24 Konsepsi Negara Kesatuan dan Kebijakan Desentralisasi dalam Perundang-undangan… Andi Kasmawati
KONSEPSI NEGARA KESATUAN DAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PEMERINTAHAN DAERAH Oleh: AND I KASMAWATI Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar e-mail:
[email protected] ABSTRAK: Daerah merupakan lanjutan dari pemerintah pusat dalam negara kesatuan, seperti yang diterapkan di Indonesia melalui konstitusinya yang menegaskan bahwa negara kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi dibagi atas daerah-daerah kabupaten dan kota, dan tiap provinsi dan kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilandasi oleh peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai norma, strandar, prosedur, dan penilian yang tetapkan oleh pemerintah pusat. Penerapan perundang-undangan pemerintahan daerah dalam perkembangannya senantiasa mengalami perubahan demikian pula penerapan kebijakan desentraslisasi senantiasa mengalami pasang surutmengikuti dinamika pemerntahan yang sedang berkuasa, setidaknyasejak kemerdekaan bangsa Indonesia telah memiliki tujuh undang-undang pemerintahan daerah, dalam tiga tahapan resim yaitu resim orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Pada masa orde lama diberlakukan Undang-undang No. 1 Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Undang-undang No. 1 Tahun 1957, UndangUndang No. 18 Tahun 1965, pada masa orde baru Undang-Undang No 5 Tahun 1974, dan pada masa orde reformasi ini sejak tahun 1998 hingga saat ini telah ditetapkan Undangundang No. 22 tahun 1999 dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dimana pada undangundang no. 32 Tahun 2004 ini telah mengalami revisi dua kali, yang pertama direvisi melalui undang-undang No. 8 Tahun 2005 dan yang kedua direvisi melalui undang-undang No. 12 Tahun 2008. Berdasarkan kajian yang dilakuakan terhadap perundang-undangan pemerintahan daerah, pada setiap pemberlakuannya konsep negara kesatuan dan kebijakan desentralisasi senantiasa menjadi dasar kebijakannya, mekipun dalam implementasinya di pemerintahan daerah terdapat resim yang belum sepenuhnya menerapakn khusunya kebijakan desentralisasi yang dapat melahirkan otonomi daerah KATA KUNCI: Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Otonomi Daerah PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk negara yang menjadi ketetapan bangsa Indonesia sejak diproklamirkan dan diatur dalam Undangundang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945, sebagai mana diatur Pada Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang Berbentuk Republik” ini menunjukkan bahwa pada Negara Indonesia tidak terdapat wilayah atau daerah yang bersifat Negara atau tidak ada Negara dalam Negara.
Konsekwensi negara kesatuan ini, terdapat pemerintahan yang terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pengaturan tentang pemerintahan daerah terdapat pada Bab VI dengan judul pemerintahan daerah, yaitu: pada Pasal 18 ayat (1) “Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu di bagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.” Sebagai hukum tertinggi dan konstitusi negara tertinggi secara tegas
25 undang-undang dasar ini memberikan tuntunan kepada bangsa dan negara Indonesia, untuk menjalankan pemerintahan, dan setiap perubahan perundang-undangan yang dibuat atau di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan hukum dasar tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undangundang No. 12 Tahun 2011 sebagai penggati Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diatur bahwa: ”Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara” kemudian pada Pasal 3 ayat (1) ditaur pula bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.” Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 dikemukakan bahwa: “Penetapan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah: Sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.” Sedangkan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa: ”UUD NRI Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembukaan peraturan perundang-undangan dibawah UndangUndang Dasar”. Mengacu pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut sudah jelas menjadi petunjuk yang sangat mendasar bagi pembentukan peraturan perundangan yang ada, termasuk peraturan perundang-undangan pemerintah daerah harus sesuai dengan undang-undang dasar atau hukum dasar serta pancasila sebagai ideologi negara. Konsepsi negara kesatuan yang ditetapkan dalam hukum dasar dengan pengaturan kebijakan desentralisasi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, dapat Supremasi, Volume VII Nomor 1, April 2012
dilihat pengaturannya pada setiap undangundang pemerintahan daerah sebagaimana kajian pada makalah ini. PERUNDANG-UNDANGAN PEMERINTAHAN DAERAH ORDE LAMA
