BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma
pembangunan
termasuk
dalam
hal
hubungan
antar-tingkat
pemerintahan. Sementara itu, periode kedua perumusan kebijakan desentralisasi ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 32 dan Nomor 33 tahun 2004. Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota ditata kembali. Secara spesifik, peranan pemerintah provinsi dikembalikan sebagai penghubung antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota. (Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal, 2008: 4). Indonesia relatif berhasil menjalankan proses desentralisasi pada pemerintah kabupaten dan kota. Indonesia saat ini adalah negara yang tidak lagi didominasi oleh pemerintah pusat. Sejalan dengan pengalihan kekuasaan politik, desentralisasi administrasi telah mengalihkan sebagian besar kewenangan pemerintahan pusat kepada daerah. Pengalihan kewenangan itu dibiayai oleh dana perimbangan, yang ditransfer dari pusat ke daerah dalam beberapa skema. proses desentralisasi di Indonesia adalah desentralisasi di sisi pengeluaran pemerintah, yang dibiayai dana perimbangan (Brodjonegoro, 2008:1). Implementasi dari Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 dan undangundang terkait lainnya adalah Pemerintah Pusat setiap tahunnya harus mengalokasikan anggaran transfer ke daerah dalam APBN. Secara keseluruhan, alokasi anggaran Transfer ke Daerah, yang terdiri atas Dana Perimbangan dan
1
Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian diarahkan untuk: (1) meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, serta antardaerah; (2) meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan ketepatan waktu pengalokasian dan penyaluran anggaran transfer ke daerah; (3) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (4) mendukung kesinambungan fiskal nasional; (5) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan pembangunan daerah; (6) meningkatkan perhatian terhadap pembangunan di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan; serta (7) meningkatkan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap jenis dana transfer tertentu guna meningkatkan kualitas belanja daerah. (DJPK, 2014: 25). Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bahwa pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyerahan kewenangan tersebut harus diikuti oleh sumbersumber pendanaan atau penganggaran, berarti anggaran daerah memiliki peran yang penting dalam mendukung perencanaan strategi di daerah. Anggaran daerah adalah desain teknis atau cetak biru (blue print) pelaksanaan strategi untuk mencapai visi dan misi daerah dengan cara-cara yang benar (Mardiasmo, 2002: 176). Implikasi dari otonomi daerah, kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bukan hanya pada kewenangan administrasi tetapi juga pada desentralisasi fiskal yang menjadi keharusan dalam pelaksanaan keuangan. Dana
2
transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan pendapatan lain-lainnya yang sah. Dana perimbangan tersebut menurut Undangundang Nomor 33 tahun 2004, ialah sebagai berikut. 1. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. Dana bagi hasil berasal dari pajak dan sumber daya alam, di mana pembagiannya diatur dan ditentukan oleh undang-undang antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang bersumber dari sumber daya alam yaitu pertambangan, minyak bumi dan gas, kehutanan dan perikanan, sedangkan yang berasal dari pajak adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah khususnya pada pasal 182 ayat 1 mengamanatkan bahwa Menteri Keuangan bersamasama dengan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah dalam waktu paling lambat 31 Desember 2013. Berdasarkan Undang-undang ini, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sebelumnya merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. 2. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada daerah yang disesuiakan dengan kondisi dan potensi daerah tersebut agar tidak terjadi ketimpangan antardaerah. Pada prinsipnya DAU
3
diberikan untuk menghindari terjadinya fiscal gap antar daerah, menurut Halim (2009:
32)
bahwa
kebutuhan
DAU
oleh
suatu
daerah
(provinsi,
kabupaten/kota) ditentukan dengan konsep fiscal gap yaitu kebutuhan DAU ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity), dengan maksud agar dapat menutupi celah tersebut karena
