dimana desentralisasi dijalankan melalui pemberlakuan demokrasi local, para
12
pemegang jabatan politik pemerintah daerah secara langsung dituntut untuk mempertanggungjawabkan setiap proses kebijakan pemerintahannya secara lebih langsung kepada rakyat. Dari berbagai uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa desentralisasi yang diwujudkan melalui otonomi daerah merupakan aspek yang amat penting dalam proses demokrasi. Betapapun dikalangan sejumlah ahli terdapat sejumlah pandangan yang menyatakan bahwa desentralisasi dan demokrasi merupakan dua hal yang berbeda dan dalam prakteknya tidak selalu mengkait satu sama lain, namun kebanyakan ahli politik maupun administrasi memiliki keyakinan yang sama bahwa desentralisasi maupun demokrasi secara timbal balik saling memperkuat.. Alexis de Tocqueville bahkan menyatakan bahwa desentralisasi adalah prasyarat demokratisasi, (Marijan, 2006: 27). Karenanya efektifitas demokrasi akan semakin kuat, jika dalam proses demokrasi diikuti dengan desentralisasi, begitu pula efektifitas desentralisasi akan semakin kuat jika ia ditopang dengan pemberlakuan sistem demokrasi. Secara politis, desentralisasi dianggap memperkuat akuntabilitas, keterampilan dan integrasi nasional. Tiga hal tersebut yang hendak dicapai pula oleh demokrasi. Desentralisasi membawa pemerintah untuk lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu meningkatkan kebebasan, persamaan dan kesejahteraan. Desentralisasi memberikan landasan bagi partisipasi warga dan kepemimpinan politik baik untuk tingkat lokal maupun nasional (Muluk, 2007: 14) Dalam konteks dimana desentralisasi merupakan aspek yang amat penting bagi demokrasi, pelaksanaan desentralisasi pada dasarnya dapat memberikan landasan yang amat penting untuk mewujudkan democratic governance baik di tingkat nasional maupun lokal. Dimensi democratic governance memiliki peranan penting bagi terbentuknya good governance , karena good governance hanya akan terjadi jika diikuti oleh terjadinya proses yang sifatnya partisipatif. Karenanya berdasar perspektif ini, secara politik dan administratif substansi desentralisasi tidaklah semata menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, namun lebih dari itu juga harus diikuti oleh pengalihan kewenangan dari pemerintah daerah ke masyarakat sehingga desentralisasi pada akhirnya bermuara pada participatory democracy yang dibangun diatas dasar prinsip-prinsip political equity, political accountability dan local political responsiveness dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ( Prasojo,2007: 1) Konsepsi desentralisasi dengan demokrasi partisipatif yang dibangun diatas prinsip-prinsip persamaan politik, akuntabilitas politik dan reponsivitas politik local dapat dipandang merupakan elemen yang yang amat penting bagi terselenggaranya Good local governance. Good Local Governance dipahami sebagai penyelenggaraan pemerintahan local yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga "kesinergisan" interaksi yang konstruktif di antara domain negara, sector swasta dan masyarakat (society).