MASA
Sebagai gambaran dalam menganalisis undang-undang pemerintahan daerah mulai dari undang-undang yang pertama kali ada yang mengatur tentang pemerintahan daerah hingga sekarang ini oleh Jimly Asshiddiqie1 diuraikan sebagai berikut: a. Undang-undang No. 1 Tahun 1945 Pada undang-undang ini, materi yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi masih sangat sederhana sehingga dalam pelaksanaanya timbul banyak kesulitan. Meskipun undang-undang ini masih sederhana, namun bila kita kaitkan dengan konsep Negara Kesatuan maka undangundang ini sudah mendasar pada UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila sebagi dasar negara. b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Kelahiran Undang-undang No. 22 Tahun 1948, sebagai pengganti Undangundang No.1 Tahun 1945, diharapkan dapat mengatasi kekurangan Undang-undang No. 1 Tahun 1945 yang dipandang masih sangat sederhana tersebut. Menurut Juniarto2 ciri dari Undang-undang No. 22 Tahun 1948 ini adalah: ”Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Secara yuridis fungsional pemerintahan atau wilayah hukum 1
Jimly Asshiddiqie. Pokok-Pokok Hukum Tata .... Op. Cit. 2007, hlm. 400-409 2 Juniarto dikutip dalam Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 400
ISSN 1412-517X
26 Konsepsi Negara Kesatuan dan Kebijakan Desentralisasi dalam Perundang-undangan… Andi Kasmawati penyelenggaraan administrasi pemerintahan wilayah nasional Republik Indonesia dibagi secara hierarkis dan horizontal terdiri atas wilayah nasional sebagai wilayah hukum pemerintah pusat, wilyah-wilayah Indonesia sebagai wilayah hukum pemerintah provinsi, setiap wilayah provinsi dibagi atas wilayah kabupaten/kota besar, dan wilayah kabupaten/kota besar dibagi atas wilayah yang disebut desa, negeri, warga dan lainlain. Setiap wilayah tersebut otonom atau dalam istilah Undang-undang No. 22 Tahun 1948 disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintahan sendiri) dan masing–masing disebut daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan daerah tingkat III (sama dengan desa atau kota kecil ) negeri, warga dan lain-lain.” Tingkat daerah swatantra dilatarbelakangi oleh pemikiran pembentuk undang-undang, sebagaimana dicantumkan pada Memori Penjelasan Umum Undangundang No. 22 Tahun 1948, LN RI 1957 No. 1143 yang memuat tentang 4 (empat) persoalan penting terkait tingkat daerah swatantra yaitu: 1. Mengenai apakah suatu urusan apakah urusan yang ada merupakan urusan pusat atau urusan daerah. 2. Mengenai keberagaman kesatuan masyarakat, hukum dan bahwa urusan otonomi tidak konguren (bersama-sama, setuju, bersaing atau berlawanan) dengan urusan hukum adat. 3. Tentang Kepala Daerah yang harus dipilih langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan tetapi harus pula mendapat pengesahan dari pemerintah yang berwajib. 4. Persoalan keempat mengenai pengawas, maksudnya bahwa pemerintah pada intinya mengawasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah baik produk-produk hukumnya maupun tindakan-tindakannya Keempat persoalan penting tersebut pembentukan undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk mengharuskan pemusatan segala urusan yang
meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya pemusatan segala urusan terhadap seluruh wilayah oleh Bagir Manan3 dijelaskan bahwa: ”Pemusatan tersebut memiliki dua sisi (dimensi) yatiu tugas Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhadap kepentingan yang dipusatkan dan pengawasan terhadap penyelangaraan kepentingan-kepentingan rakyat setempat.” Uraian yang menyangkut hierarki pemerintahan berdasrkan Undang-undang No. 22 Tahun 1948 yang mengatur tentang pemerintahan tingkat I, tingkat II, dan tingkat III, adalah usaha untuk mengakomodir kebhinekaan bangsa Indonesia yang begitu heterogen, struktur daerah otonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undangundang No. 22 Tahun 1948 tersebut, terutama dalam pembentukan daerah tingkat III (Kota Kecil) hal ini, dilakukan sangat hati-hati terutama yang berkaitan atau berhubungan dengan keberadaan masyarakat hukum adat yang coraknya beragam/bertingkat, setiap tingkat memiliki rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin memiliki daerah sendiri. Kondisi inilah yang memperkuat komitmen bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan dan menggalang seluruh rakyat Indonesia mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Undang-undang No. 1 Tahun 1957 merupakan hasil kerja DPR hasil pemilu 19554 dan diharapkan dapat mengatasi kemelut politik yang bermuara pada tuntutan pendemokrasian pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya.