kebutuhan suatu daerah melebihi dari penerimaan yang ada. 3. Dana Alokasi Khusus (DAK) menurut Halim (2009: 32) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Kegiatan khusus tersebut telah diatur dalam fungsi yang ditetapkan APBN, dalam pelaksanaannya DAK yang disepakati dengan daerah bersangkutan wajib memberikan dana pendampingan sekurangkurangnya sebesar 10 persen dari DAK yang dialokasikan di APBD. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan atau urusan dan sesuai dengan prinsip money follows function, pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana transfer ke daerah kepada pemerintah daerah. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya. Dana transfer ke daerah dalam APBD diklasifikasikan ke dalam dana perimbangan untuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus yaitu di Provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat serta Dana Keistimewaan Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta. Dana Penyesuaian meliputi Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah, Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah, Dana Insentif Daerah (DID), dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan
4
Desentralisasi (P2D2). Dana penyesuaian ini menyebabkan alokasi dana yang diberikan ke daerah semakin banyak dan jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada Gambar 1.1 (DJPK, 2014: 22). 700 600 500
Dana Penyesuaian
400
Dana Otsus dan DIY
300
DAK
200
DAU DBH
100 0 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 1.1 Tren Transfer Ke Daerah Tahun 2008-2015 Sumber : Nota keuangan APBN, 2014 dan 2015
Tingginya tingkat ketergantungan belanja daerah terhadap pendanaan dana perimbangan, menunjukkan tingginya ketergantungan keuangan daerah terhadap pendanaan pemerintah pusat. Pada dasarnya, dana perimbangan dialokasikan untuk belanja daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, tetapi pada kenyataannya pemerintah daerah cenderung menjadikan dana perimbangan sebagai sumber penerimaan yang utama dibanding dengan pendapatan asli daerah. Besaran dana perimbangan mengalami tren kenaikan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Kenaikan
dana perimbangan selama
periode 2008-2014 yang paling besar terdapat di provinsi-provisni wilayah Papua yaitu sebesar 97,23 persen dan yang paling kecil adalah di provinsi-provinsi wilayah Kalimantan sebesar 43,61 persen. Keseluruhan besaran dana transfer di mengalami kenaikan 103 persen pada periode 2008-2014. Hal ini disebabkan
5
adanya tambahan jenis dana transfer berupa dana penyesuaian yang meliputi Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunjangan profesi guru pegawai negeri sipil daerah, dana tambahan penghasilan guru pegawai negeri sipil daerah, Dana Insentif Daerah (DID), dan dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) Tabel 1.1 Perkembangan Dana Perimbangan di Wilayah Indonesia Tahun 2008-2014
Wilayah
Sumatera Jawa
2008
7,99
Rata-Rata Dana Perimbangan (Triliun Rupiah) Kenaikan 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2008-2014 (%) 7,64
8,73
9,98 10.90 12,67
13,94
74,56
14,58 15,65 16,46 17,31
20,00 21,78
25,05
71,74
Bali Dan Nusa Tenggara
5,43
5,88
7,92
9,5
76,05
Kalimantan
9,89
9,43 10,44 12,72 12,22 14,30
14,05
43,61
Sulawesi
4,80
5,13
5,30
5,92
8,66
80,50
7,21
7,73
8,71
9,93 11,22 12,88
14,22
292,4 308,6 344,7 411,3 480.6 513,3
592,5
97,23 103
Maluku Dan Papua Indonesia
6,01
6,64
6,95
8,88
7,94
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan , 2008-2014 (diolah)
Menurut Halim (2014: 8) problematika pada aspek belanja di pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah komposisi belanja dalam rangka mencapai tujuan bernegara pada UUD 1945. Pemerintah pusat mempunyai permasalahan yang tidak sederhana berkaitan dengan belanja untuk pemerintah daerah yang dananya berasal dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Berdasarkan Tabel 1.2 maka dapat dilihat besaran tiap jenis Belanja Daerah setiap tahun dan perkembangannya antartahun. Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung), belanja barang dan jasa, belanja modal dan belanja lain-lain secara nasional
6