13
Dalam konteks membangun sinergi, UNDP mengembangkan pengertian bahwa "good governance system are participatory, implying that all members of governance institution have a voice in influencing decision making " (Widodo, 2003: 130). Didalam tulisannya "review of literature on indicators of good local governance", Esterella M menyatakan bahwa setidaknya terdapat 5 indikator yang dapat digunakan untuk mengukur 'good local governance" yaitu: 1. Partisipasi 2. Gaya kepemimpinan yang baru 3. Akuntabilitas dan transparansi 4. Pengelolaan public yang kapabel 5. Respek kepada hukum dan HAM ( Suhirman,2007:9). United Nations Developmen Program (UNDP) merekomendasikan sejumlah karakteristik good governance yang didalamnya mencakup legitimasi politik, kerjasama denan institusi masyarakat sipil, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial) , manajemen sector public yang efisien, kebebasan informasi dan ekspressi,system yudisial yang adil dan dapat dipercaya ( Krina, 2003: 7). Bertolak dari perspektif diatas, dapat dinyatakan bahwa penerapan desentralisasi merupakan proses pemberian wewenang dalam pengelolaan kekuasaan daerah yang diharapkan dapat bermuara pada terselenggaranya good local governance. Namun sebagai proses, good local governance yang ditempuh melalui desentralisasi tidaklah secara serta merta dapat terjadi, namun ia memerlukan rangkaian tahapan yang amat panjang. Menurut Nikawa, terbentuknya good local governance pada dasarnya merupakan proses evolutif yang bergerak pada 3 (tiga) tingkatan tata pemerintahan yaitu tata pemerintahan local responsive , tata pemerintahan local network dan berujung pada tata pemerintahan local kemitraan. The responsive local governance means the good governance of local government. Responsive local government ought to carry out its duty of responsibility and accountability for local people , and provide the chance of citizen participation. While citizen participation is increasing local government begin to change to the the network governance. The network governance is composed of the cooperation and responsiveness of local actor. Local actor are actually networked and exchange their information among them. The community action group, private company, and NGOs are the actors. Also thereis networking amount local government and many local actor, which operate to organize the network issues and then policy network in specialized area. This network functions in the participative decision making process of local government, which attain more effective and efficient policy outcome. In the network governance, the actors learn and grow in the governance partnership, providing that the local people acquire maturity as an owner and user of power and control in locality, is characterized by the equal partnership between local actors and government, the cooperation of provision of public service among them, and effective and efficien use of local resources though this cooperation.. The governance partnership will keep and secure the sustainability of community.( Nikawa,2007: 4)
14
Implementasi konsepsi desentralisasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di masa reformasi dijalankan melalui penerbitan UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Penerbitan Undang-Undang ini , menampilkan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah karena UU tersebut mengintroduksi cara pandang yang baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah , terutama jika dibandingkan dengan UU yang berlaku sebelumnya yaitu UU No. 5 tahun 1974 tentang "pokok-pokok Pemerintahan di Daerah". Refleksi paradigma baru UU tercermin dalam berbagai perubahan ciri yang secara menonjol diformulasikan didalam UU tersebut : Pertama, Demokrasi dan demokratisasi. Ciri menonjol dalam UU ini berkaitan dengan demokrasi dan demokratisasi tercermin dalam 2 hal yaitu rekruitmen pejabat pemerintah daerah dan proses legislasi di daerah. Proses rekruitmen pejabat di daerah tercermin dalam pemberian kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat di daerah, melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memilih pimpinan daerah tanpa campur tangan pusat. Sedang pada aspek legislasi tercermin pada pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyusun peraturan daerah maupun regulasi lainnya tanpa membutuhkan pengesahan pusat. Kedua, Mendekatkan Pemerintah dengan Rakyat. Ciri yang sangat menonjol dari UU No. 22 tahun 1999 adalah titik berat otonomi daerah pada daerah kabupaten/kota Dengan meletakkan otomi di kabupaten /kota, spektrum politik kewenangan menjadi amat dekat sehingga memungkinkan penyelenggaraan fungsi pemerintahan dilakukan secara cepat dan tepat. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. UU ini menegaskan menganut prinsip otonomi yang luas dan nyata, tidak sebagaiamana UU sebelumnya yang lebih menekankan pada prinsip otonomi Nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Dengan prinsip ini memungkinkan pemerintah daerah untuk melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, terkecuali bidangbidang kebijakan yang menjadi wilayah kewenangan pusat Keempat, Tidak menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam UU ini tidak diberlakukan sistem otonomi bertingkat dan residual. Berbeda dengan UU sebelumnya, kedudukan pemerintahan diatur berdasarkan jenjang tingkatan sehingga dikenal Daerah Tingkat I untuk tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II untuk tingkatan kabupaten dengan pembagian urusan yang sifatnya residual dimana daerah-daerah yang tingkatannya lebih rendah tidak menyelenggarakan kewenangan yang dimiliki daerah yang lebih tinggi yang sekaligus bertindak sebagai atasan daerah yang lebih rendah. Kelima, No mandate without funding . UU ini meninggalkan cara pandang lama yang dianut sebelumnya bahwa pemberian kewenangan selalu dikaitkan dengan kapasitas keuangan daerah. . Otonomi sebagai konsekwensinya selalu diidentikkan dengan "oto-money". Makin besar kemampuan financial daerah, makin banyak diberi kepercayaan menyelenggarakan pemerintahan daerah.(function follows money) . Berbeda dengan UU sebelumnya, UU ini justru menganut prinsip money follows function. Daerah di beri kewenangan seluasluasnya tanpa melihat kemampuan finansialnya, dan dengan kewenangan itu