3
Bagir Manan dikutip dalam Jimly Asshiddiqie. Op. Cit, hlm. 407 4 Herbert Feith 1999 dikutip dalam Jimly Asshiddiqie.Op.Cit, hlm. 403
27 Menurut Soetardjo Karto Hadi Kusumah5 ”Undang-undang ini mencerminkan negara Indonesia sebagai negara serikat atau ”bondstaat” karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan kekuasaannya di daerah. Undang-undang ini, disatu pihak menganjurkan negara kesatuan, tetapi di sisi lain membentuk negara federal.” Pandangan lain mengenai pemberlakuan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 sebagaimana dikemukakan oleh Legge6 bahwa: ”Undang-undang No. 1 Tahun 1957 gagal memadamkan pergolakan di daerah yang sebenarnya, merupakan reaksi terhadap sentralisasi yang berlebihan.” Kondisi ini dimungkinkan karena pada saat itu berlaku Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Serikat Tahun 1948-1959, kemudian setelah dikeluarkan dekrit presiden 5 juli 1959, kita kembali kepada Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, di mana sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Setelah berlakunya kembali UUD NRI Tahun 1945 Menurut The Liang Gie7 ”Berdampak langsungnya terhadap otonomi daerah yaitu di keluarkan Panpres (Penetapan Presiden) No. 6 Tahun 1959 dan Panpres (Penetapan Presiden) No. 5 Tahun 1960, pemberlakuan kedua Penpres ini, merubah tujuan desentralisasi dari demoratisasi kepencapaian stabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah.” Kemudian Bagir Manan8 menambahkan bahwa: ”Kedua Pepres ini merubah, asas-asas pemerintahan daerah dari desentralisasi ke sentralisasi.” Penetapan presiden bertujuan untuk memperkokoh kewibawaan kepala daerah (KDH) sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi rangkap sebagai alat dekonsentrasi (Gubernur, bupati, atau 5
Soetarjo dikutip dalam Jimly Asshiddiqie. ibid, hlm.403 Legge dikutip dalam Jimly Asshiddiqie. ibid, hlm.403 7 The Liang Gie dikutip dalam Jimly Asshiddiqie, ibid, hlm. 403 8 Bagir Manan, dikutip dalam Jimly Asshiddiqie Ibid, hlm. 404 6
Supremasi, Volume VII Nomor 1, April 2012
walikota) dan sekaligus desentralisasi (kepala daerah). Dengan kedudukan dan fungsi rangkap tersebut persoalan di daerah diharapkan dapat di tanggulangi oleh setiap kepala daerah, sehingga kepala daerah dapat eksis sebagai perpanjangan tangan kepemimpinan nasional dalam sistem pemerintahan presidensial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Uraian tentang keberlakuan Undangundang No. 1 Tahun 1957 tentang pemerintahan daerah tersebut, merupakan suatu tanda bahwa meskipun hukum dasar negara yang berlaku pada saat itu adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Serikat namun konsep negara kesatuan masih tetap dianjurkan untuk diberlakukan, meskipun reaksinya justru bentuk negara federasi. d. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam Lembaran Negara Tahun 1965 No. 84, merupakan kelanjutan ide penpres No. 6 Tahun 1959 bahkan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ktentuan dalam penpres No. 6 Tahun 1959 dan penpres No. 5 Tahun 1960 seluruhnya di adopsi kedalam undangundang No. 18 Tahun 1965 ini. UndangUndang ini mengacu kepada konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI) selain itu, undang-undang ini membagi wilayah Negara dalam tingkatan daerah-daerah otonom (Pasal 2 ayat (1)) yang terdiri atas: Wilayah Provinsi atau kota praja sebagai daerah tingkat I, kabupaten atau kotamadya sebagai daerah tingkat II, dan kecamatan atau kota praja sebagai daerah tingkat III. Berkaitan dengan pemberlakuan UU No. 18 Tahun 1965, menurut Soli Lubis9 “Undang-undang No. 18 Tahun 1965 merupakan suatu undang-undang kebijakan politik dengan maksud mengembalikan dan memperkuat kewibawaan kepala daerah 9
Soli Lubis dalam Jimliy Asshiddiqie Ibid, 2007, hlm.