cenderung meningkat. Komponen belanja daerah terbesar adalah pada belanja pegawai. Tabel 1.2 Perkembangan Belanja Daerah di Indonesia tahun 2009-2014 (triliun rupiah)
Komponen Belanja Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Belanja lain-lain
2009
2010
2011
2012
2013
2014
180,43
198,56
229,08
261,35
296,81
326,73
79,60
82,00
104,11
122,42
148,17
182,52
114,59 40,59
96,17 50,11
113,52 48,55
137,52 71,35
175,80 87,09
213,67 94,74
Sumber : Deskripsi dan Analisis APBD, 2014
Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah. Belanja daerah disusun untuk mendanai pelaksanaan urusan Pemerintah Daerah yang menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan itu terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Penyusunan belanja untuk pelaksanaan urusan wajib dilaksanakan dengan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan. (DJPK, 2014: 1). Perkembangan belanja daerah di setiap wilayah provinsi di Indonesia menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun selama periode 2008-2014 yang ditunjukkan pada Tabel 1.3. Provinsi-provinsi di wilayah Jawa menunjukkan rata-rata belanja daerah yang terbesar dengan kenaikan sebesar 167,92 persen selama periode 2008-2014. Provinsi-provinsi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, Sumatera dan Kalimantan. Belanja daerah dengan ratarata terkecil ditunjukkan oleh provinsi-provinsi di wilayah Papua .
7
Tabel 1.3 Perkembangan Belanja Daerah di Wilayah Indonesia Tahun 2008-2014
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Kenaikan 2008-2014 (%)
Sumatera
9,82
10,36
11,11
13,38
16,09
19,78
22,13
125,20
Jawa
20,61
23,00
26,01
31,03
36,26
46,01
55,22
167,92
Bali Dan Nusa Tenggara
6,74
7,46
8,17
9,83
11,77
14,06
15,75
133,69
Kalimantan
11,58
12,41
12,93
14,27
17,73
23,71
24,34
110,15
Sulawesi
5,75
6,40
6,72
8,01
9,19
10,95
12,45
116,31
Maluku Dan Papua
8,51
9,20
9,89
11,29
12,99
14,95
17,79
109,06
Indonesia
390,15
429,30
443,57
514,47
617,46
737,68
817,68
109,98
Rata-Rata Belanja Daerah (Triliun Rupiah) Wilayah
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan , 2008-2014 (diolah)
Penduduk dikatakan sebagai faktor penghambat apabila jumlah penduduk yang besar dengan kualitas yang rendah akan menjadi beban pemerintah dalam pembangunan. Disisi lain penduduk selaku objek dan sasaran dalam pembangunan memiliki peranan penting bagi pemerintah daerah sebagai dasar membuat perencanaan dan penyusunan kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan sumber-sumber pendapatan dan pengalokasian anggaran belanja khususnya melalui belanja langsung untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Suparmoko, 2002: 12). Kepadatan penduduk terbesar berada di provinsi-provinsi di wilayah Jawa sedangkan kepadatan penduduk terkecil berada di provinsi-provinsi wilayah Maluku dan Papua. ketimpangan kepadatan masih besar antara wilayah Jawa dan luar Jawa, khususnya di wilayah Kalimantan, Maluku dan Papua. Secara agregat telah terjadi peningkatan kepadatan penduduk di semua provinsi di Indonesia selama periode 2008-2014, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.4.
8
Tabel 1.4 Perkembangan Kepadatan Penduduk di Wilayah Indonesia Tahun 2008-2014
Wilayah Sumatera Jawa
2008
Rata-Rata Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 2009 2010 2011 2012 2013
2014
108
111
116
124
128
124
126
3140
3165
3277
3436
3342
3408
3446
306 37
311 37
316 39
324 40
328 41
353 42
357 44
92
96
100
101
103
105
106
18 123
18 124
20 124
21 125
21 125
22 130
23 132
Bali Dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Dan Papua Indonesia
Sumber : BPS, 2008-2014 (diolah)
Menurut Sidik (2002) Desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan cita-cita yang diharapkan oleh pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam hal ini peningkatan pertumbuhan ekonomi, untuk itu diperlukan tujuan yang dapat menjadi acuan dalam mencapai cita-cata tersebut. Pertumbuhan ekonomi ditunjukkan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) harga konstan yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun. Tabel 1.5 menunjukkan bahwa PDRB atas harga konstan terbesar adalah provinsi-provinsi di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi serta yang terkecil adalah provinsi-provinsi di Maluku dan Papua. Secara nasional mengalami tren kenaikan pada periode 20082014.