15
daerah dapat menggunakannya untuk menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh segenap lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat melalui DPRD. UU No.22 tahun 199 membuka peluang yang sangat besar bagi penguatan masyarakat di Daerah melalui penguatan DPRD baik dalam proses rekruitmen politik lokal ataupun dalam pembuatan kebijaksanaan publik di daerah (Syaukani, 2003: 190). Berbagai ciri yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa desentralisasi Indonesia yang diberlakukan melalui otonomi daerah sesungguhnya merupakan upaya transformasi pemerintahan untuk menumbuhkembangkan demokrasi lokal sebagai upaya membangun good local governance. Salah satu elemen penting didalam konteks pembangunan demokrasi lokal adalah formasi dan rekruitmen kepemimpinan lokal. Model formasi dan rekruitmen kepemimpinan daerah yang diterapkan akan menjadi mekanisme yang secara langsung akan sangat menentukan tercapainya tujuantujuan desentralisasi berupa bekerjanya fungsi-fungsi pemerintahan daerah berdasarkan prinsip-prinsip good local governance. Formasi dan rekruitmen kepemimpinan lokal dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia semenjak masa kemerdekaan mengalami evolusi perubahan yang sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Pertama, Berdasarkan UU No. 1 tahun 1945, Kepala Daerah dipilih oleh suatu Komite Nasional Daerah yang kemudian menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Tugas BPRD adalah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat atau Peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. . Komite Nasional Daerah memiliki anggota sebanyak 5 (lima) orang sebagai badan eksekutif yang bersama-sama dan dipimpin oleh kepala daerah melaksanakan pemerintahan daerah. Ketua Badan Perwakilan Rakyat Daearah dijabat rangkap oleh kepala daerah sebagai kepala badan eksekutif.. Kedua, Berdasarkan UU No. 22 tahun 1948 dinyakatakn bahwa Kepala Daerah dipilih oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD. Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. . Dewan pemerintah Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah . Ketiga, UU No. 1 tahun 1957 menegaskan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Keapala Daerah dipilih oleh DPRD. Kepala Daerah Tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedang Kepala Daerah TK. II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan. Keempat, UU No. 18 Tahun 1965 menegaskan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. . Kepala Daerah Tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sedang Kepala Daerah Tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang
16
bersangkutan. Dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah bertangung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hirarki yang ada. Dalam menjalankan tugas Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian. Kelima, UU No. 5 tahun 1974 menegaskan bahwa bentuk dan susunan pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan memiliki otonomi nyata dan bertanggung jawab. Kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kepala Daerah TK. I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan Kepala Daerah TK II diangkat dan dipilih oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan DPRD yang bersangkutan setelah mendapat "restu" dari pemerintah tingkatan diatasnya. Keenam, UU No. 22 tahun 1999 sebagai undang-undang produk pemerintahan reformasi dengan semangat "devolusi kewenangan" kepada Pemerintah Daerah yang menyusun jenjang pemerintahan secara tidak hierarkis. Lingkup Pemerintahan Daerah menjadi Daerah Otonom Propinsi, dan Kabupaten / Kota. Daerah Otonom Propinsi bersifat administratif, sementara Daerah Otonom Kabupaten/ Kota bersifat politik. Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan, di daerah dibentuk DPRD melalui pemilihan umum legislatif sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Didalam UU ini ditegaskan bahwa Permerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya. DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah. Kepala Daerah dipilih dan bertangungjawab kepada DPRD. Gubernur bertangungjawab kepada DPRD Proponsi dan Bupati/Wali Kota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten . Dalam posisi semacam itu, sebagai representasi politik masyarakat di daerah, kedudukan DPRD menjadi sangat kuat. Implementasi UU No.22 tahun 1999 sebagai UU yang mencerminkan semangat "desentralisasi dalam konteks demokrasi dan demokratisasi" dengan memberikan kewenangan yang amat besar dan menentukan kepada DPRD sebagai representasi masyarakat di daerah, ternyata dalam prakteknya menimbulkan berbagai persoalan yang amat mengganggu substansi pelaksanaan otonomi daerah bagi terbentuknya good local governance. Salah satu masalah elementer yang secara luas berkembang adalah menyangkut praktek-praktek penyimpangan kewenangan oleh DPRD khususnya berkaitan dengan pemilihan eksekutif daerah hubungan kelembagaan legislatif – eksekutif. "Otoritas untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah acapkali disalahgunakan. Tidak sedikit para anggota DPRD itu yang memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi politik para konstituennya. Didalam proses ini, para anggota DPRD itu lebih suka melakukan deal-deal dengan para calon Kepala Daerah dibandingkan melakukan dialog dan penjaringan aspirasi dengan para konstituen. Terdapat dugaan, otoritas yang dimilikinya itu justru diperjual belikan...