406
ISSN 1412-517X
28 Konsepsi Negara Kesatuan dan Kebijakan Desentralisasi dalam Perundang-undangan… Andi Kasmawati (KDH) sebagai alat pemerintah pusat dengan fungsi rangkap sebagai alat dekonsentrasi dan desentralisasi, seperti penpres No. 6 Tahun 1959.” Kepala Daerah meskipun dipilih oleh DPRD namun kedudukannya tidak tergantung sepenuhnya kepada DPRD (Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14) atau tidak tergantung kepada kedudukan KDH terhadap DPRD (Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 55). Dengan begitu kedudukan Kepala Daerah cukup berwibawa, sehingga tidak dapat diberhentikan oleh kekuatan politik daerah. Ketentuan dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1965 ini, sesungguhnya merupakan suatu kebijakan politik yang ingin memperkuat pemerintahan daerah dalam kerangka negara kesatuan, hal ini membuktikan bahwa undang-undang No. 18 Tahun 1965 ini konsepnya tetap dalam negara kesatuan. Jadi penguatan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kotamadya dalam rangka memperkuat negara kesatuan dengan demokrasi terpimpin. UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH PADA MASA ORDE BARU Pada masa pemerintahan orde baru yang dipinpin oleh presiden Soeharto yang berkuasa selama 35 tahun hanya satu kali membentuk perundang-undangan pemerintahan daerah yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 1974. Pada penjelasan Umum angka 1 huruf i. Undang-undang No. 5 Tahun 1974, LN 1974 No. 38, dijelaskan bahwa salah satu prinsip penting dalam undang-undang ini adalah dianutnya prinsip otonomi daerah dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelanggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan, kestabilan politik , dan kesadaran bangsa.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini pada dasarnya sama dengan penetapan presiden (penpres) No. 6 Tahun 1959 yaitu kestabilan pemerintah ditingkat lokal dengan cara menempatkan kepala daerah sebagai penguasa tunggal di daerah. Menurut Selo Soemardjan10 “Pada periode sebelum Tahun 1966, sentralisasi dilakukan dengan maksud untuk mencegah bangsa Indonesia dari perpecahan sebagai akibat munculnya gerakan-gerakan separatis, sehingga dirasakan perlu adanya satu sumber tunggal (presiden) yang menafsirkan semua persoalan politik dengan dukungan kedudukan golongan militer.” Kemudian Kuntjorojakti11 menggambarkan bahwa: “Sentralisasi pada periode itu sebagai gerakan pendalaman dari satu kutub ke kutub lainya.” Sedangkan Menurut Syarif Hidayat12 ”Kehidupan desentralisasi pada masa orde baru cenderung berayun diantara dua kutub dari kutub desentralisasi dan sistem demokrasi ke kutub sentralisasi dan autokrasi namun lebih berat ke kutub sentralisasi dan autokrasi.” Berdasarkan uraian tersebut, dalam undang-undang No. 5 Tahun 1974, tetap berdasarkan pada konsep negara kesatuan sebagaimana tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945, demi kestabilan pemerintahan dan pembangunan, undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini merupakan undang-undang pemerintahan daerah yang paling lama diberlakukan oleh pemerintah yaitu kurang lebih 35 tahun, seiring lahirnya kepemimpinan presiden soeharto yang di kenal dengan pemerintahan orde baru. Menelaah konsep Negara Kesatuan Dalam undang-undang pemerintahan daerah, nampak bahwa dengan konsep negara kesatuan, pemerintahan orde baru mampu menjaga kestabilan dan mempertahankan wilayah Negara Republik Indonesia. 10
Selo Soemarejan dikutip dalam Jimly Asshiddiqie. ibid. Hlm. 407 11 Kuntjasojacti dalam Jimly Asshiddiqie. ibid. hlm. 407 12 Syarif hidayat 1999 dalam Jimly Asshiddiqie. Ibid. hlm.407