9
Tabel 1.5 Perkembangan PDRB Harga Konstan di Wilayah Indonesia Tahun 2008-2014
Wilayah
Rata-Rata PDRB Harga Konstan (miliar rupiah) 2009 2010 2011 2012 2013
2008
2014
Sumatera 42.869,53
44.368,08
153.655,68
163.172,67
172.553,59
181.151,41
189.563,11
202.902,59
212.654,56
655.314,49
697.074,32
741.472,24
786.446,16
830.421,07
18.057,23
19.361,98
69.239,56
71.234,97
74.051,82
78.459,05
83.057,07
43.741,30
45.257,81
161.528,36
171.951,77
181.788,80
177.906,39
183.035,48
15.338,18
16.400,35
59.379,14
64.449,41
70.278,51
75.684,19
80.894,96
7.942,44 9.307,65 Indonesia 1.999,046 2.094,358 Sumber : BPS, 2008-2014 (diolah)
46.395,59 6.864,133
46.133.44 7.286,914
47.608,61 7.735,785
51.112,48 8.179,836
53.321,50 8.605,809
Jawa Bali Dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Dan Papua
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penanaman modal merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Penyerahan kewenangan untuk menangani investasi kepada daerah merupakan langkah positif dalam rangka mewujudkan otonomi daerah. Tabel 1.6 menunjukkan perkembangan Foreign Direct Investment (FDI) di wilayah Indonesia selama periode 2018-2014. Nilai FDI terbesar ditunjukkan oleh provinsi-provinsi di Wilayah Jawa, sedangkan untuk provinsi di wilayah lain mengalami tren kenaikan yang menunjukkan bahwa investasi asing tidak lagi terpusat di Jawa tetapi sudah tersebar di provinsiprovinsi di Luar Jawa. Secara Nasional terdapat kenaikan nilai investasi asing selama periode 2008-2014.
10
Tabel 1.6 Perkembangan Foreign Direct Investment (FDI) di Wilayah Indonesia Tahun 2008-2014
Wilayah
2008
Sumatera
Rata-Rata Foreign Direct Investment (juta US$) 2009 2010 2011 2012 2013
2014
101,0
77,6
74,7
207,7
373,8
339.5
384,5
2261,2
1561,8
1916,5
2054,1
2276,7
2887.7
2572,8
Bali Dan Nusa Tenggara
61,1
86,6
331,8
508,8
468,1
296,3
331,1
Kalimantan
12,4
78,2
414,9
366,3
784,9
681,9
1141,3
Sulawesi
4,7
14,4
123,8
44,4
125,4
249,7
342,6
Maluku Dan Papua
8,4
2,4
142,8
453,9
469,7
683,8
381,4
14.871,40 10.815,20 16.214,80 19.474,50 24.564,70
28.571,67
28,421.38
Jawa
Indonesia
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal , 2008-2014 (diolah)
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menjadi hal yang menarik bagi daerah kabupaten/kota untuk memekarkan diri dengan maksud memberikan pelayanan publik agar lebih dekat dengan masyarakatnya. Pada dasarnya pemekaran daerah merupakan keinginan daerah untuk melakukan pendekatan dalam upaya mempercepat peningkatan kesejateraan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan dalam penerapan kebijakan desentralisasi. Total daerah otonom di Indonesia pada tahun 2014 adalah 542, terdiri atas 34 provinsi, 415 kabupaten (tidak termasuk 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta) dan 93 kota, tidak termasuk 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta (Dirjen Otonomi Daerah, 2014: 29). Penelitian tentang determinan desentralisasi pengeluaran dilakukan oleh Dollar dan Hofman (2008) yang menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal di China dengan kekhasannya berpotensi untuk bisa diterapkan di negara-negara berkembang yang lain. Penelitian tentang determinan desentralisasi pengeluaran
11
juga dilakukan oleh Wu dan Wang (2013) dengan menggunakan variabel ketergantungan transfer, kepadatan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan ekonomi di China. Berdasarkan data empiris dan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan di China, maka perlu dilakukan penelitian serupa tentang determinan desentralisasi pengeluaran di Indonesia.
