BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
di
daerah,
dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, semakin menguatkan posisi daerah dalam upaya meningkatkan kemampuan di segala bidang, karena semua yang menyangkut kemajuan daerah diserahkan pengelolaan sepenuhnya kepada daerah, terutama Kabupaten dan Kota sebagai titik berat otonomi daerah. Desa sebagai ujung tombak pemerintahan terbawah memiliki otonomi dalam mengatur pembangunan untuk mensejahterakan rakyatnya. Seperti yang dijelaskan pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengandung esensi kepada masalah otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah juga merupakan hak daerah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, berdasarkan tuntutan dan dukungan dari masyarakat sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan tersebut memberikan kepada masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam seluruh proses kebijakan pembangunan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Masyarakat daerah baik sebagai kesatuan kelompok maupun sebagai individu, merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, karena secara prinsip penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di daerah yang bersangkutan. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur sistem pemerintahan dalam tiga tingkatan utama, yakni provinsi sebagai daerah otonom terbatas, kabupaten sebagai daerah otonom penuh dan desa sebagai daerah otonom asli. Artinya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 juga mengatur sistem pemerintahan desa, dengan menempatkan desa sebagai salah satu daerah otonom yang bersifat asli. Kehadiran otonom daerah bagi setiap warga di desa memberikan dinamika dan suasana baru dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa. Sebab, masyarakat desa sadar bahwa keberadaan institusiinstitusi demokrasi selama ini berada dalam posisi yang tidak kondusif dalam mendorong penegakan demokrasi pada masyarakat pedesaan. Konsekuensi implementasi otonomi daerah salah satu perubahan yang fundamental adalah terjadinya pergeseran struktur politik pemerintahan desa yang jauh berbeda dibanding sebelumnya. Untuk memperkuat dasar-dasar operasional pelaksanaan pemerintahan desa, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005 tentang pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Peraturan pemerintah ini melengkapi peraturan sebelumnya dengan menegaskan kewenangan desa. Hal yang menarik sekali dan penting dalam struktur baru pemerintahan desa adalah hadirnya Badan Permusyawaratan Desa yang berkedudukan sejajar
dan menjadi mitra Pemerintaha Desa. Kehadiran Badan Permusyawaratan Desa ditingkat desa, hendakanya diarahkan pada membangun hubungan yang sinergis antar lembaga legislatif dan eksekutif desa, tanpa perlu menimbulkan kesalah pahaman yang menjurus pada timbulnya konflik yang dapat mengganggu proses penegakan demokrasi di desa. Terbentuknya Badan Permusyawaratan Desa bertujuan mendorong terciptanya partnership yang harmonis antara kepala desa sebagai kepala pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa sebagai wakilwakil rakyat desa yang diperagakan oleh lembaga legislatif baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Eksistensi lembaga ini memiliki tugas, fungsi, kedudukan wewenang yang tidak kalah kemandiriannya dengan pemerintah Desa (Kepala Desa). Seperangkat peraturan
perundang-undangan
yang
menyinggung
masalah
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), menyebutkan bahwa secara garis besar institusi ini memiliki tugas dan misi luhur yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. Fungsi kontrol yang memiliki Badan Permusyawaratan Desa (BPD) hendaknya diarahkan kepada upaya terselenggaranya pemerintah desa berkualitas, dinamis, transparan, baik dan bersih. Kembalinya fungsi kontrol atas kekuasaan eksekutif desa, yang selama ini didominasi oleh kepala desa, sekarang fungsi kontrol atas kekuasaan eksekutif desa dijalankan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai badan legislatif desa yang merupakan lembaga kepercayaan masyarakat. Lahirnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang memberikan suasana baru dalam kehidupan
demokrasi di desa. Badan Permusyarawatan Desa (BPD) diharapkan menjadi wadah atau gelanggang politik baru bagi warga desa dan membangun tradisi demokrasi, sekaligus tempat pembuatan kebijakan publik desa serta menjadi alat kontrol bagi proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ditingkat desa. Hal ini bisa terealisasi apabila Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai mitra Kepala Desa, berperan aktif dalam membangun desa bersama kepala desa dan masyarakat. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi alat kontrol bagi pemerintah desa dalam menjalankan tugas-tugas pemerintah di desa. Sehingga diharapkan pemerintah desa komitmen terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Akan tetapi pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang tidak melibatkan berbagai perwakilan dari masyarakat yang ada akan mengakibatkan pelaksanaan fungsinya kurang berjalan dengan baik. Dalam hal ini penulis sangat tertarik untuk menggambarkan bagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap pelaksanaan kerja yang dijalankan oleh kepala desa sebagai pemerintah desa, agar terwujudnya demokratisasi serta semakin baiknya pelayanan terhadap masyarakat di desa sebagai mana yang dicita-citakan dalam otonomi daerah. Dasar hukum yang dapat dijadikan acuan dalam pelaksanan pengawasan adalah mengacu pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang diperkuat oleh peraturan pemerintahan No. 20 Tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, Keputusan Presiden No. 74 Tahun 2001 tentang tata cara pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Berdasarkan pemikiran di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menjalankan peran fungsinya terhadap pelaksanaan pengawasan pemerintahan desa dengan judul “Pelaksanaan Fungsi
Pengawasan
Badan
Permusyawaratan
Desa
(Studi
Tentang
Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)”.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di implementasikan pada pemerintahan Desa di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang”.