29 UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH PADA MASA ORDE REFORMASI a. Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 merupakan antitesa dari ketidakpuasan rakyat Indonesia pada saat pemerintahan orde baru yang dianggap tidak dilaksanakan secara demokrasi, tidak transparan serta tidak meratanya pembangunan, undang-undang ini lahir sebagai jawaban terhadap krisis pada Tahun 1998 yang menyebabkan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berada dipersimpngan jalan. Undang-undang ini menjadi landasan yang sangat mendasarkan dalam melakukan perubahan penyelenggaraan pemerintah daerah. Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur/kepala daerah provinsi tidak mengontrol bupati/wali kota yang dicirikan oleh tidak ada lagi peran gubernur dalam proses pemilihan bupati/walikota. Gubernur/kepala daerah provinsi sulit untuk mengkoordinir bupati/walikota dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, apalagi sumber daya yang ada di daerah berada dalam wilayah kewenangan bupati/walikota. Akibat dari meluasnya kewenangan pemerintah kabupaten dan kota, menimbulkan kesulitan dalam memadukan pemerintahan, pelayanan umum, dan proses pembagunan daerah, kuatnya posisi kabupaten dan kota dalam penyelenggaraan pemerintah, mengakibatkan pemerintah kabupaten dan kota bertindak sesuai aspirasi sendiri tanpa ada koordinasi dari pemerintah provinsi bahkan kepada pemerintah. Kondisi tersebut dipandang dapat menimbulkan indikasi terjadinya disentegrasi bangsa, bila antara daerah yang satu dengan daerah lainnya mengalami perkembangan yang tidak seimbang, yang pada akhirnya dapat mengoyahkan konsepsi negara kesatuan .
Pandangan tersebut memicu untuk segera dilakukan perubahan pada UU No. 22 Tahun 1999 dan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai penggantinya. Perubahan yang sangat penting yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah masalah hubungan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah 13 kabupaten/kota . Dimana dalam hubungan antara pusat, provinsi dengan kabupaten/kota dikembalikan sebagaimana mestinya yaitu dari tidak memiliki hubungan hierarki (UU No. 22 Tahun 1990) lalu menjadi memiliki hubungan hierarki (UU No. 32 Tahun 2004) walaupun tidak seperti hubungan hierarki yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1974. Selanjutnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 kembali direvisi yang pertama dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2005, kemudian direvisi lagi melalui Undangundang No. 12 Tahun 2008, inti dari revisi ini adalah pada tugas kepala daerah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, dan mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, di mana pada undang-undang tersebut menganulir calon bupati dan wakil bupati secara perseorangan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. b. Undang-undang No 32 Tahun 2004 jo. Undang-undang No. 12 Tahun 2008 Lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dipandang sebagai suatu undang-undang yang dapat mengatasi segala kesulitan yang timbul dari kelemahan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang dipandang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa dan dapat mencederai konsep negara kesatuan. Pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang menjadi berbeda dengan Undangundang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah hubungan hierarki antara gubernur dan bupati/wali kota 13
Supremasi, Volume VII Nomor 1, April 2012
Jimly Asshiddiqie Op.Cit 2007, hlm. 409
ISSN 1412-517X
30 Konsepsi Negara Kesatuan dan Kebijakan Desentralisasi dalam Perundang-undangan… Andi Kasmawati kembali diperkuat, demi menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia sebagai negara kesatuan. Selain itu perubahan penting lainnya yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 menurut Jimly Asshiddiqie14 adalah: “Masalah hubungan antara pemerintah, pemerinatah daerah provinsi, dan pemerinatah kabupaten/kota. Di mana dalam hubungan antara pusat, provensi dengan kabupaten/kota dikembalikan sebagaimana mestinya yaitu dari tidak memiliki hubungan hierarki (UU No. 22 Tahun 1999) lalu menjadi memiliki hubungan hierarki (UU No. 32 Tahun 2004) walaupun tidak seperti hubungan hierarki yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1974. Selanjutnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 kembali direvisi melalui Undangundang No. 12 Tahun 2008, inti dari revisi ini adalah pada tugas kepala daerah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, dan mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, di mana pada undang-undang tersebut menganulir calon bupati dan wakil bupati secara perseorangan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut.” Mengenai pemeberhentian kepala daerah, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah (UU No. 22 Tahun 1999) sedangkan dalam Undangundang No. 32 Tahun 2004 jo. Undangundang No. 12 Tahun 2008 pemberhentian kepala daerah dilakukan melalui prosedur Impeacment ke Mahkamah Agung bila DPRD berpendapat bahwa kepala daerah/walikota. Kepala daerah melanggar sumpah/janji dan/tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka seorang kepala daerah atau walikota dapat diusulkan pemberhentianya dengan terlebih dahulu diajukan ke Mahkamah Agung untuk memperoleh pembuktian secara Hukum . Konstruksi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 jo. Undang-undang No. 12 14