1.2 Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil studi empiris terdahulu sebagaimana diuraikan sebelumnya, beberapa penelitian serupa yang telah dilakukan mengenai desentralisasi fiskal. Secara khusus faktor-faktor mendasar yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah: 1.
unit analisis yang diteliti adalah 33 provinsi yang ada di Indonesia dengan periode tahun 2008-2014;
2.
memodifikasi model dari Wu dan Wang (2013) dengan menggunakan 1 (satu) variabel dummy yaitu daerah pemekaran dan non pemekaran. Persamaan dari hasil studi empiris terdahulu sebagaimana diuraikan
sebelumnya,
yang
telah
dilakukan
mengenai
determinan
desentralisasi
pengeluaran di Indonesia ini adalah: 1.
metodologi penelitian di mana metoda kuantitatif yang menggunakan analisis regresi data panel;
2.
model yang digunakan dari penelitian Wu dan Wang (2013) dengan menggunakan
variabel
desentralisasi
fiskal,
ketergantungan
pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk dan
transfer,
rasio (foreign direct
investment) FDI terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB).
12
1.3 Rumusan Permasalahan Permasalahan dalam penelitian dirumuskan dari studi literatur penelitian sebelumnya oleh Wu dan Wang (2013) mengenai determinan desentralisasi pengeluaran di China. Penelitian serupa telah dilakukan sebelumnya di beberapa negara berkembang sedangkan belum banyak penelitian mengenai determinan desentralisasi pengeluaran yang dilakukan di Indonesia.
1.4 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah variasi desentralisasi pengeluaran dan faktor penentunya di Indonesia tahun 2008-2015? 2. Apakah ketergantungan transfer, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kepadatan penduduk dan kontribusi FDI (Foreign Direct Investment) pada PDRB berpengaruh terhadap desentralisasi pengeluaran di Indonesia?
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Untuk menganalisis variasi desentralisasi pengeluaran dan faktor penentunya di Indonesia tahun 2008-2014.
2.
Untuk menganalisis pengaruh ketergantungan transfer, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kepadatan penduduk dan Kontribusi FDI (Foreign Direct Investment) pada PDRB terhadap desentralisasi pengeluaran di Indonesia.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
13
1.
Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan determinan desentralisasi fiskal pada sisi pengeluaran di Indonesia.
2.
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi penelitipeneliti
selanjutnya yang
ingin
mengembangkan
penelitian
tentang
desentralisasi fiskal di Indonesia.
1.7 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini secara rinci dibagi dalam lima bab utama, dan secara berurutan disajikan secara sistematis, sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, keaslian penelitian pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teori, yang menjelaskan landasan teori tentang desentralisasi, desentralisasi fiskal, desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah serta studi empiris terdahulu. Bab III: Metoda Penelitian, menguraikan tentang pendekatan penelitian, definisi operasional variabel yang diamati, jenis dan sumber data, alat analisis, analisis regresi data panel dan model penelitian. Bab IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang menguraikan tentang deskripsi data dan analisis regresi data panel. Bab V: Kesimpulan dan Saran, yang menguraikan simpulan hasil penelitian yang telah dilakukan, dan memberikan saran-saran yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan oleh pihak lain sebagai pengambil kebijakan.
14