1.3. Tujuan Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:
“Untuk menggambarkan secara lebih mendalam implementasi fungsi pengawasan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang”.
1.4. Manfaat Penelitian Setelah selesai penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik bagi kami sendiri maupun pihak lain yang berkepentingan dalam penelitian ini. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah: 1. Manfaat akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dalam menambah bahan kajian perbandingan bagi yang menggunakannya. 2. Manfaat praktis: a. Penelitian
ini
dapat
menjadi
sumbangan
pemikiran
mengenai
permasalahan dan juga masukan bagi pemerintah desa dan masyarakat desa Telaga Sari. b. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang berkepentingan terutama pemerintah desa dan masyarakat dalam pembangunan desa.
1.5. Kerangka Teori Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berpikir, yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih (Nawawi; 1987:40). Selanjutnya Singarimbun menyebutkan bahwa teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Ringkasnya, teori adalah hubungan satu konsep dengan
konsep lainnya untuk menjelaskan gejala tertentu. Adapun teori-teori yang mendasari penelitian ini adalah:
1.5.1. Kebijakan Publik 1.5.1.1 Definisi Kebijakan Publik Kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom) karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh pejabat yang berwenang. Bahwa public adalah masyarakat umum itu sendiri, yang selayaknya diurus, diatur, dan dilayani oleh pemerintah sebagai administrator, tetapi juhga sekaligus kadang-kadang bertindak sebagai penguasa dalam pengaturan hukum tata negaranya. Menurut Thomas R. Dye, kebijakan publik adalah apa pun yang dipilih pemerintah, apakah mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan (mendiamkan) sesuatu itu (whatever goverment choose to do or not to do). Menurut RC. Chandler dan JC. Plano, kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik. Menurut A. Hoogerwerf, kebijakan publik sebagai unsur penting dari politik, dapat diartikan sebagai usaha untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu menurut waktu tertentu. Menurut William N. Dunn, kebiajakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan, dan lain-lain.
Banyak alasan maupun definisi mengenai kebijakan publik. Setiap definisi memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena setiap ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda pula. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa kebijakan publik adalah pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi dan kinerja kebijakan serta program publik. Pembagian jenis-jenis kebijakan publik berdasarkan pada dua kategori menurut Nugroho (2004:54-57) yaitu: 1. Berdasarkan maknanya, bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pembagian menurut kategori ini menghasilkan tiga jenis kebijakn publik yaitu: a. Kebijakan publik yang dibuat oleh legislatif atau disebut sebagai kebijakan publik yang paling tertinggi. b. Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara legislatif dan eksekutif. c. Kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif saja. 2. Kebijakan alokatif dan distributif, kebijakan kedua ini biasanya berupa kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran atau keluaran publik. Selain dari itu, ada beberapa model yang dipergunakan dalam pembuatan kebijakan publik yaitu: 1. Model Elit Yaitu pembentukan kebijakan publik hanya berada pada sebagian kelompok orang-orang tertentu yang sedang berkuasa. Walaupun pada kenyatannya mereka sebagai preference dari nilai-nilai elit tertentu, tetapi mereka
masih saja berdalih merefleksikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Karena itu mereka cenderung melakukan pengendalian dengan berkesinambungan, dengan perubahan-perubahan hanya bersifat tambal sulam. Masyarakat banyak dibuat sedemikian rupa tetap miskin informasi. 2. Model Kelompok Berlainan dengan model elit yang dikuasai oleh kelompok tertentu yang berkuasa, maka pada model ini terdapat beberapa kelompok kepentingan (interest group) yang saling berebutan mencari posisi dominan. Jadi, dengan demikian model ini merupakan interaksi antarkelompok dan merupakan fakta sentral dari politik serta pembuatan kebijakan publik. Antarkelompok mengikat diri secara formal atau informal dan menjadi penghubung pemerintah dan individu. Antarkelompok berjuang mempengaruhi pembentukan kebijakan publik, bisa membentuk koalisi mayoritas, tetapi juga dapat menimbulkan check and balance dalam persingan antarkelompok untuk menjaga keseimbangan. 3. Model Kelembagaan Yang dimaksud dengan kelembagaan disini adalah kelembagaan pemerintah. Yang masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah eksekutif (presiden, menteri-menteri dan departemennya), lembaga legislatif (parlemen), lembaga yudikatif, pemerintah daerah dan lain-lain. Dalam model ini kebijakan publik dikuasai oleh lembaga-lembaga tersebut, dan sudah tentu lembaga tersebut adalah satu-satunya yang dapat memaksa serta melibatkan semua pihak. Perubahan dalam kelembagaan pemerintah tidak berarti perubahan kebijakan.