Jimly Asshiddiqie Op.Cit 2007, hlm. 409
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengokohkan adanya hubungan hierarki antartingkat pemerintahan di Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mengatasi munculnya disintegrasi dalam negara kesatuan oleh karena itu hanya dasar negara Indonesia sebagai negara kesatuan senantiasa dijadikan dasar petunjuk dalam melakukan konstalasi atau kebijakan pemerintahan termasuk hubungan kewenangan antartingkat pemerintahan dengan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, dalam mengkonsentrasikan hubungan kewenangan tersebut dengan menjaga keseimbangan hubungan kewenangan antartingkat pemerintahan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi dan fundamental hukum negara tetap meletakkan konsepsi “Negara Kesatuan Republik Indonesia” sebagai prinsip dasar bernegara, juga karena konsepsi tersebut memposisikan daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari negara dan meletakkan negara sebagai organisasi kekuasaan yang menampung kehendak daerah oleh sebab itu secara normatif maupun empiris antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah dalam konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia akan hidup, tunduk secara propesional . Berdasarkan konsepsi tersebut perlu dipahami bahwa prinsip dasar bernegara dalam konteks negara kesatuan dimana posisi daerah sebagai bagian dari negara yang didata dalam suatu jenjang atau hierarki pemerintahan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dari setiap bentuk pemerintahan didasarkan pada suatu tatanan normatif etik, sehingga dalam implementasi setiap kebijakan yang ditempuh dapat mengokohkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tatanan normatif baik yang dimaksudkan dalam konteks menjaga keutuhan dan integrasi bangsa yang dijalani oleh setiap tingkat pemerintahan maupun
31 dalam menjalani hubungan kewenangan antar tingkat pemerintahan sebagaimana dikemukakan oleh Eko Prasoja15 adalah: ”Menjaga keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan gerakan sentripetal kekuatan sentrifugal yang terlalu besar akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada disintegrasi bangsa sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan menciptakan pemerintahan yang menguatkan sentralistik.” Kedua gerakan ini perlu dijaga keseimbangannya bila kita ingin tetap berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena keutuhan integritas sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kewajiban negara tersebut untuk mencari paham keseimbagan antara dua gerakan tersebut. Penerapan konsep dalam rangka menjaga keseimbangan gerakan sentripetal dan gerakan sentrifugal dalam menjaga keutuhan dan integritas negara bangsa dapat ditelaah dalam peraturan perundangundangan yaitu pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 jo. Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, serta Peraturan Pemerintah. No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Provensi dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, sejauh mana perundang-undangan ini mengatur kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan tersebut. Munculnya ancaman disintegrasi bangsa yang ditandai oleh maraknya gejala bernuansa separatisme dibeberapa daerah, kembali menyadarkan tentang urgensi dan realisasi desentralisasi publik dan ekonomi atau yang dikenal dengan konsep otonomi yang seluas-luasnya oleh karena itulah kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah merupakan jawaban terhadap 15
Eko Prasojo konstraksi ulang pemerintahan pusat dan..... Op. Cit.15 2008