17
Tidak hanya otoritas didalam memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah saja yang acapkali disalahgunakan. Otoritas didalam meminta pertanggungjawaban (LPJ) juga tidak jarang disalahgunakan. Untuk ini ada dua kecenderungan kontras. Pertama adalah adanya 'kong kalikong' antara DPRD dengan Kepala Daerah yang terlihat dari kecenderungan untuk menerima begitu saja LPJ yang dibuat oleh Kepala Daerah, meskipun didalamnya terdapat kelemahankelemahan yang cukup mendasar. Kedua, forum LPJ dipakai untuk menjatuhkan Kepala Daerah... (Marijan, 2006: 16-17). Terjadinya berbagai penyimpangan akibat penyalahgunaan wewenang diatas, secara langsung telah mendeligitimasi kepercayaan terhadap DPRD sehingga memunculkan berbagai tuntutan perubahan atas UU No, 22 tahun 1999. Sebagai respon terhadap tuntutan tersebut, perubahan atas UU Otonomi Daerah kemudian diterbitkan melalui pengesahan UU. No. 32 tahun 2004 sebagai landasan baru dalam pelaksanaan otonomi daerah. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yang diterbitkan sebagai perubahan atas UU No. 22 tahun 1999 memuat berbagai perubahan fondamental yang terlahir dari berbagai kelemahan dan kecenderungan penyimpangan dalam pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999. Salah satu perubahan yang sangat elementer adalah berkaitan dengan mekanisme formasi dan rekruitmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.. Perubahan dimaksud menyangkut diberlakukannya mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung sehingga penentuan kepemimpinan daerah tidak lagi berada di tangan legislatif namun menjadi otoritas masyarakat daerah itu sendiri. Perubahan tersebut mencerminkan pergeseran dalam penentuan kepemimpinan daerah dari model yang sifatnya elitis ke ke model yang sifatnya populis. Dalam perspektif desentralisasi, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan inovasi yang bermakna strategis bagi proses demokrasi lokal khususnya jika dikaitkan dengan upaya mewujudkan good local governance sebagai tujuan dari dijalankannya kebijakan desentralisasi. Setidaknya , sistem pilkada langsung memiliki sejumlah keuanggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen kepemimpinan yang lahir dari berbagai Undang-Undang sebelumnya.. Secara normatif, pilkada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal. Pertama, Sistem Demokrasi langsung melalui pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kekuasaan untuk menentukan kepemimpinan di tangan segelintir orang anggota DPRD. Kedua ,dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat yang bersaing serta memungkinan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang publik yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan bingkai politik yang terjadi dalam sistem perwakilan. Pilkada langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada
18
upaya pembalikan "sindroma" dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan kompetisi yang tidak fair. Ketiga , Sistem pemilihan Kepada Daerah Langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, mlalui demokrasi langsung warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik, training kepemimpinan politik, dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Keempat , Pilkada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figur pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui pilkada langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga ketimbang pada segelintir elite di DPRD. Dengan demikian, pilkada mempunyai sejumlah manfaat berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada muaranya akan mendekatkan keapala daerah dengan masyarakat-warganya. Kelima , Kepala Daerah yang terpilih mealalui pilkada akan memiliki legitimasi yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (checks and balances) di daerah antara kepala daerah dan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik. (Dwipayana, 2006: 1). Berangkat dari pemikiran diatas, secara konsepsional pilkada langsung dapat memberikan implikasi politis yang amat luas bagi terbentuknya jalinan harmonis pemerintah daerah dan rakyat. Tuntutan –tuntutan yang secara inherent melekat didalam mekanisme