4. Model Proses Model ini merupakan rangkaian kegiatan politik mulai dari identifikasi masalah, perumusan usul, pengesahan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Model ini akan memperhatikan bermacam-macam jenis kegiatan pembuatan kebijakan publik. 5. Model Rasialisme Model ini bermaksud untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan demikian dalam model ini segala sesuatu dirancang dengan tepat, untuk meningkatkan hasil bersihnya. Seluruh nilai diketahui, seperti kalkulasi semua pengorbanan politik dan ekonomi, serta menelusuri semua pilihan dan apa saja konsekuensinya, perimbangan biaya, dan keuntungan (cost and benefit). 6. Model Inkrimentalisme Model ini berpatokan pada kegiatan masa lalu, dengan sedikit perubahan. Dengan demikian hambatan seperti waktu, biaya, dan tenaga untuk memilih alternatif dapat dihilangkan. Arti model ini tidak banyak bersusah payah, tidak banyak resiko, perubahan-perubahannya tidak radikal, tidak ada konflik meninggi, kestabilan terpelihara, tetapi tidak berkembang karena hanya menambah dan mengurangi yang sudah ada. 7. Model Sistem Model ini beranjak dari memperlihatkan desakan-desakan lingkungan antara lain, berisi tuntutan, dukungan, hambatan, tantangan, rintangan, gangguan, pujian, kebutuhan atau keperluan, dan lain-lain yang mempengaruhi kebijakan publik. Setelah diproses, akan ada jawaban. Desakan lingkungan dianggap masukan (input), sedangkan jawabannya dianggap keluaran (output), yang berisi
keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, tindakan-tindakan, dan kebijakankebijakan dari pemerintah.
1.5.1.2 Kebijakan Pemerintah Desa Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Status desa adalah satuan pemerintahan di bawah kabupaten/kota. Desa tidak sama dengan kelurahan yang statusnya di bawah camat. Kelurahan hanyalah wilayah kerja di bawah camat yang tidak mempunyai hak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Sedangkan desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. a. Kewenangan Desa Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi: 1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul; 2. Kewenangan lokal berskala Desa;
3. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan 4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya terdiri atas: 1. Sistem organisasi masyarakat adat; 2. Pembinaan kelembagaan masyarakat; 3. Pembinaan lembaga hukum adat; 4. Pengelolaan tanah kas desa; dan 5. Pengembangan peran masyarakat desa.
b. Kewenangan Lokal Berskala Desa Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit di antaranya meliputi: 1. Pengelolaan tambatan perahu; 2. Pengelolaan Pasar Desa; 3. Pengelolaan tempat pemandian umum; 4. Pengelolaan jaringan irigrasi; 5. Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa; 6. Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu; 7. Pengelolaan Embung Desa; 8. Pengelolaan air minum berskala desa; dan 9. Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.
1.5.1.3. Implementasi Kebijakan Pemerintah Desa Secara sederhana implementasi diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan atau mekanisme sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa bukan hanya sekedar aktivitas tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguhsungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.Salah satu tahap terpenting dalam sebuah kebijakan adalah implementasi, karena pada tahap ini kebijakan diterapkan dan diukur sejauh mana kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan mencapai tujuantujuan kebijakan yang diinginkan. Implementasi menurut Meter dan Horn (Winarno, 2007:102) lebih mengarah pada batasan dalam implementasi yang diiprentasikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan dengan memobilisasi sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Tahap implementasi kebijakan merupakan tahap diantara pembentukan kebijakan dan konsekuensi atau akibat dari kebijakan pada kelompok sasaran ,mulai dari perencanaan sampai evaluasi,dan implementasi dimaksudkan untuk mencapai tujuan kebijakan yang membawa konsekuensi langsung pada masyarakat yang terkena kebijakan (Awang, 2010:31). Dari pendapat ini dapat diartikan proses implementasi sebagai suatu system pengendalian untuk mencaga
agar tidak terjadi penyimpangan sumber dan penyimpangan dari tujuan kebijakan. Selain itu proses implementasi adalah merupakan tawar-menawar antara instansi pemerintah. Impelementasi diartikan sebagai apa yang terjadi setelah peraturan per-undangan ditetapkan yang memberikan perioritas pada suatu program,manfaat atau suatu bentuk output yang jelas. Dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan, desa juga merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Hal ini disebabkan, desa memiliki otonomi tradisional yang sesungguhnya. Penyelenggaraan pemerintahan desa menekankan pada prisip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pembangunan Desa juga menjadi pondasi mengatasi kemiskinan. Dalam mendukung suksesnya pembangunan di desa adalah dengan adanya Pemerintah
Desa
yang
handal
dan
responsif untuk
melayani