tantangan disintegrasi bangsa yang dapat melemahkan konsepsi negara kesatuan. Pemberian otonomi yang seluasluasnya dan bertanggung jawab diharapkan mampu menjawab tantangan untuk menciptakan pembangunan daerah yang berkeadilan dan membudayakan masyarakat dalam aspek politik, okonomi, sosial budaya, dan hukum dalam kerangka otonomi daerah, otonomi bagi rakyat daerah dan bukan otonomi daerah dalam pengertian suatu wilayah atau terotorial tertentu ditingkat lokal. Kalaupun pada akhirnya implementasi otonomi daerah diakukan oleh pemerintah provensi/pemerintah kabupaten dan kota maka kewenangan itu perlu dikelolah secara adil, jujur, dan demokratis hal ini dibutuhkan untuk meletakkan otonomi luas dalam kerangka kemandirian daerah agar mampu mengoptimalkan sumber daya alam lokal serta aspek yang lebih jauh, yaitu mencegah terciptanya disentraisasi bangsa. Pembagian kekuasaan antara pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan berdasarkan prinsip Negara Kesatuan bukan dengan parameter federalisme. Memang jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah hampir sama dengan yang ditangani oleh pemerintah di Negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama. Di samping itu ada jenis urusan yang lebih efektif dan efisien ditangani oleh pemerintah seperti kebijakan ekonomi makro, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik Negara, dan pengembangan sumber daya manusia secara umum. Semua jenis kewenangan dan kekuasaan tersebut ditangani oleh pemerintah dan disebutkan secara spesifik dan limitative dalam Undangundang No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 jo. Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Hari
Hubungan
Supremasi, Volume VII Nomor 1, April 2012
ISSN 1412-517X
32 Konsepsi Negara Kesatuan dan Kebijakan Desentralisasi dalam Perundang-undangan… Andi Kasmawati Sabarno16 Sudah selayaknya semua lapisan masyarakat mendukung upaya memantapkan otonomi daerah. Diantaranya melalui: 1. Usaha memantapkan perimbangan keuangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah secara adil, 2. Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif, 3. Meningkatkan pembangunan diseluruh daerah khususnya pada daerah tertinggal, 4. Memberantas kemiskinan serta 5. Meminimalkan kesenjangan antar daerah. 6. Melakukan kerjasama antar daerah maupun dengan lembaga lainnya diera otonomi daerah merupakan jiwa pemeintahan, guna percepatan dan menyerasikan pembangunan, pemberdayakan masyarakat serta mengantisipasi dan mengatasi berbagai hambatan dan perbedaan yang ada. Pengkajian tentang komitmen untuk tetap mempertahankan Negara Kesatuan dengan kondisi penyelenggaraan pemerintahan yang berada pada sistem pemerintahan yang cenderung menganut sistem pemerintahan yang federal menjadi masalah yang tidak hentinya menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan hubungan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, berdasarkan pengkajian yang dilakukan penulis dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekataan kepustakaan (conceptual approach) ditemukan bahwa: Konsep Negara Kesatuan yang menjadi bentuk Negara Indonesia dengan penerapan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai suatu kebijakan pembagian urusan tidak relevan. Hal ini dapat dikaji dari konteks Negara Kesatuan secara esensial relevan dengan kebijakan sentralisasi, dimana setiap kebijakan bermuara pada pemerintah pusat, oleh karena itu setiap undang-undang pemerintahan daerah yang pernah berlaku dan yang sedang berlaku, meskipun senantiasa mengatur mengenai 16
Hari Sabarno. Unataian Pemeikiran Otonomi Daearah ......Op. Cit. 2007 hlm. 151
otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi namun tidak dapat direalisasikan dengan baik karena terjadi dikotomi antara konsep Negara Kesatuan yang sentralistik dengan Otonomi daerah dan Kebijakan desentralisasi yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah yang lebih besar atau desentralistik, bandikan dengan pandangan Legge.17 Dikotomi inilah yang menjadi pemicu munculnya konflik dan ketidak puasan bagi pemerintah daerah, otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi yang selama ini dituangkan dalam peraturan perundangundangan hanya sebagai suatu konsep politik yang ingin mempertahankan negara kesatuan tanpa memperhatikan kondisi bangsa saat ini dimana pertumbuhan penduduk semakin tinggi, masalah masyarakat makin kompleks 17