yang sifatnya populis tersebut, merujuk pada pendapat Nikawa, menempatkan pilkada sebagai pintu masuk bagi terjalinnya good local governance, karena otoritas yang dimiliki rakyat sebagai pemilih dalam menentukan kepemimpinan daerah secara langsung ataupun tidak langsung akan mengharuskan pimpinan daerah bersikap responsif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat daerah. Secara ideal , melalui pilkadal , rakyat di daerah secara independen dapat menentukan pemimpin-pemimpin yang diinginkannya. Konsekwensinya, para pemimpin itu diharapkan dapat merumuskan, membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan daerah yang sesuai dengan kebutuhan dan selera masyarakat daerah. (Marijan, 2005: 2) Disamping mekanisme pemilihan langsung akan mendorong lahirnya pemerintahan yang responsif, pilkada langsung menjamin pemerintahan yang terbentuk dan dihasilkan lewat mekanisme tersebut memiliki tingkat legitimasi yang tinggi. Karenanya kualitas pemilihan kepala daerah akan sangat menentukan kualitas legitimasi pemerintahan yang dihasilkan. Makin tinggi kualitas pemilu itu dijalankan, makin tinggi pula legitimasi pemerintahan yang dihasilkan. Makin tinggi legitimasi pemerintahan akan semakin kuat pula kedudukan kepala daerah , sehingga makin memungkinkan pemerintah
19
daerah menjalankan fungsi-fuingsi pemerintahan secara lebih efektif. "Indeed democracy is not only a type of political regime, but also a form of state governance. Democracy differs from other forms of regimes in its distinctive way of governance. Every political system must gain authority and then use authority. Without an effective government, no democracy is meaningful. The presence of an effective government is a prerequisite for high quality of democracy ( Wong, 2005: 2-3). Efektifitas pemerintahan lokal sebagai manifestasi good local governance , amat bertumpu pada mekanisme pengelolaan dan penggunanaan kekuasaan yang sifatnya sah yang berada dalam jangkauan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah. Dalam perspektif Weberian, kekuasaan pemerintah secara fondamental dapat dibedakan kedalam 2 (dua) kategori : despotik dan infrastruktural. Kekuasaan despotik dijalankan pemerintah tanpa perlu "negosiasi dengan kelompok-kelompok civil society". Tingkat penggunaan kekuasaan ini diukur dari derajat intrusivitas dan ekstensifitas intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat secara luas. . Dalam sistem yang tidak demokratis, kekuasaan ini sangat luas dan cenderung tidak terbatas, sedang pada sistem yang demokratis ia memiliki batasan-batasan dalam berbagai aspek dan tingkatan yang berbeda. Sedang kekuasaan infrastruktural menunjuk pada kemampuan aktual pemerintah untuk melakukan penetrasi terhadap civil society dan menerapkan keputusan-keputusan politik secara efektif pada seluruh aspek kehidupan. Dalam perspektif kekuasaan infrastruktural, efektifitas pemerintahan sangat ditentukan oleh kapasitas pemerintah untuk menjalankan fungsi-fungsi utama sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Fungsi-fungsi utama tersebut amat luas dengan jangkauan yang selalu berubah, sehingga efektifitas pemerintahan dipandang sebagai gejala yang sifatnya kompleks dan multidimensional. Berbagai dimensi kapasitas fungsi sebagai parameter efektifitas pemerintahan , menurut Shaoguang Wang mencakup: Pertama, Kapasitas koersief: berupa kapasitas pemerintah untuk memonopoli penggunaan kekerasan secara sah sebagai instrument pengendalian pemerintah dalam menjamin terwujudnya tertib sosial. Kedua, Kapasitas ekstraktif berupa kemampuan pemerintah untuk menyerap sumber daya baik manusia maupun alam yang berasal dari lingkungannya. Ketiga, Kapasitas Assimilatif mencakup kemampuan pemerintah untuk membentuk, menanamkan dan memelihara nillai , identitas dan jati diri masyarakat sebagai elemen fundamental dalan membentuk kemampuan adaptasi masyarakat. Keempat, Kapasitas Regulatif, yang mencakup kemampuan pemerintah untuk mengatur, mengendalikan dan bahkan merubah prilaku individu ataupun kelompok masyarakat. Kelima, Kapasitas Steering berupa kemampuan pemerintah untuk mempertahankan keutuhan internal lembaga-lembaga pemerintahan.
20
Keenam.