masyarakatnya. Perlu untuk disadari bahwa proses pembangunan adalah suatu proses perubahan masyarakat. Proses perubahan ini mencerminkan suatu gerakan dari situasi lama (tradisional) menuju suatu situasi baru yang lebih maju (modern) dan belum dikenal oleh masyarakat. Perubahan yang dilakukan tersebut akan melalui proses transformasi dengan mengenalkan satu atau beberapa fase. Pembangunan masyarakat (pedesaan) memerlukan suatu proses dan model tranformasi dari model lama menuju model baru (tujuan). Di sisi lain perlu pula untuk dipahami bahwa proses pembangunan merupakan suatu konsep yang optimistik dan memberikan pengharapan kepada mereka yang secara sukarela berpartisipasi dalam proses pembangunan. Sehingga perencanaan pembangunan baik sosial maupun budaya selalu perlu menyadari dan menemukan indikasi-
indikasi perubahan tuntutan. Agar pembangunan wilayah pedesaan menjadi terarah dan sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan masyarakat desa, maka perencanaan mekanisme pelaksanaan pembangunan desa dilakukan mulai dari bawah. Proses pembangunan yang dilaksanakan merupakan wujud keinginan dari masyarakat desa. Dalam hal ini koordinasi antara pemerintah desa dengan jajaran di atasnya (Pemerintahan Kecamatan, Pemerintahan Kabupaten) harus terus menerus dilakukan dan di mantapkan. Apalagi pelaksanaan otonomi daerah dititikberatkan pada Pemerintah Kabupaten. Pelaksanaan pembangunan pun hendaknya tidak hanya menjadikan desa sebagai obyek pembangunan tetapi sekaligus menjadikan desa subyek pembangunan yang mantap. Artinya obyek pembangunan adalah desa secara keseluruhan yang meliputi potensi manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA) dan teknologinya, serta mencakup segala aspek kehidupan dan penghidupan yang ada di pedesaan. Sehingga menjadikan desa memiliki klasifikasi desa swasembada.Yaitu suatu desa yang berkembang dimana taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya meningkat. Oleh karena masyarakat pedesaan sebagian besar berada di sektor pertanian, maka sasaran yang ingin dicapai adalah membantu pemenuhan kebutuhan pangan dengan mengacu pada peningkatan taraf hidup masyarakat desa dan peningkatan ketrampilan pada sektor pertanian, pertukangan kayu, dan kesejahteraan keluarga. Kepala Desa dan seluruh perangkat desa dituntut untuk mampu membaca aspirasi masyarakat. Diantara para perangkat desa yang memiliki tugas lumayan berat adalah Kepala Dusun. Sebagai perangkat desa unsur wilayah , Kepala Dusun memiliki
tugas
pengurusan
dan
pelaksanaan
kegiatan
pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan, ketentraman dan ketertiban di masing-masing dusun. Sekilas tugas ini nampak mirip dengan tugas Kepala Desa yang secara menyeluruh mengurusi segala kepentingan dan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
1.5.2. Administrasi Publik 1.5.2.1 Definisi Administrasi Publik Istilah administrasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin (Yunani) yang terdiri atas dua kata yaitu “ad” dan “ministrate” yang berarti “to serve” yang dalam Bahasa Indonesia berarti melayani atau memenuhi. Banyak para ahli yang memberikan definisi pada Administrasi Publik diantaranya sebagai berikut: Menurut John M. Pfifner dan Robert V. Presthus: 1. Public Administration involves the implementation of pblic policy which has been determine by representative political bodies. 2. Public Administration may be defined as the coordination of individual and group efforts to carry out public policy. It is mainly accupied with the daily work of goverments. 3. In sum, public administration is a process concerned with carying out public politicies, encompassing innumerable skills and techniques largenumbers of people. Jadi menurut Pfifner dan Presthus antara lain sebagai berikut: 1. Administrasi Publik meliputi implementasi kebijaksanaan pemerintah yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik.
2. Administrasi Publik dapat didefinisikan koordinasi usaha-usaha perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah. Hal ini terutama meliputi pekerjaan sehari-hari pemerintah. 3. Secara global, administrasi publik adalah suatu proses yang beersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, pengarahan kecakapan, dan teknik-teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arahan dan maksud terhadap usaha sejumlah orang. Menurut Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro: 1. (Public Administration) is cooperative group effort in public setting. 2. (Public Administration) covers all three branches: executive, legislative and judicial, and their interrelationships. 3. (Public Administration) has an important role formulatting of public policy and is this a part of the political process. 4. (Public Administration) is cosely associated with numerous private groups and individuals in providing services to the community. 5. (Public Administration) is different in significant ways from private administration. Jadi, menurut Nigro bersaudara ini yaitu: 1. (Administrasi Publik) adalah suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan pemerintahan. 2. (Administrasi Publik) meliputi ketiga cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta hubungan di antara mereka.
3. (Administrasi Publik) sangat erat berkaitan dengan berbagai macam kelompok swasta dan perorangan dalam menyajikan pelayanan kepada masyarakat. 4. (Administrasi Publik) dalam beberapa hal berbeda pada penempatan pengertian dengan administrasi perorangan. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, Administrasi Publik adalah administrasi dari negara sebagai organisasi, dan administrasi yang mengejar tercapainya tujuan-tujuan
yang
bersifat
kenegaraan.