Legge dalam Syarif Hidayat. Op. Cit. Hlm. 259. Setidaknya ada tiga poin penting yang dapat dicatat dari analisis Legge terhadap sulitnya menerapkan otonomi daerah atau penerapan desentralisasi pada Negara Kesatuan di Indonesia yaitu: 1) Pada tingkat tertentu, upaya untuk membangun pemerintah daerah yang tangguh dan mandiri di Indonesia telah terkendalakan oleh bentuk negara (Negara Kesatuan). Dalam hal ini ditegaskan bahwa relatif sulit bagi Indonesia untuk mencapai sistem otonomi daerah yang efektif dalam kerangka negara kesatuan karena ada keragaman yang sangat besar diantara daerah-daerah, baik dalam bentuk etnisitas, agama, kultur, atau sumber daya ekonopmi. Kondisi ini kemudian semakin rumit ketika dihubungkan dengan latar belakang sejarah pemerintahan daerah di Indonesia selama pendudukan Belanda, dimana terdapat keragaaman dalam bentuk sistem pemerintahan daerah, khususnya Indonesia Timur dan Indonesia Barat. 2) Kontroversi tentang tuntutan untuk menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah dan kebutuhan untuk memperketat kontrol pemerintah pusat atas daerah secara jelas telah muncul sejak periode awal kemerdekaan. Ada beberapa metode yang telah diterapkan oleh pemerintah pusat untuk mengendalikan otoritas pemerintah daerah, antara lain dengan menempatkan pejabat-pejabatnya di daerah (pamong praja); mengangkat kepala pemerintah daerah; ”memandulkan” peran DPRD; serta melalui kontrol langsung atas implementasi kebijakan-kebijakan tertentu. 3) Sekalipun intervensi pemerintah pusat atas daerah (pada periode awal kemerdekaan) cukup dominan, pada batas tertentu, tuntutan-tuntutan dari pemerintah daerah juga telah dipertimbangkan oleh administrasi pusat. Fenomena ini dapat diilustrasikan, misalnya ketika pemerintahan Djuanda (April 1957) merespons tuntutan daerah untuk mendapatkan bagian 70 % dari hasil devisa perdagangan. Contoh lain adalah dalam hal komplain daerah tentang akses terhadap izin perdagangan. Menaggapi tuntutan ini, pemerintah pusat telah membentuk Biro Devisa Perdagangan (BDP) di beberapa daerah yang memungkinkan pemerintah daerah untuk memperoleh izin impor tanpa harus ke Jakarta.
33 yang sulit dijangkau oleh pemerintah, masalah kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran masyarakat, sebagai cita-cita bangsa dan negara Indonesia, makin sulit untuk dicapai. KESIMPULAN Undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah sejak kemerdekaan hingga saat ini terdapat tujuh undang-undang ditambah dua undang-undang revisi yaitu revisi undang-undang No. 32 tahun 2004. Dari sekian banyak perundang-undangan pemerintah daerah yaitu undang-undang No. 8 Tahun 2005 dan undang-undang No. 12 Tahun 2008 yang telah diberlakukan di Indonesia, konsepsi negara kesatuan senantiasa menjadi landasan dan spirit penyelenggaraan pemerintahan. Sudah banyak pandangan yang telah dikemukakan pakar ketatanegaraan mengenai bentuk pemerintahan yang dapat mempertahankan konsep negara kesatuan ini, sebagimana diuraikan dalam bahasan, namun hal ini tidak akan berarti apabila tidak disesuaikan dengan perkembangan masyarakat apakah bentuk tersebut masih sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat, untuk itulah penulisan dan pengkajian mengenai penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dilakukan dan dikembangkan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Kesatuan Bangsa. Sinar Grafika, Jakarta. Jimly Asshiddiqie. 2006 Perihal UndangUndang, Konstitusi Press Jakrta ----------------------- 2007 Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta Barat. Syarif Hidayat, 2007 Too Mush Too Soon, Local State Elite’s Presfektive On and The Puzzel of Contemporary Indonesia Regional Autonomy Policy, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA Eko
Prasojo. 2008 Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Deerah di Indonesia antara Sentripetal dan Sentrifugal Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap bidang Ilmu Administrasi Publik Pada FISIP UI Jakarata. Hari Sabarno. 2007 Untaian Pemikiran Otonomi Daerah, Memandu Otonomi Daerah Menjaga
Supremasi, Volume VII Nomor 1, April 2012
ISSN 1412-517X