Kapasitas redistributif berupa kemampuan mendistrusikan sumber daya yang dimiliki.
pemerintah
untuk
Dalam konteks good local governance, berbagai kapasitas fungsional pemerintah harus dijalankan pemeritah daerah didalam 3 (tiga ) tataran pemerintahan yang responsive, pemerintahan network dan pemerintahan kemitraan. Berbagai tataran pemerintahan local yang baik tersebut dapat dilakukan pemerintah daerah melalui pengembangan 3 (tiga) strategi : reorientasi, restrukturisasi dan aliansi. Reorientasi menunjuk pada tuntutan bagi pemerintah daerah untuk melakukan perubahan pada arah (direction) pengelolaan kekuasaan yang dimilikinya . Salah satu aspek penting dalam perubahan arah pengelolaan kekuasaan adala perubahan “orientasi government ke governance” . “Government oriented“ menempatkan pemerintah pada posisi sentral sebagai pemegang otoritas tunggal dalam penyelenggaraan pemerintahan, sedang ”governance”sebagaimana dinyatakan Myungsuk Lee, lebih menempatkan pemerintah tidak lebih dari sebagai institusi mekanisme koordinasi sosial (institution of social coordination mechanism), yang didalamnya melibatkan aktor-aktor lain di luar pemerintah dalam menjalankan fungsifungsi yang selama ini dijalankan pemerintah. Strategi restrukturisasi merupakan konsekwensi logis dari dilakukannya reorientasi fungsi pemerintah. Esensi dari restukturisasi adalah terbentuknya apa yang disebut dengan “citizen governance” dimana pemerintah daerah membuka diri seluasluasnya baga partisipasi bagi berbagai kekuatan di luar pemerintah dalam proses pemerintahan. Penjabaran dari langkah ini, secara melembaga dapat dilakukan pemerintah melalui strategi aliansi dimana pemerintah menyatukan berbagai kekuatan partisipatif untuk menghasilkan sebuah sinergi dalam rangka efektifitas pemerintahan. ( Myungsuuk, 2003, 5). Reorientasi, restrukturisasi dan aliansi sebagai penjabaran tuntutan terwujudnya tata kelola pemerintahan daerah yang baik membutuhkan modal politik yang amat kuat sebagai kekuatan fundamental bagi terjadinya rangkaian perubahan tersebut. Modal politik yang amat elementer adalah terjalinnya political linkages antara pemerintah dan rakyat sebagai basis dukungan pemerintah. Dalam konteks semacam ini, logika pengembangan demokrasi local melalui pemilihan kepala daerah secara langsung dan efektifitas fungsi pemerintahan dalam rangka good local governance merupakan proses yang memberikan efek cyclical dan secara timbal balik saling menyangga bagi efektifitas pelaksanaan politik desentralisasi .
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Karim, Abdul Gaffar , Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Lee Myungsuk, Conseptualizing the New Governance: A New Institution of Social Coordination, Indiana University, Bloomington Indiana, 2003. Marijan , Kacung, Demokratisasi di Daerah, Pustaka Eureka & PusDeHAM , Surabaya, 2006. Marijan, Kacung, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Demokratisasi di Daerah, Airlangga University Oress, Surabaya, 2005 Muluk, Khairul M.R., Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayu Publishing, Malang, 2007. Nugroho, Riant, Otonomi Daerah : Desentralisasi Tanpa Revolusi, Media Komputindo, Jakarta, 2000. Putera , Fadillah, Devolusi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. Syaukani, HR, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2003 Widodo, Joko, Teori Administrasi Negara, Program Paska Sarjana UNTAG, Surabaya, 2003. Artikel : Arif, Sayaiful & Utomo, Paring W, Good Governance Dalam Perspektif Otonomi Daerah, 2004. Dwipayana, Arim.GN.AA, Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah, 2005. Marijan, Kacung, Pilkada Langsung: Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Ekonomi dan Demokrasi Lokal, 2007. Prasojo, Eko, Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pratikno, Hal-Hal Krusial Dalam RevisiTentang Pilkada, 2007.
22
Pratikno, Masukan Untuk Revisi No. 32 /2004 Bab PILKADA, 2006. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Pemilihan Kepala Daerah, 2005. Suhirman, Partisipasi Warga dan Pemerintahan Daerah, 2007. Wang, Shaoguang, Democracy and State Effectiveness, 2006.
23