Menurut
Arifin
Abdurachman,
Administrasi Publik adalah ilmu yang mempelajari pelaksanaan dari politik negara. Menurut Edward H. Litchfield, Administrasi Publik adalah suatu studi mengenai
bagaimana
bermacam
badan
pemerintahan
diorganisasikan,
diperlengkapi dengan tenaga-tenaganya, dibiayai, digerakkan, dan dipimpin. Menurut George J. Gordon, Administrasi Publik dapat dirumuskan sebagai seluruh proses baik yang dilakukan organisasi maupun perseorangan yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif, eksekutif serta pengadilan. Karena objek disiplin Ilmu Adminitrasi Publik adalah pelayanan publik sehingga utamanya yang dikaji adalah keberadaan berbagai organisasi publik, maka Lloyd D. Musolf dan Harold Seidman dalam tulisan mereka yang berjudul The Blurred Boundaries of Public Administration, melihat pada batasan-batasan administrasi publik. Hal ini karena bagi mereka tampak bahwa setiap keberadaan yang bertambah maju, pemerintah pada semua tingkat memberikan tanggung jawab aktivitas yang penting dan kompleks, namun ada lembaga yang semu (apakah
yang bersangkutan termasuk lembaga administrasi pemerintah atau swasta seperti LKMD,
PJKA,
BUMN,
bank
swasta,
Palang
Merah,
dan
lain-lain).
Kecenderungan ini dicerminkan dalam kegiatan pemerintah mensponsori perusahaan swasta, badan hukum yang tidak mencari keuntungan dan pusat-pusat penelitian kontrak. Untuk itu kita harus melihat kepada siapa responsibility dan accountability disampaikan. Gerald E. Caiden dalam bukunya Public Administration memberikan patokan bahwa untuk menentukan apakah suatu organisasi tersebut termasuk pemerintah, adalah dengan melihat tiga hal yaitu organisasinya dibentuk dengan peraturan pemerintah, karyawannya disebut pegawai negeri, dan pembiayaannya berasal dari uang rakyat. Namun demikian ada tujuh hal khusus dari Administrasi Publik, yaitu tidak dapat dielakkan (unavoidable), senantiasa mengharapkan ketaatan (expect abedience), mempunyai prioritas (has priority), mempunyai pengecualian (has exceptional), puncak pimpinan politik (top management political), sulit diukur (difficult to measure) sehingga kita terlalu banyak mengharap dari Administrasi Publik ini (more expected of public administration).
1.5.2.2 Fungsi Administrasi Publik Nigro & Nigro (1992) mengemukakan bahwa mengenai fungsi-fungsi administrasi
publik
dapat
dilihat
dikemukakan
oleh
Fayol
yaitu
dari
fungsi-fungsi
Planning,
administrasi
Organizing,
yang
Commanding,
Coordinating, dan Controlling. Selain dari itu, Nigro & Nigro juga mengemukakan bahwa fungsi-fungsi administrasi publik dapat dilihat dari
pendapat Gullick tentang adanya tujuh fungsi administratif yang terkenal dengan akronim POSDCORB, yaitu: 1. Planning (Perencanaan), yaitu mengembangkan adanya garis-garis besar kegiatan yang dilakukan dan mengembangkan metode-metode pelaksaannya untuk mencapai tujuan organisasi. 2. Organizing (Pengorganisasian), yaitu mengembangkan struktur formal dari wewenang berdasarkan pengelompokkan kerja (misalnya departemen, biro, dinas, dll) yang perlu dikoordinasikan. 3. Staffing yang meliputi keseluruhan fungsi kepegawaian: merekrut dan melatih staff serta memelihara kondisi-kondisi kerja yang menyenangkan. 4. Directing (Pengarahan) yang meliputi tugas memimpin organisasi dengan membuat
keputusan-keputusan
dan
mengimplementasikannya
melalui
kebijakan-kebijakan prosedur. 5. Coordinating
(Pengkoordinasian)
yang
meliputi
tugas-tugas
mengintegrasikan dan menyelaraskan berbagai macam unit (bagian) yang saling berkaitan. 6. Reporting (Pelaporan) yang merupakan proses dan teknik untuk memberikan informasi tentang pekerjaan yang telah dan sedang dilaksanakan (misalnya koleksi data dan manjemen informasi). 7. Budgetting (Penganggaran) yang meliputi tugas-tugas perencanaan fiskal, accounting, dan pengendalian.
1.5.3. Pengawasan 1.5.3.1 Definisi Pengawasan Pengawasan adalah salah satu fungsi dalam manajemen untuk menjamin pelaksanaan kerja berjalan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Apabila pelaksanaan kerja berjalan tidak sesuai dengan standar perencanaan, walaupun secara tidak sengaja tetap ke arah yang lebih baik, hal ini tampak klasik dan tradisonal, disebut lepas kontrol. Dengan demikian melalui pengawasan dapat diawasi sejauh mana penyimpangan,
penyalahgunaan,
kebocoran,
kekurangan,
pemborosan,
kemubaziran, penyelewengan, dan lain-lain kendala di masa yang akan datang. Jadi, keseluruhan pengawasan adalah aktivitas membandingkan apa yang sedang atau sudah dikerjakan dengan apa yang direncanakan sebelumnya. Karenanya diperlukan kriteria, norma, standar, dan ukuran. Adanya berbagai jenis kegiatan pembangunan dilingkungan pemerintah menuntut penanganan yang lebih serius agar tidak terjadi pemborosan dan penyelewengan yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan pada Negara. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan suatu sistem pengawasan yang tepat. Ini bertujuan untuk menjaga kemungkinan agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Lyndall F. Urwick juga menganggap bahwa pengawasan itu adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan isntruksi yang telah dikeluarkan. Henry Fayol berpendapat bahwa pengawasan adalah ketetapan dalam menguji apa pun sesuatu persetujuan, yang disesuaikan dengan instruksi dan prinsip perencanaan, yang sudah tidak dapat dipungkiri lagi.
Pengawasan secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan administrasi yang bertujuan mengandalkan evaluasi terhadap pekerjan yang sudah diselesaikan apakah sesuai dengan rencana atau tidak. Karena itu bukanlah dimaksudkan untuk mencari siapa yang salah satu yang benar tetapi lebih diarahkan kepada upaya untuk melakukan koresi terhadap hasil kegiatan. Pengawasan merupakan kewajiban setiap orang dalam organisasi secara terus menerus, memperhatikan dan mengawasi jalannya tugas masing-masing bidang, sesuai rencana semula. Sondang Siagian mengatakan, pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. George Terry mengatakan, controlling can be defined as the process of determining what is to accomplished, that is the standard, what is being accomplished, that is the perfomance, evaluating, the perfomance, and if necessary applying corrective measure so that perfomance takes place according to plans, that is in conformity whith the standard. Maksudnya, pengawasan dapat dirumuskan sebagai proses penentuan yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksannan, menilai pelaksanaan dan bila perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana, yaitu selaras dengan standar (ukuran). Prof. Stephen Robein mengatakan: control can be as the process of monitor activities to ensure they are being accomplished as plnned and of correcting
any
significant
devisitions.
Maksudnya,
pengawasan
dapat
didefinisikan sebagai proses mengikuti perkembangan kegiatan untuk menjamin (to ensure) jalannya pekerjaan, dengan demikian dapat selesai secara sempurna
(accomplished)
sebagaimana
yang
direncanakan
sebelumnya
dengan
pengoreksian beberapa pemikiran yang saling berhubungan. Dengan kata lain bahwa tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang objek yang diawasi, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. David Granick mengemukakan tiga fase dalam pengawasan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Fase legislatif 2. Fase administratif 3. Fase dukungan Arifin Abdurachman mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang membantu pengawasan dan mencegah berbagai kasus penyelewengan serta penyalahgunaan wewenang, yaitu: 1. Filsafat yang dianut bangsa tersebut. 2. Agama yang mendasari seseorang tersebut. 3. Kebijakan yang dijalankan. 4. Anggaran pembiayaan yang mendukung. 5. Penempatan pegawai dan prosedur kerjanya. 6. Kemantapan koordinasi dalam organisasi. Kalau dalam pengawasan bisnis yang diantisipasi dan dikontrol adalah kemungkinan lepasnya kekayaan, serta pemborosan biaya yang tidak ada pada tempatnya, maka dalam public controlling harus lebih didasari bahwa biaya tersebut berasal dari, oleh , dan untuk rakyat (publik). Jadi, diperlukan pengabdian pada kepentingan masyarakat, bukan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Situmorang dan Juhir (1994:27) mengklasifikasikan teknik pengawasan berdasarkan berbagai hal, yaitu : pengawasan berdasarkan berbagai hal, yaitu :
1. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung a. Pengawasan langsung, adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi. b. Pengawasan tidak langsung, diadakan dengan mempelajari laporanlaporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat
dan sebagainya tanpa
pengawasan “on the spot”.
2. Pengawasan preventif dan represif a. Pengawasan preventif, dilakukan melalui pre audit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapanpersiapan, rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. b. Pengawasan represif, dilakukan melalui post-audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya.
3. Pengawasan intern dan pengawasan ekstern a. Pengawasan intern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Setiap pimpinan unit dalam organisasi pada dasarnya
berkewajiban
membantu
pucuk
pimpinan
mengadakan
pengawasan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing. b. Pengawasan ekstern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri, seperti halnya pengawasan dibidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang meliputi seluruh Aparatur Negara dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara terhadap departemen dan instansi pemerintah lain.
1.5.3.2 Fungsi Pengawasan Menurut
Sule
dan
Saefullah
(2005:317)
mengemukakan
fungsi
pengawasan pada dasarnya merupakan proses yang dilakukan untuk memastikan agar apa yang telah direncanakan berjalan sebagaimana mestinya. Termasuk kedalam fungsi pengawasan adalah identifikasi berbagai faktor yang menghambat sebuah kegiatan, dan juga pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan agar tujuan organisasi dapat tetap tercapai. Sebagai kesimpulan, fungsi pengawasan diperlukan untuk memastikan apa yang telah direncanakan dan dikoordinasikan berjalan sebagaimana mestinya ataukah tidak. Jika tidak berjalan dengan semestinya maka fungsi pengawasan juga melakukan proses untuk mengoreksi
kegiatan yang sedang berjalan agar dapat tetap mencapai apa yang telah direncanakan. Selanjutnya dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko bahwa proses pengawasan memiliki lima tahapan, yaitu: a. Penetapatan standar pelaksanaan, b. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan, c. Pengukuran pelaksanaan kegiatan, d. Pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan, dan e. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan. Pengawasan yang efektif menurut Sarwoto (2010 : 28) yaitu : 1. Ada unsur keakuratan, dimana data harus dapat dijadikan pedoman dan valid. 2. Tepat-waktu, yaitu dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasikan secara cepat dan tepat dimana kegiatan perbaikan perlu dilaksanakan. 3. Objektif dan menyeluruh, dalam arti mudah dipahami. 4. Terpusat, dengan memutuskan pada bidang-bidang penyimpangan yang paling sering terjadi. 5. Realistis secara ekonomis, dimana biaya sistem pengawasan harus lebih rendah atau sama dengan kegunaan yang didapat. 6. Realistis secara organisasional, yaitu cocok dengan kenyataan yang ada di organisasi. 7. Terkoordinasi dengan aliran kerja, karena dapat menimbulkan sukses atau gagal operasi serta harus sampai pada karyawan yang memerlukannya.
8. Fleksibel, harus dapat menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi, sehingga tidak harus buat sistem baru bila terjadi perubahan kondisi. 9. Sebagai petunjuk dan operasional, dimana harus dapat menunjukan deviasi standar sehingga dapat menentukan koreksi yang akan diambil. 10. Diterima para anggota organisasi, maupun mengarahkan pelaksanaan kerja anggota organisasi dengan mendorong peranaan otonomi, tangung jawab dan prestasi.
1.5.3.3 Pengawasan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan desa dan belanja desa. Prinsip pengawasan yang harus dijalankan bahwa pengawasan bukan mencari kesalahan, melainkan untuk menghindari kesalahan dan kebocoran
yang lebih besar. Dengan demikian Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemerintah desa hendaknya sudah dimulai sejak perencanaan suatu kegiatan akan dilaksanakan apakah perencanaannya tepat dan apabila dalam pelaksanaannya terdapat gejala-gejala penyimpangan maka sejak awal Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sudah dapat mengingatkan dan kewajiban pemerintah desa memperhatikan/mengindahkan peringatan tersebut, sehingga tidak sempat menjadi masalah besar yang merugikan masyarakat. Fungsi dalam bidang pengawasan ini meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, pengawasan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes), dan pengawasan terhadap keputusan Kepala Desa. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan ini, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berhak
meminta pertanggungjawaban Kepala Desa serta meminta keterangan kepada pemerintah desa. Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam bidang pengawasan meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dengan cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
mengawasi semua tindakan
pemerintah desa dalam menjalankan roda pemerintahan desa yang dilakukan secara langsung atau pun tidak langsung. Pengawasan terhadap APBDes dengan cara Badan Permusyawaratan Desa memantau semua pemasukan dan pengeluaran desa meminta laporan pertanggungjawaban yang menyangkut keuangan desa. Pengawasan terhadap keputusan kepala desa yaitu dengan cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) melihat dari proses pembuatan sampai isi keputusan tersebut serta mengawasi pelaksanaan keputusan yang telah ditetapkan.
1.5.4. Desa 1.5.4.1 Definisi Desa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara Umum Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Menurut R. Bintarto Desa adalah perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, serta kultural
yang terdapat di suatu daerah dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Selanjutnya menurut Sutarjo Kartohadikusumo Desa adalah kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri merupakan pemerintahan terendah di bawah camat.Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memerhatikan asal usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, ataubagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan
berdasarkan
prakarsa
pemerintah
desa
bersama
Badan
Permusyawaratan Desa dengan memerhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Pemerintahan desa terdiri atas pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Kewenangan desa menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 7 di antaranya adalah urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten yang diserahkan pengaturannya kepada desa dan tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten serta urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan – undangan yang diserahkan kepada desa.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 juga mengatur mengenai : 1) Pembentukan desa Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikanasal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. 2) Syarat pembentukan Pembentukan desa harus memenuhi syarat-syarat sebagaiberikut : a. jumlah penduduk; b. luas wilayah; c. bagian wilayah kerja; d. perangkat; dan e. sarana dan prasarana pemerintahan. 3) Kewenangan desa Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup : a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten / Kota; dan d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
1.5.4.2 Perangkat Desa Perangkat Desa sebagai salah satu unsur pelaku desa, memiliki peran penting tersendiri dalam mewujudkan kemajuan bangsa melalui desa. Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Menurut Pasal 48 UU NO 6 Tahun 2014 Perangkat Desa terdiri atas: a) Sekretariat Desa; b) Pelaksana kewilayahan; dan c) Pelaksana teknis. Perangkat Desa diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Perangkat Desa diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan: a) Berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat; b) Berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun; c) Terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan d) Syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
1.5.4.3 Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; b) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan c)
melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan wakil dari
penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. Anggota Badan Permusyawaratan Desa dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa. Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa secara langsung dalam rapat Badan
Permusyawaratan
Permusyawaratan
Desa
Desayang (BPD)
diadakan
menyusun
secara
peraturan
khusus.
tata
tertib
Badan Badan
Permusyawaratan Desa.Badan Permusyawaratan Desa berhak: a) mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
b) menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan c) mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak: a) mengajukan usul rancangan Peraturan Desa; b) mengajukan pertanyaan; c) menyampaikan usul dan/atau pendapat; d) memilih dan dipilih; dan e) mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Mekanisme musyawarah Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut: a) musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa; b) musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dinyatakan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa; c) pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah guna mencapai mufakat; d) apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara; e) pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam huruf d dinyatakan sah apabila disetujui oleh paling sedikit 1/2 (satu perdua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa yang hadir; dan
f) hasil musyawarah Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan keputusan Badan Permusyawaratan Desa dan dilampiri notulen musyawarah yang dibuat oleh sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
1.5.4.4 Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Fungsi merupakan tranformasi akibat pemetaan suatu nilai ke nilai lain. Badan Permusyaratan Desa (BPD) merupakan salah satu unsur dalam pemerintahan
desa
yang
diharapkan
dapat
membantu
terwujudnya
penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis sesuai dengan aspirasi masyarakat. Fungsi Pengawasan merupakan salah satu alasan terpenting mengapa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) perlu dibentuk. Pengawasan oleh Badan Permusyawaratan Desa(BPD) terhadap pelaksanaan pemerintahan desa yang dipimpin Kepala Desa merupakan tugas Badan Permusyawaratan Desa. Upaya pengawasan dimaksudkan untuk mengurangi adanya penyelewengan atas kewenangan dan keuangan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Konsistensi Badan Permusyawaratan Desa dalam melakukan pengawasan terhadap bagaimana suatu program pemerintah, fungsi pemerintahan, peraturan dan keputusan yang telah ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa. Sikap Kepala Desa yang tidak otoriter dalam menjalankan kepemimpinannya menjadikan Badan Permusyawaratan Desa mampu melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk mewujudkan adanya pemerintahan yang baik dan berpihak kepada warga. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga desa yang mempunyai kedudukan sejajar dengan
Kepala Desa dan menjadi mitra Kepala Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terealisasi berdasarkan pengamatan Badan Permusyawaratan Desa sering diikutsertakan dan didengarkan apa yang menjadi aspirasi dan masukannya. Untuk dapat mewujudkan peran dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara maksimal diperlukan karakter Kepala Desa yang kooperatif sehingga dapat menjadikan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mampu mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik. Komitmen Kepala Desa untuk menjadikan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga pemerintahan di tingkat desa yang mempunyai kedudukan sejajar dengan Kepala Desa terwujudkan. Ini dapat ditunjukkan dengan adanya komitmen bersama antar kedua lembaga sebagai elemen penyelenggara pemerintahan desa. Kepala Desa tidak lagi dominan hal ini menunjukkan bahwa paradigma pemerintahan desa sudah berubah. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan pemerintah desa menjadi pendamping sekaligus mitra dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan lembaga swadaya desa maupun organisasi lain di desa. Pengawasan yang dijalankan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap pemakaian anggaran desa dilakukan dengan melihat rencana awal program dengan realisasi pelaksanaannya. Kesesuaian antara rencana program dengan realisasi program dan pelaksanaannya serta besarnya dana yang digunakan dalam pembiayaannya adalah ukuran yang dijadikan patokan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melakukan pengawasan.
1.6. Kerangka Konsep Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (event) yang berkaitan satu dengan yang lain (Singarimbun, 1997:33). Untuk mendapatkan batasan-batasan definisi yang lebih jelas dari masing-masing konsep, maka penulis mengemukakan defenisi dari beberapa konsep yang digunakan yaitu: 1. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan. 2. Pemerintahan desa adalah kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan desa (BPD) 3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD merupakan salah satu unsur dalam pemerintahan
desa
yang
diharapkan
dapat
membantu
terwujudnya
penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis sesuai dengan aspirasi masyarakat. 4. Fungsi pemerintah desa adalah menjalankan tugas, kewajiban atau kerja pokok yang harus dilaksanakan oleh eksekutif desa atau kepala desa dan perangkai desa. 5. Pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu: a) Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja desa, pelaksanaan
Keputusan Kepala Desa dan Kebijaksanaan Pemerintahan Desa serta memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Desa terhadap rencana perjanjian kerja sama yang menyangkut kepentingan desa.
1.7 Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, perumusan masalah, kerangka teori, kerangka konsep, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II
METODE PENELITIAN Bab ini berisikan bentuk penelitian, lokasi penelitian, infoman penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan gambaran umum keadaan Desa Telaga Sari tempat beradanya Kantor Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan kantor kepala desa Telaga Sari seperti lokasi atau letak strategis, keadaan penduduk secara umum, sarana dan prasarana, lembaga-lembaga yang ada di Desa Telaga Sari termasuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD), serta seluruh variabel yang mendukung penelitian.
BAB IV
PENYAJIAN DATA Bab ini berisikan penyajian data yang dihasilkan dari hasil wawancara dan berupa dokumen sebagai bahan yang akan
dianalisis, data yang diperoleh adalah bahan pengamatan bagi peneliti untuk melihat pelaksanaan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Telaga Sari. BAB V
ANALISA DAN INTERPRETASI DATA Bab ini berisikan analisa data yang disajikan pada bab iv dan interpretasi
pelaksanaan
fungsi
pengawasan
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Telaga Sari. BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang diberikan oleh penulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA